Suatu malam, Nicholas duduk sendirian di balkon penthouse-nya, memandangi langit yang gelap. Di tangannya ada gelas whiskey, tapi minuman itu tidak memberikan kelegaan yang dia cari. Dia memejamkan mata, membiarkan kenangan tentang Olivia membanjiri pikirannya. Dia ingat tawa Olivia, bagaimana wanita itu selalu membuatnya merasa hidup meskipun dia berada di tengah dunia yang mati. Dia ingat cara Olivia memandangnya, seolah dia bukan hanya seorang mafia, tetapi seorang pria yang layak dicintai. Namun, dia juga ingat ketakutan di mata Olivia ketika dia mengungkapkan kebenarannya. Ketakutan yang membuatnya sadar bahwa dunia mereka terlalu berbeda. “Aku bodoh,” gumam Nicholas pelan. “Aku membawa dia masuk ke dalam hidupku, padahal aku tahu itu hanya akan menghancurkannya.” Dia menggenggam gelas di tangannya lebih erat, sampai akhirnya gelas itu retak dan pecah. Pecahan kaca melukai tangannya, tapi Nicholas tidak peduli. Luka fisik itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Dunia mulai berubah bagi Nicholas Romano. Setelah Dua tahun berkecimpung dalam dunia mafia yang penuh darah, intrik, dan pengkhianatan, Nicholas memutuskan bahwa dia telah cukup membayar harga yang dituntut dunia itu. Luka kehilangan orang tua, pengkhianatan Marco, dan cinta yang tak bisa dia miliki membuatnya sadar: dia tak ingin lagi terjebak dalam lingkaran itu.Kini, Nicholas memutuskan untuk kembali ke kehidupan yang pernah dia tinggalkan—ke dunia bisnis, di mana dia pernah dikenal sebagai CEO yang brilian, bukan sebagai pemimpin klan mafia.Nicholas memanggil semua orang penting di organisasinya untuk sebuah pertemuan terakhir. Di ruangan bawah tanah yang penuh dengan simbol kekuasaan klan Romano, dia berdiri di depan anak buahnya dengan wajah tegas tapi damai.“Selama dua tahun terakhir, kita telah mencari siapa dalang pembunuhan kedua orangtuaku. Mereka sudah dapat balasan yang setimpal, meskipun masih bisa berkeliaran bebas di luar sana. Kita telah memenangkan perang, membang
Hubungan Nicholas dan Flora yang selama ini terlihat kuat mulai menunjukkan retaknya. Meskipun Nicholas telah berusaha memperbaiki hubungan mereka setelah meninggalkan dunia mafia, luka lama dan kenyataan bahwa cinta mereka tidak pernah sepenuhnya tulus menjadi bayangan yang sulit diabaikan.Flora adalah wanita yang kuat, sabar, dan penuh kasih. Selama bertahun-tahun, dia bertahan mendampingi Nicholas meskipun tahu hatinya tidak pernah sepenuhnya miliknya. Tapi seiring waktu, dia mulai merasa lelah. Tidak ada yang bisa bertahan hidup dalam bayangan cinta seseorang yang lain.Suatu malam, Flora menyiapkan makan malam sederhana di rumah mereka. Nicholas, yang baru saja pulang dari kantor, duduk di meja dengan raut wajah lelah. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dalam keheningan Flora malam itu.“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Nicholas akhirnya.Flora menghela napas panjang. “Nicholas, aku pikir kita harus berhenti berpura-pura.”Nicholas terdiam. Hatinya mencelos, tapi dia tahu ap
Olivia memandang ponselnya dengan tangan bergetar. Sudah berminggu-minggu dia menghindari banyak hal—perusahaan, mantan suaminya Kenzo, bahkan pamannya Anton dan istrinya, Fika, yang seperti orang tua baginya. Namun setelah percakapan tajam dengan Kenzo, Olivia sadar dia tidak bisa terus-menerus lari.Dia tahu, jika ada orang yang bisa mengurus tanggung jawab yang dia tinggalkan, itu adalah pamannya. Anton adalah sosok yang selama ini mendukungnya, seorang pria bijak yang menjalankan bisnis dengan integritas dan kasih sayang.Dengan napas dalam, dia akhirnya menekan nomor Anton.“Olivia?” Suara Anton terdengar terkejut di seberang telepon. “Di mana kau? Kami sangat khawatir! Fika bahkan tidak bisa tidur memikirkanmu.”Olivia terdiam sesaat, merasa bersalah karena membuat keluarganya cemas. “Maafkan aku, Paman. Aku tahu aku seharusnya menghubungi lebih awal. Tapi aku… aku butuh waktu untuk diriku sendiri.”“Kau tidak perlu meminta maaf,” jawab Anton dengan nada lembut. “Yang penting, a
Kenzo duduk di ruang kerjanya yang sunyi, hanya ditemani sebotol anggur yang hampir kosong. Malam sudah larut, tapi pikirannya terlalu penuh untuk membiarkannya tidur. Di atas meja, dokumen-dokumen perusahaan bertumpuk, sebagian besar berkaitan dengan bisnis yang Olivia tinggalkan. Namun, bukan dokumen itu yang membuatnya termenung—melainkan bayangan wajah Olivia.Wanita yang dulu pernah menjadi istrinya. Wanita yang pernah dia sakiti.Kenzo mengangkat gelas anggurnya, menatap cairan merah di dalamnya seperti mencari jawaban. Olivia selalu menjadi sosok yang kuat, tegas, tapi juga penuh kasih. Dia adalah tipe wanita yang tidak mudah dijumpai, seseorang yang mampu memimpin tanpa kehilangan kelembutannya.Namun, Kenzo tahu, dia adalah orang yang menghancurkan hubungan mereka dulu. Godaan wanita lain dan ego pribadinya membuat dia memilih jalan yang salah. Dia menyia-nyiakan cinta yang tulus demi kesenangan sementara, dan pada akhirnya, itu membuatnya kehilan
Max duduk dengan santai di kursinya, menatap Angel yang berdiri di depannya dengan sorot mata penuh antisipasi. Wanita itu tampak lebih tegang dari biasanya, meskipun dia mencoba menyembunyikannya di balik riasan sempurna dan gaun mewah yang membungkus tubuhnya.“Jadi, kau ingin aku menyingkirkan Olivia?” Max menyeringai sambil memainkan gelas minumannya. “Aku bukan orang bodoh, Angel. Peristiwa Marco kemarin sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Nicholas bukan tipe orang yang bisa disepelekan. Aku tidak akan mempertaruhkan hidupku hanya demi ambisi gilamu.”Angel mengepalkan tangannya, menahan kekesalan. Dia sudah menduga Max akan sulit diajak bekerja sama, tapi dia tidak menyangka penolakan itu akan datang secepat ini. “Kau takut pada Nicholas?” tanyanya tajam, mencoba menyulut egonya.Max tertawa, suara rendahnya terdengar seperti ejekan. “Takut? Mungkin. Tapi aku lebih suka menyebutnya cerdas. Tidak ada jumlah uang atau imbalan yang cukup untuk membuatku
Kenzo duduk di ruang kerjanya, menatap kertas perceraian di hadapannya dengan sorot mata kosong. Sudah terlalu banyak luka yang Angel goreskan di hatinya. Malam itu, saat dia menemukan istrinya bersama Max, adalah puncak dari segala kekecewaan.Angel masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk, wajahnya penuh ketegangan. “Kenzo, kita harus bicara,” katanya dengan suara bergetar.Kenzo mengangkat pandangannya dengan tatapan dingin. “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Angel. Aku sudah membuat keputusan.”Angel melangkah mendekat, air mata mulai menggenang di matanya. “Kenzo, tolong dengarkan aku! Apa yang kau lihat malam itu tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya melakukannya karena aku ingin merebut kembali perusahaan itu. Aku melakukan ini untuk kita!”Kenzo tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. “Untuk kita? Jangan bercanda, Angel. Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya? Semua yang kau lakukan selalu tentang dirimu se
Mobil melaju melewati batas kota, meninggalkan gemerlap lampu metropolitan yang selama ini menjadi panggung bagi Angel. Dia duduk di kursi penumpang, memandangi jalan dengan tatapan kosong. Di sampingnya, Max fokus pada kemudi, sesekali melirik Angel yang terlihat tenggelam dalam pikirannya.“Tidak ada jalan kembali setelah ini,” kata Max, memecah keheningan. “Kau sudah membuat keputusan.”Angel menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. “Aku tahu. Tapi ini bukan berarti aku menyerah, Max.”Max meliriknya, sedikit tersenyum. “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah berpikir kau tipe wanita yang menyerah."Angel memalingkan wajahnya ke arah Max, tatapannya penuh tekad. “Suatu saat aku akan kembali. Aku mungkin kalah kali ini, tapi ini belum berakhir. Aku tidak akan membiarkan Kenzo, Olivia, atau siapa pun menganggapku lemah.”Max mengangguk pelan, mengerti maksudnya. “Kau benar, Angel. Tapi balas dendam butuh waktu dan strat
Malam itu, Olivia duduk di ruang makan besar rumahnya, ditemani nyala lilin yang menerangi meja dengan cahaya hangat. Suasana di ruangan terasa begitu damai, namun ada sesuatu di matanya yang tampak tidak tenang. Di depannya, Dante sedang menuangkan anggur merah ke dalam gelas mereka berdua, senyumnya hangat seperti biasanya.“Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita makan malam bersama,” kata Dante sambil menatap Olivia lembut.Olivia mengangguk, tersenyum kecil. “Ya, aku sibuk dengan Leon, dan kau dengan proyek besar itu.”Dante tertawa kecil. “Tapi malam ini tidak ada pekerjaan, tidak ada gangguan. Hanya kita berdua.”---Makan malam dimulai dengan hidangan pasta dan salad segar. Dante, seperti biasa, mulai bercerita tentang kegiatannya. Namun kali ini, dia lebih banyak membicarakan Leon—tentang betapa lucunya bocah itu saat mencoba berbicara dan berjalan.“Kau tahu,” kata Dante sambil menyuapkan makanan ke mulutnya, “Leon sepertinya punya bakat untuk jadi pemimpin. Dia punya tata
Nicholas duduk di sebuah kafe kecil di tengah kota pegunungan, menikmati secangkir kopi hitam sambil menatap jendela. Bisnis membawanya ke kota ini, tempat yang tidak pernah ia duga akan memutarbalikkan hidupnya. Dia mencoba menikmati momen tenang setelah serangkaian rapat panjang, tapi pikirannya terus melayang pada masa lalu—terutama pada Olivia.Di sudut lain kafe, seorang anak kecil berlari-lari membawa balon warna-warni, diikuti oleh suara lembut seorang wanita yang memanggilnya. “Leon, hati-hati! Jangan terlalu jauh!”Nicholas mengangkat pandangannya, menatap sekilas ke arah suara itu. Namun yang menarik perhatiannya bukan wanita itu, melainkan anak laki-laki kecil dengan rambut hitam dan mata cokelat pekat—mata yang sangat mirip dengannya.---Leon berlari ke arah meja Nicholas, balonnya tersangkut di kursi. Nicholas tersenyum kecil, membantu melepaskan balon itu."Balonmu hampir hilang, Nak," katanya sambil menyerahkannya kembali.Leon menatap Nicholas dengan mata besar dan po
Di sebuah rumah tersembunyi di pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota, Olivia terbaring di ranjang kayu besar dengan wajah yang pucat namun penuh tekad. Hari itu tiba lebih cepat dari yang dia bayangkan. Kontraksi yang semakin kuat membuat tubuhnya lelah, tetapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: anak yang sedang dia bawa ke dunia ini.Dante berdiri di luar kamar, gelisah dan cemas. Para tenaga medis yang dia datangkan dari kota terus keluar-masuk ruangan, memberikan laporan bahwa proses persalinan ini memerlukan waktu. Olivia tetap tenang, meski rasa sakit tak pernah berhenti.---Olivia menggenggam erat tepi tempat tidurnya, memejamkan mata untuk menahan nyeri yang datang dalam gelombang. Seorang dokter duduk di sisinya, membimbingnya dengan suara lembut. "Olivia, kau kuat. Tarik napas dalam, lalu dorong. Kau hampir sampai."Air mata membasahi pipinya, tetapi bukan hanya karena rasa sakit. Ada kebahagiaan yang perlahan tumbuh di hatinya. Setiap dorongan membawa dia lebih de
Jeritan kecil keluar dari bibir Olivia saat Angel menarik rambutnya dengan kasar, memaksanya duduk di kursi kayu yang dingin. Ruangan itu gelap dan curam hanya diterangi oleh lampu redup di langit-langit. Di sudut ruangan Max berdiri sampai tersenyum sinis melihat Angel yang tampak menikmati setiap momen."Setelah sekian lama, akhirnya kau ada di tanganku, Olivia. "ujar Angel dengan nada penuh kebencian. "Kau tahu berapa banyak yang telah kau rampas dariku? Aku akan memastikan kau menyesal."Olivia menatap Angel dengan penuh ketakutan, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahan. "jika ini yang kau mau, lakukan saja titik tapi aku tidak pernah merebut apapun darimu." katanya dengan suara gemetar tetapi tetap tegas.Angel mendekat , melambaikan tangan untuk menampar Olivia. Tetapi tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar. Suara berat dari sepatu boot yang memenuhi lorong membuat semua orang terdiam.Max segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap. "siapapun itu,
Malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin dan desiran dedaunan yang terdengar di tengah hutan lebat. Rumah persembunyian Olivia yang biasanya aman. Kini menjadi target serangan berbahaya. Max dan Angel memimpin kelompok kecil bersenjata yang bergerak perlahan melalui bayangan pohon, memanfaatkan setiap celah dalam penjagaan ketat."Pastikan kalian tidak membuat suara, "bisik Max pada anak buahnya dia tahu bahwa satu langkah salah akan membawa kehancuran. Angel, di sisinya menatap rumah yang sama terlihat di kejauhan dengan mata penuh kebencian.Olivia sedang membaca buku di ruang tamu sambil meminum teh hangat. Perutnya yang semakin membesar membuatnya cepat lelah, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dante telah memastikan semuanya aman, namun rasa cemas tetap menghantui hatinya.Tiba-tiba, seorang penjaga masuk ke ruangan dengan wajah tegang "Nona Olivia, kami mendeteksi gerakan mencurigakan di perimeter luar. Harap anda tetap di dalam."Jantung Olivia berdegup kencang. Dia tahu apa
Pagi itu, ruang rapat di salah satu gedung pencakar langit kota dipenuhi aura tegang. Nicholas Ganesha, CEO sekaligus mantan pemimpin dunia hitam, duduk di ujung meja panjang dengan sikap tenang namun berwibawa. Setelan jas hitamnya yang sempurna mempertegas wibawa yang memancar darinya. Tidak ada tanda-tanda pria yang mabuk dan meratapi masa lalu di bar beberapa malam lalu. Dante, yang juga hadir dalam rapat tersebut, memperhatikan perubahan total pada Nicholas. Di hadapannya kini berdiri sosok pria yang dingin dan tak tersentuh, jauh dari pria emosional yang ia temui di bar. "Jadi, Nicholas," kata salah satu peserta rapat, mencoba memulai diskusi, "bagaimana pendapat Anda tentang akuisisi ini?" Nicholas menganggukkan kepala dengan tenang, mengambil beberapa dokumen di hadapannya. Dengan nada datar namun tegas, ia berkata, "Angka-angka ini tidak sesuai dengan target kami. Jika kalian tidak bisa menyesuaikan margin keuntungan menjadi minimal 30 persen, maka kerja sama ini tidak a
Di sudut bar yang remang, seorang pria dengan hoodie gelap duduk diam, tampak menyatu dengan kegelapan. Matanya tajam mengamati Nicholas dan Dante yang tengah berbincang. Gelak tawa mereka bercampur dengan denting gelas dan suara musik yang menggema di ruangan. Pria itu tidak pernah melepaskan pandangannya, memperhatikan setiap gerakan, ekspresi, dan bahkan bisikan mereka.Tidak jauh darinya, seorang wanita dengan gaun merah dan riasan mencolok berpura-pura menikmati malam. Dia sesekali melirik ke arah pria itu, memberi tanda bahwa semuanya terkendali. Mereka bekerja sebagai satu tim, mengintai dalam senyap.Setelah beberapa jam, pria itu bangkit perlahan, menyembunyikan wajahnya di balik bayangan hoodie. Dia berjalan menuju pintu belakang bar, bertemu dengan wanita itu di lorong sempit. Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan tempat itu, menyelinap ke dalam kegelapan malam.Pria itu tiba di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Angel membuka pintu dengan ekspresi penuh rasa ingi
Lampu neon berwarna ungu dan biru menerangi suasana bar yang penuh dengan tawa, musik, dan kemewahan. Nicholas dan Dante duduk di area VIP, di sofa kulit hitam yang menghadap langsung ke lantai dansa. Di atas meja kaca, botol anggur merah premium telah terbuka, ditemani beberapa gelas kristal.Wanita-wanita cantik dengan gaun mini yang berkilauan berkumpul di sekitar mereka. Tawa menggema di udara, dan musik yang memekakkan telinga tampak seperti soundtrack sempurna untuk malam yang penuh kebebasan.Nicholas duduk dengan santai, segelas anggur merah di tangannya. Ia tampak menikmati suasana, meskipun matanya sering kali terlihat kosong ketika tidak ada yang memperhatikan. Wanita di sampingnya mencoba menggoda, membisikkan sesuatu di telinganya, tetapi Nicholas hanya tersenyum tipis, memberikan jawaban singkat tanpa benar-benar peduli.Dante memperhatikan itu dari sisi lain sofa. "Kau tampak seperti tidak benar-benar di sini," kata Dante sambil menyesap ang
Hari-hari berlalu dengan monoton di vila yang sepi dan jauh dari keramaian. Olivia mulai merasa nyaman dengan rutinitas barunya, meskipun rasa terasing dan terkurung masih menghantuinya. Setiap bulan, mobil pengiriman datang membawa kebutuhan Olivia, mulai dari makanan hingga perlengkapan bayi yang akan segera ia hadapi.Selain itu, seorang tenaga medis juga ditugaskan untuk memantau kesehatan Olivia dan bayi yang dikandungnya. Setiap dua minggu sekali, dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Olivia, memastikan semuanya berjalan lancar. Meskipun hal ini memberikan rasa aman, namun dalam hati Olivia, ada perasaan terjebak yang semakin membesar.Dante, yang selalu datang dengan senyum dan kata-kata menenangkan, berusaha menjaga segala sesuatunya tetap berjalan lancar. Setiap kali ada pengiriman atau kunjungan medis, ia memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, memastikan bahwa Olivia merasa nyaman dan aman. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya setiap kali mobil