Max duduk dengan santai di kursinya, menatap Angel yang berdiri di depannya dengan sorot mata penuh antisipasi. Wanita itu tampak lebih tegang dari biasanya, meskipun dia mencoba menyembunyikannya di balik riasan sempurna dan gaun mewah yang membungkus tubuhnya.
“Jadi, kau ingin aku menyingkirkan Olivia?” Max menyeringai sambil memainkan gelas minumannya. “Aku bukan orang bodoh, Angel. Peristiwa Marco kemarin sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Nicholas bukan tipe orang yang bisa disepelekan. Aku tidak akan mempertaruhkan hidupku hanya demi ambisi gilamu.”Angel mengepalkan tangannya, menahan kekesalan. Dia sudah menduga Max akan sulit diajak bekerja sama, tapi dia tidak menyangka penolakan itu akan datang secepat ini. “Kau takut pada Nicholas?” tanyanya tajam, mencoba menyulut egonya.Max tertawa, suara rendahnya terdengar seperti ejekan. “Takut? Mungkin. Tapi aku lebih suka menyebutnya cerdas. Tidak ada jumlah uang atau imbalan yang cukup untuk membuatkuKenzo duduk di ruang kerjanya, menatap kertas perceraian di hadapannya dengan sorot mata kosong. Sudah terlalu banyak luka yang Angel goreskan di hatinya. Malam itu, saat dia menemukan istrinya bersama Max, adalah puncak dari segala kekecewaan.Angel masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk, wajahnya penuh ketegangan. “Kenzo, kita harus bicara,” katanya dengan suara bergetar.Kenzo mengangkat pandangannya dengan tatapan dingin. “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Angel. Aku sudah membuat keputusan.”Angel melangkah mendekat, air mata mulai menggenang di matanya. “Kenzo, tolong dengarkan aku! Apa yang kau lihat malam itu tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya melakukannya karena aku ingin merebut kembali perusahaan itu. Aku melakukan ini untuk kita!”Kenzo tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. “Untuk kita? Jangan bercanda, Angel. Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya? Semua yang kau lakukan selalu tentang dirimu se
Mobil melaju melewati batas kota, meninggalkan gemerlap lampu metropolitan yang selama ini menjadi panggung bagi Angel. Dia duduk di kursi penumpang, memandangi jalan dengan tatapan kosong. Di sampingnya, Max fokus pada kemudi, sesekali melirik Angel yang terlihat tenggelam dalam pikirannya.“Tidak ada jalan kembali setelah ini,” kata Max, memecah keheningan. “Kau sudah membuat keputusan.”Angel menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. “Aku tahu. Tapi ini bukan berarti aku menyerah, Max.”Max meliriknya, sedikit tersenyum. “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah berpikir kau tipe wanita yang menyerah."Angel memalingkan wajahnya ke arah Max, tatapannya penuh tekad. “Suatu saat aku akan kembali. Aku mungkin kalah kali ini, tapi ini belum berakhir. Aku tidak akan membiarkan Kenzo, Olivia, atau siapa pun menganggapku lemah.”Max mengangguk pelan, mengerti maksudnya. “Kau benar, Angel. Tapi balas dendam butuh waktu dan strat
Daniel tidak pernah terburu-buru mendekati Olivia. Dia tahu wanita itu membawa luka dari masa lalunya, dan dia tidak ingin menakut-nakutinya. Namun, semakin sering mereka berbicara dan saling mengenal, Daniel tidak bisa mengabaikan perasaannya. Ada sesuatu pada Olivia yang membuatnya ingin melindungi dan membuatnya bahagia.Maka, dia memutuskan untuk menunjukkan perasaannya dengan cara yang lembut, perhatian, dan romantis.Pagi itu, Olivia datang ke toko bunga Daniel untuk membeli beberapa tanaman kecil untuk rumahnya. Ketika dia melangkah masuk, aroma bunga segar dan lilin wangi menyambutnya. Di meja tengah, ada setangkai mawar putih dengan sebuah kartu kecil yang bertuliskan:“Untuk seseorang yang pantas mendapatkan kebahagiaan, kapan pun dia siap menerimanya.”Olivia mengangkat wajahnya, menemukan Daniel berdiri di sudut ruangan dengan senyuman hangat di wajahnya. “Itu untukmu,” katanya sederhana.Wajah Olivia memerah. “Kau tidak perlu
Waktu berlalu, membawa Nicholas dan Flora pada jalur kehidupan baru masing-masing. Meski pernah terluka, mereka memilih untuk tidak terjebak dalam masa lalu. Keduanya kini fokus pada diri sendiri, memperbaiki apa yang sempat hancur, dan menemukan makna baru dalam hidup mereka. Setelah menyerahkan kendali dunia mafia kepada tangan terpercaya, Nicholas mencurahkan seluruh energinya pada bisnis legal. Di bawah kepemimpinannya, perusahaannya terus berkembang pesat. Nicholas tak hanya dikenal sebagai CEO yang cerdas, tetapi juga seorang inovator yang menginspirasi. Proyek terbarunya, pembangunan pusat teknologi ramah lingkungan, mendapatkan pujian luas dari berbagai kalangan. Ia kerap tampil di media sebagai simbol transformasi: seorang pria yang mampu meninggalkan masa kelamnya dan menjadi pilar kesuksesan yang baru. Namun, di balik layar, Nicholas tetap melanjutkan pencariannya atas kebenaran di balik kematian kedua orang tuanya. Meskipun du
Dante menatap Nicholas dengan ekspresi serius, wiski di tangannya sedikit bergoyang ketika ia menggeser kursinya lebih dekat. “Nicholas, kau tahu aku jarang memberikan nasihat soal cinta. Tapi kali ini, dengarkan aku. Kau harus pergi dan menemui Olivia. Kau tidak bisa terus hidup dengan perasaan seperti ini.”Nicholas, yang duduk di sofa kulit di seberang Dante, menghela napas panjang. Matanya terlihat lelah, seperti seseorang yang terus bertarung dengan dirinya sendiri.“Dante, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengejarnya lagi,” kata Nicholas, suaranya tenang tapi penuh tekanan. “Olivia pantas mendapatkan kebahagiaan. Aku sudah cukup membuat hidupnya kacau. Aku tidak mau menjadi orang yang terus menyeretnya kembali ke dalam masalahku.”Dante meneguk wiski dalam satu tegukan, lalu menatap Nicholas dengan pandangan penuh desakan. “Kau pikir membiarkannya pergi adalah bentuk cinta? Itu pengecut, Nick. Jika kau mencintainya, kau harus menunj
Olivia merasa tubuhnya lelah lebih dari biasanya. Pagi itu, kepalanya berat, dan mual yang sering ia rasakan beberapa hari terakhir mulai mengganggunya. Awalnya, ia menganggap ini hanya akibat stres atau kelelahan dari pekerjaan barunya di kota yang asing. Namun, instingnya mengatakan ada sesuatu yang lebih serius.Memutuskan untuk tidak mengabaikan kondisinya, Olivia mengunjungi seorang dokter di dekat tempat tinggalnya. Hanya pemeriksaan rutin, pikirnya, meskipun perasaan cemas mulai menguasai dirinya.Dokter tersenyum ramah setelah melakukan beberapa tes. “Selamat, Bu Olivia. Anda sedang hamil, usia kandungan Anda baru memasuki tiga minggu.”Kata-kata itu menghantam Olivia seperti badai. Wajahnya pucat seketika, tangannya gemetar di pangkuannya. “Hamil?” gumamnya, hampir tidak percaya.Dokter mengangguk, masih tersenyum. “Ya, kondisi Anda cukup baik, meskipun Anda terlihat kelelahan. Pastikan Anda menjaga pola makan dan istirahat yang cukup. Ji
Senja di kota kecil itu selalu memikat hati. Langit berubah oranye keemasan, memantulkan cahayanya di permukaan danau yang tenang. Di tempat paling indah itu, Olivia dan Dante duduk bersebelahan di sebuah bangku kayu yang menghadap langsung ke pemandangan alam. Udara sore terasa sejuk, membawa aroma rerumputan yang menyegarkan. Dante membawa dua gelas kopi hangat dari kafe terdekat, menyerahkan satu kepada Olivia. “Ini tempat yang sempurna,” kata Dante sambil menyesap kopinya. “Terutama kalau punya teman yang baik untuk diajak berbagi waktu.” Olivia tersenyum kecil, meski matanya masih memandang jauh ke arah danau. “Kau selalu tahu bagaimana membuat orang lain merasa lebih baik, Dante." Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana—cuaca, buku, dan bagaimana Olivia mulai merasa lebih baik setelah mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Dante dengan hati-hati menghindari topik yang terlalu pribadi, memberinya ruang untuk berbicara jika ia mau. “Aku senang melihatmu kembali terseny
Dante duduk di sudut kafe, mengamati Olivia dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita itu hari ini. Wajahnya tampak pucat, senyumnya tidak setulus biasanya, dan gerakannya terlihat gelisah.Setiap kali seorang pelanggan masuk, Olivia menoleh dengan cemas, seolah-olah takut seseorang akan muncul. Itu bukan sifat Olivia yang biasanya penuh percaya diri.Dante memutuskan untuk mendekat.“Olivia,” katanya lembut, berdiri di depan meja kasir tempat Olivia berdiri. “Kau baik-baik saja?”Olivia menoleh dengan kaget, tetapi langsung memasang senyum palsu. “Tentu saja, Dante. Aku baik-baik saja.”Namun, Dante tidak mudah dibodohi. Ia mengenal Olivia cukup baik untuk tahu bahwa ada sesuatu yang salah.“Olivia,” Dante melanjutkan, menatapnya dengan serius. “Aku bisa melihat kau tidak tenang. Apa yang terjadi? Jika ada masalah, kau tahu kau bisa memberitahuku.”Olivia terdiam sejenak, mencoba meredam kegelisahannya. Namun, tatapan tulus Dante membuat pertahanannya perlahan runtuh.“Aku
Malam itu, Olivia duduk di ruang makan besar rumahnya, ditemani nyala lilin yang menerangi meja dengan cahaya hangat. Suasana di ruangan terasa begitu damai, namun ada sesuatu di matanya yang tampak tidak tenang. Di depannya, Dante sedang menuangkan anggur merah ke dalam gelas mereka berdua, senyumnya hangat seperti biasanya.“Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita makan malam bersama,” kata Dante sambil menatap Olivia lembut.Olivia mengangguk, tersenyum kecil. “Ya, aku sibuk dengan Leon, dan kau dengan proyek besar itu.”Dante tertawa kecil. “Tapi malam ini tidak ada pekerjaan, tidak ada gangguan. Hanya kita berdua.”---Makan malam dimulai dengan hidangan pasta dan salad segar. Dante, seperti biasa, mulai bercerita tentang kegiatannya. Namun kali ini, dia lebih banyak membicarakan Leon—tentang betapa lucunya bocah itu saat mencoba berbicara dan berjalan.“Kau tahu,” kata Dante sambil menyuapkan makanan ke mulutnya, “Leon sepertinya punya bakat untuk jadi pemimpin. Dia punya tata
Nicholas duduk di sebuah kafe kecil di tengah kota pegunungan, menikmati secangkir kopi hitam sambil menatap jendela. Bisnis membawanya ke kota ini, tempat yang tidak pernah ia duga akan memutarbalikkan hidupnya. Dia mencoba menikmati momen tenang setelah serangkaian rapat panjang, tapi pikirannya terus melayang pada masa lalu—terutama pada Olivia.Di sudut lain kafe, seorang anak kecil berlari-lari membawa balon warna-warni, diikuti oleh suara lembut seorang wanita yang memanggilnya. “Leon, hati-hati! Jangan terlalu jauh!”Nicholas mengangkat pandangannya, menatap sekilas ke arah suara itu. Namun yang menarik perhatiannya bukan wanita itu, melainkan anak laki-laki kecil dengan rambut hitam dan mata cokelat pekat—mata yang sangat mirip dengannya.---Leon berlari ke arah meja Nicholas, balonnya tersangkut di kursi. Nicholas tersenyum kecil, membantu melepaskan balon itu."Balonmu hampir hilang, Nak," katanya sambil menyerahkannya kembali.Leon menatap Nicholas dengan mata besar dan po
Di sebuah rumah tersembunyi di pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota, Olivia terbaring di ranjang kayu besar dengan wajah yang pucat namun penuh tekad. Hari itu tiba lebih cepat dari yang dia bayangkan. Kontraksi yang semakin kuat membuat tubuhnya lelah, tetapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: anak yang sedang dia bawa ke dunia ini.Dante berdiri di luar kamar, gelisah dan cemas. Para tenaga medis yang dia datangkan dari kota terus keluar-masuk ruangan, memberikan laporan bahwa proses persalinan ini memerlukan waktu. Olivia tetap tenang, meski rasa sakit tak pernah berhenti.---Olivia menggenggam erat tepi tempat tidurnya, memejamkan mata untuk menahan nyeri yang datang dalam gelombang. Seorang dokter duduk di sisinya, membimbingnya dengan suara lembut. "Olivia, kau kuat. Tarik napas dalam, lalu dorong. Kau hampir sampai."Air mata membasahi pipinya, tetapi bukan hanya karena rasa sakit. Ada kebahagiaan yang perlahan tumbuh di hatinya. Setiap dorongan membawa dia lebih de
Jeritan kecil keluar dari bibir Olivia saat Angel menarik rambutnya dengan kasar, memaksanya duduk di kursi kayu yang dingin. Ruangan itu gelap dan curam hanya diterangi oleh lampu redup di langit-langit. Di sudut ruangan Max berdiri sampai tersenyum sinis melihat Angel yang tampak menikmati setiap momen."Setelah sekian lama, akhirnya kau ada di tanganku, Olivia. "ujar Angel dengan nada penuh kebencian. "Kau tahu berapa banyak yang telah kau rampas dariku? Aku akan memastikan kau menyesal."Olivia menatap Angel dengan penuh ketakutan, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahan. "jika ini yang kau mau, lakukan saja titik tapi aku tidak pernah merebut apapun darimu." katanya dengan suara gemetar tetapi tetap tegas.Angel mendekat , melambaikan tangan untuk menampar Olivia. Tetapi tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari luar. Suara berat dari sepatu boot yang memenuhi lorong membuat semua orang terdiam.Max segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap. "siapapun itu,
Malam itu gelap dan sunyi, hanya suara angin dan desiran dedaunan yang terdengar di tengah hutan lebat. Rumah persembunyian Olivia yang biasanya aman. Kini menjadi target serangan berbahaya. Max dan Angel memimpin kelompok kecil bersenjata yang bergerak perlahan melalui bayangan pohon, memanfaatkan setiap celah dalam penjagaan ketat."Pastikan kalian tidak membuat suara, "bisik Max pada anak buahnya dia tahu bahwa satu langkah salah akan membawa kehancuran. Angel, di sisinya menatap rumah yang sama terlihat di kejauhan dengan mata penuh kebencian.Olivia sedang membaca buku di ruang tamu sambil meminum teh hangat. Perutnya yang semakin membesar membuatnya cepat lelah, tetapi ia berusaha tetap tenang. Dante telah memastikan semuanya aman, namun rasa cemas tetap menghantui hatinya.Tiba-tiba, seorang penjaga masuk ke ruangan dengan wajah tegang "Nona Olivia, kami mendeteksi gerakan mencurigakan di perimeter luar. Harap anda tetap di dalam."Jantung Olivia berdegup kencang. Dia tahu apa
Pagi itu, ruang rapat di salah satu gedung pencakar langit kota dipenuhi aura tegang. Nicholas Ganesha, CEO sekaligus mantan pemimpin dunia hitam, duduk di ujung meja panjang dengan sikap tenang namun berwibawa. Setelan jas hitamnya yang sempurna mempertegas wibawa yang memancar darinya. Tidak ada tanda-tanda pria yang mabuk dan meratapi masa lalu di bar beberapa malam lalu. Dante, yang juga hadir dalam rapat tersebut, memperhatikan perubahan total pada Nicholas. Di hadapannya kini berdiri sosok pria yang dingin dan tak tersentuh, jauh dari pria emosional yang ia temui di bar. "Jadi, Nicholas," kata salah satu peserta rapat, mencoba memulai diskusi, "bagaimana pendapat Anda tentang akuisisi ini?" Nicholas menganggukkan kepala dengan tenang, mengambil beberapa dokumen di hadapannya. Dengan nada datar namun tegas, ia berkata, "Angka-angka ini tidak sesuai dengan target kami. Jika kalian tidak bisa menyesuaikan margin keuntungan menjadi minimal 30 persen, maka kerja sama ini tidak a
Di sudut bar yang remang, seorang pria dengan hoodie gelap duduk diam, tampak menyatu dengan kegelapan. Matanya tajam mengamati Nicholas dan Dante yang tengah berbincang. Gelak tawa mereka bercampur dengan denting gelas dan suara musik yang menggema di ruangan. Pria itu tidak pernah melepaskan pandangannya, memperhatikan setiap gerakan, ekspresi, dan bahkan bisikan mereka.Tidak jauh darinya, seorang wanita dengan gaun merah dan riasan mencolok berpura-pura menikmati malam. Dia sesekali melirik ke arah pria itu, memberi tanda bahwa semuanya terkendali. Mereka bekerja sebagai satu tim, mengintai dalam senyap.Setelah beberapa jam, pria itu bangkit perlahan, menyembunyikan wajahnya di balik bayangan hoodie. Dia berjalan menuju pintu belakang bar, bertemu dengan wanita itu di lorong sempit. Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan tempat itu, menyelinap ke dalam kegelapan malam.Pria itu tiba di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Angel membuka pintu dengan ekspresi penuh rasa ingi
Lampu neon berwarna ungu dan biru menerangi suasana bar yang penuh dengan tawa, musik, dan kemewahan. Nicholas dan Dante duduk di area VIP, di sofa kulit hitam yang menghadap langsung ke lantai dansa. Di atas meja kaca, botol anggur merah premium telah terbuka, ditemani beberapa gelas kristal.Wanita-wanita cantik dengan gaun mini yang berkilauan berkumpul di sekitar mereka. Tawa menggema di udara, dan musik yang memekakkan telinga tampak seperti soundtrack sempurna untuk malam yang penuh kebebasan.Nicholas duduk dengan santai, segelas anggur merah di tangannya. Ia tampak menikmati suasana, meskipun matanya sering kali terlihat kosong ketika tidak ada yang memperhatikan. Wanita di sampingnya mencoba menggoda, membisikkan sesuatu di telinganya, tetapi Nicholas hanya tersenyum tipis, memberikan jawaban singkat tanpa benar-benar peduli.Dante memperhatikan itu dari sisi lain sofa. "Kau tampak seperti tidak benar-benar di sini," kata Dante sambil menyesap ang
Hari-hari berlalu dengan monoton di vila yang sepi dan jauh dari keramaian. Olivia mulai merasa nyaman dengan rutinitas barunya, meskipun rasa terasing dan terkurung masih menghantuinya. Setiap bulan, mobil pengiriman datang membawa kebutuhan Olivia, mulai dari makanan hingga perlengkapan bayi yang akan segera ia hadapi.Selain itu, seorang tenaga medis juga ditugaskan untuk memantau kesehatan Olivia dan bayi yang dikandungnya. Setiap dua minggu sekali, dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Olivia, memastikan semuanya berjalan lancar. Meskipun hal ini memberikan rasa aman, namun dalam hati Olivia, ada perasaan terjebak yang semakin membesar.Dante, yang selalu datang dengan senyum dan kata-kata menenangkan, berusaha menjaga segala sesuatunya tetap berjalan lancar. Setiap kali ada pengiriman atau kunjungan medis, ia memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, memastikan bahwa Olivia merasa nyaman dan aman. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya setiap kali mobil