Jason menatap Janice dengan tatapan dalam, seperti binatang buas yang siap untuk menerkam. Janice menahan napas, kulit putihnya tampak merah karena baru saja mandi air panas. Matanya yang basah tampak begitu memikat.Jason perlahan-lahan mendekat. Dia tidak lagi terlihat angkuh, malah menjadi agak berwaspada. Janice hanya menatapnya. Pikirannya kosong, membuatnya lupa untuk melawan.Namun, saat Jason hampir mendekat, Janice merasa agak tidak nyaman di hidungnya. Seketika, akal sehatnya kembali. Dia langsung mendorong, lalu berbalik dan bersin. "Achoo!"Setelah bersin, Janice mengambil tisu dari nakas untuk mengelap. Setelah membuang tisu itu, dia merasa tubuhnya agak hangat. Saat melihat ke bawah, ternyata selimut telah menutupi tubuhnya.Jason berbaring terlentang dengan mata terpejam. Suara seraknya terdengar dalam. "Tidurlah."Janice mengusap hidungnya, lalu meringkuk di sudut ranjang dengan hati-hati. Dia memutuskan untuk tidur. Setelah hari yang melelahkan ini, dia benar-benar keh
"Janice, pasar malam ada di dekat hotel. Aku sarankan kamu coba makanan lokal yang enak," lanjut Vania.Mendengar itu, Janice benar-benar kehilangan selera makan. Jadi, semalam Jason keluar tengah malam hanya untuk mencari jajanan untuk Vania? Tidur di kamarnya juga agar Vania tidak tertular flu?Janice merasa itu sangat konyol, tetapi semua ini memang hal yang akan Jason lakukan untuk Vania di kehidupan sebelumnya.Janice meletakkan setengah potong roti bakar, lalu meminum setengah gelas susu. "Bu, aku sudah kenyang. Aku akan kembali ke kamar untuk bersiap-siap.""Mm. Aku juga akan balik, sebentar lagi penata rias akan datang." Amanda juga tidak ingin mendengar omongan Vania yang tidak berguna.Keduanya berdiri dan pergi, sementara Vania memegang cangkir kopi dan tersenyum tipis.Saat Janice menuju pintu restoran, kebetulan Jason masuk dengan diikuti oleh dua pria paruh baya. Mereka saling bertemu pandang. Janice langsung membalikkan badan dan pergi tanpa menatapnya.Di belakangnya, t
Sepanjang perjalanan, Janice bisa merasakan dengan jelas bahwa dua pasang mata yang biasanya mengawasinya kini telah menghilang. Dia merasa jauh lebih rileks.Pameran perhiasan diadakan di sebuah museum budaya di pinggiran kota. Museum ini memiliki sejarah lebih dari 100 tahun. Bangunannya terawat dengan sangat baik.Untuk tidak merusak kesan kuno dari bangunan itu, kali ini tidak ada karpet merah yang digelar. Bahkan, konferensi pers diadakan di ruang terbuka.Semua orang menggigil kedinginan, tetapi tetap harus mempertahankan senyuman elegan di wajah mereka.Amanda bercanda mengatakan bahwa ini adalah bentuk pengorbanan untuk seni, tetapi siapa yang tahu berapa banyak kantong pemanas yang tersembunyi di bawah pakaian orang-orang.Setelah konferensi pers selesai, semua orang masuk ke ruang pameran yang hangat. Tema kali ini adalah budaya dan alam.Dari pintu masuk, berbagai macam karya pameran dengan ide-ide kreatif mulai terlihat. Selain perhiasan mewah yang dipajang dalam etalase, a
Untungnya, Janice segera melihatnya dari cermin di depannya dan menyadari gerakan Vania. Dia segera menghindar dengan menggeser tubuhnya.Namun, Vania memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih tali bahu gaunnya dan menariknya dengan kuat. Seketika, mutiara yang terhubung itu jatuh berhamburan di lantai. Gaun yang tadi bergantung pada tali bahu itu kini melorot turun.Janice hanya bisa menutup dadanya dengan tangan dan segera mundur beberapa langkah. Vania mengangkat dagunya dengan bangga, lalu tertawa dingin dan membuang pisau alisnya ke tempat sampah. Kemudian, ekspresinya berubah menjadi terkejut."Ah, Janice, kenapa kamu bisa begitu ceroboh? Kalau begini, gimana kamu bisa bertemu orang? Lebih baik kamu istirahat saja, jangan sampai mempermalukan Bu Amanda. Aku akan menggantikanmu berdiri di samping Pak Jacky."Setelah itu, Vania mengangkat alis dan tersenyum meninggalkan toilet. Janice menarik gaunnya dengan erat dan akhirnya menyadari bahwa Vania tidak berniat melukainya, hanya ingi
Di sisi lain, Amanda menemani Jacky yang berdiri di depan menunggu tamu VIP. Dia mengecek ponselnya tiga kali, tetapi tidak ada kabar apa pun dari Janice.Jacky bertanya, "Bu Amanda, di mana Janice? Bukankah kita sudah janji akan ikut menyambut tamu?"Amanda tersenyum canggung. "Dia ...."Tiba-tiba, Vania menghampiri dan berdiri di samping Jacky dengan santai. "Janice bilang dia nggak enak badan, mungkin nggak bisa ikut."Jacky mengernyit. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, yang berarti menyetujui Vania berdiri di sampingnya. Hanya saja, dia merasa agak kesal karena dikecewakan oleh desainer baru.Melihat hal ini, Vania tersenyum puas. Saat dia merasa bangga, suara Janice terdengar di belakang. "Siapa bilang aku nggak bisa ikut?"Mendengar suara itu, semua orang memberi jalan. Janice yang mengenakan gaun merah dengan belahan tinggi membuat semua orang terpana. Kain yang berkilau itu membuat kulitnya tampak seputih salju.Dengan tambahan kain jala besar yang berbahan keras yang dihias
Menurut yang dikatakan Arya, pada usia seperti Janice, kebanyakan orang sangat berenergi. Namun, Janice hanya punya setengah dari energi yang seharusnya dimiliki. Bahkan, Arya menyuruhnya untuk menghemat energinya. Mungkin ini adalah harga yang harus dibayar dari kelahiran kembali.Janice tersadar dari lamunannya. Dia berpura-pura tenang dan berusaha melanjutkan. Namun, pria di sampingnya mengangkat tangan dan menunjuk ke depan. "Kita ke depan."Jacky segera berkata, "Pak Jason punya pandangan yang tajam. Di depan sana ada batu permata asli yang sangat langka, silakan."Jason mengangguk, lalu berjalan melewati Janice. Tiba-tiba, Janice merasakan kehangatan di telapak tangannya. Dia pun terkejut dan terdiam di tempat.Setelah orang lain berjalan pergi, Janice membuka telapak tangannya. Ada sebuah kantong pemanas seukuran telapak tangan dan berwarna pink. Bagaimana bisa Jason memiliki benda seperti ini?"Janice," panggil Jacky dari depan."Aku datang," jawab Janice yang meremas kantong p
Janice menggenggam erat tangan Berto saat dia mulai tenggelam. Wajah kecil Berto sudah pucat karena ketakutan."Jangan takut, aku akan tarik kamu naik." Janice terus menenangkan sambil menopang dagunya.Namun, berat badan Berto tidak ringan, apalagi pakaian yang basah semakin menambah beban. Meskipun Janice seorang wanita dewasa, dia masih kesulitan. Untungnya, pakaiannya tidak terlalu membatasi gerakannya. Walaupun dingin, dia tetap menggertakkan giginya dan terus bertahan.Pada akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil membawa Berto ke tepi. Wanita itu pun menangis dan menjulurkan tangan untuk menariknya."Bu, cepat kemari! Aku tarik kamu naik!" seru wanita itu."Tarik anakmu dulu," sahut Janice yang merasa tubuhnya sudah hampir kehabisan tenaga. Dia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.Wanita itu terus mengucapkan terima kasih sambil menarik anaknya. Namun, saat dia mengulurkan tangan untuk meraih Janice, tiba-tiba sebuah cabang pohon besar datang dari hulu sungai dan membent
Namun, ketika melihat matanya, Jason merasa sangat sulit untuk mengendalikan dirinya. Bahkan, helaian rambut yang jatuh di ujung hidungnya seolah-olah menggelitik hati Jason.Tanpa memberi kesempatan kepada Janice untuk bereaksi, pria di depannya menyentuh bibirnya dengan lembut. Saat berikutnya, tangannya yang ada di leher belakang Janice memegang kepalanya dan mencium dengan penuh hasrat.Namun, ciuman itu tidak berlangsung lama. Kepalan tangannya yang erat diletakkan di samping telinga Janice. Janice bisa mendengar suara napas Jason yang tertahan.Jason menatapnya dan berkata, "Janice, kamu benar-benar hebat."Janice tidak mengerti.Jason tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Dia menarik Janice dan membaringkannya di dalam selimut. "Kamu tidur saja lagi."Janice bergerak sedikit, mencoba mendorong tubuh Jason, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, dia menyerah dan menutup matanya.Di luar bangsal, Vania memegang erat gagang pintu, melihat dua orang yang tidur berpelukan
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Segera, Jason melangkah perlahan ke arah Malia. "Setelah ini, kirimkan rekaman itu padaku.""Baik." Malia menjawab dengan mata merah, wajahnya tampak penuh kepedihan. "Pak Jason, aku benaran nggak nyangka Janice bisa sekejam ini. Semua ini salahku.""Aku nggak tahan lagi dengan cara dia diam-diam bersekongkol dengan orang lain untuk menindasku. Makanya, hari ini aku datang untuk memohon agar dia melepaskanku. Aku nggak nyangka dia malah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencelakai Vania.""Siapa?" Mata Jason yang tajam menatap Malia."Maksudmu?" Malia terkejut."Dia bekerja sama dengan siapa? Sebutkan namanya.""Eee ...." Bahu Malia mulai bergetar.Tepat pada saat itu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi panik. "Maaf, Pak Jason. Kami nggak bisa menyelamatkan bayinya. Sekarang pasien juga mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan transfusi darah."Sebelum dokter selesai bicara, perawat sudah berlari masuk dengan kantong darah di tangan.Anwar yang mendeng
"Apa buktinya?" tanya Risma dengan tidak sabar.Malia langsung membuka rekaman suara di ponselnya. Layar menunjukkan tanggal rekaman itu diambil pada malam Natal tahun lalu. Saat itu, hubungan Janice dan Malia sangat baik. Tidak ada rahasia di antara mereka.Janice sontak teringat pada sesuatu. Wajahnya menjadi pucat pasi, bahkan tangan yang terkepal erat gemetaran. Di kehidupan sebelumnya, Malia bisa terus berada di sisi Vania tentu karena punya kemampuan. Wanita ini diam-diam mengumpulkan aib orang lain.Rekaman mulai diputar."Janice, kenapa melamun melihat kembang api? Kamu diam-diam membuat permohonan ya?""Nggak." Suara Janice terdengar sengau, ada rasa malu seolah-olah rahasianya terungkap."Jangan bohong, wajahmu sampai merah. Kamu memikirkan Jason lagi?""Sstt! Jangan sampai ada yang dengar! Dia sudah bersama orang lain.""Tenang saja, cuma kita yang tahu. Ayo, katakan. Barusan kamu pikirin apa?"Malia terus bertanya dengan penasaran. Setelah ragu sejenak, Janice akhirnya ters
Setelah bersumpah, Malia segera bersujud. Suara yang timbul akibat kepalanya yang menyentuh lantai menggema di sepanjang koridor. Siapa pun yang melihatnya akan merasa bahwa dia tidak berbohong.Ivy yang biasanya tidak pernah marah, sampai terengah-engah sambil memegang dadanya. Dia memelototi Malia dengan murka. "Kamu bohong! Kapan aku pernah mengancammu?"Ketika mendengar suara itu, Malia seketika merangkak mundur dengan ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Anwar. "Bu, tadi kamu bahkan memukulku dengan tasmu. Kamu masih berani bilang nggak ada yang terjadi? Semua orang di studio melihatnya!""Kamu ...." Ivy terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.Saat ini, tangisan Risma semakin menjadi-jadi. Dia menghampiri Anwar sambil menunjuk darah di bajunya. "Pak, kamu harus memberi Vania keadilan. Setelah tahu dia mengandung anak Jason, dia sangat bahagia. Setiap hari dia mengajak anaknya mengobrol. Tapi sekarang, karena Janice, nyawanya dan anak itu terancam! Padahal, itu anak pertamanya!"
Di tengah keributan, Janice melihat Vania tiba-tiba mendekatinya. Dia langsung merasa ada yang tidak beres dan segera melepaskan tangan Malia.Namun, Janice tetap terlambat selangkah. Malia yang terlihat seperti sedang memohon ampun dan kehilangan akal sehat, diam-diam mendorong Janice ke arah Vania.Terdengar jeritan tajam, lalu Vania jatuh terguling dari tiga anak tangga. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan berkata dengan wajah penuh penderitaan, "Perutku ... sakit sekali ...."Seorang rekan kerja langsung memarahi, "Janice! Vania bermaksud baik karena khawatir padamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini?"Rekan lainnya yang membantu menopang Vania, melihat ke arah rok Vania dan berseru ketakutan, "Darah! Banyak sekali darah!"Vania mengerang kesakitan. "Anakku ...."Mendengar itu, reaksi pertama Janice adalah segera menolongnya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk membantu Vania, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dan menabraknya ke sisi tangga. Lengan Janic