Menurut yang dikatakan Arya, pada usia seperti Janice, kebanyakan orang sangat berenergi. Namun, Janice hanya punya setengah dari energi yang seharusnya dimiliki. Bahkan, Arya menyuruhnya untuk menghemat energinya. Mungkin ini adalah harga yang harus dibayar dari kelahiran kembali.Janice tersadar dari lamunannya. Dia berpura-pura tenang dan berusaha melanjutkan. Namun, pria di sampingnya mengangkat tangan dan menunjuk ke depan. "Kita ke depan."Jacky segera berkata, "Pak Jason punya pandangan yang tajam. Di depan sana ada batu permata asli yang sangat langka, silakan."Jason mengangguk, lalu berjalan melewati Janice. Tiba-tiba, Janice merasakan kehangatan di telapak tangannya. Dia pun terkejut dan terdiam di tempat.Setelah orang lain berjalan pergi, Janice membuka telapak tangannya. Ada sebuah kantong pemanas seukuran telapak tangan dan berwarna pink. Bagaimana bisa Jason memiliki benda seperti ini?"Janice," panggil Jacky dari depan."Aku datang," jawab Janice yang meremas kantong p
Janice menggenggam erat tangan Berto saat dia mulai tenggelam. Wajah kecil Berto sudah pucat karena ketakutan."Jangan takut, aku akan tarik kamu naik." Janice terus menenangkan sambil menopang dagunya.Namun, berat badan Berto tidak ringan, apalagi pakaian yang basah semakin menambah beban. Meskipun Janice seorang wanita dewasa, dia masih kesulitan. Untungnya, pakaiannya tidak terlalu membatasi gerakannya. Walaupun dingin, dia tetap menggertakkan giginya dan terus bertahan.Pada akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil membawa Berto ke tepi. Wanita itu pun menangis dan menjulurkan tangan untuk menariknya."Bu, cepat kemari! Aku tarik kamu naik!" seru wanita itu."Tarik anakmu dulu," sahut Janice yang merasa tubuhnya sudah hampir kehabisan tenaga. Dia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.Wanita itu terus mengucapkan terima kasih sambil menarik anaknya. Namun, saat dia mengulurkan tangan untuk meraih Janice, tiba-tiba sebuah cabang pohon besar datang dari hulu sungai dan membent
Namun, ketika melihat matanya, Jason merasa sangat sulit untuk mengendalikan dirinya. Bahkan, helaian rambut yang jatuh di ujung hidungnya seolah-olah menggelitik hati Jason.Tanpa memberi kesempatan kepada Janice untuk bereaksi, pria di depannya menyentuh bibirnya dengan lembut. Saat berikutnya, tangannya yang ada di leher belakang Janice memegang kepalanya dan mencium dengan penuh hasrat.Namun, ciuman itu tidak berlangsung lama. Kepalan tangannya yang erat diletakkan di samping telinga Janice. Janice bisa mendengar suara napas Jason yang tertahan.Jason menatapnya dan berkata, "Janice, kamu benar-benar hebat."Janice tidak mengerti.Jason tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Dia menarik Janice dan membaringkannya di dalam selimut. "Kamu tidur saja lagi."Janice bergerak sedikit, mencoba mendorong tubuh Jason, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, dia menyerah dan menutup matanya.Di luar bangsal, Vania memegang erat gagang pintu, melihat dua orang yang tidur berpelukan
Di bangsal.Saat Janice terbangun lagi, Jason sudah pergi. Setelah tubuhnya pulih sedikit, dia bangkit dan minum sedikit air. Kebetulan, dia melihat bayangan seseorang bergerak di depan pintu."Siapa?" teriaknya.Pintu terbuka sedikit. Terlihat kepala Berto muncul dari balik pintu."Bibi.""Jangan buat onar." Wanita itu mendorong tubuh Berto yang menghalangi, lalu membuka pintu dan masuk. "Bu, terima kasih banyak kali ini. Aku buatkan kamu makanan. Semoga kamu suka.""Terima kasih, kebetulan aku memang lapar." Janice merasa malu untuk menolak, jadi dia tersenyum dan menerima.Wanita itu membuka termos, lalu menuangkan semangkuk bubur millet dan menyodorkan dua potong roti. Kemudian, dia memasukkan kembali sisanya ke dalam termos.Janice bertanya dengan heran, "Kak, makananmu ini ...?""Ayah Berto masih di ICU. Kami harus hidup sehemat mungkin," jawab wanita itu dengan mata merah.Janice berpikir sejenak, lalu bertanya, "Apa kejadian Berto yang dibuang ke sungai ada kaitannya dengan sua
Janice bisa merasakan tubuhnya melemas. Sebelum matanya terpejam, dia hanya melihat penutup kepala berwarna hitam.Pria itu menatap Janice yang terbaring di lantai. Setelah menyimpan jarum suntiknya, dia terkekeh-kekeh. "Yang ingin membunuhmu bukan cuma aku. Kita ketemu lagi, Janice."....Jason kembali ke rumah sakit dengan membawa makanan. Ketika melihat bangsal yang kosong, dia langsung meninju pengawal hingga terjatuh."Begini cara kerjamu?""Maaf, Pak. Aku cuma ke toilet sebentar," jelas pengawal itu dengan takut."Siapa saja yang sempat kemari?""Ibu dan anak yang ditolong Bu Janice. Tadi aku tanya suster, katanya dia melihat Bu Janice turun mencari mereka ...."Sebelum pengawal itu menyelesaikan ucapannya, Jason sudah berlari pergi.Di bawah sana, ibu dan anak itu sedang bergandengan tangan dengan ekspresi lelah. Saat melihat Jason yang menghampiri dengan galak, mereka pun ketakutan."Di mana Janice?" tanya Jason langsung."Dia ... bukannya dia istirahat di kamarnya?" tanya wani
Mungkin karena ucapan Janice terdengar terlalu lugu, Kengo langsung mengangkat kakinya dan menginjak tubuh Janice dengan sepatu kulitnya yang berdebu."Janice, kamu putri angkat Zachary. Wajar kalau kamu datang ke pertambangan untuk lihat-lihat. Kalau terjebak longsor, berarti kamu sial. Menurutmu, kami harus memberi siapa penjelasan?""Zachary? Memangnya siapa dia? Kalaupun kami membunuhnya, ayahnya nggak bakal berani berkomentar. Mengenai urusan tambang, kamu rasa para orang miskin itu bisa apa?""Kami awalnya ingin menyelesaikan secara baik-baik, tapi mereka malah menolak tanda tangan surat pertanggungjawaban dan melawan Keluarga Karim. Selanjutnya yang akan mati adalah kamu. Ini cuma tentang 200 juta, aku saja malas mengurusnya."Saat ini, Kenta mengernyit dan menyela, "Ngapain kamu bicara panjang lebar sama dia? Cepat ambil tindakan!"Begitu mendengarnya, Janice langsung memahaminya. Kenta yang jarang bicara ini adalah yang paling tegas. Saat keduanya bertatapan, Kenta tampak memi
Asalkan terjepit dengan erat, batu itu bisa menghalangi batu-batu yang ada di belakangnya. Namun, Janice juga tidak bisa keluar. Satu-satunya jalan keluar terhalang.Setelah memastikan bahwa mereka aman untuk sementara, Janice tidak diam begitu saja. Dia berbalik, lalu menatap marah pria yang terbaring setengah di tanah dengan marah. "Kenapa kamu malah diam! Kamu menipuku! Kamu ...."Dengan marah, Janice mengangkat tangannya untuk memukul. Namun, tangannya tiba-tiba terhenti di udara.Janice baru menyadari bahwa kaki Jason terluka karena batu yang jatuh. Darah telah menggenang di tanah. Dia menunduk, perasaannya sangat campur aduk.Dengan wajah datar, Jason mengangkat tangannya untuk memegang dagu Janice. Dia mengalihkan pandangannya dan berkata, "Nggak ada patah tulang, cuma luka gores."Janice menepis tangan Jason, lalu memelototinya dengan mata memerah. "Kenapa kamu selalu begini sih? Kamu selalu bersikap baik setelah mengecewakanku! Aku benci sekali padamu!"Jason mengangkat tangan
Jason melepaskan Janice, lalu bersandar pada batu dan terdiam. Entah berapa lama kemudian, dia mengubah posisinya sedikit. Satu kaki ditekuk untuk menyangga tubuhnya. Suaranya sedikit lebih lembut saat bertanya, "Janice, aku harus gimana?"Janice tidak mengerti maksudnya. Dia menoleh sedikit dan hendak berbicara. Namun, sebelum sempat mengeluarkan kata-katanya, kepala Jason jatuh ke bahunya.Dahi Jason menempel pada pipi Janice. Janice langsung merasakan ada yang tidak beres. Tubuh besar yang biasanya kuat itu kini gemetaran karena kedinginan.Janice meraba dalam kegelapan, lalu mendekat untuk memeriksa luka Jason. Kain yang membalut lukanya tampak sepenuhnya basah karena darah.Janice hanya bisa merobek lagi lengan bajunya untuk mengikat luka itu lebih erat. Namun, itu tidak membuat Jason merasa lebih baik, malah wajahnya semakin pucat.Jason mengepalkan tangan. Urat lehernya menonjol, wajahnya seputih kertas, rambutnya basah hingga menempel di dahinya. Keringat dingin mengalir, panda
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan
Arya menekan dadanya, lalu mencebik. "Aku rasa Elaine punya niat jahat terhadap Janice dan ibunya. Lebih baik tetap berhati-hati."Dia seolah-olah mengatakannya, tetapi juga seolah-olah tidak. Dengan begitu, dia tidak melanggar janjinya kepada Janice."Hm." Jason menunduk, menatap rokok di tangannya, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Arya sontak mengerti apa yang ada di pikirannya. Dia mendekat dan tersenyum tipis. "Kamu nggak mau ke rumah sakit melihatnya?""Nggak.""Hah, pantas saja kamu menderita!" Arya mengangkat kotak obatnya dan pergi.Di dalam ruangan, cahaya merah dari rokok perlahan meredup dan Jason pun terdiam.Beberapa saat kemudian, Rachel masuk sambil membawa teh yang baru diseduh. "Dokter Arya sudah pergi?”"Hm." Jason meletakkan rokoknya dan menerima teh dari tangannya.Rachel melirik punggung Jason, hatinya terasa agak sesak. Dia mengepalkan tangannya untuk menenangkan diri. "Jason, kenapa kamu menggantikan Janice menerima sembilan cambukan itu?
Tidak, ini tidak benar.Di kehidupan sebelumnya, Vania dan Elaine bahkan tidak saling mengenal. Janice dan Ivy juga tidak pernah bertemu dengan Elaine. Jadi, bagaimana mungkin kematian mereka berkaitan dengan Elaine?Sekarang, Vania yang wajahnya hancur dan kakinya patah telah kehilangan kewarasannya. Keluarga Tanaka telah mengurungnya di rumah sakit jiwa.Beberapa hari lalu, ada seorang netizen yang menjenguknya dan mengatakan bahwa Vania tersiksa hingga menjadi gila. Mungkin ini adalah hukuman terbaik baginya.Jadi, dengan kepribadian Elaine yang selalu berada di atas, mana mungkin dia mau berurusan dengan seorang pasien gangguan jiwa?Janice mengusap kepalanya yang terasa sakit. Dia masih tidak bisa menghubungkan semua kejadian ini. Tiba-tiba, dia teringat pada sesuatu, kerja sama bernilai puluhan triliun.Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Elaine adalah Jason. Bagaimana jika penyebab kematian Zachary dan Ivy sebenarnya han
Janice menatap wajah Zachary. Tanpa sadar, pikirannya melayang ke pria misterius yang menikahi Elaine di kehidupan sebelumnya.Terlalu mirip. Namun, saat itu Zachary dan Ivy sudah meninggal. Janice sendiri yang mengurus segala keperluan untuk pemakaman. Karena kematian mereka, dia jatuh sakit selama setengah bulan.Janice tidak bisa tidur dengan punggung bersandar, jadi Zachary khawatir dia kedinginan. Dia lantas meminta asistennya untuk membelikan jaket bulu angsa yang ringan dan hangat."Cepat pakai. Kalau ibumu melihatmu seperti ini, dia pasti akan menangis diam-diam lagi." Setiap kalimat Zachary selalu berujung pada Ivy.Janice merasa terharu sekaligus berat untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Dia menggigit bibirnya, lalu bertanya, "Paman, apa yang dikatakan Bu Elaine tadi benar? Kamu rela diabaikan keluarga karena ibuku?"Tangan Zachary yang sedang membantu merapikan lengan bajunya sedikit terhenti. Dia tersenyum santai. "Apa yang kamu pikirkan? Aku memang
Seperti yang dikatakan Arya, Elaine bisa mengalahkan para pria dan naik ke posisi ini bukan tanpa alasan.Jadi, saat Janice membawa bukti untuk menghadapinya, itu sama saja seperti menyerahkan diri ke mulut harimau. Faktanya, dia datang bukan untuk menyerang, tetapi untuk memancing.Semakin buruk keadaannya terlihat, semakin besar kemungkinan Elaine percaya bahwa Janice sudah kehabisan akal.Dari cara Elaine berbicara kepada Zachary, Janice bisa melihat bahwa wanita itu memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak sudi bersaing dengan Ivy, apalagi merendahkan diri untuk berdamai dengan Zachary.Elaine ingin orang lain datang padanya, memohon belas kasihan. Dia menikmati perasaan berdiri di atas, mempermainkan hidup seseorang.Hanya saja, Ivy adalah istri Zachary. Tidak peduli sehebat apa Elaine, memprovokasi Ivy dengan cara seperti ini sama saja dengan menantang seluruh Keluarga Karim.Elaine mungkin tidak berani, kecuali dia memiliki dukungan. Benar saja, jawabannya pun terungkap. Tak d