Mungkin karena ucapan Janice terdengar terlalu lugu, Kengo langsung mengangkat kakinya dan menginjak tubuh Janice dengan sepatu kulitnya yang berdebu."Janice, kamu putri angkat Zachary. Wajar kalau kamu datang ke pertambangan untuk lihat-lihat. Kalau terjebak longsor, berarti kamu sial. Menurutmu, kami harus memberi siapa penjelasan?""Zachary? Memangnya siapa dia? Kalaupun kami membunuhnya, ayahnya nggak bakal berani berkomentar. Mengenai urusan tambang, kamu rasa para orang miskin itu bisa apa?""Kami awalnya ingin menyelesaikan secara baik-baik, tapi mereka malah menolak tanda tangan surat pertanggungjawaban dan melawan Keluarga Karim. Selanjutnya yang akan mati adalah kamu. Ini cuma tentang 200 juta, aku saja malas mengurusnya."Saat ini, Kenta mengernyit dan menyela, "Ngapain kamu bicara panjang lebar sama dia? Cepat ambil tindakan!"Begitu mendengarnya, Janice langsung memahaminya. Kenta yang jarang bicara ini adalah yang paling tegas. Saat keduanya bertatapan, Kenta tampak memi
Asalkan terjepit dengan erat, batu itu bisa menghalangi batu-batu yang ada di belakangnya. Namun, Janice juga tidak bisa keluar. Satu-satunya jalan keluar terhalang.Setelah memastikan bahwa mereka aman untuk sementara, Janice tidak diam begitu saja. Dia berbalik, lalu menatap marah pria yang terbaring setengah di tanah dengan marah. "Kenapa kamu malah diam! Kamu menipuku! Kamu ...."Dengan marah, Janice mengangkat tangannya untuk memukul. Namun, tangannya tiba-tiba terhenti di udara.Janice baru menyadari bahwa kaki Jason terluka karena batu yang jatuh. Darah telah menggenang di tanah. Dia menunduk, perasaannya sangat campur aduk.Dengan wajah datar, Jason mengangkat tangannya untuk memegang dagu Janice. Dia mengalihkan pandangannya dan berkata, "Nggak ada patah tulang, cuma luka gores."Janice menepis tangan Jason, lalu memelototinya dengan mata memerah. "Kenapa kamu selalu begini sih? Kamu selalu bersikap baik setelah mengecewakanku! Aku benci sekali padamu!"Jason mengangkat tangan
Jason melepaskan Janice, lalu bersandar pada batu dan terdiam. Entah berapa lama kemudian, dia mengubah posisinya sedikit. Satu kaki ditekuk untuk menyangga tubuhnya. Suaranya sedikit lebih lembut saat bertanya, "Janice, aku harus gimana?"Janice tidak mengerti maksudnya. Dia menoleh sedikit dan hendak berbicara. Namun, sebelum sempat mengeluarkan kata-katanya, kepala Jason jatuh ke bahunya.Dahi Jason menempel pada pipi Janice. Janice langsung merasakan ada yang tidak beres. Tubuh besar yang biasanya kuat itu kini gemetaran karena kedinginan.Janice meraba dalam kegelapan, lalu mendekat untuk memeriksa luka Jason. Kain yang membalut lukanya tampak sepenuhnya basah karena darah.Janice hanya bisa merobek lagi lengan bajunya untuk mengikat luka itu lebih erat. Namun, itu tidak membuat Jason merasa lebih baik, malah wajahnya semakin pucat.Jason mengepalkan tangan. Urat lehernya menonjol, wajahnya seputih kertas, rambutnya basah hingga menempel di dahinya. Keringat dingin mengalir, panda
"Ini ... aku nggak tahu apa-apa. Yang jelas, mereka punya bukti yang lengkap. Nggak ada yang bisa meloloskan diri," gumam Ivy, lalu memotong buah dan menyuapkannya ke mulut Janice.Janice tahu bahwa orang-orang ini pasti mendapat bantuan untuk mendapatkan bukti itu. Selain Jason, tidak ada lagi orang yang memiliki kemampuan sebesar itu.Janice menggigit apel yang terasa hambar. Dengan canggung, dia bertanya, "Ibu, gimana dengan Paman?""Ah! Mati!" Ivy melihat pisau buah yang hampir melukai dirinya. "Mau mati ya? Kamu sengaja mau bunuh ibumu?""Ma ... mati? Gimana dia bisa mati? Palingan kakinya patah, 'kan?" tanya Janice dengan suara yang bergetar."Aku bilang dia nggak mungkin mati!""Ibu, kamu nggak bisa bicara yang baik?" Janice mengernyit."Ngapain kamu gugup? Di jalan tadi, kamu terus teriak memanggil pamanmu itu! Untung ada aku yang menutup mulutmu!""Ibu! Aku lapar, belikan aku makanan dong," sela Janice dengan lantang.Ivy mendengus, lalu berbalik untuk pergi membeli makanan. J
Saat mendengar Anwar datang, Janice langsung mendorong Jason. Jason yang kakinya terluka pun sedikit tergoyang sebelum akhirnya menstabilkan tubuhnya. Kemudian, dia menatap Janice dengan tatapan suram."Kamu kembali dulu.""Ya."Setelah berpikir sejenak, Janice mengiakan. Bagaimanapun, dia tidak bisa menjelaskan masalah ini dengan baik.Namun, ketika Janice hendak pergi, pintu bangsal tiba-tiba didorong dari luar dengan kuat. Begitu masuk dan melihat Jason terluka, tatapan Anwar langsung dipenuhi amarah. Dia melirik Janice dan sontak melayangkan tamparan."Ini caramu membalas kebaikan Keluarga Karim? Dasar pembawa sial!"Janice belum pulih sehingga tubuhnya masih lemah. Dia lantas menabrak dinding hingga kepalanya pusing dan sudut bibirnya berdarah.Meskipun demikian, Anwar masih tidak puas dan ingin memukul lagi. Saat berikutnya, tangan yang menggantung di udara diraih oleh Jason.Karena gerakan yang terlalu cepat dan memaksa, luka pada kaki Jason pun robek kembali. Perban seketika me
"Nggak, cuma merasa kamu sepertinya punya sesuatu yang ingin dikatakan padaku." Jason merokok dengan tenang tanpa tergesa-gesa.Anwar mengerutkan alisnya lebih dalam dan menatap Jason dengan tajam. Dia sangat ingin memahami apa yang ada di pikiran putranya. Namun, semakin dia mencoba, semakin rasanya seperti terhalang oleh kabut asap yang tebal.Hanya saja, karena pembicaraan sudah sampai pada titik ini, dia merasa tidak perlu lagi bertele-tele."Masalah Kenta dan Kengo ini ditangani dengan buruk. Cari alasan untuk segera membebaskan mereka. Soal Janice, pastikan dia diam dan nggak buat keributan supaya nama baik Keluarga Karim nggak rusak."Jason menepuk-nepuk abu rokok di jarinya yang menyala lemah, lalu tersenyum dingin. "Nama baik Keluarga Karim sebenarnya dirusak oleh Janice atau oleh orang lain?"Anwar mendengus. "Apa maksudmu?"Jason tidak menjawab, dia langsung membuka ponsel dan memutar rekaman percakapan yang disimpan Janice. Semakin lama Anwar mendengarkan, semakin muram waj
Setelah makan dan minum obat sesuai anjuran dokter, Janice berbaring di tempat tidur dan mulai merasa mengantuk. Secara samar-samar, dia mendengar Ivy berkata akan kembali ke hotel. Janice hanya bergumam pelan sebelum terlelap.Namun, entah kenapa, dia merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya dari sisi tempat tidur. Dia menyipitkan mata untuk melihat sekilas, lalu membalikkan badan.Detik berikutnya, dia tiba-tiba membuka mata lebar-lebar dan langsung melompat dari tempat tidur. Kemudian, dia menoleh dengan waspada ke arah pria di sisi tempat tidur."Paman Jason, ini sudah larut malam. Ada apa mencariku?" tanyanya dengan nada sedikit kesal."Sudah makan?" tanya Jason dengan suara rendah."Sudah ...."Janice baru saja hendak menjawab, tetapi Norman yang berdiri di belakang Jason, mengangkat kantong makanan di tangannya sambil memberikan isyarat yang jelas dengan ekspresinya."Bu Janice! Ini camilan khas Kota Gunang. Pak Jason belum makan dan sengaja membawanya untuk makan bers
Janice tidak menjawab. Agar tidak membuat Ivy khawatir, dia bersikeras mengatakan bahwa tamparan itu tidak sakit. Setelah mengompresnya dengan kantong es selama setengah jam, dia langsung tidur.Jason bisa membaca pikirannya dengan mudah. Dia melirik ke arah Norman yang berdiri di pintu. Norman segera keluar dari kamar tanpa banyak bicara.Janice mencoba memanfaatkan kesempatan itu untuk turun dari pangkuan Jason, tetapi dia malah memutar kursi rodanya, menjepitnya di antara meja dan dirinya.Dalam sekejap, dada hangat Jason menempel pada tubuhnya. Napas hangat pria itu menyapu wajahnya, membuat pipinya yang sudah terasa perih semakin panas.Di dekat telinganya, suara Jason yang serak terdengar, "Kenyang?"Janice mengangguk cepat. "Kamu makan saja.""Nggak suka."Kalau tidak suka, kenapa beli sebanyak ini?Janice melirik makanan di atas meja. Semua itu adalah makanan yang sempat dia lewatkan di pasar malam beberapa hari lalu. Dia tertegun sejenak, lalu tanpa sadar menoleh ke arah Jason
Saat Janice buru-buru tiba di rumah sakit, dia langsung melihat sekelompok wartawan mengerumuni dua sosok yang baru saja keluar dari pintu utama.Jason dan Rachel.Rachel memeluk buket mawar di lengannya, pipinya merona karena malu. Seorang wartawan bertanya, "Bu Rachel kenapa dirawat di rumah sakit?"Rachel tampak agak terkejut, lalu refleks menggenggam erat buketnya dan melirik ke arah Jason.Jason melindunginya dengan satu tangan dan menjawab dengan tenang, "Nggak ada masalah besar, cuma pemulihan."Mendengar kata pemulihan, semua orang langsung berpikir tentang pernikahan mereka yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Seketika, mereka memahami maksud pernyataan Jason.Wartawan tersenyum dan bertanya lebih jauh, "Sepertinya Pak Jason menantikan kabar bahagia ya."Jason tidak menjawab, tetapi sikap diamnya dianggap sebagai persetujuan. Saat Rachel menyadari bahwa semua orang mulai menatap perutnya, wajahnya semakin memerah.Begitu masuk ke mobil, Rachel tanpa sadar menyembunyikan wa
Saat Rachel berhasil diselamatkan, langit malam yang kelam mulai memudar sedikit demi sedikit. Jason bersandar di jendela, memainkan rokok yang sudah lemas di antara jarinya.Arya menatapnya dengan serius. "Dia selamat, tapi tetap saja, sebaiknya lebih berhati-hati ke depannya.""Mm." Ekspresi Jason tetap datar, matanya tertunduk, bayangan dari bulu matanya menambah kesan gelap di wajahnya.Beberapa saat kemudian, Landon membuka pintu dan masuk. Dia terlebih dahulu melihat keadaan Rachel, lalu berjalan ke arah Jason."Terima kasih."Jason tidak menjawab.Landon merapikan tirai di sekitar ranjang Rachel, lalu membuka sedikit jendela, kemudian mengambil dua batang rokok dan menyodorkannya ke Jason serta Arya. Jason tidak mengambilnya.Arya menyadari ada sesuatu yang perlu dibicarakan antara keduanya, jadi dia beralasan, "Aku masih ada pekerjaan. Kalian ngobrol saja dulu."Setelah Arya pergi, Landon menyalakan rokoknya di dekat jendela dan membiarkan asapnya perlahan-lahan menyebar ke uda
Janice tidak mengerti maksud kata-kata Jason. Namun, sebelum dia sempat bertanya, Jason buru-buru menjawab telepon. Dari seberang, terdengar suara lembut Rachel."Kapan kamu pulang? Aku tungguin.""Sebentar lagi."Bahkan Jason sendiri tidak sadar, nada bicaranya jadi lebih pelan saat menjawab panggilan tersebut. Tangannya juga refleks melepaskan lengan Janice.Janice menunduk sambil mengusap pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, dia turun dari mobil dan pergi.Saat Jason menutup telepon, dia baru menyadari bahwa Janice sudah menghilang. Dia menoleh ke arah Norman. "Kapan dia pergi?"Norman hanya bisa menghela napas. "Waktu Pak Jason menjawab telepon.""Apa yang dia bilang?""Bu Janice ... nggak bilang apa pun." Suara Norman jadi semakin pelan.Mendengar ucapan itu, Jason bersandar ke belakang dan tubuhnya tersembunyi dalam kegelapan. Dia tetap diam sambil menyalakan sebatang rokok. Auranya menjadi mencekam dan tidak bersuara sama sekali."Ayo jalan. Besok, pesankan satu buk
Pria yang menjadi pemimpin di antaranya, menghajar wajah pria VIP itu hingga batang hidungnya patah."Jangan sentuh orang yang nggak seharusnya kamu sentuh," ucapnya memperingatkan."Baik, aku nggak berani lagi," mohon pria VIP itu sambil berlutut. Kini dia tidak lagi terlihat angkuh seperti sebelumnya.Arya melontarkan godaan, "Sepertinya ada yang bantu seseorang untuk balas dendam." Sambil berkata demikian, dia melirik ke arah Janice dan bertanya, "Sudah lebih puas sekarang?"Janice terkekeh-kekeh, "Oh, tentu saja. Aku bahkan pengen ngasih plakat penghargaan sama orang itu sebagai pahlawan pembasmi kejahatan."Siapa pun bisa mendengar sarkasme dalam kata-katanya.Arya mengerutkan kening. "Dia sudah dipukuli sampai begitu, kamu masih nggak senang? Bukannya dia baru saja melecehkanmu?"Janice menjelaskan dengan tenang, "Nih kukasih contoh yang mungkin agak kurang sopan ya. Kalau dia perkosa seseorang, kenapa harus balas dendam setelahnya, padahal bisa nolong dia di saat kejadian?""Ada
Janice terbentur ke bahu Jason.Meskipun pencahayaan di bar cukup redup, dia masih bisa merasakan tatapan pria itu yang menunduk ke arahnya. Di balik matanya yang hitam pekat, ada sesuatu yang berkecamuk. Pada akhirnya, dia hanya menelan ludah pelan."Kenapa takut?" Suara Jason rendah dan serak, terdengar seperti sedang menahan diri.Janice menundukkan matanya sesaat, lalu segera menatapnya dengan tenang. "Orang yang lebih muda memang seharusnya bersikap seperti ini di hadapan seniornya, 'kan?"Jason menatapnya dengan lekat, memperhatikan setiap perubahan sekecil apa pun dalam ekspresinya. Aura tekanan dari dirinya begitu kuat hingga membuat orang sulit bernapas.Namun, Janice hanya menatapnya dengan kebingungan dan tanpa emosi apa pun.Jason mendengus dingin, seolah-olah sedang mengejek dirinya sendiri dan bercampur emosi lain yang rumit. Namun, dia tetap tidak melepaskan genggamannya.Dengan ekspresi datar, dia bertanya, "Aku sudah bantu kamu. Sekarang, seharusnya kamu juga bantu aku
Janice menolaknya dengan sopan. Biasanya, pria kaya seperti ini punya harga diri yang tinggi dan tidak akan memaksa jika ditolak dengan baik. Namun, kali ini dia salah perhitungan.Pria itu meneguk sedikit minumannya, lalu menyeringai sinis. "Terus saja pura-pura. Aku sudah perhatiin kamu sejak kamu masuk. Kamu sendirian.""Dia akan segera datang," jawab Janice dengan tenang."Baiklah, aku mau lihat kapan pacarmu akan muncul." Pria itu jelas sudah berpengalaman menghadapi penolakan seperti ini dan tidak termakan oleh alasan Janice.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Janice diam-diam menekan panggilan cepat ke Landon di dalam tasnya. Landon seharusnya masih ada di sekitar area ini.Namun, tidak ada respons.Pria itu tampaknya menyadari kegelisahan Janice. Dia melangkah maju dengan perlahan dan menunjuk ke dalam bar."Teman-temanku ada di meja itu. Ayo gabung minum sama mereka.""Nggak usah. Sudah kubilang, pacarku datang sebentar lagi," Janice tetap menolak.Ekspresi pria itu langs
Begitu menyebut nama Ivy, mana mungkin Anwar tidak langsung mengerti maksudnya? Dia dan Elaine saling bertukar senyum penuh arti."Bu Elaine, kalau urusan ini berhasil, aku akan berikan yang kamu inginkan.""Terima kasih, Pak Anwar."Setelah menyelesaikan pembicaraan, Elaine berbalik untuk pergi. Namun, sebelum benar-benar melangkah keluar, dia sempat menoleh ke arah perginya Zachary dan Ivy.'Zachary, kamu pasti akan menyesal telah memilih Ivy!'....Di perjalanan menuju restoran, Janice menyempatkan diri melakukan panggilan video dengan Ivy.Dalam video, Ivy dan Zachary terlihat begitu mesra hingga Janice sendiri merasa tidak nyaman memperlihatkannya kepada Landon. Setelah mengobrol sebentar, dia pun segera menutup panggilan.Landon terbatuk pelan. "Mereka kelihatannya mesra banget ya.""Ya." Janice mengangguk."Sebenarnya, kamu juga bisa seperti itu."Mendengar kata-kata itu, Janice menoleh dan menatap Landon. Dia berkata dengan serius, "Pak Landon, kamu juga tahu situasiku sekarang
Orang yang berdiri di sana adalah Zachary dan Ivy.Zachary mengeluarkan sekotak camilan dari mantel panjangnya. Meskipun jaraknya cukup jauh, Elaine merasa seolah-olah dia masih bisa melihat uap hangat yang mengepul dari camilan tersebut.Bertahun-tahun lalu, Zachary juga melakukan hal yang sama untuknya.Saat itu, dia masih seorang mahasiswi, sementara Zachary sudah menjadi sosok penting yang memimpin salah satu cabang perusahaan keluarga. Dulu, Zachary bukanlah pengecut seperti sekarang.Apa pun yang diinginkan Elaine, dia cukup menelepon Zachary dan pria itu akan menunggu di depan sekolah dengan makanan favoritnya di tangan.Namun sekarang ....Ivy menatap Zachary dengan ekspresi penuh kagum, seperti gadis kecil yang sedang jatuh cinta. Elaine tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dari gerakan bibir Ivy, dia bisa melihat bahwa Ivy sedang memanggilnya "Sayang".Huh! Memangnya wanita itu pantas?Zachary mengatakan sesuatu, lalu menggenggam tangan Ivy dan berjalan perg
Mendengar kata-kata Elaine, tangan Rachel gemetar dan teh di cangkirnya tumpah ke meja. Dia buru-buru meraih tisu dan menunduk untuk mengelapnya.Melihat reaksinya, Elaine langsung memahami situasinya. Volume suaranya langsung naik, "Dia nggak pernah menidurimu!""Bibi! Ini urusan pribadiku! Bisa nggak kamu nggak usah nanya?" Rachel panik. Tangannya sibuk mengelap meja, tetapi airnya malah tersebar ke mana-mana, bahkan ada beberapa tetes yang mengenai kakinya.Air menetes menuruni ujung roknya. Namun, dia tidak bisa merasakan apa-apa dari lutut hingga ke bawah. Dia menatap kaki palsunya. Gerakan tangannya berhenti, ekspresinya pun semakin muram.Jason memang tidak pernah menyentuhnya.Jika dia tidak menyentuhnya karena jijik dengan keadaannya yang cacat, Rachel bisa menerimanya. Hanya saja, Jason selalu bersikap baik padanya. Kadang, ketika kaki palsunya terasa tidak nyaman, Jason bahkan berjongkok untuk membantunya memperbaiki posisinya.Di matanya, tidak pernah ada rasa jijik. Namun,