Janice menggenggam erat tangan Berto saat dia mulai tenggelam. Wajah kecil Berto sudah pucat karena ketakutan."Jangan takut, aku akan tarik kamu naik." Janice terus menenangkan sambil menopang dagunya.Namun, berat badan Berto tidak ringan, apalagi pakaian yang basah semakin menambah beban. Meskipun Janice seorang wanita dewasa, dia masih kesulitan. Untungnya, pakaiannya tidak terlalu membatasi gerakannya. Walaupun dingin, dia tetap menggertakkan giginya dan terus bertahan.Pada akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil membawa Berto ke tepi. Wanita itu pun menangis dan menjulurkan tangan untuk menariknya."Bu, cepat kemari! Aku tarik kamu naik!" seru wanita itu."Tarik anakmu dulu," sahut Janice yang merasa tubuhnya sudah hampir kehabisan tenaga. Dia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.Wanita itu terus mengucapkan terima kasih sambil menarik anaknya. Namun, saat dia mengulurkan tangan untuk meraih Janice, tiba-tiba sebuah cabang pohon besar datang dari hulu sungai dan membent
Namun, ketika melihat matanya, Jason merasa sangat sulit untuk mengendalikan dirinya. Bahkan, helaian rambut yang jatuh di ujung hidungnya seolah-olah menggelitik hati Jason.Tanpa memberi kesempatan kepada Janice untuk bereaksi, pria di depannya menyentuh bibirnya dengan lembut. Saat berikutnya, tangannya yang ada di leher belakang Janice memegang kepalanya dan mencium dengan penuh hasrat.Namun, ciuman itu tidak berlangsung lama. Kepalan tangannya yang erat diletakkan di samping telinga Janice. Janice bisa mendengar suara napas Jason yang tertahan.Jason menatapnya dan berkata, "Janice, kamu benar-benar hebat."Janice tidak mengerti.Jason tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Dia menarik Janice dan membaringkannya di dalam selimut. "Kamu tidur saja lagi."Janice bergerak sedikit, mencoba mendorong tubuh Jason, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, dia menyerah dan menutup matanya.Di luar bangsal, Vania memegang erat gagang pintu, melihat dua orang yang tidur berpelukan
Di bangsal.Saat Janice terbangun lagi, Jason sudah pergi. Setelah tubuhnya pulih sedikit, dia bangkit dan minum sedikit air. Kebetulan, dia melihat bayangan seseorang bergerak di depan pintu."Siapa?" teriaknya.Pintu terbuka sedikit. Terlihat kepala Berto muncul dari balik pintu."Bibi.""Jangan buat onar." Wanita itu mendorong tubuh Berto yang menghalangi, lalu membuka pintu dan masuk. "Bu, terima kasih banyak kali ini. Aku buatkan kamu makanan. Semoga kamu suka.""Terima kasih, kebetulan aku memang lapar." Janice merasa malu untuk menolak, jadi dia tersenyum dan menerima.Wanita itu membuka termos, lalu menuangkan semangkuk bubur millet dan menyodorkan dua potong roti. Kemudian, dia memasukkan kembali sisanya ke dalam termos.Janice bertanya dengan heran, "Kak, makananmu ini ...?""Ayah Berto masih di ICU. Kami harus hidup sehemat mungkin," jawab wanita itu dengan mata merah.Janice berpikir sejenak, lalu bertanya, "Apa kejadian Berto yang dibuang ke sungai ada kaitannya dengan sua
Janice bisa merasakan tubuhnya melemas. Sebelum matanya terpejam, dia hanya melihat penutup kepala berwarna hitam.Pria itu menatap Janice yang terbaring di lantai. Setelah menyimpan jarum suntiknya, dia terkekeh-kekeh. "Yang ingin membunuhmu bukan cuma aku. Kita ketemu lagi, Janice."....Jason kembali ke rumah sakit dengan membawa makanan. Ketika melihat bangsal yang kosong, dia langsung meninju pengawal hingga terjatuh."Begini cara kerjamu?""Maaf, Pak. Aku cuma ke toilet sebentar," jelas pengawal itu dengan takut."Siapa saja yang sempat kemari?""Ibu dan anak yang ditolong Bu Janice. Tadi aku tanya suster, katanya dia melihat Bu Janice turun mencari mereka ...."Sebelum pengawal itu menyelesaikan ucapannya, Jason sudah berlari pergi.Di bawah sana, ibu dan anak itu sedang bergandengan tangan dengan ekspresi lelah. Saat melihat Jason yang menghampiri dengan galak, mereka pun ketakutan."Di mana Janice?" tanya Jason langsung."Dia ... bukannya dia istirahat di kamarnya?" tanya wani
Mungkin karena ucapan Janice terdengar terlalu lugu, Kengo langsung mengangkat kakinya dan menginjak tubuh Janice dengan sepatu kulitnya yang berdebu."Janice, kamu putri angkat Zachary. Wajar kalau kamu datang ke pertambangan untuk lihat-lihat. Kalau terjebak longsor, berarti kamu sial. Menurutmu, kami harus memberi siapa penjelasan?""Zachary? Memangnya siapa dia? Kalaupun kami membunuhnya, ayahnya nggak bakal berani berkomentar. Mengenai urusan tambang, kamu rasa para orang miskin itu bisa apa?""Kami awalnya ingin menyelesaikan secara baik-baik, tapi mereka malah menolak tanda tangan surat pertanggungjawaban dan melawan Keluarga Karim. Selanjutnya yang akan mati adalah kamu. Ini cuma tentang 200 juta, aku saja malas mengurusnya."Saat ini, Kenta mengernyit dan menyela, "Ngapain kamu bicara panjang lebar sama dia? Cepat ambil tindakan!"Begitu mendengarnya, Janice langsung memahaminya. Kenta yang jarang bicara ini adalah yang paling tegas. Saat keduanya bertatapan, Kenta tampak memi
Asalkan terjepit dengan erat, batu itu bisa menghalangi batu-batu yang ada di belakangnya. Namun, Janice juga tidak bisa keluar. Satu-satunya jalan keluar terhalang.Setelah memastikan bahwa mereka aman untuk sementara, Janice tidak diam begitu saja. Dia berbalik, lalu menatap marah pria yang terbaring setengah di tanah dengan marah. "Kenapa kamu malah diam! Kamu menipuku! Kamu ...."Dengan marah, Janice mengangkat tangannya untuk memukul. Namun, tangannya tiba-tiba terhenti di udara.Janice baru menyadari bahwa kaki Jason terluka karena batu yang jatuh. Darah telah menggenang di tanah. Dia menunduk, perasaannya sangat campur aduk.Dengan wajah datar, Jason mengangkat tangannya untuk memegang dagu Janice. Dia mengalihkan pandangannya dan berkata, "Nggak ada patah tulang, cuma luka gores."Janice menepis tangan Jason, lalu memelototinya dengan mata memerah. "Kenapa kamu selalu begini sih? Kamu selalu bersikap baik setelah mengecewakanku! Aku benci sekali padamu!"Jason mengangkat tangan
Jason melepaskan Janice, lalu bersandar pada batu dan terdiam. Entah berapa lama kemudian, dia mengubah posisinya sedikit. Satu kaki ditekuk untuk menyangga tubuhnya. Suaranya sedikit lebih lembut saat bertanya, "Janice, aku harus gimana?"Janice tidak mengerti maksudnya. Dia menoleh sedikit dan hendak berbicara. Namun, sebelum sempat mengeluarkan kata-katanya, kepala Jason jatuh ke bahunya.Dahi Jason menempel pada pipi Janice. Janice langsung merasakan ada yang tidak beres. Tubuh besar yang biasanya kuat itu kini gemetaran karena kedinginan.Janice meraba dalam kegelapan, lalu mendekat untuk memeriksa luka Jason. Kain yang membalut lukanya tampak sepenuhnya basah karena darah.Janice hanya bisa merobek lagi lengan bajunya untuk mengikat luka itu lebih erat. Namun, itu tidak membuat Jason merasa lebih baik, malah wajahnya semakin pucat.Jason mengepalkan tangan. Urat lehernya menonjol, wajahnya seputih kertas, rambutnya basah hingga menempel di dahinya. Keringat dingin mengalir, panda
"Ini ... aku nggak tahu apa-apa. Yang jelas, mereka punya bukti yang lengkap. Nggak ada yang bisa meloloskan diri," gumam Ivy, lalu memotong buah dan menyuapkannya ke mulut Janice.Janice tahu bahwa orang-orang ini pasti mendapat bantuan untuk mendapatkan bukti itu. Selain Jason, tidak ada lagi orang yang memiliki kemampuan sebesar itu.Janice menggigit apel yang terasa hambar. Dengan canggung, dia bertanya, "Ibu, gimana dengan Paman?""Ah! Mati!" Ivy melihat pisau buah yang hampir melukai dirinya. "Mau mati ya? Kamu sengaja mau bunuh ibumu?""Ma ... mati? Gimana dia bisa mati? Palingan kakinya patah, 'kan?" tanya Janice dengan suara yang bergetar."Aku bilang dia nggak mungkin mati!""Ibu, kamu nggak bisa bicara yang baik?" Janice mengernyit."Ngapain kamu gugup? Di jalan tadi, kamu terus teriak memanggil pamanmu itu! Untung ada aku yang menutup mulutmu!""Ibu! Aku lapar, belikan aku makanan dong," sela Janice dengan lantang.Ivy mendengus, lalu berbalik untuk pergi membeli makanan. J
Saat Janice buru-buru tiba di rumah sakit, dia langsung melihat sekelompok wartawan mengerumuni dua sosok yang baru saja keluar dari pintu utama.Jason dan Rachel.Rachel memeluk buket mawar di lengannya, pipinya merona karena malu. Seorang wartawan bertanya, "Bu Rachel kenapa dirawat di rumah sakit?"Rachel tampak agak terkejut, lalu refleks menggenggam erat buketnya dan melirik ke arah Jason.Jason melindunginya dengan satu tangan dan menjawab dengan tenang, "Nggak ada masalah besar, cuma pemulihan."Mendengar kata pemulihan, semua orang langsung berpikir tentang pernikahan mereka yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Seketika, mereka memahami maksud pernyataan Jason.Wartawan tersenyum dan bertanya lebih jauh, "Sepertinya Pak Jason menantikan kabar bahagia ya."Jason tidak menjawab, tetapi sikap diamnya dianggap sebagai persetujuan. Saat Rachel menyadari bahwa semua orang mulai menatap perutnya, wajahnya semakin memerah.Begitu masuk ke mobil, Rachel tanpa sadar menyembunyikan wa
Saat Rachel berhasil diselamatkan, langit malam yang kelam mulai memudar sedikit demi sedikit. Jason bersandar di jendela, memainkan rokok yang sudah lemas di antara jarinya.Arya menatapnya dengan serius. "Dia selamat, tapi tetap saja, sebaiknya lebih berhati-hati ke depannya.""Mm." Ekspresi Jason tetap datar, matanya tertunduk, bayangan dari bulu matanya menambah kesan gelap di wajahnya.Beberapa saat kemudian, Landon membuka pintu dan masuk. Dia terlebih dahulu melihat keadaan Rachel, lalu berjalan ke arah Jason."Terima kasih."Jason tidak menjawab.Landon merapikan tirai di sekitar ranjang Rachel, lalu membuka sedikit jendela, kemudian mengambil dua batang rokok dan menyodorkannya ke Jason serta Arya. Jason tidak mengambilnya.Arya menyadari ada sesuatu yang perlu dibicarakan antara keduanya, jadi dia beralasan, "Aku masih ada pekerjaan. Kalian ngobrol saja dulu."Setelah Arya pergi, Landon menyalakan rokoknya di dekat jendela dan membiarkan asapnya perlahan-lahan menyebar ke uda
Janice tidak mengerti maksud kata-kata Jason. Namun, sebelum dia sempat bertanya, Jason buru-buru menjawab telepon. Dari seberang, terdengar suara lembut Rachel."Kapan kamu pulang? Aku tungguin.""Sebentar lagi."Bahkan Jason sendiri tidak sadar, nada bicaranya jadi lebih pelan saat menjawab panggilan tersebut. Tangannya juga refleks melepaskan lengan Janice.Janice menunduk sambil mengusap pergelangan tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, dia turun dari mobil dan pergi.Saat Jason menutup telepon, dia baru menyadari bahwa Janice sudah menghilang. Dia menoleh ke arah Norman. "Kapan dia pergi?"Norman hanya bisa menghela napas. "Waktu Pak Jason menjawab telepon.""Apa yang dia bilang?""Bu Janice ... nggak bilang apa pun." Suara Norman jadi semakin pelan.Mendengar ucapan itu, Jason bersandar ke belakang dan tubuhnya tersembunyi dalam kegelapan. Dia tetap diam sambil menyalakan sebatang rokok. Auranya menjadi mencekam dan tidak bersuara sama sekali."Ayo jalan. Besok, pesankan satu buk
Pria yang menjadi pemimpin di antaranya, menghajar wajah pria VIP itu hingga batang hidungnya patah."Jangan sentuh orang yang nggak seharusnya kamu sentuh," ucapnya memperingatkan."Baik, aku nggak berani lagi," mohon pria VIP itu sambil berlutut. Kini dia tidak lagi terlihat angkuh seperti sebelumnya.Arya melontarkan godaan, "Sepertinya ada yang bantu seseorang untuk balas dendam." Sambil berkata demikian, dia melirik ke arah Janice dan bertanya, "Sudah lebih puas sekarang?"Janice terkekeh-kekeh, "Oh, tentu saja. Aku bahkan pengen ngasih plakat penghargaan sama orang itu sebagai pahlawan pembasmi kejahatan."Siapa pun bisa mendengar sarkasme dalam kata-katanya.Arya mengerutkan kening. "Dia sudah dipukuli sampai begitu, kamu masih nggak senang? Bukannya dia baru saja melecehkanmu?"Janice menjelaskan dengan tenang, "Nih kukasih contoh yang mungkin agak kurang sopan ya. Kalau dia perkosa seseorang, kenapa harus balas dendam setelahnya, padahal bisa nolong dia di saat kejadian?""Ada
Janice terbentur ke bahu Jason.Meskipun pencahayaan di bar cukup redup, dia masih bisa merasakan tatapan pria itu yang menunduk ke arahnya. Di balik matanya yang hitam pekat, ada sesuatu yang berkecamuk. Pada akhirnya, dia hanya menelan ludah pelan."Kenapa takut?" Suara Jason rendah dan serak, terdengar seperti sedang menahan diri.Janice menundukkan matanya sesaat, lalu segera menatapnya dengan tenang. "Orang yang lebih muda memang seharusnya bersikap seperti ini di hadapan seniornya, 'kan?"Jason menatapnya dengan lekat, memperhatikan setiap perubahan sekecil apa pun dalam ekspresinya. Aura tekanan dari dirinya begitu kuat hingga membuat orang sulit bernapas.Namun, Janice hanya menatapnya dengan kebingungan dan tanpa emosi apa pun.Jason mendengus dingin, seolah-olah sedang mengejek dirinya sendiri dan bercampur emosi lain yang rumit. Namun, dia tetap tidak melepaskan genggamannya.Dengan ekspresi datar, dia bertanya, "Aku sudah bantu kamu. Sekarang, seharusnya kamu juga bantu aku
Janice menolaknya dengan sopan. Biasanya, pria kaya seperti ini punya harga diri yang tinggi dan tidak akan memaksa jika ditolak dengan baik. Namun, kali ini dia salah perhitungan.Pria itu meneguk sedikit minumannya, lalu menyeringai sinis. "Terus saja pura-pura. Aku sudah perhatiin kamu sejak kamu masuk. Kamu sendirian.""Dia akan segera datang," jawab Janice dengan tenang."Baiklah, aku mau lihat kapan pacarmu akan muncul." Pria itu jelas sudah berpengalaman menghadapi penolakan seperti ini dan tidak termakan oleh alasan Janice.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Janice diam-diam menekan panggilan cepat ke Landon di dalam tasnya. Landon seharusnya masih ada di sekitar area ini.Namun, tidak ada respons.Pria itu tampaknya menyadari kegelisahan Janice. Dia melangkah maju dengan perlahan dan menunjuk ke dalam bar."Teman-temanku ada di meja itu. Ayo gabung minum sama mereka.""Nggak usah. Sudah kubilang, pacarku datang sebentar lagi," Janice tetap menolak.Ekspresi pria itu langs
Begitu menyebut nama Ivy, mana mungkin Anwar tidak langsung mengerti maksudnya? Dia dan Elaine saling bertukar senyum penuh arti."Bu Elaine, kalau urusan ini berhasil, aku akan berikan yang kamu inginkan.""Terima kasih, Pak Anwar."Setelah menyelesaikan pembicaraan, Elaine berbalik untuk pergi. Namun, sebelum benar-benar melangkah keluar, dia sempat menoleh ke arah perginya Zachary dan Ivy.'Zachary, kamu pasti akan menyesal telah memilih Ivy!'....Di perjalanan menuju restoran, Janice menyempatkan diri melakukan panggilan video dengan Ivy.Dalam video, Ivy dan Zachary terlihat begitu mesra hingga Janice sendiri merasa tidak nyaman memperlihatkannya kepada Landon. Setelah mengobrol sebentar, dia pun segera menutup panggilan.Landon terbatuk pelan. "Mereka kelihatannya mesra banget ya.""Ya." Janice mengangguk."Sebenarnya, kamu juga bisa seperti itu."Mendengar kata-kata itu, Janice menoleh dan menatap Landon. Dia berkata dengan serius, "Pak Landon, kamu juga tahu situasiku sekarang
Orang yang berdiri di sana adalah Zachary dan Ivy.Zachary mengeluarkan sekotak camilan dari mantel panjangnya. Meskipun jaraknya cukup jauh, Elaine merasa seolah-olah dia masih bisa melihat uap hangat yang mengepul dari camilan tersebut.Bertahun-tahun lalu, Zachary juga melakukan hal yang sama untuknya.Saat itu, dia masih seorang mahasiswi, sementara Zachary sudah menjadi sosok penting yang memimpin salah satu cabang perusahaan keluarga. Dulu, Zachary bukanlah pengecut seperti sekarang.Apa pun yang diinginkan Elaine, dia cukup menelepon Zachary dan pria itu akan menunggu di depan sekolah dengan makanan favoritnya di tangan.Namun sekarang ....Ivy menatap Zachary dengan ekspresi penuh kagum, seperti gadis kecil yang sedang jatuh cinta. Elaine tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dari gerakan bibir Ivy, dia bisa melihat bahwa Ivy sedang memanggilnya "Sayang".Huh! Memangnya wanita itu pantas?Zachary mengatakan sesuatu, lalu menggenggam tangan Ivy dan berjalan perg
Mendengar kata-kata Elaine, tangan Rachel gemetar dan teh di cangkirnya tumpah ke meja. Dia buru-buru meraih tisu dan menunduk untuk mengelapnya.Melihat reaksinya, Elaine langsung memahami situasinya. Volume suaranya langsung naik, "Dia nggak pernah menidurimu!""Bibi! Ini urusan pribadiku! Bisa nggak kamu nggak usah nanya?" Rachel panik. Tangannya sibuk mengelap meja, tetapi airnya malah tersebar ke mana-mana, bahkan ada beberapa tetes yang mengenai kakinya.Air menetes menuruni ujung roknya. Namun, dia tidak bisa merasakan apa-apa dari lutut hingga ke bawah. Dia menatap kaki palsunya. Gerakan tangannya berhenti, ekspresinya pun semakin muram.Jason memang tidak pernah menyentuhnya.Jika dia tidak menyentuhnya karena jijik dengan keadaannya yang cacat, Rachel bisa menerimanya. Hanya saja, Jason selalu bersikap baik padanya. Kadang, ketika kaki palsunya terasa tidak nyaman, Jason bahkan berjongkok untuk membantunya memperbaiki posisinya.Di matanya, tidak pernah ada rasa jijik. Namun,