Begitu memasuki ruangan, Janice segera menyadari bahwa Malia yang tadi mengikutinya telah menghilang.Malia mungkin sengaja menghindar karena takut berhadapan langsung dengannya. Dia lebih memilih untuk muncul belakangan, berpura-pura berperan sebagai "sahabat baik" yang siap menyalahkan Janice saat situasi memburuk.Namun, ada satu hal yang Malia lupakan. Tanpa kehadirannya, Janice bebas mengarang sesuai keinginannya. Janice tersenyum sopan kepada suami Amanda. "Terima kasih, tapi saya merasa tetap perlu memberikan penjelasan."Suami Amanda melirik istrinya dengan cemas, lalu buru-buru berkata, "Nggak perlu dijelaskan, aku percaya padamu."Pernyataannya itu justru menimbulkan lebih banyak spekulasi di benak orang-orang."Nggak," Janice menjawab dengan lembut. "Saya bukan menjelaskan kepada Anda, tapi kepada Bu Amanda." Dia menatap Amanda dengan wajah memerah. "Gaun yang kupakai ini ... adalah imitasi."Orang-orang langsung terkejut mendengarnya.Janice melanjutkan dengan nada penuh ra
"Pakaian yang kamu beli sama dengan punya Amanda. Gimana kalau dia mengira kamu sengaja menantangnya? Itu sebabnya aku bilang pakaianmu ini imitasi. Aku sebenarnya lagi bantu kamu. Kalau kamu nggak suka, kita bisa pergi sekarang dan menjelaskan semuanya sama Amanda."Janice tahu Malia tidak akan berani mengambil risiko seperti itu.Benar saja, setelah beberapa detik terdiam, Malia mengubah nada bicaranya. "Janice, perutku rasanya nggak enak. Kamu bisa pergi ke resepsionis dan ambilkan obat untukku? Bawa ke ruang istirahat nomor 6, ya?""Oke, tunggu sebentar," jawab Janice dengan tenang."Iya, tolong cepat ya. Perutku benar-benar sakit," desak Malia."Ya, aku segera ke sana."Setelah menutup telepon, Janice berbalik dan berjalan keluar dari aula pesta.....Di sisi lainSera yang berdiri tidak jauh dari sana, menunggu momen saat Vania sibuk berbicara dengan teman-temannya. Dia lalu mendekati Jason dengan segelas anggur di tangan.Sambil mengangkat gelasnya, dia memberi isyarat kepada Ja
Janice terkejut dengan tindakan Jason yang semakin tidak terkendali. Semakin keras dia berusaha melawan, Jason terlihat semakin menikmati situasi ini.Akhirnya, gaun Janice perlahan melorot dari bahunya. Dalam kepanikan, dia berusaha menutupi tubuhnya, tapi Jason telah mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.Tangan lainnya mencengkeram dagu Janice dengan lembut. Dia mendekatkan wajah mereka dan mencium Janice. Janice tidak kuasa menahan erangan kecil yang keluar dari bibirnya. Meski demikian, dia tetap menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menolak ciuman Jason yang lebih dalam.Mendengar suara tertahan itu, Jason malah semakin kehilangan kendali. Melihat wajah Janice yang merah merona dan penuh emosi, Jason menggigit bibirnya dengan lembut.Saat Janice tertegun sejenak, Jason berhasil menguasai bibirnya.Melalui pakaiannya, Jason bisa merasakan kehangatan kulit Janice. Namun baginya, itu masih belum cukup ....Janice merasa sulit bernapa
"Kumohon," ucap Janice dengan kesal."Hm?" Jason melanjutkan dengan suara yang serak dan memikat, "Bukannya kamu suka manggil aku Paman? Bilang, 'Paman, kumohon.'"Suara Jason yang hangat dan intim membuat wajah Janice semakin memerah.Tidak akan! Dia bersikeras untuk tidak menuruti permintaan itu, meskipun seluruh tubuhnya sudah mulai terasa lemah.Melihat Janice tetap diam, tangan Jason yang besar menyusuri pinggangnya, lalu bergerak perlahan ke atas dan menyentuh kulitnya dengan sengaja.Janice membelalakkan matanya. Rona merah menjalar dari wajahnya hingga ke seluruh tubuh. Perlawanan yang dia tunjukkan mulai goyah. Tubuhnya terasa lemas seperti tidak memiliki kekuatan untuk melawan.Akhirnya, dia menyerah."Paman, aku mohon padamu ...," katanya pelan.Tatapan Jason yang kelam sedikit melunak. Jari-jarinya menyentuh pipi Janice dengan lembut, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun akhirnya, dia memilih untuk tidak mengatakan apa pun.Dia melangkah mundur, lalu membalikkan tubuhnya,
Janice meringkuk di balik pintu dan mengintip melalui lubang intip untuk melihat situasi di luar.Amanda berada di depan rombongan dan berjalan dengan langkah penuh amarah hingga berhenti di depan pintu ruang istirahat nomor 6. Saat dia mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, Vania segera maju dan menghentikannya.Dengan suara rendah, Vania berkata, "Bu Amanda, mengetuk pintu cuma akan memberi mereka waktu untuk merapikan diri. Kalau begitu, kita nggak akan punya bukti apa-apa. Anda sudah sebaik ini sama Janice, tapi dia malah seperti ini.""Apa Anda masih mau memberinya kesempatan untuk menjaga harga diri? Aku benar-benar nggak tahan melihat ini, jadi aku membawa kunci ruang istirahat untuk Anda." Setelah berkata demikian, Vania menyelipkan kunci ruang istirahat ke tangan Amanda.Amanda yang sedang diliputi emosi, kehilangan semua kendali. Dia memikirkan bagaimana suaminya dan Janice mungkin berkhianat di belakangnya, lalu bertindak tanpa berpikir panjang. Dia membuka pintu dengan ka
Begitu mendengarnya, semua orang terkejut. Namun, Amanda tetap terlihat tenang. Bahkan, dia tersenyum dingin dan membalas, "Kamu baru mengenalku ya? Sebelum nikah, kamu memujiku mandiri. Sekarang, kamu bilang aku terlalu mendominasi? Kenapa nggak bilang kamu terlalu lemah, sampai harus mencari martabat dari wanita?""Kamu ... pokoknya kita cerai! Aku nggak tahan lagi sama kamu!""Memang benar harus cerai. Tapi, kamu nggak boleh mengambil sepeser pun. Lagian, semua orang bisa bersaksi kalau kamu yang salah. Jadi, kalau masih punya urat malu, sebaiknya kemasi barang-barang kalian dan angkat kaki dari sini. Kalau nggak, aku bakal menuntut kalian mencuri dokumen penting studioku.""A ... atas dasar apa? Aku suamimu! Aku mau harta kita dibagi rata!" Wajah dan leher pria itu sampai memerah.Saat Amanda ingin menyuruh suaminya jangan mimpi, Vania tiba-tiba menyela, "Bu Amanda, tenang sedikit. Sebenarnya bukan cuma suamimu yang salah. Jelas-jelas kamu berjasa untuk Janice, tapi dia masih meray
Semua orang menatap Herisa dengan tercengang. Penampilan Herisa biasa-biasa saja, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan Amanda yang selalu merawat diri. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh suami Amanda?Herisa mengeratkan pakaian di tubuhnya, lalu menjelaskan sambil menangis, "Bu, aku ... aku dijebak. Janice yang menyuruhku datang ke kamar nomor 6. Begitu masuk, tubuhku langsung panas. Setelah itu, aku nggak tahu apa yang terjadi."Semua orang menyaksikan dengan penasaran. Ternyata situasi masih bisa berbalik?Amanda mengernyit menatap Janice dan bertanya, "Apa yang terjadi?"Janice menggeleng dengan bingung. "Bu, aku juga nggak ngerti kenapa Herisa bicara begitu. Kalaupun aku ingin menjebaknya dan menyuruhnya ke kamar nomor 6, di sini adalah kamar nomor 9."Usai berbicara, Janice menunjuk nomor di atas pintu. Terlihat angka 9 yang besar.Herisa menatap angka itu dengan tidak percaya. Seketika, dia teringat pada sesuatu dan menatap Janice lekat-lekat.Janice menyunggingkan bibirnya, la
Vania adalah jalur pintas bagi Malia untuk masuk kalangan atas. Dia tentu tidak akan mengambil risiko untuk orang seperti Herisa. Makanya, dia memberi tahu semuanya kepada Vania.Vania dan Malia pun bekerja sama. Tidak peduli apa yang terjadi, mereka tetap bisa melepaskan diri dengan mudah.Sayangnya, Herisa terlambat untuk memahaminya. Dia menatap Janice dengan enggan. "Kamu yang menukar nomor kamar. Gimana kamu begitu yakin aku bakal ke kamar ini?""Kamu terlalu percaya diri. Sejak kamu meletakkan fotomu bersama suami Bu Amanda di meja kerja yang begitu mencolok, aku tahu kamu akan datang untuk menikmati hasil karyamu," jelas Janice."Aku memang kalah, tapi kamu juga nggak menang." Herisa menyeringai. Bagaimanapun, masih ada Vania dan Malia.Setibanya di depan pintu, Janice berhenti dan meliriknya dengan dingin. "Kamu bukan targetku."Usai berbicara, Janice langsung pergi.....Di aula pesta, suasana hening saat Janice masuk. Vania merangkul Jason dan berdiri di tengah aula. Mereka s
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Segera, Jason melangkah perlahan ke arah Malia. "Setelah ini, kirimkan rekaman itu padaku.""Baik." Malia menjawab dengan mata merah, wajahnya tampak penuh kepedihan. "Pak Jason, aku benaran nggak nyangka Janice bisa sekejam ini. Semua ini salahku.""Aku nggak tahan lagi dengan cara dia diam-diam bersekongkol dengan orang lain untuk menindasku. Makanya, hari ini aku datang untuk memohon agar dia melepaskanku. Aku nggak nyangka dia malah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencelakai Vania.""Siapa?" Mata Jason yang tajam menatap Malia."Maksudmu?" Malia terkejut."Dia bekerja sama dengan siapa? Sebutkan namanya.""Eee ...." Bahu Malia mulai bergetar.Tepat pada saat itu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi panik. "Maaf, Pak Jason. Kami nggak bisa menyelamatkan bayinya. Sekarang pasien juga mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan transfusi darah."Sebelum dokter selesai bicara, perawat sudah berlari masuk dengan kantong darah di tangan.Anwar yang mendeng
"Apa buktinya?" tanya Risma dengan tidak sabar.Malia langsung membuka rekaman suara di ponselnya. Layar menunjukkan tanggal rekaman itu diambil pada malam Natal tahun lalu. Saat itu, hubungan Janice dan Malia sangat baik. Tidak ada rahasia di antara mereka.Janice sontak teringat pada sesuatu. Wajahnya menjadi pucat pasi, bahkan tangan yang terkepal erat gemetaran. Di kehidupan sebelumnya, Malia bisa terus berada di sisi Vania tentu karena punya kemampuan. Wanita ini diam-diam mengumpulkan aib orang lain.Rekaman mulai diputar."Janice, kenapa melamun melihat kembang api? Kamu diam-diam membuat permohonan ya?""Nggak." Suara Janice terdengar sengau, ada rasa malu seolah-olah rahasianya terungkap."Jangan bohong, wajahmu sampai merah. Kamu memikirkan Jason lagi?""Sstt! Jangan sampai ada yang dengar! Dia sudah bersama orang lain.""Tenang saja, cuma kita yang tahu. Ayo, katakan. Barusan kamu pikirin apa?"Malia terus bertanya dengan penasaran. Setelah ragu sejenak, Janice akhirnya ters
Setelah bersumpah, Malia segera bersujud. Suara yang timbul akibat kepalanya yang menyentuh lantai menggema di sepanjang koridor. Siapa pun yang melihatnya akan merasa bahwa dia tidak berbohong.Ivy yang biasanya tidak pernah marah, sampai terengah-engah sambil memegang dadanya. Dia memelototi Malia dengan murka. "Kamu bohong! Kapan aku pernah mengancammu?"Ketika mendengar suara itu, Malia seketika merangkak mundur dengan ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Anwar. "Bu, tadi kamu bahkan memukulku dengan tasmu. Kamu masih berani bilang nggak ada yang terjadi? Semua orang di studio melihatnya!""Kamu ...." Ivy terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.Saat ini, tangisan Risma semakin menjadi-jadi. Dia menghampiri Anwar sambil menunjuk darah di bajunya. "Pak, kamu harus memberi Vania keadilan. Setelah tahu dia mengandung anak Jason, dia sangat bahagia. Setiap hari dia mengajak anaknya mengobrol. Tapi sekarang, karena Janice, nyawanya dan anak itu terancam! Padahal, itu anak pertamanya!"
Di tengah keributan, Janice melihat Vania tiba-tiba mendekatinya. Dia langsung merasa ada yang tidak beres dan segera melepaskan tangan Malia.Namun, Janice tetap terlambat selangkah. Malia yang terlihat seperti sedang memohon ampun dan kehilangan akal sehat, diam-diam mendorong Janice ke arah Vania.Terdengar jeritan tajam, lalu Vania jatuh terguling dari tiga anak tangga. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan berkata dengan wajah penuh penderitaan, "Perutku ... sakit sekali ...."Seorang rekan kerja langsung memarahi, "Janice! Vania bermaksud baik karena khawatir padamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini?"Rekan lainnya yang membantu menopang Vania, melihat ke arah rok Vania dan berseru ketakutan, "Darah! Banyak sekali darah!"Vania mengerang kesakitan. "Anakku ...."Mendengar itu, reaksi pertama Janice adalah segera menolongnya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk membantu Vania, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dan menabraknya ke sisi tangga. Lengan Janic