Gaun tanpa lengan itu melekat sempurna di tubuh Janice, menonjolkan lekuk tubuhnya yang sempurna, seolah-olah pakaian itu dirancang khusus untuknya. Lengannya yang putih mulus menambah pesona pada penampilannya.Meskipun hanya bagian lengannya yang terlihat, auranya yang memikat terasa begitu kuat. Menyadari tatapan iri Malia, Janice sengaja merapikan gaun di hadapan wanita itu."Malia, pakaianmu ini terlalu ketat untukku."Janice teringat kejadian di kehidupan sebelumnya. Setelah dirinya terpuruk dan dihina habis-habisan, Malia bahkan tidak repot-repot menyembunyikan jati dirinya. Dia terang-terangan menginjak-injak Janice yang sudah tersungkur."Jangan salahkan aku. Siapa suruh kamu selalu lebih baik dari aku? Katanya kita sahabat, tapi kenapa kamu bisa langsung melesat menikah sama Pak Jason?""Aku kasih tahu ya, semua yang terjadi padamu adalah rencanaku dan Vania. Sekarang Jason bahkan muak melihatmu. Sebaiknya kamu mati saja!"Jika Malia begitu iri hati, maka biarlah dia hidup de
Begitu memasuki ruangan, Janice segera menyadari bahwa Malia yang tadi mengikutinya telah menghilang.Malia mungkin sengaja menghindar karena takut berhadapan langsung dengannya. Dia lebih memilih untuk muncul belakangan, berpura-pura berperan sebagai "sahabat baik" yang siap menyalahkan Janice saat situasi memburuk.Namun, ada satu hal yang Malia lupakan. Tanpa kehadirannya, Janice bebas mengarang sesuai keinginannya. Janice tersenyum sopan kepada suami Amanda. "Terima kasih, tapi saya merasa tetap perlu memberikan penjelasan."Suami Amanda melirik istrinya dengan cemas, lalu buru-buru berkata, "Nggak perlu dijelaskan, aku percaya padamu."Pernyataannya itu justru menimbulkan lebih banyak spekulasi di benak orang-orang."Nggak," Janice menjawab dengan lembut. "Saya bukan menjelaskan kepada Anda, tapi kepada Bu Amanda." Dia menatap Amanda dengan wajah memerah. "Gaun yang kupakai ini ... adalah imitasi."Orang-orang langsung terkejut mendengarnya.Janice melanjutkan dengan nada penuh ra
"Pakaian yang kamu beli sama dengan punya Amanda. Gimana kalau dia mengira kamu sengaja menantangnya? Itu sebabnya aku bilang pakaianmu ini imitasi. Aku sebenarnya lagi bantu kamu. Kalau kamu nggak suka, kita bisa pergi sekarang dan menjelaskan semuanya sama Amanda."Janice tahu Malia tidak akan berani mengambil risiko seperti itu.Benar saja, setelah beberapa detik terdiam, Malia mengubah nada bicaranya. "Janice, perutku rasanya nggak enak. Kamu bisa pergi ke resepsionis dan ambilkan obat untukku? Bawa ke ruang istirahat nomor 6, ya?""Oke, tunggu sebentar," jawab Janice dengan tenang."Iya, tolong cepat ya. Perutku benar-benar sakit," desak Malia."Ya, aku segera ke sana."Setelah menutup telepon, Janice berbalik dan berjalan keluar dari aula pesta.....Di sisi lainSera yang berdiri tidak jauh dari sana, menunggu momen saat Vania sibuk berbicara dengan teman-temannya. Dia lalu mendekati Jason dengan segelas anggur di tangan.Sambil mengangkat gelasnya, dia memberi isyarat kepada Ja
Janice terkejut dengan tindakan Jason yang semakin tidak terkendali. Semakin keras dia berusaha melawan, Jason terlihat semakin menikmati situasi ini.Akhirnya, gaun Janice perlahan melorot dari bahunya. Dalam kepanikan, dia berusaha menutupi tubuhnya, tapi Jason telah mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.Tangan lainnya mencengkeram dagu Janice dengan lembut. Dia mendekatkan wajah mereka dan mencium Janice. Janice tidak kuasa menahan erangan kecil yang keluar dari bibirnya. Meski demikian, dia tetap menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menolak ciuman Jason yang lebih dalam.Mendengar suara tertahan itu, Jason malah semakin kehilangan kendali. Melihat wajah Janice yang merah merona dan penuh emosi, Jason menggigit bibirnya dengan lembut.Saat Janice tertegun sejenak, Jason berhasil menguasai bibirnya.Melalui pakaiannya, Jason bisa merasakan kehangatan kulit Janice. Namun baginya, itu masih belum cukup ....Janice merasa sulit bernapa
"Kumohon," ucap Janice dengan kesal."Hm?" Jason melanjutkan dengan suara yang serak dan memikat, "Bukannya kamu suka manggil aku Paman? Bilang, 'Paman, kumohon.'"Suara Jason yang hangat dan intim membuat wajah Janice semakin memerah.Tidak akan! Dia bersikeras untuk tidak menuruti permintaan itu, meskipun seluruh tubuhnya sudah mulai terasa lemah.Melihat Janice tetap diam, tangan Jason yang besar menyusuri pinggangnya, lalu bergerak perlahan ke atas dan menyentuh kulitnya dengan sengaja.Janice membelalakkan matanya. Rona merah menjalar dari wajahnya hingga ke seluruh tubuh. Perlawanan yang dia tunjukkan mulai goyah. Tubuhnya terasa lemas seperti tidak memiliki kekuatan untuk melawan.Akhirnya, dia menyerah."Paman, aku mohon padamu ...," katanya pelan.Tatapan Jason yang kelam sedikit melunak. Jari-jarinya menyentuh pipi Janice dengan lembut, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun akhirnya, dia memilih untuk tidak mengatakan apa pun.Dia melangkah mundur, lalu membalikkan tubuhnya,
Janice meringkuk di balik pintu dan mengintip melalui lubang intip untuk melihat situasi di luar.Amanda berada di depan rombongan dan berjalan dengan langkah penuh amarah hingga berhenti di depan pintu ruang istirahat nomor 6. Saat dia mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, Vania segera maju dan menghentikannya.Dengan suara rendah, Vania berkata, "Bu Amanda, mengetuk pintu cuma akan memberi mereka waktu untuk merapikan diri. Kalau begitu, kita nggak akan punya bukti apa-apa. Anda sudah sebaik ini sama Janice, tapi dia malah seperti ini.""Apa Anda masih mau memberinya kesempatan untuk menjaga harga diri? Aku benar-benar nggak tahan melihat ini, jadi aku membawa kunci ruang istirahat untuk Anda." Setelah berkata demikian, Vania menyelipkan kunci ruang istirahat ke tangan Amanda.Amanda yang sedang diliputi emosi, kehilangan semua kendali. Dia memikirkan bagaimana suaminya dan Janice mungkin berkhianat di belakangnya, lalu bertindak tanpa berpikir panjang. Dia membuka pintu dengan ka
Begitu mendengarnya, semua orang terkejut. Namun, Amanda tetap terlihat tenang. Bahkan, dia tersenyum dingin dan membalas, "Kamu baru mengenalku ya? Sebelum nikah, kamu memujiku mandiri. Sekarang, kamu bilang aku terlalu mendominasi? Kenapa nggak bilang kamu terlalu lemah, sampai harus mencari martabat dari wanita?""Kamu ... pokoknya kita cerai! Aku nggak tahan lagi sama kamu!""Memang benar harus cerai. Tapi, kamu nggak boleh mengambil sepeser pun. Lagian, semua orang bisa bersaksi kalau kamu yang salah. Jadi, kalau masih punya urat malu, sebaiknya kemasi barang-barang kalian dan angkat kaki dari sini. Kalau nggak, aku bakal menuntut kalian mencuri dokumen penting studioku.""A ... atas dasar apa? Aku suamimu! Aku mau harta kita dibagi rata!" Wajah dan leher pria itu sampai memerah.Saat Amanda ingin menyuruh suaminya jangan mimpi, Vania tiba-tiba menyela, "Bu Amanda, tenang sedikit. Sebenarnya bukan cuma suamimu yang salah. Jelas-jelas kamu berjasa untuk Janice, tapi dia masih meray
Semua orang menatap Herisa dengan tercengang. Penampilan Herisa biasa-biasa saja, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan Amanda yang selalu merawat diri. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh suami Amanda?Herisa mengeratkan pakaian di tubuhnya, lalu menjelaskan sambil menangis, "Bu, aku ... aku dijebak. Janice yang menyuruhku datang ke kamar nomor 6. Begitu masuk, tubuhku langsung panas. Setelah itu, aku nggak tahu apa yang terjadi."Semua orang menyaksikan dengan penasaran. Ternyata situasi masih bisa berbalik?Amanda mengernyit menatap Janice dan bertanya, "Apa yang terjadi?"Janice menggeleng dengan bingung. "Bu, aku juga nggak ngerti kenapa Herisa bicara begitu. Kalaupun aku ingin menjebaknya dan menyuruhnya ke kamar nomor 6, di sini adalah kamar nomor 9."Usai berbicara, Janice menunjuk nomor di atas pintu. Terlihat angka 9 yang besar.Herisa menatap angka itu dengan tidak percaya. Seketika, dia teringat pada sesuatu dan menatap Janice lekat-lekat.Janice menyunggingkan bibirnya, la
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe