Semua orang menatap Herisa dengan tercengang. Penampilan Herisa biasa-biasa saja, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan Amanda yang selalu merawat diri. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh suami Amanda?Herisa mengeratkan pakaian di tubuhnya, lalu menjelaskan sambil menangis, "Bu, aku ... aku dijebak. Janice yang menyuruhku datang ke kamar nomor 6. Begitu masuk, tubuhku langsung panas. Setelah itu, aku nggak tahu apa yang terjadi."Semua orang menyaksikan dengan penasaran. Ternyata situasi masih bisa berbalik?Amanda mengernyit menatap Janice dan bertanya, "Apa yang terjadi?"Janice menggeleng dengan bingung. "Bu, aku juga nggak ngerti kenapa Herisa bicara begitu. Kalaupun aku ingin menjebaknya dan menyuruhnya ke kamar nomor 6, di sini adalah kamar nomor 9."Usai berbicara, Janice menunjuk nomor di atas pintu. Terlihat angka 9 yang besar.Herisa menatap angka itu dengan tidak percaya. Seketika, dia teringat pada sesuatu dan menatap Janice lekat-lekat.Janice menyunggingkan bibirnya, la
Vania adalah jalur pintas bagi Malia untuk masuk kalangan atas. Dia tentu tidak akan mengambil risiko untuk orang seperti Herisa. Makanya, dia memberi tahu semuanya kepada Vania.Vania dan Malia pun bekerja sama. Tidak peduli apa yang terjadi, mereka tetap bisa melepaskan diri dengan mudah.Sayangnya, Herisa terlambat untuk memahaminya. Dia menatap Janice dengan enggan. "Kamu yang menukar nomor kamar. Gimana kamu begitu yakin aku bakal ke kamar ini?""Kamu terlalu percaya diri. Sejak kamu meletakkan fotomu bersama suami Bu Amanda di meja kerja yang begitu mencolok, aku tahu kamu akan datang untuk menikmati hasil karyamu," jelas Janice."Aku memang kalah, tapi kamu juga nggak menang." Herisa menyeringai. Bagaimanapun, masih ada Vania dan Malia.Setibanya di depan pintu, Janice berhenti dan meliriknya dengan dingin. "Kamu bukan targetku."Usai berbicara, Janice langsung pergi.....Di aula pesta, suasana hening saat Janice masuk. Vania merangkul Jason dan berdiri di tengah aula. Mereka s
Di mobil, begitu Jason dan Vania duduk, sopir yang memakai sarung tangan putih berbalik dan menatap Jason dengan agak malu. "Tuan, kalau bukan ke perusahaan, berarti aku lewat Jalan Huadi ya?""Ya." Jason merespons dengan singkat, lalu memejamkan mata untuk beristirahat.Vania baru menyadari bahwa sopir di depan adalah sopir baru. Dia bertanya dengan penasaran, "Kenapa tiba-tiba ganti sopir? Sopir baru pasti nggak tahu jalan."Jason yang memejamkan mata lantas menyahut dengan dingin, "Pelan-pelan juga hafal. Untuk apa mempekerjakan orang yang nggak bisa mengenali bos mereka?"Ekspresi Vania langsung membeku. Tangannya terkepal erat. Meskipun begitu, dia tetap tersenyum dan mengiakan. "Ya."Setelah itu, keduanya tidak berbicara. Sesampainya di rumahnya, Vania tidak berani berlama-lama. Setelah berpamitan, dia buru-buru turun dari mobil. Jason juga langsung pergi.Mungkin karena terlalu gugup, sekujur tubuh Vania terasa tidak nyaman. Dia merasa mual. Dia pun mendorong pelayan yang hendak
"Ka ... kamu pasti iri padaku! Suami sendiri saja nggak bisa dijaga!" Herisa membanting kardus di tangannya."Heh." Amanda tersenyum sinis dan langsung pergi. Dia malas meladeni Herisa yang membosankan ini."Apa maksudmu? Siapa suruh kamu pergi begitu saja?" Herisa berlari ke arah Amanda, tetapi Bella segera mengadang.Bella lantas memanggil, "Satpam, seret dia keluar. Sekaligus sampah-sampahnya itu."Dengan begitu, Herisa diseret keluar. Ketika melihat ini, Janice tidak merasakan apa pun. Lagi pula, semua ini akibat dari perbuatan Herisa sendiri.Saat menunduk untuk bekerja, Janice kebetulan melihat Vania yang duduk di sisi lain. Wanita itu menutup mulutnya dan tampak tidak nyaman. Ketika tidak ada yang memperhatikan, Vania bangkit dan pergi.Janice merasa ada yang aneh. Saat dia hendak mencari tahu, tiba-tiba ponselnya bergetar.[ Besok aku di rumah. Kamu datang ya? ][ Oke. ][ Aku buatkan makanan favoritmu. Datang lebih awal. ][ Oke. ]Janice tersenyum membaca pesan. Besok dia tid
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan departemen ginekologi. Masalahnya adalah Janice melihat sesosok yang familier di sini, yaitu Vania.Meskipun berpakaian sangat tertutup, Janice tidak akan melupakan sosok yang telah mengacaukan kehidupannya ini, baik itu kehidupan lampau ataupun kehidupan sekarang. Namun, untuk apa Vania datang ke departemen ginekologi?"Janice, ada apa?" panggil Tracy yang berjalan di depan."Nggak apa-apa." Janice segera menyusul. Ketika dia menoleh, Vania sudah hilang.Tracy menarik tangan Janice, lalu menunjuk tangga di depan. "Kita naik dari sini saja."Janice mengangguk, lalu menemani Tracy menaiki tangga sambil merenung. Apa mungkin Vania melewati departemen ginekologi juga karena tidak ingin berdesakan di lobi?Setelah naik, Janice membantu Tracy mengambil nomor antrean. Dokter spesialis di rumah sakit ini adalah teman Tracy. Tracy sangat memercayainya. Makanya, dia lebih baik menunggu daripada pergi ke rumah sakit lain.Janice tentu memahaminya. Orang kay
"Eh? Aku ...." Janice termangu sejenak sebelum menyadari bahwa dokter ini salah mengenali orang."Usia kehamilanmu masih muda. Kamu mengalami sedikit pendarahan. Perhatikan kesehatanmu. Jangan terlalu aktif. Jangan makan sembarangan juga.""Bukan, aku ....""Sudah, pasien selanjutnya!" Dokter melambaikan tangannya untuk memanggil pasien selanjutnya.Wanita selanjutnya pun mendorong pintu dan masuk. Janice merasa tidak ada yang perlu dijelaskan lagi sehingga buru-buru keluar.Begitu berbalik, dia malah menabrak seseorang. Dia menunduk untuk meminta maaf, "Maaf, aku nggak sengaja."Ketika Janice hendak pergi, pergelangan tangannya tiba-tiba diraih seseorang. "Kamu menipuku? Kamu hamil?"Suara yang biasanya terdengar tenang malah terdengar marah sekarang. Janice pun mendongak, lalu mendapati orang di depannya adalah Jason.Kenapa Jason ada di sini? Apa dia datang untuk menemani Vania? Namun, Vania meminta dokter menggugurkan kandungannya.Janice tidak tahu apa yang terjadi. Hanya saja, pe
"Aku ... dia hamil! Aku harus menampar diri sendiri dulu. Wanita ini ternyata menipuku? Sia-sia aku membantunya mengeluarkan sertifikat kejiwaan!" Arya hampir berteriak histeris. Dia tidak menyangka dirinya ditipu oleh Janice."Jawab pertanyaanku," ujar Jason dengan tidak sabar sambil menjauhkan ponselnya dari telinganya."Kalau ada gejala keguguran, harus istirahat dengan baik. Makanan juga harus dijaga. Pokoknya nggak boleh kecapekan," jelas Arya."Hm.""Jadi, apa rencanamu? Statusnya ini .... Kalau dia mengakui dirinya adalah wanita itu waktu skandal sedang heboh, lalu kamu menikahinya, ayahmu mungkin nggak bakal komplain. Tapi, dia malah menolak. Jujur padaku, saat kamu dan ayahmu terus mendesaknya untuk mengaku, sebenarnya kamu sudah menyukainya, 'kan?" Arya terkekeh-kekeh.Jason menunduk dan berkata, "Aku tutup teleponnya."Arya pun berteriak untuk menghentikan, "Kamu nggak boleh terus memendam perasaan! Kamu harus menunjukkan kelebihanmu dong!""Sudah pernah.""Apa ...." Tut, tu
Janice menatap meja besar itu. Dia teringat pada kejadian sebelumnya di mana dia menggila untuk mempersulit Vania dan Risma.Di meja makan, Anwar tampak mengenakan setelan rapi. Ekspresinya pun sangat serius. Janice menyapa dengan sopan, "Kakek.""Ya, duduklah." Anwar mengisyaratkan semua orang untuk mulai makan.Janice menelan ludah menatap seafood di atas meja makan. Namun, karena ada Anwar di sini, dia hanya berani mengambil daging sapi di depannya. Bagaimanapun, dia bukan hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga Ivy.Ivy tinggal di rumah Keluarga Karim. Jadi, setiap patah kata dan setiap gerak-gerik Janice harus sangat diperhatikan.Ketika Janice berpikir demikian, Ivy mengambilkan banyak seafood untuk Janice. Sashimi, bekicot, dan semangkuk besar bubur lobster.Ivy berbisik, "Makan saja dulu. Nanti kalau mejanya sudah diputar, aku ambilkan seafood lain."Janice mengangguk dan mengucapkan terima kasih tanpa bersuara. Dulu, dia tidak suka makan seafood karena merasa bau amis. Namun,
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe