"Mbak, kapan sih Mbak Rosita bisa berpikir positif? Selalu saja suudzon. Kalau Mbak pikir aku mau menguasai rumah ini, Mbak salah besar! Aku tidak pernah berpikir akan melakukan itu. Aku hanya ingin merawat Ibu, mumpung aku masih bisa melakukannya." Citra menjawab dengan ketus."Ternyata kamu sadar diri juga ya? Apa mentang-mentang kamu sudah kaya kamu nggak butuh uang? Sombong!" cibir Rosita."Mbak semua orang butuh uang, tapi tidak rakus!" Jawaban Citra terasa menampar wajah Rosita."Kamu pikir aku rakus ya?" Rosita membentak Citra."Nggak ada yang ngomongin Mbak rakus, aku hanya mengingatkan diriku sendiri supaya jangan rakus." Citra masih berdebat dengan Rosita."Sudahlah, jangan ribut-ribut! Malu kalau sampai tetangga mendengarnya!" Haris berkata cukup keras untuk melerai perdebatan antara kakak dan adik Haris.Terdengar suara ribut-ribut di kamar, sampai berteriak-teriak. Semua yang ada disitu segera menuju ke kamar."Ada apa ini?" teriak Rosita ketika melihat Melia dan Clara ad
"Clara, Papa dan Mama juga adik-adik sangat menyayangimu. Kami tidak pernah membedakan perlakuan kalian semua. Kalian bertiga adalah anak-anak Papa dan Mama," kata Irwan dengan pelan. Ia menarik nafas panjang, sepertinya ia berat sekali untuk bercerita dan membuka cerita lama. Tapi ia tahu, kalau sekarang memang sudah saatnya menceritakan sebuah fakta yang tentu saja akan menyakitkan bagi Clara.Clara semakin takut akan kenyataan yang didengarnya nanti. Dipandanginya wajah kedua orang tuanya. Citra tampak meneteskan air mata. Irwan pun melanjutkan penjelasannya.Dengan penuh perhatian Clara mendengarkan penjelasan Irwan. Jantungnya masih berdetak dengan kencang menanti akhir dari cerita ini, tangannya juga terasa dingin. Tangisnya pun pecah ketika mendapati sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan. Citra memeluk erat Clara, ia sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia sangat sedih mendengar tangis Clara yang terdengar sangat menyayat hati.Ditempat lain, Melia sedang ditangani ol
Rosita masih saja menangis membayangkan kondisi Melia yang sedang hamil. Persis seperti dia dulu yang hamil sebelum menikah. Beruntung Nugroho mau menikahinya, walaupun ia hamil bukan dengan Nugroho. Karena pada saat bersamaan, ia memiliki pacar lebih dari satu.Dipandanginya tubuh Melia yang memang terlihat agak berisi, kemudian pandangan matanya mengarah ke perut Melia yang belum terlihat membuncit. Tubuh Melia memang tampak seksi, membuat para lelaki hidung belang mudah tergoda. Itu juga yang membuat Melia memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk mendapatkan kemewahan."Apa yang akan dikatakan oleh keluargaku nanti? Citra dan Clara pasti akan tertawa mendengar berita ini. Melia, kenapa kamu bodoh sekali? Seharusnya kamu pakai pengaman. Ceroboh sekali!" umpat Rosita dalam hati."Liqa dan Bu Tari pasti akan mengejek Melia. Kasihan sekali kamu Melia. Ini aib, apa kata teman-temanku nanti? Apa digugurkan saja ya? Tapi dimana?" Rosita masih memikirkan apa yang nanti akan terjadi. Sesekali
Hari ini Melia sudah diperbolehkan pulang, ia harus banyak istirahat, mengingat di dalam kandungannya terdapat nyawa seorang bayi tak berdosa. Farhan dan keluarga kecilnya sudah sampai di rumah. Rosita menuntun Melia masuk menuju ke kamarnya. "Kamu istirahat ya?" kata Rosita sambil mengelus kepala Melia. Melia hanya mengangguk.Rosita keluar dari kamar Melia. Melia tampak termenung meratapi nasibnya."Kenapa aku harus menerima cobaan ini?" kata Melia dalam hati. Ia meneteskan air mata."Anak siapa yang kukandung ini? Anaknya Papi atau Om Ibra? Bagaimana aku bisa meminta pertanggungjawaban?""Apa aku harus menggugurkan kandungan lagi?""Kenapa Ayah dan Ibu tidak menanyaiku tentang kandungan ini? Tidak mungkin mereka tidak tahu apa yang terjadi!""Bagaimana kalau Clara dan Liqa tahu? Mereka pasti akan menghinaku habis-habisan. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?" Melia terisak-isak. Disaat seperti ini ia baru ingat dengan Allah, selama ini bahkan tidak mengingat sama sekali. Begitul
"Tentu saja sah, Bu. Sertifikat itu kan atas nama Pak Riswan dan Pak Riswan sendiri yang sengaja merubah nama di sertifikat.""Kenapa mesti Citra yang memegangnya?" tanya Rosita ikut menimpali."Karena menurut Pak Riswan, saudara Citra yang paling dekat dengan saudara Hapsari." Benny menjelaskan dengan perlahan karena ia memang sudah diberitahu oleh Riswan tentang watak anak dan istrinya Riswan."Kenapa bukan Mas Farhan yang menyimpannya? Toh sertifikat itu kan haknya anak-anak Mas Farhan, Liqa dan Aksa. Kenapa mesti diberikan pada orang lain?" Rosita masih berupaya bernegosiasi agar sertifikat itu ada di tangan Farhan. Sedangkan Farhan hanya diam saja, ia sendiri terkejut dengan semua ini."Orang lain? Aku ini masih saudaranya Sari Mbak, itu sudah keputusan Bapak! Jadi aku yang berhak memegang sementara sampai Sari pulang ke Indonesia." Citra berkata dengan tegas, ia memang sudah mendapatkan amanah dari bapaknya untuk menyimpan sertifikat milik Sari dan ia sudah berjanji di depan bap
“Terus siapa ayah dari bayi yang dikandung Melia? Apakah laki-laki itu ayah temannya Liqa? Atau laki-laki yang bersama dengan Melia ketika digerebek Mas farhan di hotel itu? Atau mungkin ada laki-laki yang lain lagi? Selamat ya, Mbak, sebentar lagi punya cucu!” Citra mengejek Rosita.Kalau tidak dihalangi oleh Farhan, Rosita sudah menampar Citra.“Buah itu memang jatuh tidak jauh dari pohonnya!” Citra masih saja mengejek Rosita.“Apa maksudmu?” Rosita mulai berang.“Kelakuan Melia itu menurun dari kamu!” sahut Citra dengan nada yang mengejek.“Tutup mulut kamu! Dasar kurang ajar! Mulai detik ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai adik lagi!” Kemarahan Rosita sudah sangat memuncak, membuatnya mengeluarkan kata-kata yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan.“Oke! Sekarang, jual tanah yang ada di sertifikat itu, uangnya dibagi tiga! Aku sudah tidak mau berurusan denganmu! Mas Haris, urusan tanah itu aku serahkan sama Mas Haris. Pantau terus sertifikat itu! Jangan sampai kecolongan, Mbak
"Siapa ayah dari bayi itu, Melia? Biar Ayah yang menemuinya untuk meminta pertanggungjawaban," kata Farhan dengan pelan."Maksud Mas apa? Memintanya menikahi Melia, begitu ya? Mas mau membuat semua orang tahu masalah ini? Apa Mas siap jika semua orang akan mencibir kita?" Rosita emosi lagi."Itu sudah resiko atas perbuatan yang mereka lakukan.""Aku tidak setuju! Aku akan tetap menggugurkan kandungan Melia! Mas jangan ikut campur!" teriak Rosita."Ya sudah, urusi anakmu itu!" Farhan pun beranjak dari duduknya kemudian berjalan menuju ke kamar."Nggak usah dengerin omongan Ayah, ya? Nanti Ibu cari informasi dimana tempat yang bagus untuk menggugurkan kandunganmu itu," kata Rosita pada Melia yang tampak meneteskan air mata."Aku takut, Bu," jawab Melia dengan pelan.Rosita memeluk Melia sambil berbisik di telinga Melia."Jangan takut, Sayang. Ibu akan selalu mendampingimu."***“Ngapain kamu kesini?” tanya Rosita dengan sinis ketika membuka pintu rumah.“Ini rumah ayahku, terserah aku m
"Bu Rosita dan Melia mengajak Liqa ngobrol, Yah. Ternyata mereka berdua asyik juga diajak ngobrol," sindir Liqa sambil tersenyum menatap Rosita dan Melia. Kedua orang itu langsung melengos. "Bagus dong! Kalian harus sering-sering ngobrol biar tambah akrab." Farhan menimpali. Ia tahu kalau yang dikatakan Liqa tadi berupa sindiran. "Ayo kita makan bersama," ajak Farhan.Melia hendak berjalan menuju ke kamarnya."Mau kemana kamu, Melia?" tanya Farhan."Ke kamar, Yah. Lagi nggak enak badan." Melia menjawab dengan muka yang dibuat memelas. Sebenarnya ia malas untuk bertemu dengan Liqa. Ia juga sedang kesal dengan Farhan karena banyak hal. Mulai dari mobil hingga uang bulanan yang dipotong oleh Farhan."Ayo makan dulu, biar kamu cepat sehat," sahut Farhan."Biarkan dia istirahat, Mas," kata Rosita membela Melia."Kita ini satu keluarga. Sekali-kali makan bersama kan nggak ada salahnya. Ini momen langka. Lagipula aku sudah beli makanan banyak. Nanti kalau pas Aksa pulang, kita makan bersam
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan