Semua menoleh ke pintu ada Farida anak kedua Pak Umar dan Bu Tari. Semua tampak terdiam.
"Ada apa ini?" tanya Farida sambil satu persatu orang yang ada di ruangan ini. "Biasa Rida, Mas Farhan ribut dengan Liqa. Liqa tidak pernah mau mendengar kata-kata ayahnya." Rosita bercerita pada Farida, supaya Farida membelanya. "Oh," jawab Farida. Farida ini sikapnya susah ditebak. Ia seperti bunglon. Terkadang ia membela Farhan dan Rosita, tapi kadang-kadang juga membela Liqa. "Yang sabar ya, Mbak? Memang seperti itu wataknya Liqa, keras seperti ayahnya. Tapi wajar sih kalau Liqa seperti itu. Siapa juga yang tidak sakit hati kalau tahu ayahnya selingkuh dengan sepupu ibunya, kemudian menikahinya," kata Farida dengan tenang. Rosita tampak melotot, mukanya merah padam. Ia pikir Farida berada dipihaknya, ternyata malah berseberangan dengannya. "Bahkan sang nyonya rumah sampai terusir dari istananya sendiri. Yang lebih mencengangkan, orang terdekatnya yang menguasai rumah dan suaminya." Farida berkata dengan tenang, membuat Rosita semakin merah padam mukanya. "Pulang, Mas. Kita disini tidak dihargai," kata Rosita sambil berusaha menarik tangan suaminya. "Bagaimana orang mau menghargai kamu, kamu sendiri tidak bisa menghargai orang lain," kata Bu Tari. Rosita semakin terjepit, ia merasa kalau semua orang mulai menyerangnya. Ia pun menarik tangan Farhan. Akhirnya Farhan dan Rosita pulang. "Ratu drama! Liqa, bisa nggak sih kamu itu tidak melawan ayahmu? Setiap ayahmu kesini selalu ribut sama kamu. Kamu nggak kasihan dengan Kakek dan Nenek?" tanya Farida pada Liqa. Liqa hanya terdiam, kemudian berjalan masuk ke kamarnya. Ingin ia menangis, tapi semua ditahannya. Ia tidak mau menangis karena ayahnya. "Liqa! Eh dasar anak gak tahu sopan santun, diajak bicara kok malah pergi," teriak Farida. "Mau sampai kapan Liqa itu menyusahkan Bapak dan Ibu? Aku heran, setiap Mas Farhan kesini, selalu ribut dengan anaknya. Ayah dan anak sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah." kata Farida. Mereka hanya bertiga ada di ruang keluarga ini, karena Liqa tadi langsung masuk ke kamarnya. Pak Umar dan Bu Tari hanya diam saja, malas mengomentari ucapan Farida. Karena pasti Farida akan terus menyalahkan mereka. "Aku tuh kasihan sama Bapak dan Ibu, sudah tua tapi masih saja pusing memikirkan cucunya. Bu, suruh saja Liqa tinggal dengan Mas Farhan. Kalau enggak, suruh Liqa menyusul ibunya jadi TKW." Farida melanjutkan berbicara, berusaha memprovokasi orang tuanya supaya mengusir Liqa dari rumah ini. "Farida, kalau kamu kesini hanya mau menceramahi Bapak, mending pulang saja," sahut Pak Umar. Tampak perasaan yang sangat kecewa di wajah keriputnya. Semenjak ada Liqa disini, hidup Pak Umar dan Bu Tari menjadi lebih berwarna. Ada yang membuat suasana rumah menjadi ceria. Karena selama ini pasangan suami istri itu hanya hidup berdua saja. Ketiga anak mereka jarang berkunjung kesini, tentu saja dengan alasan yang sangat klasik, yaitu sibuk. Anak bungsu Pak Umar bernama Fahrul, ia juga jarang mengunjungi orang tuanya Apalagi mereka tinggal di kota yang berbeda, walaupun jarak tempuh hanya sekitar dua jam saja. "Pak, seharusnya Bapak dan Ibu hidup tenang, memperbanyak ibadah, selalu berpikir positif biar selalu sehat." Farida berkata lagi, menceramahi orang tuanya. "Seharusnya kamu yang memperbanyak ibadah dan sering ikut pengajian. Jangan hanya memikirkan duniawi saja," celetuk Bu Tari. Ia juga mulai kesal dengan ucapan anaknya itu. Farida tersentak mendengar ucapan ibunya. Perempuan beranak dua itu tampak kesal karena Bu Tari malah menyindirnya. Kemudian Farida mulai mengalihkan pembicaraan. "Lulus SMA Liqa mau ngapain?" tanya Farida. "Dia mau kuliah." Bu Tari berkata dengan bangga. "Kuliah itu mahal, siapa yang mau membiayai. Apa Bapak dan Ibu sanggup membiayainya? Kenapa nggak disuruh menikah saja atau suruh Mas Farhan membiayai anaknya. Jadi nggak merepotkan Bapak dan Ibu. Orang tua nggak bertanggung jawab, punya anak kok malah dititipkan. Sedangkan ia malah asyik hidup dengan perempuan penjilat itu." Farida masih saja ngotot. Ia berkata dengan berapi-api untuk memprovokasi orang tuanya. "Kamu nggak usah repot-repot memikirkannya. Liqa nggak bakal minta uang sama kamu." Bu Tari berkata dengan sangat kesal. Tanpa mereka sadari, Liqa mendengarkan semua ucapan mereka. Hatinya sangat sakit mendengar kata-kata tantenya itu. Entah kenapa semenjak ia tinggal disini, tantenya itu tidak pernah menunjukkan sikap yang bersahabat, selalu saja memusuhi Liqa. Kemudian Liqa muncul di hadapan Farida "Jangan khawatir, Te. Liqa nggak akan merepotkan Kakek dan Nenek. Liqa mampu membiayai hidup Liqa sendiri. Masih ada Ibu yang menghidupi Liqa, yang rutin mengirimkan uang untuk keperluan Liqa dan Aksa." Liqa berkata dengan tenang, walaupun dalam hatinya emosi mulai berkecamuk dan siap untuk dimuntahkan. Tapi ia masih berusaha tenang, demi menghormati Kakek dan neneknya. "Kalau mampu, kenapa masih tinggal disini?" cibir Farida sambil menatap Liqa dengan tatapan penuh intimidasi. Kali ini Liqa tidak takut, ia pun menatap tajam pada Farida. "Sebelum Kakek atau Nenek mengusir Liqa, Liqa masih akan tinggal disini." Liqa berkata dengan tegas. Pak Umar dan Bu Tari tersenyum mendengar kata-kata Liqa. Mereka sangat menyayangi Liqa dan Aksa, bahkan sang kakek sudah menyiapkan tabungan untuk Liqa dan Aksa kuliah nanti. Farida menjadi sangat kesal dengan ucapan Liqa. Ia merasa kalau keponakannya itu mulai berani melawannya, karena selalu dibela Pak Umar dan Bu Tari. "Farida, kenapa kamu membenci Liqa. Dia itu keponakanmu. Bapak lihat, ia juga nggak pernah merecoki segala urusanmu," kata Pak Umar. "Aku tidak membencinya, Pak. Hanya saja tidak suka dengan keberadaannya di rumah ini. Merepotkan Bapak dan Ibu." Farida masih membela diri dihadapan orang tuanya. Padahal ada maksud tertentu dalam diri Farida. "Kami tidak merasa direpotkan, justru karena ada Liqa, Bapak dan Ibu senang. Karena ada yang mengurus kami. Ada yang selalu kami mintai tolong dan kami suruh-suruh. Kamu tidak setiap hari ada disini." Pak Umar menjelaskan pada Farida. "Aku kan punya keluarga yang mesti aku urus juga." Ucapan Farida mulai meninggi intonasinya. "Makanya itu, kamu harus bersyukur ada Liqa disini. Jadi kamu nggak repot-repot mengurus kami. Kamu kan sibuk dengan urusanmu sendiri." Pak Umar berusaha meredam emosi anak perempuan satu-satunya itu. "Bukankah kamu kesini kalau sedang ada butuh saja?" sindir Bu Tari yang sudah mulai kesal juga dengan ucapan Farida. Liqa tersenyum mendengar ucapan neneknya. "Sekarang kamu butuh apa? Uang? Berapa?" selidik Pak Umar. Farida hanya terdiam.Farida semakin tersentak mendengar sindiran orang tuanya. Memang tujuannya kesini mau meminjam uang, sebenarnya bukan meminjam tapi meminta dengan alasan meminjam. Karena beberapa kali Farida meminjam uang pada orang tuanya tapi tidak pernah dikembalikan."Sepuluh juta, Pak." Farida berkata dengan pelan, karena ada Liqa diantara mereka."Untuk apa? Kamu kan punya suami, kalau butuh uang minta sama suami," kata Pak Umar."Ada keperluan yang mendesak, Pak. Mas Hendri juga sedang ada kebutuhan lain, makanya aku nggak tega mau meminta uang padanya," kilah Farida. Tentu saja ia berbohong."Jadi keperluan mendesakmu ini Hendri nggak tahu?" cecar Pak Umar.Farida hanya menggelengkan kepala."Farida, yang namanya berumah tangga itu, suami istri harus saling terbuka. Apalagi ini tentang uang yang tidak sedikit." Pak Umar berusaha memberi pengertian pada Farida.Farida menjadi kesal."Bapak mau meminjamkan uang, nggak?" tanya Farida."Uang segitu Bapak nggak punya. Kalau hanya satu juta, Bapak
Jantung Liqa terasa berdebar-debar melihat siapa yang datang. "Eh, Naren. Boleh kok gabung," sahut Ara."Aku mengganggu nggak?" tanya Naren."Enggak." Ara langsung menjawab. Naren tampak ganteng hari ini, eh sebenarnya bukan hari ini saja. Tapi setiap hari ia tampak ganteng. Siapa sih yang nggak kenal Naren di SMAN 2. Sudah ganteng, anak orang kaya, pintar, baik, pokoknya semua sifat positif sudah diborong olehnya. Jangan ditanya bagaimana reaksi cewek-cewek ketika berdekatan dengan Naren. Seperti bertemu dengan artis.Naren pun memesan makanan. Mereka mengobrol dengan santai. Walaupun selama mereka sekolah, tidak pernah bisa ngobrol sesantai ini. Memang Naren dan Ara cukup akrab, jadi Naren juga cukup dekat dengan Liqa. "Aku ke belakang dulu, ya?" pamit Ara."Jangan lama-lama, Ra," kata Liqa.Ara hanya tersenyum."Kamu mau kuliah dimana, Liqa?" tanya Naren. "Insyaallah di Palembang, kalau diterima di universitas negeri. Kalau nggak diterima pun aku tetap ke Palembang.""Oh, kalau
"Kamu melamun ya? Kamu tadi hampir menabrak orang. Berhenti dulu," teriak Naren.Liqa menghentikan laju motornya, mematikan mesin dan turun dari motor. Kemudian berdiri di samping motor dan mulai menangis.Naren mendekatinya."Kamu tahu Naren, terkadang aku sudah mulai menyerah dalam hidupku. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup, tapi aku selalu teringat Ibu, Aksa, Kakek dan Nenek. Aku juga masih ingat akan dosa."Naren hanya mendengarkan saja kata-kata Liqa, ia tidak tahu harus berbuat apa. "Naren, terima kasih sudah mau menjadi temanku. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu. Semoga kalau nanti kamu sukses, masih ingat sama aku." Liqa berkata sambil tersenyum."Aku akan selalu menjadi temanmu. Kalau kamu butuh teman untuk berbicara, aku akan selalu ada untukmu.""Terima kasih, Naren. Sekarang aku mau pulang.""Oke, aku akan mengikutimu dari belakang."Liqa mengangguk, akhirnya mereka pulang beriringan. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengamati mereka.Sampai juga di rumah Pak U
Semua mata menoleh ke arah pintu. Tampak Nesya dan Sherly yang berjalan masuk ke arah Naren duduk.Liqa tampak deg-degan, ia takut jika Nesya membuat kegaduhan di kelasnya. Bukan apa-apa, ia hanya malu jika sampai ribut dengan Nesya hanya gara-gara laki-laki. Apalagi mereka sudah kelas dua belas dan Minggu depan sudah mulai ujian praktek kemudian dilanjutkan dengan ujian sekolah. Ia tidak mau namanya tercoreng di tercatat di guru BK karena melakukan kesalahan.Suasana tampak hening, semua mata yang ada di kelas itu tertuju pada Nesya dan Sherly. Mereka sebenarnya sudah tahu desas-desus kalau Naren dan Nesya itu berpacaran. Padahal fakta yang sebenarnya adalah sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Siapa sih yang tidak kenal dengan Nesya? Anak orang yang kaya dan terpandang di daerah mereka. Nesya juga termasuk anak yang pintar, hanya saja kadangkala kelakuannya suka seenaknya. Sering ribut dengan teman-teman hanya masalah yang sepele. Sedangkan Sherly itu teman baik Nesya atau l
"Cuci muka, Bu. Biar nggak ngantuk," kata Liqa pada Bu Hana, guru BK di sekolahnya."Oh, ya sudah segera masuk ke kelas.""Iya, Bu. Permisi." Liqa pun segera masuk ke kelas lagi, dari kejauhan tampak Naren berjalan menuju ke arahnya. Liqa bergegas, ia tidak mau berpapasan dengan Naren. Akhirnya ia masuk ke kelasnya. Bel tanda pulang sudah berbunyi, Liqa segera menuju ke tempat parkir. Biasanya ia ber haha hihi dulu dengan teman-temannya. Tapi tidak dengan hari ini. Liqa seperti tergesa-gesa, ia langsung mengendarai motornya."Liqa!" panggil seseorang. Tanpa menoleh pun Liqa tahu kalau itu suara Naren. Tapi ia pura-pura tidak mendengar panggilan tersebut. Liqa melajukan motornya dengan kecepatan sedang, keinginannya hanya satu, segera sampai di rumah dan istirahat.***"Liqa, ada yang nyariin kamu," panggil neneknya sambil membuka pintu kamar Liqa."Siapa Nek?" Liqa meletakkan ponselnya."Naren. Cepat temui Naren."Jantung Liqa berdebar dengan kencang mendengar nama Naren disebut oleh
Liqa sangat mengenali suara itu, ia pun menoleh. Tampak Farhan, ayahnya sedang berbincang dengan Esti. "Halo juga, Mas," jawab Esti. "Sama siapa?" tanya Farhan. "Liqa," sahut Esti sambil menunjuk ke arah Liqa. "Kok sama Liqa?" "Menemaninya membuat buku tabungan, sebentar lagi kan kuliah, harus punya rekening sendiri?" jawab Esti. Hati Farhan terasa perih, seharusnya Liqa lebih dekat dengannya, daripada Esti yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. "Liqa?" panggil Farhan. "Iya, Ayah." Liqa memang seperti itu, kalau hanya berdua dengan ayahnya ia masih bisa bicara dengan baik dan sopan. Tapi kalau ada Rosita, selalu berdebat tanpa henti. "Apakah sudah ada pengumuman? Maksud Ayah, kuliahmu?" tanya Farhan. "Belum, Yah. Katanya satu Minggu lagi." "Semoga lulus ya?" "Amin. Terima kasih untuk doanya." "Mana nomor rekeningmu?" tanya Farhan. "Ini, Mas." Esti menunjukkan buku rekening Liqa. Farhan kemudian memfoto buku tabungan itu. "Nanti Ayah transfer uang untuk keperl
"Farida! Kamu nggak berhak bertindak seperti tadi. Bapak sama Ibu saja nggak mau menggeledah bawaan Liqa. Kok kamu seenaknya saja melakukan itu. Jangan perlakukan Liqa seperti itu," kata Pak Umar dengan marah.Lelaki beranak tiga itu terlihat berusaha meredam emosinya. Ia sangat kecewa dengan kelakuan Farida. Kemudian ia menarik nafas panjang."Kamu kenapa begitu membenci Liqa? Apa salah dia padamu?" kata Bu Tari dengan pelan."Bu, aku takut kalau Liqa itu salah pergaulan. Keluarganya kan berantakan, siapa tahu ia akan melakukan hal-hal yang nantinya membuat malu keluarga kita," jawab Farida."Sejak kapan kamu peduli dengan Liqa?" sahut Pak Umar.Farida hanya terdiam saja. Benar yang dikatakan Pak Umar, ia memang tidak pernah peduli dengan Liqa. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Liqa. Yang ia pedulikan hanyalah uang."Pak, apa Sari selalu mengirim uang untuk Bapak? Maksudku untuk membantu biaya hidup Liqa?" tanya Farida."Apa urusannya denganmu? Walaupun misalnya Sari tidak mengiri
Liqa mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet. Membuka dompet itu dan mengambil uang yang ada didalamnya."Nek, ini ada uang untuk Nenek," kata Liqa sambil menyerahkan uang untuk Bu Tari."Uang apa, ini?" tanya Bu Tari kebingungan."Nek, tadi Liqa dan Tante Esti pergi ke Bank untuk membuat buku tabungan dan mengambil uang. Ini memang pesanan dari Ibu untuk Nenek." Liqa menjelaskan pada neneknya."Kamu nggak perlu repot-repot. Ini kan bisa untuk biaya kuliah kamu nanti," tolak Bu Tari sembari menyerahkan kembali uang itu pada Liqa."Enggak, Nek. Itu amanah dari Ibu yang harus Liqa sampaikan." Liqa menyerahkan kembali uang itu kepada neneknya.Bu Tari meneteskan air mata."Nanti bilang sama ibumu, terima kasih. Ibumu memang selalu perhatian dengan kami. Nenek sebenarnya sedih melihat ibumu, banting tulang di negeri orang." Bu Tari berkata sambil sesenggukan."Iya, Nek. Nanti Liqa sampaikan. Liqa selalu berdoa semoga Ibu selalu diberi kesehatan. Liqa harus sukses, Nek. Nanti Liqa memint
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan