Liqa mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet. Membuka dompet itu dan mengambil uang yang ada didalamnya."Nek, ini ada uang untuk Nenek," kata Liqa sambil menyerahkan uang untuk Bu Tari."Uang apa, ini?" tanya Bu Tari kebingungan."Nek, tadi Liqa dan Tante Esti pergi ke Bank untuk membuat buku tabungan dan mengambil uang. Ini memang pesanan dari Ibu untuk Nenek." Liqa menjelaskan pada neneknya."Kamu nggak perlu repot-repot. Ini kan bisa untuk biaya kuliah kamu nanti," tolak Bu Tari sembari menyerahkan kembali uang itu pada Liqa."Enggak, Nek. Itu amanah dari Ibu yang harus Liqa sampaikan." Liqa menyerahkan kembali uang itu kepada neneknya.Bu Tari meneteskan air mata."Nanti bilang sama ibumu, terima kasih. Ibumu memang selalu perhatian dengan kami. Nenek sebenarnya sedih melihat ibumu, banting tulang di negeri orang." Bu Tari berkata sambil sesenggukan."Iya, Nek. Nanti Liqa sampaikan. Liqa selalu berdoa semoga Ibu selalu diberi kesehatan. Liqa harus sukses, Nek. Nanti Liqa memint
"Aduh," teriak Liqa, kemudian ia berbalik arah sehingga Liqa dan Melia berhadapan."Makanya punya mulut itu digunakan untuk berbicara baik-baik," kata Melia dengan sinis."Mulutmu lebih kotor lagi, mulut sampah!" kata Liqa dengan tenang. Melia yang emosi agak lengah dan mengendurkan tarikan rambut Liqa. Liqa berusaha melepaskan rambutnya dari tangan Melia, kemudian gantian ia yang menjambak rambut Melia.Rosita yang sedang berjalan mendekati pun berteriak."Lepaskan! Dasar perempuan kotor, tak tahu diri!" teriak Rosita."Yang kotor itu kamu bukan aku. Dasar pelakor nggak punya malu. Urat malu sudah putus dengan menggadaikan tubuhnya pada suami orang." Liqa melepaskan tangannya dari rambut Melia kemudian melangkah pergi. "Awas akan aku adukan pada Ayah," teriak Melia sambil merapikan rambutnya.. Liqa sudah tidak peduli lagi, ia pun segera mengendarai motornya dan keluar dari rumah itu.Sepanjang perjalanan Liqa tampak sangat kesal. Ia masih emosi dengan kejadian tadi. "Lihat saja pem
"Tante sedang banyak masalah, usaha Om Hendri sedang sepi. Banyak klien yang belum membayar, akhirnya produksi menjadi terhambat," kata Farida dengan pelan kemudian menarik nafas panjang.Liqa sudah tahu arah pembicaraan tantenya itu, pasti berhubungan dengan uang."Dan tentu saja pemasukan menjadi berkurang termasuk uang belanja untuk Tante dan untuk kebutuhan Gio dan Irene. Sebenarnya Tante malu untuk mengatakan semua ini, tapi karena terpaksa, mau tidak mau harus Tante katakan. Tante mau meminjam uang sama kamu, bulan pertengahan bulan depan Tante kembalikan," lanjut Farida. Giovani dan Irene adalah anak Farida, mereka terbiasa hidup mewah."Benar dugaanku," kata Liqa dalam hati."Memangnya Tante mau pinjam berapa?" tanya Liqa."Dua puluh juta saja, nanti Tante kembalikan dua puluh satu juta."Liqa kaget mendengar nominal yang disebutkan oleh Farida. Memang uang di rekening Liqa lebih dari itu, tapi ia sudah berjanji akan menggunakan uang itu sebaik mungkin."Banyak sekali Tante!"
Melihat makanan dan snack yang tertata rapi di raknya, membuat Liqa mengingat Nayla, anak Esti. Nayla paling senang kalau diajak membeli jajan disini. Tanpa sadar, Liqa pun mengambil beberapa buah Snack dan makanan yang lainnya. Liqa berpikir untuk mampir ke rumah Esti. Setelah selesai berbelanja, ia keluar dan meletakkan belanjaan di motor."Liqa?" panggil seseorang yang sangat ia kenal. "Ayah?" sahut Liqa."Mau kemana?" tanya Farhan, ayah Liqa."Ke rumah Tante Esti.""Wah, sedang banyak uang nih. Tuh belanjaannya banyak. Kamu itu selalu merepotkan Kakek dan Nenek, kamu minta uang sama mereka, kan?" celetuk Rosita yang baru turun dari mobil.Liqa diam saja. Ia sudah muak dengan Rosita."Kalau ditanya itu jawab," kata Rosita."Sudahlah, Bu. Nggak usah bikin keributan disini," kata Farhan berusaha menenangkan Rosita."Siapa juga yang membuat keributan. Aku cuma mau mengetes telinga anakmu, masih berfungsi nggak? Ditanya baik-baik malah diam saja. Jangan-jangan anakmu sekarang sudah t
"Kenapa Ara tidak jujur padaku? Kenapa harus membohongiku? Aku benar-benar kecewa dengan mereka.""Aku kira Ara itu teman baikku, ternyata bukan."Semua pertanyaan itu melintas dipikiran Liqa. Rasa sedih, kesal dan terluka memenuhi hati dan pikirannya. Tak terasa air mata menetes di pipi Liqa. Drtt…drtt ponselnya berdering, ia melihat nama yang tertera di layar ponsel, Ara. Liqa pun mendiamkan saja, ia sedang malas berinteraksi dengan Ara. Ia merasa Ara mengkhianatinya. Tok…tok, suara orang mengetuk pintu kamar Liqa."Liqa, Liqa." Bu Tari memanggil cucunya.Liqa hanya diam saja, kalau ia menyahut, akan jadi pertanyaan kenapa mata Liqa sembab. "Liqa!" Bu Tari memanggil lagi."Maafkan Liqa, Nek. Liqa membohongi Nenek, terpaksa pura-pura tidur," kata Liqa dalam hati.Ceklek! Pintu kamar Liqa dibuka oleh Bu Tari bersamaan dengan ponsel Liqa yang berdering lagi.Bu Tari pun mengangkat panggilan di ponsel itu karena ia mengenal siapa yang menghubungi Liqa."Halo," sapa Bu Tari."......."
"Maaf Kek. Liqa mau mandi," kata Liqa."Mandi? Jam segini baru mandi? Dari tadi kemana saja?" kata Pak Umar dengan nada tinggi. Ia heran, karena biasanya Liqa sudah mandi sebelum magrib. Liqa tersentak, karena baru kali ini kakeknya berkata dengan intonasi tinggi padanya. Ia merasa dimarahi oleh Pak Umar. Hatinya sangat kecewa, ia pun menunduk. Bu Tari yang melihat ekspresi wajah Liqa menjadi iba. "Tuh kan. Tadi sudah aku bilang, anak gadis kok jam segini baru mandi. Malah tadi aku datang baru bangun dari tidur. Dasar pemalas, hidup menumpang kok kayak bos," kata Farida memprovokasi Pak Umar. Pak Umar hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Ia sudah sangat paham dengan watak anaknya itu. Selalu menganggap orang lain itu salah, hanya dirinya yang paling benar."Sudah selesai ngocehnya? Ayo salat magrib dulu, nanti setelah salat ngocehnya disambung lagi. Liqa, buruan mandi," perintah Pak Umar."Iya, Kek!" Liqa segera menuju ke kamar mandi. Ia merasa sedih karena tadi kakeknya sempat
"Iya, Tante Farida mau meminjam uang sama Liqa." Liqa berkata dengan pelan."Berapa?" tanya Bu Tari."Diam kamu, atau aku usir kamu dari sini." Farida beranjak dari duduknya dan mendekati Liqa. Liqa sudah tidak mau lagi mengalah, ia bertekad akan melawan Farida."Dua puluh juta!" sahut Liqa dengan tegas."Apa?" Bu Tari membelalakkan matanya."Untuk apa uang sebanyak itu Farida?" tanya Pak Umar sambil mengelus dadanya. "Untuk apa!" bentak Pak Umar."U…untuk kebutuhan sehari-hari," jawab Farida dengan pelan."Memangnya Hendri tidak memberi nafkah?" tanya Bu Tari."Tentu saja masih memberi nafkah," kilah Farida."Terus untuk apa uang itu?" cecar Bu Tari."Tadi kan aku sudah ngomong," elak Farida. Liqa tersenyum melihat Farida gugup."Rasain Tante! Coba Tante selalu bersikap baik sama Liqa, mungkin Liqa mau meminjamkan uang. Makanya jangan sombong," cibir Liqa dalam hati. Farida yang menatap Liqa menjadi semakin kesal."Awas kamu Liqa, aku akan membuat perhitungan padamu," kata Farida
[Liqa, beberapa kali aku menelponmu, tapi tidak kamu angkat. Kamu marah sama aku ya?][Aku mau jujur sama kamu. Aku dan Naren memang berpacaran, maaf aku menyembunyikan semua ini. Termasuk ketika aku putus dengan Rifky.][Naren selalu ada untukku, dia yang menghiburku ketika aku sedang patah hati. Ternyata selama ini Naren memang menyukaiku, tapi karena aku masih punya pacar, jadi Naren mengalah.][Maaf kalau aku membuatmu patah hati. Aku tahu kalau kamu menyukai Naren. Walaupun kamu menutupinya, tapi aku tahu. Sebenarnya aku sudah menolak Naren, karena aku tidak mau menyakiti kamu. Tapi Naren tetap menegaskan kalau ia sangat mencintaiku. Kamu tahu kan kalau aku gampang luluh.][Semoga kamu mau memaafkan aku. Aku yakin kamu nanti akan mendapatkan laki-laki yang mencintaimu dengan tulus. Karena akan sangat menyakitkan kalau kamu tetap berharap pada Naren, sedangkan Naren mencintai orang lain.]Air mata Liqa mengalir membaca pesan dari Ara. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya."Kok
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan