"Iya, Tante Farida mau meminjam uang sama Liqa." Liqa berkata dengan pelan."Berapa?" tanya Bu Tari."Diam kamu, atau aku usir kamu dari sini." Farida beranjak dari duduknya dan mendekati Liqa. Liqa sudah tidak mau lagi mengalah, ia bertekad akan melawan Farida."Dua puluh juta!" sahut Liqa dengan tegas."Apa?" Bu Tari membelalakkan matanya."Untuk apa uang sebanyak itu Farida?" tanya Pak Umar sambil mengelus dadanya. "Untuk apa!" bentak Pak Umar."U…untuk kebutuhan sehari-hari," jawab Farida dengan pelan."Memangnya Hendri tidak memberi nafkah?" tanya Bu Tari."Tentu saja masih memberi nafkah," kilah Farida."Terus untuk apa uang itu?" cecar Bu Tari."Tadi kan aku sudah ngomong," elak Farida. Liqa tersenyum melihat Farida gugup."Rasain Tante! Coba Tante selalu bersikap baik sama Liqa, mungkin Liqa mau meminjamkan uang. Makanya jangan sombong," cibir Liqa dalam hati. Farida yang menatap Liqa menjadi semakin kesal."Awas kamu Liqa, aku akan membuat perhitungan padamu," kata Farida
[Liqa, beberapa kali aku menelponmu, tapi tidak kamu angkat. Kamu marah sama aku ya?][Aku mau jujur sama kamu. Aku dan Naren memang berpacaran, maaf aku menyembunyikan semua ini. Termasuk ketika aku putus dengan Rifky.][Naren selalu ada untukku, dia yang menghiburku ketika aku sedang patah hati. Ternyata selama ini Naren memang menyukaiku, tapi karena aku masih punya pacar, jadi Naren mengalah.][Maaf kalau aku membuatmu patah hati. Aku tahu kalau kamu menyukai Naren. Walaupun kamu menutupinya, tapi aku tahu. Sebenarnya aku sudah menolak Naren, karena aku tidak mau menyakiti kamu. Tapi Naren tetap menegaskan kalau ia sangat mencintaiku. Kamu tahu kan kalau aku gampang luluh.][Semoga kamu mau memaafkan aku. Aku yakin kamu nanti akan mendapatkan laki-laki yang mencintaimu dengan tulus. Karena akan sangat menyakitkan kalau kamu tetap berharap pada Naren, sedangkan Naren mencintai orang lain.]Air mata Liqa mengalir membaca pesan dari Ara. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya."Kok
"Sudahlah Naren, nggak usah dibahas lagi. Aku tadi salah bicara," kata Liqa dengan mata yang berkaca-kaca.Naren menjadi iba melihat Liqa yang mau menangis. Ia pun memegang tangan Liqa, Liqa tampak terkejut, jantungnya berdebar-debar."Maafkan aku," kata Naren."Enggak, kamu nggak salah kok!" Liqa berusaha untuk tersenyum."Aku pasti akan merindukan saat-saat bersamamu. Bercerita, bercanda, melihatmu menangis dan main ke rumah Kakek." Naren berkata dengan serius."Liqa, sejujurnya aku sangat menyukaimu. Aku ingin kita punya suatu komitmen untuk masa depan kita nanti. Apa kamu mau berjanji kalau kita sama-sama berjuang kuliah dan setelah kuliah kita bisa bersama merencanakan masa depan. Impianku, suatu saat kita akan hidup bersama." Naren berkata dengan menatap Liqa. Liqa yang dari tadi deg-degan mencoba mengalihkan pandangan ke tempat lain."Naren, aku nggak tahu mau menjawab apa. Fokusku sekarang adalah keluar dari kota ini, kuliah dengan sungguh-sungguh. Bekerja, melihat Aksa mandir
[Ara, aku nggak nyangka kalau kamu berubah jadi seperti ini. Kamu juga tidak bercerita denganku ketika putus dengan Rifky. Inikah yang dinamakan teman? Aku pikir kamu itu teman baikku. Ternyata hanya aku yang menganggapmu teman, tapi kamu malah menganggapku musuh. Apakah karena Naren kamu menjadi seperti ini?] Liqa membalas pesan dari Ara.[Aku mencintai Naren, Naren juga mencintaiku. Jangan kamu mencoba untuk merebutnya dariku. Awas kalau kamu berani merebutnya!][Jangan khawatir, Ara. Kalau kalian saling mencintai, tidak akan ada yang bisa memisahkan kalian. Semoga kalian selalu bahagia.]Tidak ada lagi jawaban dari Ara. Liqa sangat heran dengan perubahan sikap Ara. Ia sangat sedih karena ia merasa sudah tidak bisa mengenali sahabat baiknya itu. "Semua ini gara-gara Naren. Kenapa kamu ganteng sih Naren? Makanya banyak yang tergila-gila denganmu. Termasuk aku, tapi aku cukup sadar diri. Aku harus menggapai impianku dulu. Aku yakin kalau emang jodoh, pasti ada jalannya," gumam Liqa.
Setelah Liqa berkata panjang lebar, Liqa pun masuk ke kamarnya. Ia menangis sepuasnya. Hatinya sangat sedih, ia sangat kecewa dengan ayahnya. Kata orang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Tapi itu tidak berlaku untuk Liqa. Ayah di mata Liqa adalah sosok yang tidak bertanggung jawab, selalu marah-marah dan tidak pantas dijadikan panutan."Farhan, pikiranmu sudah dibutakan oleh Rosita. Liqa itu anak kandungmu sendiri, kenapa kamu selalu marah-marah tidak jelas padanya? Kamu lebih membela Melia daripada Liqa. Apakah didalam doa Melia selalu menyebut namamu? Kalau melihat wataknya Melia, tidak mungkin dia akan berdoa untukmu. Salat saja belum tentu. Tapi Liqa selalu mendoakanmu, semoga kamu mendapatkan hidayah dan membukakan pintu hatimu untuk Liqa dan Aksa. Kamu sudah menyakiti Ibu mereka, sekarang kamu pun selalu menyakiti hati mereka. Kamu nggak pantas disebut Ayah!" Pak Umar sudah sangat marah pada Farhan."Farhan, jujur saja, Ibu malu sekali memiliki anak sepertimu. Oke la
Pagi ini Liqa sudah bersiap-siap untuk berangkat. Ia akan naik travel. Perjalanan sekitar tujuh jam untuk sampai ke kota yang dituju. Pengalaman pertama merantau, sendirian.Tidak banyak yang Liqa bawa. Hanya satu koper pakaiannya dan tas ransel, kemudian kardus yang diberikan neneknya. Tidak lupa ia membawa laptopnya.Perpisahan ini sangat menyedihkan, ia menangis tersedu-sedu memeluk neneknya. Nenek dan Kakek yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri. "Kamu harus kuat dan tegar. Hidup merantau itu susah-susah gampang. Jangan lupa untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Mohon petunjuknya." Pak Umar memberikan wejangan.Akhirnya travel yang ditunggu pun datang. Setelah memasukan barang-barang Liqa, travel segera berangkat.Bu Tari menangis tersedu-sedu."Kasihan Liqa, ya Pak. Dipaksa untuk hidup mandiri karena keadaan.""Liqa itu anak yang kuat, pasti ia akan mampu hidup mandiri. Jangan ditangisi seperti ini, nanti malah ia akan kangen dengan rumah. Semoga Liqa dan Aksa mandi
Setelah salat magrib, Liqa segera berganti pakaian seragam katering. Ia diajak ke gedung untuk membantu menyiapkan katering disana.Sampai di gedung tempat pesta pernikahan, Liqa dibuat terkagum-kagum dengan dekorasi yang ada. Maklumlah ia hanya orang kampung, yang biasanya hadir di acara pernikahan dengan dekorasi yang lebih sederhana.Liqa sibuk menyiapkan segala sesuatunya, ia membantu Siska yang lebih senior. Acara memang sedang berlangsung, tapi bagian katering sibuk dengan perlengkapan. Liqa tidak menyadari ada sepasang mata yang dari tadi mengamatinya."Katanya mahasiswa di UNSRI, nyatanya hanya kerja di catering. Gayanya sok elit, gak sesuai dengan kenyataannya. Nanti aku akan menyapanya, pasti dia akan malu, ketahuan kalau sudah berbohong," gumam seseorang yang ternyata adalah Keenan. Laki-laki yang berada dalam satu travel dengan Liqa kemarin.Acara sudah hampir selesai, petugas catering segera bersiap-siap untuk mengawasi dan mengecek makanan yang habis. "Semua siap-siap,
"Kenapa dia sudah ada di sana? Bukankah kuliahnya masih lama?" tanya Farhan. Ia masih syok dengan cerita yang ia dengar."Untuk apa juga ia disini? Ia sudah tidak mau bertemu denganmu, juga berurusan denganmu." Dengan ketus Bu Tari menjawab pertanyaan Farhan. Farhan semakin sedih, hatinya terasa sangat perih, anak perempuannya sudah tidak menganggapnya sebagai ayah."Bagaimana biaya kuliahnya?" selidik Farhan."Kamu nggak usah khawatir, Liqa tidak meminta uang darimu. Ibunya sanggup membiayai kuliah Liqa. Nanti juga Bapak akan membantunya. Kamu nggak usah memikirkan Liqa. Pikirkan saja Rosita dan Melia." Perkataan Pak Umar menohok Farhan.Farhan terdiam, ia meneteskan air mata. Entahlah apa yang ia rasakan sekarang. "Pak, boleh minta alamat kost Liqa?" tanya Farhan penuh harap."Bapak nggak tahu alamatnya. Tanya saja sama Esti," jawab Pak Umar. "Nggak berani bertemu Esti." Farhan berkata dengan pelan, malu akan perbuatannya."Kenapa? Malu akan kelakuan sendiri? Esti dan Yudhi yang b
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan