Liqa sangat mengenali suara itu, ia pun menoleh. Tampak Farhan, ayahnya sedang berbincang dengan Esti.
"Halo juga, Mas," jawab Esti. "Sama siapa?" tanya Farhan. "Liqa," sahut Esti sambil menunjuk ke arah Liqa. "Kok sama Liqa?" "Menemaninya membuat buku tabungan, sebentar lagi kan kuliah, harus punya rekening sendiri?" jawab Esti. Hati Farhan terasa perih, seharusnya Liqa lebih dekat dengannya, daripada Esti yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali. "Liqa?" panggil Farhan. "Iya, Ayah." Liqa memang seperti itu, kalau hanya berdua dengan ayahnya ia masih bisa bicara dengan baik dan sopan. Tapi kalau ada Rosita, selalu berdebat tanpa henti. "Apakah sudah ada pengumuman? Maksud Ayah, kuliahmu?" tanya Farhan. "Belum, Yah. Katanya satu Minggu lagi." "Semoga lulus ya?" "Amin. Terima kasih untuk doanya." "Mana nomor rekeningmu?" tanya Farhan. "Ini, Mas." Esti menunjukkan buku rekening Liqa. Farhan kemudian memfoto buku tabungan itu. "Nanti Ayah transfer uang untuk keperluanmu dan Aksa." "Nanti Bu Rosita marah kalau tahu Ayah memberi uang untuk kami," sindir Liqa. "Itu urusan Ayah." Akhirnya Liqa dan Esti keluar dari Bank. "Liqa ini buku tabunganmu." Esti memberikan buku tabungan pada Liqa. Liqa langsung memasukkan ke dalam tasnya. "Kamu nggak mau melihat berapa jumlah uangnya? Coba lihat dulu," kata Esti. Liqa mengeluarkan lagi buku tabungannya dan melihat nominal yang tertera disitu. Matanya langsung melotot. "Kok banyak sekali?" tanya Liqa. "Memang itu uang dari ibumu. Kamu manfaatkan sebaik-baiknya ya? Kamu sudah besar, harus bisa mengelola uang itu. Kamu tahu kan, kalau kamu nanti tidak bisa mengandalkan siapapun dalam hal keuangan. Kecuali ibumu. Jadi bijaklah menggunakan uang yang ada." Liqa mengangguk. "Te, Liqa mau ambil uang untuk Nenek. Boleh kan?" "Tentu saja boleh, itu sudah menjadi hakmu. Ayo kita ke ATM." Liqa dan Esti ke ATM mengajari Liqa cara menggunakan ATM. Tadi Liqa juga sudah memasang aplikasi m banking. Selesai dari ATM, mereka pergi ke mall. "Te, makasih ya untuk semuanya. Kalau nggak ada Tante, nggak tahu Liqa jadi seperti apa." "Kamu itu sudah Tante anggap seperti anak sendiri. Bagaimanapun juga kamu itu anak dari sahabat baik Tante. Apapun yang ingin kamu bicarakan dengan Tante, bicarakan saja. Jangan sungkan," kata Esti sambil merangkul Liqa. Liqa menitikkan air mata. "Jangan cengeng ah. Kamu harus kuat, tegar dan mandiri. Demi Aksa, ibumu dan dirimu sendiri. Buktikan pada semua orang, kalau kamu nanti akan berhasil jadi orang sukses. Walaupun keluargamu berantakan. Bagaimana hubunganmu dengan Rosita?" tanya Esti. "Masih seperti dulu, Te. Malah kemarin waktu Ayah bersama Rosita datang ke rumah Kakek, kami ribut besar. Bahkan Ayah dan Rosita sempat menampar Liqa." "Apa? Tega sekali Mas Farhan menamparmu." "Karena Liqa mengejek istrinya. Liqa nggak suka kalau ada orang yang menghina Ibu. Bahkan Rosita mengatakan kalau Ibu jadi TKW itu sebagai simpanan majikannya. Siapa yang nggak marah dibilang begitu, Tante," adu Liqa. "Tidak usah didengarkan omongan Rosita. Ibumu itu orang baik, kamu lihat sendiri kan di YouTube nya. Kerjanya apa saja?" Liqa mengangguk. Memang Sari punya akun YouTube yang berisi pekerjaannya di Taiwan. Ia merawat orang tua yang sakit. Subscriber nya juga sudah banyak. Liqa sering menonton video itu, untuk mengobati rindu pada ibunya. Esti dan Liqa sibuk memilih-milih pakaian untuk Liqa. Esti ingin Liqa tampak cantik, karena ia sudah gadis harus pandai merawat dirinya. Akhirnya ada beberapa pakaian yang dibeli Liqa. Kemudian Esti mengajak untuk membeli skincare. Setelah lelah berbelanja, mereka berdua makan di tempat makan. Sambil menunggu makanan datang, mereka berbincang-bincang. "Liqa, kamu sudah punya pacar?" tanya Esti. Liqa menggelengkan kepala. "Liqa belum berpikir ke arah itu, Te. Masih banyak impian yang mau Liqa raih. Kuliah, punya usaha dan meminta Ibu pulang. Nggak usah jadi TKW lagi. Liqa akan berusaha keras mewujudkannya. Liqa juga memikirkan Aksa, menuntaskan pendidikan Aksa." "Bagus. Ibumu pasti bangga padamu." "Iya, Te. Nanti ada saatnya Ibu tinggal menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Sudah cukup kesedihan Ibu, saatnya bangkit meraih kebahagiaan." Liqa berkata sambil menitikkan air mata. "Kuliah yang benar, jangan terlena ya? Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi Tante." "Iya, Te. Terima kasih." Mereka pun menikmati makanan yang sudah terhidang di meja. Selesai makan akhirnya mereka pulang, dijemput Yudhi. Sampai di rumah Esti, Lika langsung pamit pulang. "Om, Tante, Liqa pulang ya? Terima kasih untuk semuanya," pamit Liqa. "Hati-hati ya Liqa. Salam untuk Kakek dan Nenek." Liqa mengangguk dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Sampai rumah, sudah ada mobil Farida. "Dari mana kamu?" tanya Farida yang sedang duduk bersama Pak Umar dan Bu Tari. "Dari rumah Tante Esti." "Ngapain kesitu." "Main, Tante." "Jangan suka merepotkan orang. Kamu kesitu pasti merepotkan Esti dan Yudhi. Nanti dikiranya kamu nggak diperhatikan sama keluarga disini. Apa itu?" tanya Farida sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa oleh Liqa. "Farida!" seru Bu Tari. "Oh, ini kue dan buah-buahan." Liqa menjawab. "Tuh kan kamu pasti merepotkan mereka. Malu-maluin aja. Itu kok kantong Matahari, memangnya kamu tadi ke Matahari ya?" "Iya, Te." Farida mendekati Liqa dan merebut kantong yang dipegang Liqa. Kemudian membuka kantong plastik itu. "Farida! Kamu nggak berhak menggeledah apapun yang dibawa Liqa," kata Pak Umar. "Lihat, Pak. Baju baru, skin care. Untuk apa semua ini? Apa kamu mau menjual diri!" teriak Farida. "Tante! Jaga bicara Tante. Tante nggak berhak berbicara seperti itu. Liqa mau beli baju atau tidak itu urusan Liqa. Toh Liqa nggak meminta uang pada Tante." "Tapi kamu dapat uang darimana? Menjual diri? Yang kamu beli itu mahal, tahu!" "Uang itu kiriman dari Ibu. Puas!" teriak Liqa, kemudian ia masuk ke kamarnya.Hanya saja, dia sempat merasakan keterkejutan dari wanita itu....
"Farida! Kamu nggak berhak bertindak seperti tadi. Bapak sama Ibu saja nggak mau menggeledah bawaan Liqa. Kok kamu seenaknya saja melakukan itu. Jangan perlakukan Liqa seperti itu," kata Pak Umar dengan marah.Lelaki beranak tiga itu terlihat berusaha meredam emosinya. Ia sangat kecewa dengan kelakuan Farida. Kemudian ia menarik nafas panjang."Kamu kenapa begitu membenci Liqa? Apa salah dia padamu?" kata Bu Tari dengan pelan."Bu, aku takut kalau Liqa itu salah pergaulan. Keluarganya kan berantakan, siapa tahu ia akan melakukan hal-hal yang nantinya membuat malu keluarga kita," jawab Farida."Sejak kapan kamu peduli dengan Liqa?" sahut Pak Umar.Farida hanya terdiam saja. Benar yang dikatakan Pak Umar, ia memang tidak pernah peduli dengan Liqa. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Liqa. Yang ia pedulikan hanyalah uang."Pak, apa Sari selalu mengirim uang untuk Bapak? Maksudku untuk membantu biaya hidup Liqa?" tanya Farida."Apa urusannya denganmu? Walaupun misalnya Sari tidak mengiri
Liqa mengambil tasnya dan mengeluarkan dompet. Membuka dompet itu dan mengambil uang yang ada didalamnya."Nek, ini ada uang untuk Nenek," kata Liqa sambil menyerahkan uang untuk Bu Tari."Uang apa, ini?" tanya Bu Tari kebingungan."Nek, tadi Liqa dan Tante Esti pergi ke Bank untuk membuat buku tabungan dan mengambil uang. Ini memang pesanan dari Ibu untuk Nenek." Liqa menjelaskan pada neneknya."Kamu nggak perlu repot-repot. Ini kan bisa untuk biaya kuliah kamu nanti," tolak Bu Tari sembari menyerahkan kembali uang itu pada Liqa."Enggak, Nek. Itu amanah dari Ibu yang harus Liqa sampaikan." Liqa menyerahkan kembali uang itu kepada neneknya.Bu Tari meneteskan air mata."Nanti bilang sama ibumu, terima kasih. Ibumu memang selalu perhatian dengan kami. Nenek sebenarnya sedih melihat ibumu, banting tulang di negeri orang." Bu Tari berkata sambil sesenggukan."Iya, Nek. Nanti Liqa sampaikan. Liqa selalu berdoa semoga Ibu selalu diberi kesehatan. Liqa harus sukses, Nek. Nanti Liqa memint
"Aduh," teriak Liqa, kemudian ia berbalik arah sehingga Liqa dan Melia berhadapan."Makanya punya mulut itu digunakan untuk berbicara baik-baik," kata Melia dengan sinis."Mulutmu lebih kotor lagi, mulut sampah!" kata Liqa dengan tenang. Melia yang emosi agak lengah dan mengendurkan tarikan rambut Liqa. Liqa berusaha melepaskan rambutnya dari tangan Melia, kemudian gantian ia yang menjambak rambut Melia.Rosita yang sedang berjalan mendekati pun berteriak."Lepaskan! Dasar perempuan kotor, tak tahu diri!" teriak Rosita."Yang kotor itu kamu bukan aku. Dasar pelakor nggak punya malu. Urat malu sudah putus dengan menggadaikan tubuhnya pada suami orang." Liqa melepaskan tangannya dari rambut Melia kemudian melangkah pergi. "Awas akan aku adukan pada Ayah," teriak Melia sambil merapikan rambutnya.. Liqa sudah tidak peduli lagi, ia pun segera mengendarai motornya dan keluar dari rumah itu.Sepanjang perjalanan Liqa tampak sangat kesal. Ia masih emosi dengan kejadian tadi. "Lihat saja pem
"Tante sedang banyak masalah, usaha Om Hendri sedang sepi. Banyak klien yang belum membayar, akhirnya produksi menjadi terhambat," kata Farida dengan pelan kemudian menarik nafas panjang.Liqa sudah tahu arah pembicaraan tantenya itu, pasti berhubungan dengan uang."Dan tentu saja pemasukan menjadi berkurang termasuk uang belanja untuk Tante dan untuk kebutuhan Gio dan Irene. Sebenarnya Tante malu untuk mengatakan semua ini, tapi karena terpaksa, mau tidak mau harus Tante katakan. Tante mau meminjam uang sama kamu, bulan pertengahan bulan depan Tante kembalikan," lanjut Farida. Giovani dan Irene adalah anak Farida, mereka terbiasa hidup mewah."Benar dugaanku," kata Liqa dalam hati."Memangnya Tante mau pinjam berapa?" tanya Liqa."Dua puluh juta saja, nanti Tante kembalikan dua puluh satu juta."Liqa kaget mendengar nominal yang disebutkan oleh Farida. Memang uang di rekening Liqa lebih dari itu, tapi ia sudah berjanji akan menggunakan uang itu sebaik mungkin."Banyak sekali Tante!"
Melihat makanan dan snack yang tertata rapi di raknya, membuat Liqa mengingat Nayla, anak Esti. Nayla paling senang kalau diajak membeli jajan disini. Tanpa sadar, Liqa pun mengambil beberapa buah Snack dan makanan yang lainnya. Liqa berpikir untuk mampir ke rumah Esti. Setelah selesai berbelanja, ia keluar dan meletakkan belanjaan di motor."Liqa?" panggil seseorang yang sangat ia kenal. "Ayah?" sahut Liqa."Mau kemana?" tanya Farhan, ayah Liqa."Ke rumah Tante Esti.""Wah, sedang banyak uang nih. Tuh belanjaannya banyak. Kamu itu selalu merepotkan Kakek dan Nenek, kamu minta uang sama mereka, kan?" celetuk Rosita yang baru turun dari mobil.Liqa diam saja. Ia sudah muak dengan Rosita."Kalau ditanya itu jawab," kata Rosita."Sudahlah, Bu. Nggak usah bikin keributan disini," kata Farhan berusaha menenangkan Rosita."Siapa juga yang membuat keributan. Aku cuma mau mengetes telinga anakmu, masih berfungsi nggak? Ditanya baik-baik malah diam saja. Jangan-jangan anakmu sekarang sudah t
"Kenapa Ara tidak jujur padaku? Kenapa harus membohongiku? Aku benar-benar kecewa dengan mereka.""Aku kira Ara itu teman baikku, ternyata bukan."Semua pertanyaan itu melintas dipikiran Liqa. Rasa sedih, kesal dan terluka memenuhi hati dan pikirannya. Tak terasa air mata menetes di pipi Liqa. Drtt…drtt ponselnya berdering, ia melihat nama yang tertera di layar ponsel, Ara. Liqa pun mendiamkan saja, ia sedang malas berinteraksi dengan Ara. Ia merasa Ara mengkhianatinya. Tok…tok, suara orang mengetuk pintu kamar Liqa."Liqa, Liqa." Bu Tari memanggil cucunya.Liqa hanya diam saja, kalau ia menyahut, akan jadi pertanyaan kenapa mata Liqa sembab. "Liqa!" Bu Tari memanggil lagi."Maafkan Liqa, Nek. Liqa membohongi Nenek, terpaksa pura-pura tidur," kata Liqa dalam hati.Ceklek! Pintu kamar Liqa dibuka oleh Bu Tari bersamaan dengan ponsel Liqa yang berdering lagi.Bu Tari pun mengangkat panggilan di ponsel itu karena ia mengenal siapa yang menghubungi Liqa."Halo," sapa Bu Tari."......."
"Maaf Kek. Liqa mau mandi," kata Liqa."Mandi? Jam segini baru mandi? Dari tadi kemana saja?" kata Pak Umar dengan nada tinggi. Ia heran, karena biasanya Liqa sudah mandi sebelum magrib. Liqa tersentak, karena baru kali ini kakeknya berkata dengan intonasi tinggi padanya. Ia merasa dimarahi oleh Pak Umar. Hatinya sangat kecewa, ia pun menunduk. Bu Tari yang melihat ekspresi wajah Liqa menjadi iba. "Tuh kan. Tadi sudah aku bilang, anak gadis kok jam segini baru mandi. Malah tadi aku datang baru bangun dari tidur. Dasar pemalas, hidup menumpang kok kayak bos," kata Farida memprovokasi Pak Umar. Pak Umar hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Ia sudah sangat paham dengan watak anaknya itu. Selalu menganggap orang lain itu salah, hanya dirinya yang paling benar."Sudah selesai ngocehnya? Ayo salat magrib dulu, nanti setelah salat ngocehnya disambung lagi. Liqa, buruan mandi," perintah Pak Umar."Iya, Kek!" Liqa segera menuju ke kamar mandi. Ia merasa sedih karena tadi kakeknya sempat
"Iya, Tante Farida mau meminjam uang sama Liqa." Liqa berkata dengan pelan."Berapa?" tanya Bu Tari."Diam kamu, atau aku usir kamu dari sini." Farida beranjak dari duduknya dan mendekati Liqa. Liqa sudah tidak mau lagi mengalah, ia bertekad akan melawan Farida."Dua puluh juta!" sahut Liqa dengan tegas."Apa?" Bu Tari membelalakkan matanya."Untuk apa uang sebanyak itu Farida?" tanya Pak Umar sambil mengelus dadanya. "Untuk apa!" bentak Pak Umar."U…untuk kebutuhan sehari-hari," jawab Farida dengan pelan."Memangnya Hendri tidak memberi nafkah?" tanya Bu Tari."Tentu saja masih memberi nafkah," kilah Farida."Terus untuk apa uang itu?" cecar Bu Tari."Tadi kan aku sudah ngomong," elak Farida. Liqa tersenyum melihat Farida gugup."Rasain Tante! Coba Tante selalu bersikap baik sama Liqa, mungkin Liqa mau meminjamkan uang. Makanya jangan sombong," cibir Liqa dalam hati. Farida yang menatap Liqa menjadi semakin kesal."Awas kamu Liqa, aku akan membuat perhitungan padamu," kata Farida
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan