Sadar Diri

"Cuci muka, Bu. Biar nggak ngantuk," kata Liqa pada Bu Hana, guru BK di sekolahnya.

"Oh, ya sudah segera masuk ke kelas."

"Iya, Bu. Permisi." Liqa pun segera masuk ke kelas lagi, dari kejauhan tampak Naren berjalan menuju ke arahnya. Liqa bergegas, ia tidak mau berpapasan dengan Naren. Akhirnya ia masuk ke kelasnya. 

Bel tanda pulang sudah berbunyi, Liqa segera menuju ke tempat parkir. Biasanya ia ber haha hihi dulu dengan teman-temannya. Tapi tidak dengan hari ini. Liqa seperti tergesa-gesa, ia langsung mengendarai motornya.

"Liqa!" panggil seseorang. Tanpa menoleh pun Liqa tahu kalau itu suara Naren. Tapi ia pura-pura tidak mendengar panggilan tersebut. Liqa melajukan motornya dengan kecepatan sedang, keinginannya hanya satu, segera sampai di rumah dan istirahat.

***

"Liqa, ada yang nyariin kamu," panggil neneknya sambil membuka pintu kamar Liqa.

"Siapa Nek?" Liqa meletakkan ponselnya.

"Naren. Cepat temui Naren."

Jantung Liqa berdebar dengan kencang mendengar nama Naren disebut oleh neneknya. Naren memang sudah tidak asing bagi Kakek dan neneknya Liqa, karena sering main kesini.

"Ngapain sih Naren kesini? Nanti malah bikin Nesya menghinaku lagi," kata Liqa dalam hati.

"Iya, Nek. Aku akan menemuinya." Liqa segera merapikan rambut dan bercermin sebentar, kemudian ia menemui Naren.

Tampak Naren sedang memainkan ponselnya. Ia memandangi Naren dari kejauhan, Naren tampak ganteng seperti biasanya.

"Naren? Ada apa?" tanya Liqa yang kemudian duduk berhadapan dengan Naren. Naren meletakkan ponselnya.

"Apa kedatanganku mengganggumu?" tanya Naren.

"Enggak kok."

"Syukurlah! Aku mau minta maaf soal Nesya tadi. Nggak usah kamu masukkan ke hati ucapan Nesya ya? Ia memang seperti itu orangnya. Nesya tadi sengaja mau memancing emosimu, tapi aku salut sama kamu, kamu bisa menahan diri." Naren berkata dengan sangat berhati-hati, takut kalau menyinggung Liqa.

"Aku nggak mau membuat masalah dengan siapapun di sekolah. Aku ingin mengakhiri masa sekolahku dengan baik, tanpa ada cacat kelakuan."

Liqa menarik nafas panjang kemudian berkata lagi.

"Tolong jelasin sama Nesya, kalau kita hanya berteman saja. Jadi jangan khawatir, aku nggak akan merebut kamu dari Nesya. Lagipula aku juga sadar diri, kok."

"Nggak ada yang perlu dijelaskan pada Nesya, aku hanya berteman dengannya, nggak lebih."

"Bukannya dia itu pacarmu? Satu sekolah juga tahu kok kalau kalian pacaran,” selidik Liqa.

Naren menggelengkan kepalanya.

"Aku memang menyukai seseorang, tapi bukan dia."

"Ooo." Liqa menanggapi dengan singkat.

"Berarti memang Naren menyukai Ara," kata Liqa dalam hati.

"Aku tahu kalau kamu tadi sengaja menghindariku, entah apa maksudnya, tapi aku tahu kalau kamu sengaja melakukannya. Kalau aku ada salah sama kamu, aku minta maaf."

"Itu hanya perasaanmu saja. Aku nggak menghindarimu, kok. Aku tadi memang buru-buru pulang. Sekarang aku hanya berusaha menjaga jarak denganmu, supaya orang-orang nggak salah paham tentang kita."

Naren hanya diam termangu, lamunannya buyar, ketika ponselnya berbunyi. Ternyata sebuah pesan, akhirnya ia pamit pulang.

Liqa kembali masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Pikirannya berkelana jauh, meratapi hidupnya yang selalu penuh dengan permasalahan. 

"Ibu, Liqa kangen Ibu. Liqa ingin dipeluk Ibu." Liqa menangis sesenggukan sambil menyebut nama ibunya. Akhirnya ia terlelap dalam mimpi.

**

"Nek, Liqa mau ke rumah Tante Esti ya?" pamit Liqa pada Bu Tari.

"Ya, hati-hati ya?" kata Bu Tari. Liqa mengangguk kemudian mencium tangan neneknya.

Dengan mengendarai motor, Liqa pun pergi ke rumah Esti. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di ruang Esti, sekitar lima belas menit.

Rumah Esti tampak asri dengan bunga-bunga di pot yang tersusun rapi. Beberapa tahun yang lalu, Liqa sering kesini bersama ibunya, Sari.

Ketika Liqa mau mengetuk pintu rumah Esti, ternyata Esti sudah membuka pintu.

"Sudah lama, Liqa?" tanya Esti.

"Belum, Te. Baru saja sampai."

"Motornya masukkan ke garasi ya?"

"Iya, Te." Liqa segera memasukkan motornya ke garasi. 

"Ayo kita berangkat," kata Esti pada Liqa. 

Mereka pergi diantar Yudhi, suami Esti. Hari ini Esti mengajak Liqa ke Bank. Sebenarnya sudah dari Minggu yang lalu Esti mengajak Liqa, tapi karena Liqa masih banyak kegiatan, jadi tidak bisa. 

"Ayo, Tante," sahut Liqa.

Esti adalah teman baik Sari, ibunya Liqa. Selama ini Sari mengirim uang melalui Esti dan meminta Esti untuk mengatur keuangan Liqa. Karena Liqa masih remaja, takutnya nanti tidak bisa mengolahnya.

Karena Liqa sudah tujuh belas tahun dan sudah punya KTP, dan juga mau kuliah, Esti mengajak Liqa untuk membuat buku tabungan sendiri, sesuai dengan janji Esti pada Sari. Nanti uang dari Sari bisa langsung ditransfer ke Liqa.

Liqa dan Esti turun di depan gedung Bank, sedangkan Yudhi hanya mengantar saja. Suasana di dalam Bank tidak terlalu ramai, Esti pun langsung mengambil antrian untuk ke customer servicenya.

Hanya menunggu sebentar, Esti pun dipanggil oleh customer service. Esti dan Liqa menuju ke customer service, setelah berbasa-basi sedikit, Liqa segera mengisi formulir yang sudah disediakan. Tidak butuh waktu lama, akhirnya selesai juga Liqa membuat buku tabungan. 

"Kamu duduk disini dulu, ya? Tante mau ke situ, mana buku tabunganmu?" tanya Esti.

"Ini, Te." Liqa menyerahkan buku tabungannya pada Esti.

Sambil menunggu transaksi yang dilakukan Esti di Teller, Liqa menyibukkan diri dengan bermain ponsel. 

"Halo Esti," sapa seseorang, ketika Esti selesai bertransaksi di Teller.