Selembar surat itu berhasil membuat mood Martin hancur seharian. Setidaknya tiga staff di kantor menjadi amukan pria itu karena hal sepele. "Jika tidak niat bekerja, sebaiknya kau pulang saja! Mengerjakan laporan saja tidak becus. Keluar dari ruanganku dan buat ulang laporan sekarang juga!!" hardik Martin pada karyawati bagian keuangan yang akhirnya keluar sambil menangis. "Mengapa semua membuatku kesal hari ini?! Ck!" Martin membanting punggung pada sandaran kursi, menatap jengah bunga mawar artifisial di vas kaca. Satu jam kemudian Martin memutuskan pulang ke apartemen. Meski jam operasional kantor baru berakhir tiga jam lagi. Pria itu bahkan tak peduli saat sekretarisnya mengingatkan tentang agenda menyambut tamu penting. "Tunda saja. Katakan jika aku sibuk," ucapnya acuh sambil melenggang pergi. Mobil hitamnya meluncur di keramaian kota. Tatapan tajam yang fokus tiba-tiba menangkap kelebatan mobil lain yang ia kenal. Mobil putih yang biasa asisten Vinn kendarai. Timbul keingi
17.40 WIBJD menghentikan mobilnya di kawasan cukup padat penduduk. Setelah turun dan mengawasi sekitar, ia masih harus berjalan kaki demi mencapai satu tempat. Beberapa anak kecil berlarian, meski langit hampir gelap. Terlihat mereka masih enggan pulang ke rumah masing-masing. Dari kejauhan, terdengar panggilan dari wanita yang JD yakini adalah salah satu dari ibu mereka. Menit berlalu, jalan yang JD tapaki semakin sempit. Sepatu dengan hak sepuluh sentimeternya cukup membuat kaki jenjang itu pegal. Kini ia memasuki area yang lebih padat. Terdapat berjejer toko-toko dan kedai yang sebagian telah tutup. Wanita yang tengah mengenakan kacamata dan rambut diikat rapi itu menuju satu titik di mana salah satu toko sederhana masih buka. Suara lonceng kecil, penerangan lampu lima watt dan aroma pengap menyambutnya begitu masuk. "Maaf, kami sudah tutup," ujar remaja laki-laki kisaran enam belas tahun tanpa melihat JD. Netra dan tangannya fokus pada beberapa lembar rupiah yang lusuh. "Di
Dengan terburu-buru JD merebut botol kecil tersebut dan pergi meninggalkan Clara setelah sebelumnya meminta ijin. Clara menatap punggung JD yang langsung menghilang. Bodyguard-nya itu memang terkesan misterius, tetapi sikap JD kali ini membuatnya bertanya-tanya. Di luar toilet, JD mendesah lega. Ia menyimpan botol ke dalam lipatan dress bagian perut dan berjalan menuju meja khusus minuman. Namun langkahnya nyaris terhenti karena melihat Daniel yang mendekat. "JD, kau-"Tanpa basa-basi, JD berputar haluan. Mencari spot lain untuk berdiam. Mulutnya sudah ingin mengutuk, kesal pada keadaan yang seakan tidak membiarkannya tenang. Di saat yang sama, berjarak lebih dari tiga puluh kilometer. Empat pria duduk berkumpul di ruangan dengan lampu temaram. Semua mata tertuju pada layar televisi dua puluh dua inci yang menyuguhkan berita kematian pemilik perusahaan nikel sekaligus donatur terbesar rumah sakit khusus kanker. "Ck, ck, ck, kematiannya cukup tragis. Siapa yang merencanakan semua i
Tuan Bara menutup buku tebal dengan sampul hitam dan gold. Pria itu memandang Vinn yang masih diam, memikirkan apa yang baru saja ia ceritakan. Ia mengerti akan sulit bagi si keponakan untuk mempercayai kisah nyata bak film itu. "Jadi ayah juga tewas karena menjadi tumbal? Tapi apa salah ayah?" Vinn berkata-kata masih dengan mata tertegun. Tuan Bara meletakkan buku berjudul 'The Chronicles of Black Angle' karya D. Alfred yang tak lain adalah nama pena Darren Alfredo. Vinn menatap gerakan sang paman, netranya mengatakan ingin membaca buku itu sendiri tapi tidak untuk saat ini. Ya, nanti ketika kondisi hatinya membaik. "Satu-satunya yang patut dipersalahkan adalah keadaan, Vinn. Ayahmu hanya ingin mengembalikan konsep Black Circle. Mengembalikan tujuan awal di bentuknya klub itu."Vinn diam, menunggu kelanjutan kisah masa lalu yang baru ia ketahui. Benaknya mulai mengerti maksud dari perkataan sang kakek, juga pamannya tentang 'Demi kebaikanmu. Kami melakukan ini untuk melindungimu'.
Tengah malam. Aktifitas pusat kota masih terlihat ramai. Juga suasana di jalan raya. Tidak sedikit kendaraan yang melaju cepat, menikmati ruang yang mungkin tak bisa dinikmati saat pagi pagi menjelang. Mobil Daniel masuk dalam salah satu jajaran kendaraan itu. Seusai pesta, Vinn mengatakan tugasnya usai tapi tidak dengan kegiatan pribadinya. Di tengah perjalanan ponsel pria itu berdering, dengan satu tangan Daniel memasang airpods yang telah terhubung pada ponsel melalui bluetooth. "Ya? On the way. Tunggu saja, aku akan sampai dalam sepuluh menit," ujarnya singkat. Menit berlalu, pria dengan setelan hitam itu memarkirkan mobilnya di cafe kucing milik Diana. Tempat itu sudah tutup sejak dua jam lalu, akan tetapi si pemilik masih menunggunya di dalam. "Kau benar-benar datang?" sambut Diana yang kala itu menggunakan outer berwarna pastel. Daniel mengangguk tanpa ekspresi sebelum pandangannya mengitari sekitar. Cafe itu kosong, bahkan tidak ada satupun karyawan yang terlihat. Semua
JD terbangun keesokan paginya dengan kepala berat. Wanita itu membuka mata lalu menutupnya kembali saat menyadari lensanya belum siap untuk menerima cahaya. 'Di mana ini?' batin JD saat akhirnya bisa memindai sekitar. Kamar asing bernuansa minimalis, bercat abu-abu dan putih. Sesuatu yang berat menekan perutnya. Ia yang menoleh seketika berhadapan langsung dengan wajah Daniel yang tertidur lelap. "Apa yang-" JD bahkan dibuat menganga kala mendapati tubuh mereka polos dan hanya tertutup satu selimut tebal. JD tergelak lemah, semalam ia telah mabuk. Jika rencana awal mereka hanya minum bersama, nyatanya mereka juga tidur bersama. Entah ia harus marah atau senang saat ini. Memandangi wajah tampan Daniel, membuat pikiran JD sesaat membeku. 'Tidak, ini tidak benar. Aku harus segera pergi dari sini,' batin JD seraya menggeleng. Perlahan tapi pasti JD memindahkan tangan Daniel. Wanita itu turun dengan gerakan pelan bak kukang, berharap tak membangunkan pria muda itu. JD ambil satu per
Jumat pagi. Vinn masih duduk bersantai di ruang tengah, hanya ditemani secangkir coklat panas dan juga laptop. Meski hari ini ia sedang tidak ingin datang ke kantor, ia masih harus mengurus beberapa file dan juga email-email penting. "Sepagi ini kau sudah sibuk, Vinn?" Tuan Bara yang semalam memilih menginap di mansion muncul dengan wajah segar. Aroma mint menguar samar. "Sedikit. Ada beberapa hal harus kuselesaikan sebelum makan siang." Vinn melihat sekilas sang paman lalu kembali fokus menatap layar laptop. Tuan Bara duduk di sofa yang sama dengan Vinn, melirik layar lalu mengedikkan bahu. Ia tak pernah tertarik ikut campur pada perusahaan. Beruntung ayahnya tak pernah memaksanya menjadi penerus. "Oh ya, tentang percakapan kita dengan Zac, kurasa kakekmu tidak perlu mengetahuinya," ujar Tuan Bara mengingatkan. "Aku tahu. Penyakit jantung kakek bisa-bisa kambuh nanti," respon Vinn. "Bicara tentang penyakit, sampai kapan kau mau mendiamkan kanker itu?" Suara Tuan Bara menjadi l
"Kembalikan, Daniel!!" gusar JD sembari berjinjit. Maklum saja tingginya hanya sebatas dagu pria itu. Daniel mengangkat tangan lebih tinggi. Bibirnya membentuk senyum yang tak bisa disembunyikan. Ia tampak senang menggoda JD sedemikian rupa. Singgungan keduanya menyebabkan Daniel kehilangan keseimbangan dan jatuh terjembab tak lama kemudian. Di detik yang sama JD ikut terjatuh dan posisi mereka persis seperti roti sandwich. Dua pasang mata saling bertemu tatap selama beberapa saat. Meskipun bentuk mata Jade dan JD sedikit berbeda, tapi bagi Daniel keduanya sama indah. JD juga terdiam bak terhipnotis. "Mau mengulang adegan semalam?" canda Daniel sambil memainkan alis. "Jangan gila!" Sontak JD tersadar dan berusaha bangkit. Daniel ikut berdiri dan menunjukkan botol kecil di tangannya lagi. Pria itu tersenyum aneh."Tenanglah, aku akan mengembalikan ini asalkan kau mau menjawab pertanyaanku? Bagaimana?" tanya Daniel. "Mau tanya apa?" balas wanita dengan setelan hitam itu ketus. Se