Nawang sangat terkejut melihat putri keduanya ada di tengah-tengah keluarga angkuh itu. Maura tidak ingin jika orang lain tahu Nawang adalah Ibu kandungnya, dia pun segera bergegas pergi untuk menghindar.
"Tunggu, Maura!" Panggil Arabel. Maura pun menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu terlihat panik dan seperti menghindar? Kamu takut dengan siapa wanita yang ada dihadapan kamu?" timpal Arabel kembali. Maura memasang wajah kesal, ketika Arabel coba membongkar rahasianya. "Pak polisi, tolong bawa wanita ini. Dia bersalah! Tunggu apalagi? Cepat bawa!" pinta Maura kepada kawanan polisi. Maura tidak ingin semua orang curiga hingga dia kembali menghindar dan menjauh dari Nawang. Nawang pun semakin heran, mengapa Maura bersikap seperti tidak mengenalinya. "Tolong lepaskan anak saya, dia tidak bersalah. Nyonya yang terhormat, tolong jangan bawa anak saya, saya yakin ini hanya salah paham!" ucap Nawang memohon kepada Siska. Namun, Siska tetap kekeh untuk membawa Arabel ke kantor polisi. "Bawa dia, Pak!" suruh Siska kembali. Polisi itu langsung membawa Arabel, Nawang histeris terus memohon agar polisi itu tidak membawa anaknya. Hingga dia rela bersujud dihadapan Siska agar membebaskan Arabel. "Saya rela melakukan apa saja, agar anak saya Arabel bisa bebas. Tolong bebaskan dia, Nyonya, Tuan," ucap Nawang sembari bersujud dihadapan Siska. Siska semakin angkuh dan menyombongkan dirinya terus menerus. Dia pun berjanji tidak akan membebaskan Arabel. "Saya minta kamu pergi dari rumah mewah saya! Ky dan anak kamu Arabel tidak pantas untuk ada di rumah ini. Arabel adalah penggoda untuk anak saya Maxime, saya tidak ingin rumah tangga anak saya dengan menantu kesayangan saya Maura hancur, karena wanita penghibur itu!" jelas Siska dengan ketus kepada Nawang. "Maura... sini Sayang," panggil Siska kepada Maura. Dengan berjalan pelan, Maura pun menghampiri, dia takut jika Nawang akan berkata yang tidak-tidak kepada Siska dan keluarga Frans. "Ini adalah menantu kesayangan saya! Dia terlahir dari keluarga terhormat, dan kaya raya. Bukan seperti Arabel mantan istri Maxime! Saya tidak sudi Arabel menjadi bagian dari keluarga Frans!" ucap Siska kembali dengan membanggakan Maura dihadapan Siska. "Apa? Jadi Maura telah menikah dengan mantan suami Arabel ini? Dan dia mengaku dari keluarga kaya raya? Apa maksud semua ini?" batin Nawang. Nawang semakin heran dengan sikap Maura. Sebelumnya Maura izin kepada Nawang dan ayahnya untuk pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib, mencari pekerjaan. Namun, Nawang bertemu pertama kali di Jakarta dengan sikap Maura berbeda. "Maura, apa maksud kamu? Kenapa kamu tidak mengenali Ibu?" ucap Nawang, yang sontak mengejutkan Maura. "Haduh, gawat! Kenapa Ibu bilang kayak gitu? Gimana kalau sampai keluarga Frans curiga kalau dia adalah Ibu kandungku!" batin Maura, wajahnya terlihat panik. "Ibu? Kamu kenal sama Ibu ini? Dia siapa Maura?" tanya Maxime heran. "Kenapa dia mengenali kamu?" timpal Frans. "Apa jangan-jangan..." Siska menatap Maura dengan penuh curiga. "Ah, dia bukan siapa-siapa aku kok. Dulu memang kita pernah ketemu, di jalan. Dia pemulung. Waktu sedang kelaparan, terus aku kasih dia makanan terus, makanya dia kenal aku," jawab Maura dengan berbohong. Hati Nawang pun hancur ketika melihat anaknya yang tidak mengakui dirinya sebagai ibunya. Tangisnya pecah, kini Maura tidak seperti yang dia kenal dulu, gadis polos dan lugu. "Mending sekarang Ibu pergi dari sini ya. A--aku baru tahu kalau Ibu adalah Ibu kandung wanita hina itu," usir Maura kepada Nawang. PLAKKK Tamparan keras mendarat di pipi mulus Maura. Nawang dengan kesal menampar putrinya itu usai menghina Arabel. "Jaga ucapan kamu! Entah apa yang sedang kamu rencanakan sampai sikap kamu berubah seperti ini! Saya kecewa sama kamu!" ucap Nawang, kemudian dia bergegas pergi dengan tangisnya menahan amarahnya kepada Maura. "Sialan! Orang itu berani menampar menantu kesayangan saya!" gerutu Siska. Begitupun dengan Frans dan Maxime, mereka sangat kesal dengan Nawang. "Untung aja mereka gak curiga! Aku gak mau kehilangan semuanya termasuk harta keluarga Frans! Aku bosan hidup miskin!" batin Maura, sembari tersenyum licik. *** Sementara Nawang yang kini menyusul Arabel ke kantor polisi pun tak tega melihat anaknya kini di dalam jeruji besi atas tuduhan itu. "Ibu.." panggil Arabel. "Ibu minta maaf, Ibu tidak bisa melakukan apa-apa untuk kamu. Ibu tahu kamu tidak bersalah, Nak!" ucap Nawang, dia tidak bisa menahan air matanya melihat putri baiknya kini menderita atas tuduhan itu. "Nggak! Ini bukan salah Ibu. Seharusnya aku yang minta maaf karena menikah tanpa Ibu tahu. Ada banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan, Bu. Intinya aku nggak bermaksud berbohong sama Ibu dan Ayah," balas Arabel dengan mencium tangan ibunya sembari meminta maaf. Sebetulnya Nawang pun sudah tahu tentang apa yang terjadi kepada Arabel. Teman Arabel bernama Kinan yang dari kampung sudah menceritakannya. "Aku sudah menceritakan itu sama Bu Nawang. Aku minta maaf ya, aku nggak bilang sama kamu dulu," ucap Kinan yang tiba-tiba datang, usai Nawang memberitahu dirinya bahwa Arabel masuk penjara. "Gak seharusnya kamu minta maaf. Apa yang kamu lakukan benar. Perlahan orang tuaku akan tahu tentang masalah anaknya, aku cuma minta tolong jaga Ibu selama aku di dalam penjara ya, aku titip Ibu Sama kamu," ucap Arabel dengan tersenyum kepada sahabatnya itu. "Arabel Ibu cuma bingung dengan sikap adik kamu Maura. Kenapa dia jahat? Dia tidak mengakui kita sebagai keluarganya, bahkan dia tadi mengusir Ibu," ucap Nawang menceritakan semuanya kepada Arabel. "Ibu bisa tanya-tanya sama Kinan ya. Selama ini Kinan tahu tentang masalah aku, aku sering curhat sama dia bu," Arabel pun menguatkan kembali ibunya yang terus memikirkan Maura. Tidak sengaja di saat perbincangan itu, salah satu polisi yang tengah bertugas pun mendengar semua pembicaraan Arabel dengan Nawang. Dia pun merasa tersentuh dengan cerita Arabel. Nawang pulang bersama Kinan, begitupun dengan Arabel, dia harus kembali sel tahanannya, didampingi oleh polisi tampan yang sedari tadi mendengar pembicaraan Arabel dengan Nawang. "Ini soal waktu, jika kamu tidak bersalah, kamu pasti akan segera bebas," ucap polisi tampan itu sembari memasukan Arabel ke sel tahanan. "Maksud, Pak polisi apa?" tanya Arabel heran. "Saya telah mendengar pembicaraan kamu dengan Ibu kamu, keadilan akan menemukan jalannya!" balas polisi itu singkat, lalu dia bergegas pergi untuk bertugas kembali. Sementara Maura, yang kini sedang berusaha meyakinkan Maxime untuk menyerahkan ahli warisnya kepada Maura. "Sayang, aku ini istri kamu loh, masa aku nggak dapat sepeser pun harta kamu, lagi pula Prince masih kecil jadi bisa dengan sementara hak waris itu atas nama aku dulu." Bujuk Maura kepada Maxime dengan sikap manjanya. "Tapi gimana dengan Papa dan Mama? Mereka ingin ahli waris keluarga Frans menjadi milik Prince anak laki-laki pertamaku," balas Maxime kembali, kini membuat Maura kesal. Dia tidak ingin Maxime melakukan itu. "Jadi kamu nggak anggap aku sebagai istri kamu? Prince masih bayi, dia belum ngerti apa-apa. Kamu coba bilang ini semua dengan baik-baik sama Mama Papa ya. Aku yakin mereka pasti ngerti, apalagi aku yang memintanya." Maura tetap bersikeras untuk menguasai warisan keluarga Frans. "Aku harus tanda tangan suratnya sekarang!" Maura meminta surat warisan itu kepada Maxime untuk dia tandatangani. "Tapi?" "Mana suratnya? Kalau kamu gak mau lakuin itu, aku minta cerai sama kamu!" ancam Maura, demi mendapatkan surat warisan itu. "Nggak! Aku gak mau cerai sama kamu, aku sayang sama kamu," Maxime pun dengan terpaksa memberikan surat warisan itu kepada Maura. "Sebentar lagi, seluruh kekayaan keluarga Frans akan menjadi milikku! Bye-bye miskin!!" batin Maura dengan sangat senang. Di saat Maura akan menandatangani surat tersebut, Bi Sumi asisten rumah tangga itu melihat Maura. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu. "Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut. "Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal. Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna. "Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar. "Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu. Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura. "Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pec
Keesokan paginya, sebelum matahari terbit. Arabel terbangun lebih dulu dibandingkan Maxime yang masih tidur nyenyak. Wanita itu merasa ada yang aneh dari dirinya. Arabel perlahan mulai sadar saat selimut yang menutupi setengah tubuhnya terbuka. Dia melihat pakaian yang dikenakan sudah berantakan."Astaga! Apa yang terjadi padaku?" ucap Arabel keras. Hal itu membangunkan Maxime yang masih pulas."Maxime, apa yang terjadi? Kenapa...?"Maxime ikut terkejut. Lelaki itu sudah sedikit terbuka. Kancing kemejanya tidak terpasang lagi."Apa yang sudah kita lakukan, Arabel?" lanjut Maxime yang memutar pertanyaan Arabel.Seprei ranjang sudah berantakan, beberapa pakaian mereka tergeletak berserakan di sana. Ada noda darah di atas sprei berwarna putih dan membuat Arabel teriak."Maxime, ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya.Maxime meletakkan tangannya di kepala dan terdiam tanpa kata. Pandangannya lurus ke depan, matanya seperti penuh penyesalan. Dia berpikir, mengapa melakukan semua ini kepada
Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya."Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya."Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela."Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang."Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos."Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih.""Pernikahan itu sakral! Tidak
"Maxime? Kamu mau mengajakku tidur di kamarmu? Terima kasih."Maxime mendorong Arabel ke ranjang. Dia mengunci pintu kamar rapat-rapat."Kamu mau apa, Maxime? Kita sudah resmi suami istri, tapi tidak sekarang kamu melakukan itu padaku."Maxime tidak menjawab. Dia terus mengikuti keinginannya yang tersulut nafsu. Akhirnya hari itu terjadi. Ini yang kedua kalinya mereka melakukan hubungan sepasang suami istri.***Keesokan pagi. Siska berteriak memanggil nama Maxime. Dia mencari-cari putranya yang sudah tidak ada di kamar."Maxime, di mana kamu Maxime?" teriak Siska.Maxime keluar dari kamar pembantu. Siska mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu keluar dari kamar pembantu?" tanya Siska.Tidak lama kemudian Arabel juga keluar. Siska menghela napas dan melipat tangannya di dada. Dia sudah paham apa yang terjadi."Kurang ajar. Arabel, kemari kamu!" pinta Siska."Iya Mama, ada apa?""Jangan panggil saya Mama. Panggil Nyonya," tegas Siska. "Baik Nyonya.""Oke bagus. Sekarang, kamu bersihkan ruma
Arabel menangis. Dia dilema oleh keadaan yang membingungkan. Jika dia mati, maka anaknya tidak bisa lagi mendapat kasih sayangnya. Keputusan Arabel bulat, dia melepaskan anaknya dan berjanji akan datang kembali untuk merebut hak anaknya lagi.***Di lain tempat, Maxime masih asyik bermesraan dengan wanita muda. Rambutnya panjang, kulitnya putih. Secara keseluruhan, wanita itu lebih seksi dari Arabel."Kapan kamu mau nikahi aku, Sayang?" tanya wanita tersebut."Gimana kalau bulan depan? Aku diskusikan dulu kepada mama dan papaku," balas Maxime."Aku tunggu ya Sayang, aku sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluargamu."Wanita itu bergelayut manja di pelukan Maxime. Siapa sangka jika dia adalah Laura, adiknya Arabel.***Satu bulan berlalu dan selama ini Arabel masih memantau keluarga Maxime dalam diam dan dari kejauhan. Dia menyewa rumah di dekat kompleks perumahan keluarga Frans, tetapi tidak ada satu orang yang tahu menahu bahwa Arabel ada di sana. Selama ini juga dia melihat perk
“Saya tidak akan melupakan perjanjian itu, Nyonya Siska. Yang saya inginkan hanyalah bertemu dengan anak saya dan melindunginya dari ular berbisa.” Sebagai tanggapan, Arabel melontarkan sindiran kepada Maura. Dia memusatkan pandangannya pada Maura, membuatnya goyah.Apa yang diucapkan Arabel membuat keluarga Frans bingung."Tolong ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari agar keinginanku bertemu anakku bisa terwujud! Aku bersumpah, setelah itu, aku akan pergi," Arabel memohon pada keluarga Maxime."Jangan biarkan dia tinggal di sini, sayang. Aku tidak ingin dia merusak kebahagiaan kita sebagai pengantin baru." Menanggapi hal tersebut, Maura tampak ketakutan karena Arabel akan tetap berada di kediaman Maxime."Maura, kamu harus yakin saya tidak akan mengganggu rumah tangga kamu. Yang saya inginkan hanyalah berada di dekat anak saya. Karena Prince adalah putraku, kamu tidak punya hak untuk mencegahku menemuinya." Menanggapi pernyataan Maura, Arabel membalas.Siska menghela nafas panjan