“Saya tidak akan melupakan perjanjian itu, Nyonya Siska. Yang saya inginkan hanyalah bertemu dengan anak saya dan melindunginya dari ular berbisa.” Sebagai tanggapan, Arabel melontarkan sindiran kepada Maura. Dia memusatkan pandangannya pada Maura, membuatnya goyah.
Apa yang diucapkan Arabel membuat keluarga Frans bingung.
"Tolong ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari agar keinginanku bertemu anakku bisa terwujud! Aku bersumpah, setelah itu, aku akan pergi," Arabel memohon pada keluarga Maxime.
"Jangan biarkan dia tinggal di sini, sayang. Aku tidak ingin dia merusak kebahagiaan kita sebagai pengantin baru." Menanggapi hal tersebut, Maura tampak ketakutan karena Arabel akan tetap berada di kediaman Maxime.
"Maura, kamu harus yakin saya tidak akan mengganggu rumah tangga kamu. Yang saya inginkan hanyalah berada di dekat anak saya. Karena Prince adalah putraku, kamu tidak punya hak untuk mencegahku menemuinya." Menanggapi pernyataan Maura, Arabel membalas.
Siska menghela nafas panjang dan berbicara lembut pada Maura. "Tolong tinggalkan dia di sini! Mama akan menyakitinya untuk mengusir Arabel." Bisik Siska kepada Maura. Dia tersenyum cekatan saat mengatakannya.
Siska akhirnya memberi izin pada Arabel untuk tetap bersama mereka. Namun Arabel memang harus menyetujui satu persyaratan, yaitu bersedia bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Arabel mengangguk pelan, menyatakan persetujuan. Dia tidak akan berhenti untuk melindungi anaknya dari tindakan jahat Maura.
***
Suatu malam, Arabel menyelinap ke kamar Prince. Sementara semua orang tertidur lelap. Dia memperhatikan bayi kecilnya tertidur lelap.
"Hei sayang, apa kabarmu? Betapa Ibu sangat merindukanmu! Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, bahkan Maura pun tidak!" Arabel mencium kening putranya dan berkata dengan lembut.
Melirik Arabel sekilas, kemudian Siska mengusirnya keluar dari kamar Prince.
"Saya harus melindungi anak saya dari orang lain yang mempunyai niat buruk!" Siska meliriknya dengan bingung saat Arabel menjawab.
"Apa yang ingin kamu katakan? Apakah kamu mengatakan bahwa kita semua ingin menyakiti Prince?" Siska membalas.
Mungkin Ibu tidak sadar bahwa ada orang di luar sana yang akan menyakiti anak saya." Arabel berseru, "Aku harus melindunginya" seraya berjalan keluar dari kamar Prince. Siska langsung penasaran dengan maksud Arabel saat melontarkan pernyataan itu.
"Apa yang dia lakukan di sana?" Saat Arabel berbalik untuk kembali ke kamarnya, dia melihat Maura sedang menelepon, berbicara dengan seseorang.
"Aku ingin kamu segera mendapatkan Prince dan menyingkirkannya sebisa mungkin. Kamu harus ingat, untuk tidak memberitahu orang lain!" Arabel mendengar apa yang tidak sengaja diucapkan Maura.
Mendengar Maura akan membawa Prince dan menyingkirkannya, Arabel tidak menunggu lebih lama lagi dan langsung kembali ke kamar anaknya.
"Gawat! Maura semakin berani menyingkirkan anakku! Aku harus segera membawanya dari rumah ini, membawa Prince sejauh mungkin dari keluarga ini, termasuk Maura!" Lalu Arabel menggendong anaknya dan membereskan semua pakaian Prince, lalu memasukkannya ke dalam tas besar.
Dengan sangat pelan, Arabel keluar dari kamar Prince. “Arabel, kamu mau kemana?” Maxime berteriak, menghentikan langkah Arabel.
“Apa yang ingin kamu lakukan? Berikan Prince kepadaku!” tuntut Maxime, memaksa Arabel menyerahkan Prince kepadanya.
Arabel berkata dengan tegas, "Tidak! Anakku tidak diperkenankan tinggal di sini! Prince dalam bahaya besar di rumah ini."
"Maxime, kamu harus melaporkan Arabel ke kantor polisi, karena dia bertekad membawa pergi anakmu!" Maura tersenyum cekatan menanggapinya.
Lalu Frans dan Siska menghampiri mereka. Ketika cucu kesayangan Siska akan dibawa pergi, dia menjadi marah dan langsung menampar Arabel setelah mendengar semuanya.
"Kamu tidak punya hak untuk mencoba mencuri cucuku! Tampaknya satu-satunya tujuanmu mengunjungi kediamanku adalah untuk mencuri cucuku." Siska kembali menampar Arabel.
"Tujuan utamaku adalah menjaga anakku aman dari orang jahat! Semua orang harus tahu bahwa ada wanita jahat di rumah ini. Dia adalah orang berdarah dingin yang hanya ingin menyingkirkan anak tak berdaya dan lugu ini." Arabel menunjuk ke arah Maura.
Saat Arabel memberanikan diri mendekati keluarga Frans dengan semua itu, kegelisahan Maura semakin bertambah.
"Dasar wanita kotor! Hati-hati kamu kalau ngomong! Kenapa kamu menuduhku? Apa maksudnya?" tanya Maura dengan menggempalkan tangannya menahan kesal, dengan suaranya sedikit bergetar.
"Arabel, kamu sudah melampaui batas! Kamu mengatakan bahwa pasanganku sedang mempersiapkan itu untuk menculik Prince? Berbeda dengan kamu, yang merupakan wanita kotor yang merayu atasannya demi memuaskan keinginanmu, dia adalah wanita yang baik." Maxime menghina Arabel sekali lagi sambil membela Maura.
Arabel semakin hancur saat semua orang menganggapnya kotor. Meski menjadi korban kebejatan Maxime, tak seorang pun percaya kalau Maura bukanlah wanita baik-baik.
Dengan tegas Arabel menyatakan, "Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi wanita kotor, kecuali kamulah yang mengotoriku! Tuan Maxime, kamu harus berhati-hati dengan wanita jahat seperti dia! Izinkan aku pergi bersama anakku!" Sambil mencoba untuk membawa Prince pergi.
"Aku tidak akan membiarkanmu membawa Prince pergi!" Arabel berusaha melepaskan diri, namun Maura memegang erat tangannya.
"Lepaskan! Lepaskan aku, atau aku akan mengungkapkan sifat aslimu!" Berbisik pada Maura, Arabel berusaha melepaskan diri.
Maura seketika menjadi bisu, tidak mengizinkan Arabel membocorkan semua rahasianya kepada keluarga Maxime.
"Lepaskan!!"
Tak lama kemudian, polisi datang hingga membuat Arabel terkejut.
"Tolong tangkap dia! Dialah wanita yang akan menculik bayi ini!" Beritahu Maura.
Ternyata Maura melaporkan Arabel ke polisi, dan dia tidak akan membiarkan Arabel menggagalkan rencananya.
"Apa maksud kamu, Maura? Ini anakku! Wajar aku ingin mengambilnya dan membebaskan dia dari orang yang akan menyakitinya!" balas Arabel dengan tatapan yang tertuju kepada Maura.
"Kenapa Arabel menatapku seperti itu? Apa jangan-jangan dia sudah tahu rencanaku?" batin Maura, seketika wajahnya terlihat panik.
Maxime berhasil mengambil Prince dari Arabel, meninggalkannya tak berdaya dan mengundurkan diri karena semua orang menuduhnya, termasuk saudara perempuannya sendiri, Maura.
"Dia tidak bersalah!"
Teriak wanita yang tiba-tiba datang, mengagetkan semua orang termasuk Maura.
"Tolong jangan penjarakan dia, saya yakin dia tidak bersalah. Saya yang akan menjadi jaminannya!" sambung wanita itu kembali dengan membela Arabel.
Arabel dan Maura sontak terkejut, wanita itu ialah Nawang, Ibu dari Arabel dan Maura yang jauh-jauh datang dari kampung untuk mencari kedua putrinya.
"Ibu?" ucap Arabel, kemudian memeluknya.
"Dari mana Ibu tahu aku di sini, Bu? Apa Ibu ke sini sama Ayah?" tanya Arabel kembali.
Sementara Maura semakin ketakutan melihat ibunya datang ke rumah keluarga Frans. Dia takut penyamarannya terbongkar begitu saja.
"Teman kerja kamu yang memberitahu Ibu semuanya, Ibu tidak menyangka nasib kamu seperti ini di Kota, Nak. Kenapa kamu tidak pulang dan jujur sama kami?" Isak tangis Nawang membuat Arabel terluka. Ibunya yang selama ini sangat menyayangi dirinya kini telah mengetahui apa yang selama ini Arabel rahasiakan.
Air matanya semakin deras, hingga bersujud dihadapan sang Ibu. Dia meminta maaf atas semua kebodohannya.
"Mohon ampun, Bu. Aku nggak bermaksud berbohong sama Ibu dan Ayah. Aku malu, aku kotor, Bu. Aku minta maaf karena nggak bisa jaga diri aku," ucap Arabel yang masih bersujud dihadapan ibunya.
Nawang meminta Arabel untuk bangkit, dia tahu bagaimana Arabel, hingga kembali memeluknya dengan erat. Suasana pun semakin haru, ketika Prince anak Arabel menangis. Nawang langsung menoleh ke arah Prince, melihat cucu tampannya untuk pertama kali.
"Oh, jadi anda Ibu kandungnya wanita miskin ini?" sahut Siska dengan ucapannya yang sontak mengundang kemarahan Nawang.
"Cukup panggil anak saya wanita miskin! Dia punya nama, kami memang dari keluarga miskin. Tidak seperti anda yang kaya raya dan bergelimang harta. Tapi sayang, anda miskin attitude, dan selalu merendahkan orang lain!" ucap Nawang dengan spontan membuat Siska kikuk.
"Maura? Kenapa kamu ada di sini?" sambungnya, semakin membuat Maura panik.
Nawang sangat terkejut melihat putri keduanya ada di tengah-tengah keluarga angkuh itu. Maura tidak ingin jika orang lain tahu Nawang adalah Ibu kandungnya, dia pun segera bergegas pergi untuk menghindar. "Tunggu, Maura!" Panggil Arabel. Maura pun menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu terlihat panik dan seperti menghindar? Kamu takut dengan siapa wanita yang ada dihadapan kamu?" timpal Arabel kembali. Maura memasang wajah kesal, ketika Arabel coba membongkar rahasianya. "Pak polisi, tolong bawa wanita ini. Dia bersalah! Tunggu apalagi? Cepat bawa!" pinta Maura kepada kawanan polisi. Maura tidak ingin semua orang curiga hingga dia kembali menghindar dan menjauh dari Nawang. Nawang pun semakin heran, mengapa Maura bersikap seperti tidak mengenalinya. "Tolong lepaskan anak saya, dia tidak bersalah. Nyonya yang terhormat, tolong jangan bawa anak saya, saya yakin ini hanya salah paham!" ucap Nawang memohon kepada Siska. Namun, Siska tetap kekeh untuk memb
Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu. "Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut. "Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal. Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna. "Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar. "Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu. Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura. "Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pec
Keesokan paginya, sebelum matahari terbit. Arabel terbangun lebih dulu dibandingkan Maxime yang masih tidur nyenyak. Wanita itu merasa ada yang aneh dari dirinya. Arabel perlahan mulai sadar saat selimut yang menutupi setengah tubuhnya terbuka. Dia melihat pakaian yang dikenakan sudah berantakan."Astaga! Apa yang terjadi padaku?" ucap Arabel keras. Hal itu membangunkan Maxime yang masih pulas."Maxime, apa yang terjadi? Kenapa...?"Maxime ikut terkejut. Lelaki itu sudah sedikit terbuka. Kancing kemejanya tidak terpasang lagi."Apa yang sudah kita lakukan, Arabel?" lanjut Maxime yang memutar pertanyaan Arabel.Seprei ranjang sudah berantakan, beberapa pakaian mereka tergeletak berserakan di sana. Ada noda darah di atas sprei berwarna putih dan membuat Arabel teriak."Maxime, ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya.Maxime meletakkan tangannya di kepala dan terdiam tanpa kata. Pandangannya lurus ke depan, matanya seperti penuh penyesalan. Dia berpikir, mengapa melakukan semua ini kepada
Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya."Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya."Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela."Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang."Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos."Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih.""Pernikahan itu sakral! Tidak
"Maxime? Kamu mau mengajakku tidur di kamarmu? Terima kasih."Maxime mendorong Arabel ke ranjang. Dia mengunci pintu kamar rapat-rapat."Kamu mau apa, Maxime? Kita sudah resmi suami istri, tapi tidak sekarang kamu melakukan itu padaku."Maxime tidak menjawab. Dia terus mengikuti keinginannya yang tersulut nafsu. Akhirnya hari itu terjadi. Ini yang kedua kalinya mereka melakukan hubungan sepasang suami istri.***Keesokan pagi. Siska berteriak memanggil nama Maxime. Dia mencari-cari putranya yang sudah tidak ada di kamar."Maxime, di mana kamu Maxime?" teriak Siska.Maxime keluar dari kamar pembantu. Siska mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu keluar dari kamar pembantu?" tanya Siska.Tidak lama kemudian Arabel juga keluar. Siska menghela napas dan melipat tangannya di dada. Dia sudah paham apa yang terjadi."Kurang ajar. Arabel, kemari kamu!" pinta Siska."Iya Mama, ada apa?""Jangan panggil saya Mama. Panggil Nyonya," tegas Siska. "Baik Nyonya.""Oke bagus. Sekarang, kamu bersihkan ruma
Arabel menangis. Dia dilema oleh keadaan yang membingungkan. Jika dia mati, maka anaknya tidak bisa lagi mendapat kasih sayangnya. Keputusan Arabel bulat, dia melepaskan anaknya dan berjanji akan datang kembali untuk merebut hak anaknya lagi.***Di lain tempat, Maxime masih asyik bermesraan dengan wanita muda. Rambutnya panjang, kulitnya putih. Secara keseluruhan, wanita itu lebih seksi dari Arabel."Kapan kamu mau nikahi aku, Sayang?" tanya wanita tersebut."Gimana kalau bulan depan? Aku diskusikan dulu kepada mama dan papaku," balas Maxime."Aku tunggu ya Sayang, aku sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluargamu."Wanita itu bergelayut manja di pelukan Maxime. Siapa sangka jika dia adalah Laura, adiknya Arabel.***Satu bulan berlalu dan selama ini Arabel masih memantau keluarga Maxime dalam diam dan dari kejauhan. Dia menyewa rumah di dekat kompleks perumahan keluarga Frans, tetapi tidak ada satu orang yang tahu menahu bahwa Arabel ada di sana. Selama ini juga dia melihat perk