Aku sesak, dadaku syok dengan perbuatan Mas Akbar yang akhir-akhir ini begitu kasar padaku. Kutepikan mobil di pinggiran jalan yang sedikit sepi. Begitu banyak hal yang terjadi pada diriku, ingin sekali rasanya bersandar pada bahu seseorang yang mengerti kegelisahan dan ketakutanku saat ini. Namun, hal itu sangatlah mustahil.Saat akan kembali menjalankan mobil, ponselku bergetar, aku melihat ke layar ponsel ternyata orang yang menghubungi diriku tak lain adalah Abian."Hallo," "Dimana kau, Mawar?" "Maaf Abian, aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi. Jadi, aku memutuskan untuk pergi," "Apa kau…" Prak! Ponselku terjatuh karena tanganku yang masih dalam keadaan bergetar, Syok dengan sikap Mas Akbar yang terus menerus berbuat kasar padaku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan beristighfar agar segala sesuatu yang membuat dadaku sesak dapat hilang.Aku sudah tak memperdulikan ponselku yang terjatuh, saat ini aku ingin berkonsentrasi menyetir mobil dan berharap jika Paman Ham
Paman Hamzah tertawa. Namun aku dapat merasakan bahwa tawa beliau hanyalah dibuat-buat. Setelah selesai dengan tawa kepura-puraannya, Paman Hamzah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. "Mawar, jika kau ingin menghancurkan seseorang. Jangan gunakan hatimu. Hatimu harus Mati, dan tumbuhkan Iblis dalam dirimu.""Apa?""Jadilah Iblis dalam kehidupan orang yang kau benci, maka kau akan mengerti maksud ucapanku."***"Bagaimana, kau setuju dengan konsepnya?" tanya Mas Akbar dengan tatapan penuh harapan.Saat ini, kami sedang berada di Restoran milik keluarga Sandoro untuk membahas tentang pesta Anniversary pernikahan kami. Aku memilih untuk mundur selangkah lagi agar bisa menuju pada hal yang aku inginkan sejak awal, yaitu membalaskan dendam atas penghianatan yang dilakukan oleh Mas Akbar."Terserah kau saja," jawabku enggan melihat dekorasi yang akan digunakan saat acara berlangsung."Ayolah sayang, ini pesta pernikahan kita yang kedua, dan kau harus seman
Saat akan memulai dengan membuka baju Mulan, Akbar dikejutkan dengan suara dering ponsel yang berada di saku celananya.Walau sedikit kesal dengan gangguan yang terjadi, Akbar tetap merogoh saku celananya dan melihat siapa yang sedang menelepon dirinya."Hallo, sayang…" Akbar mengambil langkah menjauh dari tubuh Mulan yang telah terbaring di atas kasur."Jemput aku. Nanti akan aku kirim alamatnya," jawab Mawar tanpa berbasa-basi, dan tak menunggu jawaban dari Akbar, segera dimatikan sambungan teleponnya."Ada apa?" Mulan menegakkan tubuhnya dan menghampiri Akbar yang sedang berdiri di dekatnya."Mawar kecelakaan," jawab Akbar sambil menarik tubuh Mulan ke dalam pelukannya. sebuah kebohongan tercipta untuk menutupi sandiwaranya."Bagaimana keadaannya?""Masuk UGD, aku harus memastikan keadaannya."Mulan mempererat pelukannya dan sesekali menciumi dada polos Akbar. "Mulan, hentikan…" niat Akbar ingin memberikan alasan agar bisa pergi. Namun, sepertinya gairahnya sudah terlanjur tersulu
"Kau terlihat sedikit pucat,"Meski mendengar ucapan Ibu mertuaku, aku tak terlalu sadar karena tengah asyik menatap takjub wajah bayi di hadapanku yang sedang digendong oleh Sania, Ibu Mas Akbar.Wajahnya yang terlihat begitu menakjubkan, senyumannya yang begitu menghibur siapa saja yang menatapnya."Anak siapa ini, Bu?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku pada bayi tampan berpipi chubby itu."Anak ponakan Ibu yang di Semarang. Dititipkan di sini karena Ibunya sedang sakit."'Ya, sakit jiwa.' batinku menahan kesal di dada. Bukan perkara yang sulit untuk mengetahui bayi yang saat ini berada di pangkuan Ibu mertuaku. Abian pernah memberikan Foto dan video yang memperlihatkan kedekatan Ibu dengan Natahn. Itu sebabnya aku mengetahui bahwa Nathan adalah anak suamiku."Apa kau sudah menghubungi Akbar?""Sudah Bu," Ibu kembali menatap ke arah bayi yang di pangkuannya."Boleh kugendong,Bu?"Ibu mertuaku terlihat ragu saat akan menyerahkan bayi tampan yang berada di pangkuannya. Aku semakin
Bab 90"Apa maksudmu?" Mas Akbar menghindari tatapan mataku. Pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke arah sofa ruang tamu.Jujur saja, aku suka melihat raut wajah cemas yang tercetak jelas pada wajah tampannya itu. "Bagaimana Mas, kau setuju?" kembali kuulang pertanyaanku sambil tersenyum dan sesekali mengusap lembut wajah Nathan yang terlelap dalam gendonganku."Kenapa kau harus merawat Nathan?""Kau tahu namanya juga Mas? Padahal kata Ibu, Nathan tidak pernah sekalipun di bawa kemari. Dan hari ini, pertama kalinya Nathan diajak kemari karena Ibunya sedang sakit."Mas Akbar mengusap wajahnya berkali-kali."Kenapa Mas?""Tidak, aku tentu saja tahu namanya. Karena Ibunya Pernah mengirimkan foto-fotonya padaku dan memamerkan namanya pada seluruh keluarga Sandoro.""Ya, baiklah…terdengar sangat masuk akal." komentarku saat menduduki Sofa tepat di samping Mas Akbar."Dia begitu manis Mas. Boleh ya aku membawanya pulang ke rumah?"Mas Akbar tidak menjawab pertanyaanku. Pria itu mem
"Hah, apa…" Siti gugup dengan sikap Abian yang terlihat begitu serius menatap wajahnya."Kapan acaranya?" sekali lagi Abian mengulangi pertanyaannya. Aslan yang mendengar ucapan Abian, mencoba untuk bersikap biasa saja. Walaupun sebenarnya tawanya sudah hampir keluar dari mulut."Saya meminta tanda tangan anda, bukan acara…""Pesta Anniversary pernikahan Akbar dan Mawar."Siti mengatupkan bibirnya. Perkataan Abian kembali membuat isi kepala Siti mengingat momen dimana dirinya dan Mawar bercerita tentang pesta pernikahan yang akan digelar oleh keluarga Sandoro dikhususkan untuk Sahabatnya itu."Hahahaha…" Siti tak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Abian. Aslan yang melihat kejadian tersebut begitu terkejut dengan tindakan Siti yang terlihat berani bersikap apa adanya di hadapan Abian. Aslan segera menarik tubuh Siti agar keluar ruangan saat melihat raut wajah kekesalan tercetak jelas pada wajah Abian.Siti sama sekali tak keberatan saat dirinya digiring
Mas Akbar mengusap hidung mancungnya. Hal ini biasa terjadi saat dirinya merasa tidak nyaman untuk kembali mengobrol dengan topik yang tak disukainya."Mas, tidak ada diantara aku dan ibu yang mengatakan bahwa Nathan ini anakmu. Lagi pula, aku belum pernah melahirkan. Jadi, kau belum resmi menjadi seorang Ayah. Hamil saja belum." lanjutku tanpa memperdulikan ekspresi dua orang yang sedang duduk menghadap diriku. "Sudah Mawar, tidak perlu dibahas lagi. Lagi pula Nathan masih lama disini, kalau kau ingin berkunjung untuk melihatnya, tak masalah. Tapi, jangan bawa Nathan bersamamu." kata Ibu mencoba menguraikan suasana yang menegangkan bagi Mas Akbar, tentunya.Aku hanya dapat mengerucutkan bibir saat Ibu kembali menatap dan memohon agar Nathan bisa kembali ke dalam gendongannya. Dengan berat hati, akupun menyerahkan tubuh mungil itu pada Ibu.Mas Akbar tampak begitu lega saat Nathan sudah tak berada dalam pangkuanku. Pria itu terlihat tersenyum dan sesekali mengangguk. Pasti isi kepala
"Ayah Membenciku?" aku mengulang pertanyaan Mas Akbar."Alasannya?"Belum sempat Mas Akbar menjawabnya, Ibu datang. Masih dengan menggendong Nathan ."Apa yang terjadi, kau sakit Mawar?""Iya Bu, tiba-tiba saja pandanganku tadi menggelap. Apa aku boleh bermalam di sini?"Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku, wanita itu nampak memandang sebentar ke arah Mas Akbar. Walaupun tak berbicara, tapi aku dapat menangkap raut wajah kegelisahan tercetak jelas pada keduanya."Lebih baik kau istirahat saja di rumahmu Mawar. Malam ini akan ada acara khusus menyambut pemegang saham di Sandoro Group. Ibu takut kau akan terganggu dengan kondisi rumah yang pastinya tak tenang.""Baiklah," aku mengalah. Jika aku bersikeras untuk menginap semalam di rumah mertuaku, aku yakin mereka akan curiga dengan sikapku. ***Abian berjalan menyusuri lobby hotel dengan ditemani oleh Aslan. Kedatangannya di Hotel milik Hamzah merupakan agenda tahunan yang biasa mereka lakukan selama beberapa tahun ini, semenjak ked