Satu bab lagi menuju Tamat🥰
Perasaanku saat ini sedang dalam keadaan kurang nyaman. Setelah Abian pamit akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keluarga Akbar, entah mengapa perasaan ini tak menentu."Belum ada kabar?" tanya Mama yang saat ini duduk di sebelahku.aku menggeleng sambil terus mencoba untuk menghubungi nomer telpon Abian."Sebentar lagi juga Abian memberi kabar. Jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan ini. Polisi juga sudah memiliki bukti yang cukup kuat untuk menangkap Sandoro." Papa memotong pembicaraan kami. Pria paruh baya itu terlihat asyik menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Mama."Tapi, Pa…tidak biasanya Abian bersikap seperti ini." Jawabku sambil memaksakan senyum."Coba cek ponselmu, siapa tahu saja sudah ada berita penangkapan Sandoro."Aku menuruti kemauan Papa dan melihat berita terbaru yang menyuguhkan video penangkapan Sandoro.Mama yang melihat ekspresi wajahku menyimpulkan sesuatu dan segera menyalakan layar televisi. "Benar dugaan Papa," lirih Mama sambil mengelus lem
"Sayang, malam ini aku tidak bisa menemanimu seperti malam-malam minggu sebelumnya." ucap Mas Akbar sambil memakai kemeja pendek berwarna Navy. Aku yang sedari tadi sedang membaca ratusan chat di grup WA pun hanya dapat tersenyum getir saat mendengarkan ucapannya. Lagi-lagi Mas Akbar tidak bisa menemaniku meski hari ini adalah hari libur. Hampir semua temanku sedang memamerkan deret foto-foto keluarga mereka yang sedang bermalam mingguan, bahkan ada sebagaian yang sengaja berdialog dengan mereka.Bagiku, akan menjadi momok bila aku masuk bergabung dengan mereka. Bukan karena minder karena merasa tidak layak, melainkan karena sikap Suamiku yang sudah dua bulan terakhir ini berubah. Apalagi, perubahan itu pun telah dirasakan oleh sebagian keluarga besar suamiku sendiri. Contohnya saja, malam ini. Biasanya Mas Akbar akan selalu mengajakku makan malam ke sebuah restoran. Tapi, ini adalah malam minggu yang kedelapan kalinya Mas Akbar tidak pernah mengajakku pergi. "Apa malam ini
Setelah kepergian orang tua Mas Akbar, aku memutuskan untuk kembali melakukan aktivitasku yang tadi sempat terhenti. Pekerjaan yang aku lakukan baru selesai saat jarum jam bergerak ke angka sembilan tepat. Bersamaan itu juga, aku yang hendak menaiki tangga rumah menuju kamar, melihat pintu rumah yang terbuka. Ya, siapa lagi kalau bukan Mas Akbar. Karena hanya dialah yang memiliki kunci cadangan rumah ini. Aku bergegas menaiki anak tangga, malas jika harus berdebat tentang apa dan kenapa dirinya tak pulang Semalam. "Sayang…apakah kau di dalam kamar mandi?"Aku tidak menjawab panggilan Mas Akbar. Lebih baik bergegas untuk membersihkan diriku dari pada harus menjawab pertanyaan Mas Akbar. ***"Apa kau marah karena semalam aku tidak pulang, sayang?" Mas Akbar terlihat terduduk di pinggiran kasur sembari memandangi wajahku. "Tidak Mas, aku juga minta maaf karena semalam ketiduran. Jadi, aku tidak sadar semalam kau tidak pulang. Pagi ini, aku juga bangun kesiangan jadi berfikir bah
Aku memasuki restoran Solaria bersama dengan Mas Akbar. Saat akan duduk di meja makan yang masih kosong, aku dapat menangkap sosok tubuh wanita yang tadi bersama kami di dalam Lift. Sekilas, aku dapat melihat wanita itu tersenyum manis padaku dan berlalu begitu saja sambil melambaikan tangannya pada salah satu pengunjung Restoran yang duduknya tidak jauh dari tempat kami duduk. "Oh, ya sayang. Mau pesan apa?" Mas Akbar bertanya, tetapi pandangannya masih tak lepas dari layar ponselnya. "Nasi goreng kambing, Fuyunghai, Chicken Mozarella plus kentang. Minumnya es lemon tea dan es jeruk." Wajah Mas Akbar mendongak menatap wajahku. "Banyak sekali," komentarnya. Mas Akbar lalu berdiri dan berjalan ke arah meja kasir untuk memesan makanan. setelah itu, Ia terlihat berjalan kembali ke tempat duduknya. "Sudah?" tanyaku saat Mas Akbar telah kembali duduk di kursinya. Mas Akbar hanya diam sambil menganggukkan kepalanya. Tangannya kembali meraih ponsel yang ada di saku celananya dan mulai
Saat Mas Akbar Kembali ke rumah, waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Selama lima jam keluar dari rumah, tidak satupun pesan yang Mas Akbar kirimkan untukku. dan anehnya, aku merasa biasa saja. Sepertinya ini menjadi hal biasa yang aku alami selama kurang lebih dua bulan ini, dan itulah sebabnya mengapa aku merasa biasa saja tanpa pesan Mas Akbar. "Bahkan sampai aku pulang pun, kau tidak mencari keberadaanku!" Mas Akbar tampak seperti orang yang sedang dalam pengaruh Alkohol. Jalannya sempoyongan dan beberapa kali terjatuh dan Berdiri lagi. Aku yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Mas Akbar. Sebelum Mas Akbar sampai ke tempat dudukku, aku merekam videonya dengan ponselku. "Mawar, aku mencintaimu lebih dari Wanita itu." Bruk! Sekali lagi, Mas Akbar kembali terjatuh ke lantai. "Tapi…Mulan. dia, Berbeda denganmu." Mulan? Aku menggenggam erat ponselku, melampiaskan hasrat ingin mencekik leher suamiku yang sedang
Akbar memasuki sebuah kamar Hotel. Ia sengaja memindahkan tempat persembunyian Wanitanya agar tidak ada yang mengetahui kebenarannya. Setelah mendapatkan pertanyaan dari pelayan restoran itu, Akbar jadi tidak tenang. "Sayang…" ucapnya seraya merengkuh tubuh wanita yang selama hampir satu tahun ini singgah di hatinya. "Bagaimana dengan keadaanmu? Sudah baikan?" Wanita itu menggeleng lemah. "Kita harus segera pergi ke dokter, Mas." "Apa ini sudah waktunya?" Sang wanita mengangguk mengiyakan. Akbar mengelus lembut perut buncit wanita itu. "Sebentar lagi kita bertemu sayang." Ucapnya seraya mencium perut buncit wanita yang telah dinikahinya secara siri itu. "Ayo Mas, aku sudah menyiapkan semua kebutuhan yang akan kita perlukan di dalam tas." "Yakin, semua sudah?" Wanita bernama Mulan itu tersenyum manis. "Aduh, Mas perutku sakit sekali." Rengek Mulan sambil menggenggam erat tangan Akbar. "Baiklah, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Aku pinjam mobilmu, supaya tidak ad
Sudah satu Minggu semenjak kepergian Mas Akbar, aku sama sekali tidak pernah mendapatkan kabar dari suamiku itu. Tidak ada pesan untuk sekedar mengucapkan selamat malam atau mengingatkan untuk jangan sampai telat makan. Semuanya terasa begitu hambar, aku seperti menikah dengan orang asing yang tak aku kenali."Ayah ingin mengajakmu untuk pindah ke Jakarta." Ucap Ayah yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamuku. Ini adalah kedatangan beliau yang begitu mendadak. Biasanya ayah akan datang bersama dengan ibu. Tapi, Kali ini tidak. Pasti ada suatu hal penting yang ingin disampaikan beliau tanpa sepengetahuan Ibu."Tapi aku suka dengan kota ini, Ayah. Balikpapan sangatlah berbeda, suasananya masih aman tidak seperti Jakarta yang penuh dengan polusi udara." "Ayah ingin kau tahu, jika ayah tidak bodoh Mawar. Jika kau tidak juga mengikuti perintah Ayah, bersiaplah untuk menggugat cerai suamimu itu.""Tidak, Ayah.""Beri Ayah satu alasan mengapa kau masih bertahan pada laki-laki brengsek
Pagi yang cerah membentang di hadapanku. Aku baru akan berangkat ke rumah Siti setelah mendapatkan izin dari Mas Akbar. ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengan sahabatku itu."Sorry, sayang. Mas tidak bisa mengantarkan dirimu. Karena, ada hal yang harus Mas kerjakan sekarang.""Masalah kantor?" tanyaku penasaran dengan penampilan Mas Akbar. Biasanya saat Ia keluar dari rumah, Ia akan memperhatikan penampilannya. tapi, kali ini penampakannya sangat berbeda. Baju semalam masih Ia pakai, pertanda Mas Akbar belum mandi pagi ini.Aku mengambil sepatu pantofel pada rak sepatu yang berada di teras rumah, lalu memakainya."Iya,""Yakin?""Sayang, aku serius. Aku berangkat dulu, ya." Mas Akbar mengelus lembut kepalaku yang sudah tertutup hijab, lalu mencium sekilas pipiku. ***Akbar berusaha untuk bersikap tenang saat Mawar mulai curiga. Akbar dapat menangkap raut wajah istrinya itu seperti mencari sebuah jawaban atas kebohongan yang Disembunyikannya. Berkali-kali ponsel yang Ia le
Perasaanku saat ini sedang dalam keadaan kurang nyaman. Setelah Abian pamit akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keluarga Akbar, entah mengapa perasaan ini tak menentu."Belum ada kabar?" tanya Mama yang saat ini duduk di sebelahku.aku menggeleng sambil terus mencoba untuk menghubungi nomer telpon Abian."Sebentar lagi juga Abian memberi kabar. Jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan ini. Polisi juga sudah memiliki bukti yang cukup kuat untuk menangkap Sandoro." Papa memotong pembicaraan kami. Pria paruh baya itu terlihat asyik menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Mama."Tapi, Pa…tidak biasanya Abian bersikap seperti ini." Jawabku sambil memaksakan senyum."Coba cek ponselmu, siapa tahu saja sudah ada berita penangkapan Sandoro."Aku menuruti kemauan Papa dan melihat berita terbaru yang menyuguhkan video penangkapan Sandoro.Mama yang melihat ekspresi wajahku menyimpulkan sesuatu dan segera menyalakan layar televisi. "Benar dugaan Papa," lirih Mama sambil mengelus lem
Dunia Akbar runtuh dalam hitungan detik. Kedua matanya masih menatap tak percaya dua tubuh yang tanpa busana saat ini saling melekat dan berkeringat bersama menapaki gairah cinta yang tiada tara.Tak ada yang bersuara, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing."Mas Akbar…" lirih Mulan, dengan linangan air mata yang membasahi pipinya.Akbar ambruk begitu saja, tubuhnya terasa begitu lemah. Kalau dimasa lalu, Ia menyakiti Hati Mawar dengan menyetubuhi wanita lain, kini Akbar harus menanggung beban derita yang entah bisa disembuhkan atau tidak selama sisa umurnya, karena melihat dengan jelas tubuh istrinya kini disetubuhi oleh Ayahnya sendiri."Akbar!" teriak Sania panik melihat anaknya jatuh terduduk di lantai.Sania hanya mampu memeluk tubuh Akbar sambil menangis menjerit pilu, merasakan rasa sakit yang akan Akbar tanggung seumur hidupnya."Apa ini, Bu? Kenapa nasibku Seperti ini? Aku memiliki ayah monster dan wanita yang…" tangisnya pecah. Pria tegap itu menangis dalam pelukan Sa
Dengan perasaan yang kacau, Akbar memutuskan untuk menemui orang tuanya yang saat ini berada di rumah. Ingatannya kembali pada saat pertama kalinya Ia bertemu dengan Mulan yang saat itu sedang diTawan oleh beberapa Orang yang mengaku telah membayar mahal gadis desa itu. Tidak ada kecurigaan sama sekali. Ia benar-benar merasa iba atas hal yang terjadi pada Mulan saat itu.Sampai pada akhirnya, dirinya mulai menyadari bahwa Ia jatuh cinta pada gadis desa yang sangat berbeda sekali dengan Mawar.Mulan sangatlah lembut dan selalu membutuhkan pertolongannya. Sebagai seorang Pria, Ia merasa sangat dibutuhkan dan dihargai."Sial!" teriaknya frustasi. Mobil yang dikendarainya melaju sangat cepat agar cepat sampai ke rumah orang tuanya.Sesampainya di rumah, Akbar segera memarkir mobilnya dan berlari ke dalam rumah, mencari sosok pria yang sangat ingin ia temui."Akbar?" Sania tersenyum menatap anak semata wayangnya itu. Wajah Akbar tampak begitu merah, Seperti menahan sesuatu."Dimana Ayah, Bu
"Aku belum selesai bicara!" cegah Akbar, merasa pernyataan Abian terdengar begitu mengusik hatinya."Apa lagi yang ingin kau dengar?" Abian berbalik dan menatap wajah Akbar. Dua pria tampan itu terlihat memiliki ekspresi sama-sama dingin dan hal itu membuat suasana semakin tegang saja."Ayahmu ada di balik semua ini. Cobalah untuk berpikir, apa yang membuat kehidupan rumah tanggamu dengan Mawar berantakan. Kalau kau selalu beralasan kau berselingkuh karena perilaku seksual yang menyimpang, lalu atas dasar apa seorang wanita seperti Mulan mau tinggal dengan orang yang tak normal seperti dirimu!"Akbar sama sekali tidak menyangka, ucapan Abian begitu menusuk hati dan pikirannya. Pria itu ingin sekali menghajar habis-habisan Abian, namun Ia berusaha untuk tetap tenang dan mendengarkan alasan, mengapa Abian begitu ngotot untuk menyalahkan ayahnya."Kita sama-sama seorang Pengusaha dan memiliki banyak uang untuk mengetahui hal-hal yang ingin kita ketahui. Kalau kau tidak begitu peduli denga
"Apa yang membuatmu datang kemari?"tanyaku penasaran pada sosok yang saat ini berdiri di hadapanku.Akbar tidak menjawab, kepalanya celingukan mencari keberadaan seseorang."Apa yang sebenarnya kau inginkan, Akbar? Lebih baik kau pulang saja."Saat hendak melewati tubuh Akbar, pria itu mencekal lenganku, membuatku terpaksa menghentikan langkah kaki dan kembali memandang wajahnya."Aku ingin kita memulai sebuah lembaran baru. Mulan Seperti hilang ditelan bumi. Wanita itu meninggalkan diriku begitu saja." Ucapnya sambil tersenyum menatap wajahku.Aku segera menepis tangan Akbar, dadaku bergemuruh menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata kasar. Aku tidak ingin pengunjung Restoran terganggu dengan kemarahanku.Tak ingin berlama-lama, aku bergegas meninggalkan Akbar. Berjalan keluar Restoran."Mawar, tunggu!"tak kusangka, Akbar masih saja mengejarku sampai ke tempat parkir."Apa sih yang kau inginkan!" sentakku dengan perasaan kesal setengah mati melihat polah tingkah Akbar yang kekan
Bab 172Luka dalam hati selamanya akan menjadi sesuatu yang tidak pasti, jika tidak terobati dengan baik. Semuanya akan terasa indah jika bisa menyikapi hal itu dengan baik.Seperti halnya dengan diriku, tiga buka pasca perceraianku dengan Akbar, hati ini seperti tanaman yang baru saja tumbuh dan akan memulai sebuah perjalanan yang panjang.Akbar?Terakhir kali aku mendengar kabarnya. Pria itu masih mencari keberadaan Mulan, istri keduanya yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Setiap kali otakku kembali membayangkan masa lalu itu, bukan hanya rasa sakit, melainkan rasa kasihan.Kami bertiga memiliki alasan untuk menjadi korban. Ya, korban ketidakadilan atas keegoisan seorang Sandoro. Abian telah memiliki semua bukti yang mengarah pada mantan mertuaku itu.Pria paruh baya itu adalah alasan pertama, kenapa rumah tanggaku dan Akbar hancur berantakan. Walaupun, pada dasarnya kembali lagi pada diri sendiri akan sebuah kekuatan Cinta, yang Akbar tidak memiliki itu semua.Pria i
Aku menatap wajah pria yang kini tengah menatap wajahku dengan sorot mata penuh harap. Wajah tampannya yang terlihat dingin seperti hilang ditelan bumi saat berhadapan dengan diriku. Cintanya bagaikan sebuah air yang terus mengalir membasahi seluruh isi hatiku."Mawar?" kembali Abian menyadarkan diri ini untuk mendapatkan jawaban yang diinginkannya."Apakah harus secepat ini?" aku mencoba untuk mengulur waktu yang ada. Bukan bermaksud untuk menyakiti hati Abian, hanya saja aku merasa masalahku dengan Akbar belum selesai sepenuhnya. Lagipula, Masa iddahku belum sepenuhnya selesai.Abian terlihat tersenyum. Lebih tepatnya memaksakan senyumannya.Merasa tidak nyaman, aku memalingkan wajah ke arah lain. Berlama-lama bertatap muka langsung dengan Abian membuat kesehatan jantungku berdegup kencang sekali."Baiklah, ayo aku antar pulang." Abian mengalihkan pembicaraan dan lebih memilih untuk membuat diriku merasa nyaman berada di dekatnya.***Mulan meremas ujung roknya, menyalurkan rasa tid
"Lagi pula, istrimu itu Mulan bukan Mawar! Pikiranmu Mulan, tapi mulutmu menyebut nama Mawar. Akbar, cobalah untuk mengerti dan pahami hal-hal yang akhir-akhir ini terjadi."Akbar menghempaskan tubuhnya pada Sofa empuk dan menyandarkan tubuhnya. Pikirannya benar-benar kacau. Mendapatkan kabar bahwa Ia telah resmi bercerai dalam kondisi kehilangan Mulan, membuat otaknya terasa begitu berat untuk berpikir."Kenapa tidak bertanya pada ayahmu?" Sania menatap wajah Akbar dan berusaha untuk meyakinkan anak semata wayangnya itu untuk dapat melihat sebuah kenyataan bahwa Ayahnya selama ini telah mempermainkan kehidupannya secara tidak langsung."Apa hubungannya dengan Ayah?" Akbar menegakkan tubuhnya dan menatap wajah Ibunya itu.Sania memutar bola matanya, malas untuk berdebat tentang persoalan yang sebenarnya sepele tapi begitu memuakkan untuk dibahas."Ibu, tolong katakan yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar tak paham atas semua yang terjadi.""Apa ingatanmu sudah tidak bekerja dengan b
Perlahan Abian melepaskan pelukannya dan memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. Pria itu nampak begitu serius menatap wajahku dengan sorot mata yang tak dapat aku artikan."Aku akan menikah Mawar, apa kau mendengarnya?" sederet kalimat itu kembali mencuat keluar dari mulut Abian, menyisakan sedikit rasa perih di hatiku. Aku belum dapat mengetahui isi hatiku sebenarnya, namun akhir-akhir ini memang wajah Abian selalu berada dalam pikiranku."Mawar," sekali lagi. Pria itu terlihat begitu putus asa dengan kediamanku. "Abian, aku tahu selama beberapa tahun terakhir kau mencintaiku. Tapi, ini salah. Kau akan menikahi gadis itu. Jadi, tak lantas jika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku." Jawabku tanpa berani memandang wajah Abian. Kepalaku tertunduk sambil sesekali mengusap keringat di keningku.Tangan Abian meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat."Kaulah segalanya Mawar, orang yang akan aku nikahi adalah dirimu."Kepalaku mendongak menatap wajah Abian. "Apa maksudmu?""Orang yan