"Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan wanita seperti Mawar." Akbar keluar dari kamar tanpa memandang ke arah Mulan yang masih meringkuk di lantai. "Kau lihat Mulan?" Sania memandang ke arah dimana Mulan sedang duduk meringkuk tak berdaya."Bahkan anakku tidak melihat keadaanmu yang tak berdaya ini. Apa kau tidak bisa melihat situasinya? Sebagai seorang wanita, apa kau tidak bisa mengerti perasaan Mawar, istri pertama Akbar? Kita sebagai seorang wanita pasti paham artinya sebuah pengkhianatan dan rasa sakitnya."Mulan tak sedikitpun menatap wajah Sania, ia masih takut untuk melihat mertuanya itu. Trauma akan kembali dipukuli oleh Sania membuat Mulan tak ingin menatap wajah Ibu mertuanya itu."Aku akan memberikan uang, berapapun yang kau inginkan jika kau setuju untuk meninggalkan kehidupan anakku."Mulan menggeleng, tak ingin menambah kemarahan Sania dengan penolakan yang Ia lakukan."Kau begitu menyedihkan!'' sarkas Sania tersenyum miring menanggapi Mulan yang hanya menggelengk
Aku sesak, dadaku syok dengan perbuatan Mas Akbar yang akhir-akhir ini begitu kasar padaku. Kutepikan mobil di pinggiran jalan yang sedikit sepi. Begitu banyak hal yang terjadi pada diriku, ingin sekali rasanya bersandar pada bahu seseorang yang mengerti kegelisahan dan ketakutanku saat ini. Namun, hal itu sangatlah mustahil.Saat akan kembali menjalankan mobil, ponselku bergetar, aku melihat ke layar ponsel ternyata orang yang menghubungi diriku tak lain adalah Abian."Hallo," "Dimana kau, Mawar?" "Maaf Abian, aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi. Jadi, aku memutuskan untuk pergi," "Apa kau…" Prak! Ponselku terjatuh karena tanganku yang masih dalam keadaan bergetar, Syok dengan sikap Mas Akbar yang terus menerus berbuat kasar padaku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan beristighfar agar segala sesuatu yang membuat dadaku sesak dapat hilang.Aku sudah tak memperdulikan ponselku yang terjatuh, saat ini aku ingin berkonsentrasi menyetir mobil dan berharap jika Paman Ham
Paman Hamzah tertawa. Namun aku dapat merasakan bahwa tawa beliau hanyalah dibuat-buat. Setelah selesai dengan tawa kepura-puraannya, Paman Hamzah menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. "Mawar, jika kau ingin menghancurkan seseorang. Jangan gunakan hatimu. Hatimu harus Mati, dan tumbuhkan Iblis dalam dirimu.""Apa?""Jadilah Iblis dalam kehidupan orang yang kau benci, maka kau akan mengerti maksud ucapanku."***"Bagaimana, kau setuju dengan konsepnya?" tanya Mas Akbar dengan tatapan penuh harapan.Saat ini, kami sedang berada di Restoran milik keluarga Sandoro untuk membahas tentang pesta Anniversary pernikahan kami. Aku memilih untuk mundur selangkah lagi agar bisa menuju pada hal yang aku inginkan sejak awal, yaitu membalaskan dendam atas penghianatan yang dilakukan oleh Mas Akbar."Terserah kau saja," jawabku enggan melihat dekorasi yang akan digunakan saat acara berlangsung."Ayolah sayang, ini pesta pernikahan kita yang kedua, dan kau harus seman
Saat akan memulai dengan membuka baju Mulan, Akbar dikejutkan dengan suara dering ponsel yang berada di saku celananya.Walau sedikit kesal dengan gangguan yang terjadi, Akbar tetap merogoh saku celananya dan melihat siapa yang sedang menelepon dirinya."Hallo, sayang…" Akbar mengambil langkah menjauh dari tubuh Mulan yang telah terbaring di atas kasur."Jemput aku. Nanti akan aku kirim alamatnya," jawab Mawar tanpa berbasa-basi, dan tak menunggu jawaban dari Akbar, segera dimatikan sambungan teleponnya."Ada apa?" Mulan menegakkan tubuhnya dan menghampiri Akbar yang sedang berdiri di dekatnya."Mawar kecelakaan," jawab Akbar sambil menarik tubuh Mulan ke dalam pelukannya. sebuah kebohongan tercipta untuk menutupi sandiwaranya."Bagaimana keadaannya?""Masuk UGD, aku harus memastikan keadaannya."Mulan mempererat pelukannya dan sesekali menciumi dada polos Akbar. "Mulan, hentikan…" niat Akbar ingin memberikan alasan agar bisa pergi. Namun, sepertinya gairahnya sudah terlanjur tersulu
"Kau terlihat sedikit pucat,"Meski mendengar ucapan Ibu mertuaku, aku tak terlalu sadar karena tengah asyik menatap takjub wajah bayi di hadapanku yang sedang digendong oleh Sania, Ibu Mas Akbar.Wajahnya yang terlihat begitu menakjubkan, senyumannya yang begitu menghibur siapa saja yang menatapnya."Anak siapa ini, Bu?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku pada bayi tampan berpipi chubby itu."Anak ponakan Ibu yang di Semarang. Dititipkan di sini karena Ibunya sedang sakit."'Ya, sakit jiwa.' batinku menahan kesal di dada. Bukan perkara yang sulit untuk mengetahui bayi yang saat ini berada di pangkuan Ibu mertuaku. Abian pernah memberikan Foto dan video yang memperlihatkan kedekatan Ibu dengan Natahn. Itu sebabnya aku mengetahui bahwa Nathan adalah anak suamiku."Apa kau sudah menghubungi Akbar?""Sudah Bu," Ibu kembali menatap ke arah bayi yang di pangkuannya."Boleh kugendong,Bu?"Ibu mertuaku terlihat ragu saat akan menyerahkan bayi tampan yang berada di pangkuannya. Aku semakin
Bab 90"Apa maksudmu?" Mas Akbar menghindari tatapan mataku. Pria itu segera melangkahkan kakinya menuju ke arah sofa ruang tamu.Jujur saja, aku suka melihat raut wajah cemas yang tercetak jelas pada wajah tampannya itu. "Bagaimana Mas, kau setuju?" kembali kuulang pertanyaanku sambil tersenyum dan sesekali mengusap lembut wajah Nathan yang terlelap dalam gendonganku."Kenapa kau harus merawat Nathan?""Kau tahu namanya juga Mas? Padahal kata Ibu, Nathan tidak pernah sekalipun di bawa kemari. Dan hari ini, pertama kalinya Nathan diajak kemari karena Ibunya sedang sakit."Mas Akbar mengusap wajahnya berkali-kali."Kenapa Mas?""Tidak, aku tentu saja tahu namanya. Karena Ibunya Pernah mengirimkan foto-fotonya padaku dan memamerkan namanya pada seluruh keluarga Sandoro.""Ya, baiklah…terdengar sangat masuk akal." komentarku saat menduduki Sofa tepat di samping Mas Akbar."Dia begitu manis Mas. Boleh ya aku membawanya pulang ke rumah?"Mas Akbar tidak menjawab pertanyaanku. Pria itu mem
"Hah, apa…" Siti gugup dengan sikap Abian yang terlihat begitu serius menatap wajahnya."Kapan acaranya?" sekali lagi Abian mengulangi pertanyaannya. Aslan yang mendengar ucapan Abian, mencoba untuk bersikap biasa saja. Walaupun sebenarnya tawanya sudah hampir keluar dari mulut."Saya meminta tanda tangan anda, bukan acara…""Pesta Anniversary pernikahan Akbar dan Mawar."Siti mengatupkan bibirnya. Perkataan Abian kembali membuat isi kepala Siti mengingat momen dimana dirinya dan Mawar bercerita tentang pesta pernikahan yang akan digelar oleh keluarga Sandoro dikhususkan untuk Sahabatnya itu."Hahahaha…" Siti tak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Abian. Aslan yang melihat kejadian tersebut begitu terkejut dengan tindakan Siti yang terlihat berani bersikap apa adanya di hadapan Abian. Aslan segera menarik tubuh Siti agar keluar ruangan saat melihat raut wajah kekesalan tercetak jelas pada wajah Abian.Siti sama sekali tak keberatan saat dirinya digiring
Mas Akbar mengusap hidung mancungnya. Hal ini biasa terjadi saat dirinya merasa tidak nyaman untuk kembali mengobrol dengan topik yang tak disukainya."Mas, tidak ada diantara aku dan ibu yang mengatakan bahwa Nathan ini anakmu. Lagi pula, aku belum pernah melahirkan. Jadi, kau belum resmi menjadi seorang Ayah. Hamil saja belum." lanjutku tanpa memperdulikan ekspresi dua orang yang sedang duduk menghadap diriku. "Sudah Mawar, tidak perlu dibahas lagi. Lagi pula Nathan masih lama disini, kalau kau ingin berkunjung untuk melihatnya, tak masalah. Tapi, jangan bawa Nathan bersamamu." kata Ibu mencoba menguraikan suasana yang menegangkan bagi Mas Akbar, tentunya.Aku hanya dapat mengerucutkan bibir saat Ibu kembali menatap dan memohon agar Nathan bisa kembali ke dalam gendongannya. Dengan berat hati, akupun menyerahkan tubuh mungil itu pada Ibu.Mas Akbar tampak begitu lega saat Nathan sudah tak berada dalam pangkuanku. Pria itu terlihat tersenyum dan sesekali mengangguk. Pasti isi kepala
Perasaanku saat ini sedang dalam keadaan kurang nyaman. Setelah Abian pamit akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keluarga Akbar, entah mengapa perasaan ini tak menentu."Belum ada kabar?" tanya Mama yang saat ini duduk di sebelahku.aku menggeleng sambil terus mencoba untuk menghubungi nomer telpon Abian."Sebentar lagi juga Abian memberi kabar. Jangan terlalu mengkhawatirkan keadaan ini. Polisi juga sudah memiliki bukti yang cukup kuat untuk menangkap Sandoro." Papa memotong pembicaraan kami. Pria paruh baya itu terlihat asyik menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Mama."Tapi, Pa…tidak biasanya Abian bersikap seperti ini." Jawabku sambil memaksakan senyum."Coba cek ponselmu, siapa tahu saja sudah ada berita penangkapan Sandoro."Aku menuruti kemauan Papa dan melihat berita terbaru yang menyuguhkan video penangkapan Sandoro.Mama yang melihat ekspresi wajahku menyimpulkan sesuatu dan segera menyalakan layar televisi. "Benar dugaan Papa," lirih Mama sambil mengelus lem
Dunia Akbar runtuh dalam hitungan detik. Kedua matanya masih menatap tak percaya dua tubuh yang tanpa busana saat ini saling melekat dan berkeringat bersama menapaki gairah cinta yang tiada tara.Tak ada yang bersuara, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing."Mas Akbar…" lirih Mulan, dengan linangan air mata yang membasahi pipinya.Akbar ambruk begitu saja, tubuhnya terasa begitu lemah. Kalau dimasa lalu, Ia menyakiti Hati Mawar dengan menyetubuhi wanita lain, kini Akbar harus menanggung beban derita yang entah bisa disembuhkan atau tidak selama sisa umurnya, karena melihat dengan jelas tubuh istrinya kini disetubuhi oleh Ayahnya sendiri."Akbar!" teriak Sania panik melihat anaknya jatuh terduduk di lantai.Sania hanya mampu memeluk tubuh Akbar sambil menangis menjerit pilu, merasakan rasa sakit yang akan Akbar tanggung seumur hidupnya."Apa ini, Bu? Kenapa nasibku Seperti ini? Aku memiliki ayah monster dan wanita yang…" tangisnya pecah. Pria tegap itu menangis dalam pelukan Sa
Dengan perasaan yang kacau, Akbar memutuskan untuk menemui orang tuanya yang saat ini berada di rumah. Ingatannya kembali pada saat pertama kalinya Ia bertemu dengan Mulan yang saat itu sedang diTawan oleh beberapa Orang yang mengaku telah membayar mahal gadis desa itu. Tidak ada kecurigaan sama sekali. Ia benar-benar merasa iba atas hal yang terjadi pada Mulan saat itu.Sampai pada akhirnya, dirinya mulai menyadari bahwa Ia jatuh cinta pada gadis desa yang sangat berbeda sekali dengan Mawar.Mulan sangatlah lembut dan selalu membutuhkan pertolongannya. Sebagai seorang Pria, Ia merasa sangat dibutuhkan dan dihargai."Sial!" teriaknya frustasi. Mobil yang dikendarainya melaju sangat cepat agar cepat sampai ke rumah orang tuanya.Sesampainya di rumah, Akbar segera memarkir mobilnya dan berlari ke dalam rumah, mencari sosok pria yang sangat ingin ia temui."Akbar?" Sania tersenyum menatap anak semata wayangnya itu. Wajah Akbar tampak begitu merah, Seperti menahan sesuatu."Dimana Ayah, Bu
"Aku belum selesai bicara!" cegah Akbar, merasa pernyataan Abian terdengar begitu mengusik hatinya."Apa lagi yang ingin kau dengar?" Abian berbalik dan menatap wajah Akbar. Dua pria tampan itu terlihat memiliki ekspresi sama-sama dingin dan hal itu membuat suasana semakin tegang saja."Ayahmu ada di balik semua ini. Cobalah untuk berpikir, apa yang membuat kehidupan rumah tanggamu dengan Mawar berantakan. Kalau kau selalu beralasan kau berselingkuh karena perilaku seksual yang menyimpang, lalu atas dasar apa seorang wanita seperti Mulan mau tinggal dengan orang yang tak normal seperti dirimu!"Akbar sama sekali tidak menyangka, ucapan Abian begitu menusuk hati dan pikirannya. Pria itu ingin sekali menghajar habis-habisan Abian, namun Ia berusaha untuk tetap tenang dan mendengarkan alasan, mengapa Abian begitu ngotot untuk menyalahkan ayahnya."Kita sama-sama seorang Pengusaha dan memiliki banyak uang untuk mengetahui hal-hal yang ingin kita ketahui. Kalau kau tidak begitu peduli denga
"Apa yang membuatmu datang kemari?"tanyaku penasaran pada sosok yang saat ini berdiri di hadapanku.Akbar tidak menjawab, kepalanya celingukan mencari keberadaan seseorang."Apa yang sebenarnya kau inginkan, Akbar? Lebih baik kau pulang saja."Saat hendak melewati tubuh Akbar, pria itu mencekal lenganku, membuatku terpaksa menghentikan langkah kaki dan kembali memandang wajahnya."Aku ingin kita memulai sebuah lembaran baru. Mulan Seperti hilang ditelan bumi. Wanita itu meninggalkan diriku begitu saja." Ucapnya sambil tersenyum menatap wajahku.Aku segera menepis tangan Akbar, dadaku bergemuruh menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata kasar. Aku tidak ingin pengunjung Restoran terganggu dengan kemarahanku.Tak ingin berlama-lama, aku bergegas meninggalkan Akbar. Berjalan keluar Restoran."Mawar, tunggu!"tak kusangka, Akbar masih saja mengejarku sampai ke tempat parkir."Apa sih yang kau inginkan!" sentakku dengan perasaan kesal setengah mati melihat polah tingkah Akbar yang kekan
Bab 172Luka dalam hati selamanya akan menjadi sesuatu yang tidak pasti, jika tidak terobati dengan baik. Semuanya akan terasa indah jika bisa menyikapi hal itu dengan baik.Seperti halnya dengan diriku, tiga buka pasca perceraianku dengan Akbar, hati ini seperti tanaman yang baru saja tumbuh dan akan memulai sebuah perjalanan yang panjang.Akbar?Terakhir kali aku mendengar kabarnya. Pria itu masih mencari keberadaan Mulan, istri keduanya yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Setiap kali otakku kembali membayangkan masa lalu itu, bukan hanya rasa sakit, melainkan rasa kasihan.Kami bertiga memiliki alasan untuk menjadi korban. Ya, korban ketidakadilan atas keegoisan seorang Sandoro. Abian telah memiliki semua bukti yang mengarah pada mantan mertuaku itu.Pria paruh baya itu adalah alasan pertama, kenapa rumah tanggaku dan Akbar hancur berantakan. Walaupun, pada dasarnya kembali lagi pada diri sendiri akan sebuah kekuatan Cinta, yang Akbar tidak memiliki itu semua.Pria i
Aku menatap wajah pria yang kini tengah menatap wajahku dengan sorot mata penuh harap. Wajah tampannya yang terlihat dingin seperti hilang ditelan bumi saat berhadapan dengan diriku. Cintanya bagaikan sebuah air yang terus mengalir membasahi seluruh isi hatiku."Mawar?" kembali Abian menyadarkan diri ini untuk mendapatkan jawaban yang diinginkannya."Apakah harus secepat ini?" aku mencoba untuk mengulur waktu yang ada. Bukan bermaksud untuk menyakiti hati Abian, hanya saja aku merasa masalahku dengan Akbar belum selesai sepenuhnya. Lagipula, Masa iddahku belum sepenuhnya selesai.Abian terlihat tersenyum. Lebih tepatnya memaksakan senyumannya.Merasa tidak nyaman, aku memalingkan wajah ke arah lain. Berlama-lama bertatap muka langsung dengan Abian membuat kesehatan jantungku berdegup kencang sekali."Baiklah, ayo aku antar pulang." Abian mengalihkan pembicaraan dan lebih memilih untuk membuat diriku merasa nyaman berada di dekatnya.***Mulan meremas ujung roknya, menyalurkan rasa tid
"Lagi pula, istrimu itu Mulan bukan Mawar! Pikiranmu Mulan, tapi mulutmu menyebut nama Mawar. Akbar, cobalah untuk mengerti dan pahami hal-hal yang akhir-akhir ini terjadi."Akbar menghempaskan tubuhnya pada Sofa empuk dan menyandarkan tubuhnya. Pikirannya benar-benar kacau. Mendapatkan kabar bahwa Ia telah resmi bercerai dalam kondisi kehilangan Mulan, membuat otaknya terasa begitu berat untuk berpikir."Kenapa tidak bertanya pada ayahmu?" Sania menatap wajah Akbar dan berusaha untuk meyakinkan anak semata wayangnya itu untuk dapat melihat sebuah kenyataan bahwa Ayahnya selama ini telah mempermainkan kehidupannya secara tidak langsung."Apa hubungannya dengan Ayah?" Akbar menegakkan tubuhnya dan menatap wajah Ibunya itu.Sania memutar bola matanya, malas untuk berdebat tentang persoalan yang sebenarnya sepele tapi begitu memuakkan untuk dibahas."Ibu, tolong katakan yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar tak paham atas semua yang terjadi.""Apa ingatanmu sudah tidak bekerja dengan b
Perlahan Abian melepaskan pelukannya dan memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. Pria itu nampak begitu serius menatap wajahku dengan sorot mata yang tak dapat aku artikan."Aku akan menikah Mawar, apa kau mendengarnya?" sederet kalimat itu kembali mencuat keluar dari mulut Abian, menyisakan sedikit rasa perih di hatiku. Aku belum dapat mengetahui isi hatiku sebenarnya, namun akhir-akhir ini memang wajah Abian selalu berada dalam pikiranku."Mawar," sekali lagi. Pria itu terlihat begitu putus asa dengan kediamanku. "Abian, aku tahu selama beberapa tahun terakhir kau mencintaiku. Tapi, ini salah. Kau akan menikahi gadis itu. Jadi, tak lantas jika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku." Jawabku tanpa berani memandang wajah Abian. Kepalaku tertunduk sambil sesekali mengusap keringat di keningku.Tangan Abian meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat."Kaulah segalanya Mawar, orang yang akan aku nikahi adalah dirimu."Kepalaku mendongak menatap wajah Abian. "Apa maksudmu?""Orang yan