Daniel tak bisa berhenti menduga-duga apa yang ingin dibicarakan Felisia dengannya. Jika itu hal penting, mestinya berkaitan dengan urusan pekerjaan. Tapi apa? Sejauh ini dia merasa kinerjanya oke-oke saja. Bahkan dia menilai dirinya bekerja dengan baik dan layak diganjar bonus. 'Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah ada hal penting yang kulewatkan?' pikirnya. Terus saja dia memikirkannya sampai-sampai dia tak menyadari waktu telah berlalu sepuluh menit. Dia mengambil ponselnya. Cepat-cepat, dia keluar dari ruangannya, menuju ke ruangannya Felisia. Setibanya di ruangannya Felisia dia mengetuk pintu dua kali. "Masuk!" kata Felisia dari dalam. Daniel mendorong pintu dan masuk. Dia melihat Felisia sedang menatap layar laptopnya dan tengah mengetik sesuatu dengan cepat. Raut mukanya tak bersahabat. "Anda memanggil saya, Bu Felisia?" tanya Daniel, menutup pintu. "Daniel, duduklah," pinta Felisia. Daniel pun duduk di kursi kosong di seberang meja kerjanya Felisia. Firasat buruk i
"Berani-beraninya kau menghasut istriku. Aku telah menyembuhkan luka tembakmu itu, dan ini yang kau lakukan padaku? Hebat!" sindir Morgan.Daniel masih mematung di tempatnya. Dia belum juga bisa menutup kembail mulutnya."Kemasi barang-barangmu! Aku tak peduli selama ini kinerjamu bagus atau tidak, mulai detik ini kau bukan lagi karyawan Charta Group!" lanjut Morgan.Daniel terbelalak lagi dan dadanya kini berdebar-debar. Dia seakan bisa mendengar desir darahnya sendiri."Cepat proses pemecatannya! Aku tak mau melihat wajahnya lagi di kantor ini!" perintah Morgan kepada Felisia."Baik, Tuan," tanggap Felisia. Dia lalu mengangkat gagang telepon dan menelepon HRD, meminta dokumen pemecatan Daniel disiapkan secepatnya.Mata Danil bergerak-gerak, menatap Felisia lalu Morgan, lalu Felisia lagi, lalu Morgan lagi.Debar dadanya bertambah hebat. Tubuhnya terasa panas dan lemas. Dan akhirnya...Bruk!Daniel jatuh berlutut. Mengerahkan semua tenaganya, dia membungkukkan badannya, bersujud ke ar
Morgan dan yang lainnya menyusun rencana untuk melancarkan operasi rahasia ke Kota KL. Jenderal Yudha menghubungi pimpinan markas militer di kota tersebut, sementara Komandan melakukan hal serupa ke pemimpin kepolisian di sana. Si pria yang mewakili istana sendiri melalukan panggilan sembari menjauh. Dia sangat berhati-hati. Morgan tak bisa menebak orang itu sedang bicara dengan siapa. Morgan sendiri hanya berdiri sambil melipat tangan di dada. Ditatapnya layar monitor hologram di atas meja. Dia harus langsung menuju ke Kota KL. Itu artinya dia tak jadi membeli mobil dan ponsel hari ini. Sedari tadi, Morgan sebenarnya ingin menghubungi Agnes. Daniel memang telah dia singkirkan, tapi itu tidak lantas berarti masalahnya dengan Agnes sudah teratasi. Tapi dia juga tak yakin bisa membuat istrinya itu paham dengan memberinya penjelasan. Kalau istrinya itu masih marah, bisa jadi percuma saja. Haruskah dia menunggu sampai kemarahan istrinya itu mereda? "Dewa Perang, Anda sudah siap?"
Pria yang dipanggil Bos itu berjalan dengan langkah-langkah cepat, menuju ke pintu. Dia siapkan senjatanya.Orang-orang itu menyingkir, memberi jalan padanya. Saat si Bos ini sudah dekat ke pintu, si orang yang bicara tadi mundur, memberi ruang baginya untuk mengintip lewat celah pintu yang kecil.Si Bos melakukan itu dan, seketika, matanya membesar.Di luar gudang memang ada mobil-mobil lapis baja, sepertinya baru saja tiba. Dari mobil-mobil itu, tentara-tentara turun, bergerak ke arah gudang.“Ada perubahan rencana! Siapkan senjata kalian! Kita akan berperang dengan tentara-tentara itu di sini!” seru si Bos.Langsung saja, para calon pembunuh berdarah dingin itu berdiri dan beranjak, menyiapkan senjata mereka masing-masing.Tak satu pun dari mereka terlihat gugup. Meski beberapa sempat ada yang terkejut saat si Bos mengatakan kalau mereka akan menghadapi tentara, tapi sampai di situ saja. Setelah itu mereka kembali ke raut muka acuh tak acuhnya.Malahan bagi sebagian dari mereka, me
Atap gudang itu meledak terkena hantaman roket. Puing-puingnya berjatuhan, membuat tentara-tentara dan para psikopat di situ menghentikan adu tembak mereka sejenak. Beberapa dari mereka ada yang terkapar tertimpa puing-puing tersebut. Si penjahat yang meluncurkan roket itu sendiri, melihat apa yang barusan terjadi, kini ternganga dengan mata membulat. Seorang pria, dengan tangan kosong, baru saja mengubah arah roket. Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia manusia? Tatapan serupa diberikan si Bos kepada Morgan. Namun, berbeda dengan orang yang meluncurkan roket itu, dia kini menyiapkan senjata untuk menyerang Morgan. Morgan menyadari apa yang dilakukan si Bos dan dia pun langsung bergerak. Dia berlari dan, dalam sekejap, sudah berada di antara mereka. Hal pertama yang dilakukannya kemudian adalah menendang si orang yang menembakkan roket padanya tadi hingga pria itu terlempar jauh menghantam dinding. Tentu saja orang-orang lain di sekitar si Bos kaget, tercengang dengan apa yan
Morgan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak salah lagi, si pengendara yang dimaksud Gaby adalah Allina. Siapa lagi yang bisa memiting tentara seperti Donald kalau bukan dia?[Apa perintahmu? Haruskah kubiarkan dia masuk? Atau aku minta Imran untuk membantu Donald?]“Suruh Imran ke gerbang untuk memisahkan mereka, tapi biarkan orang itu masuk. Mungkin dia mau bertemu denganku. Jika benar begitu, kau jelaskan saja situasiku saat ini padanya.”[Oke. Jadi kubiarkan masuk saja nih, ya?]“Iya. Tapi ingat satu hal: jangan sampai istriku melihatnya. Ada baiknya kau ajak dia ngobrol di luar saja. Di teras.”[Hmm, oke. Ada alasan khusus di balik itu?]“Ya, ada. Tapi kau tak perlu tahu. Ribet juga kalau kujelaskan sekarang. Lakukan saja sesuai arahanku.”[Oke.]Percakapan berakhir di situ. Morgan mengembalikan ponsel itu kepada Kris.“Ada masalah, Dewa Perang? Anda ingin kembali ke Kota HK sekarang?” tanya Kris.Morgan menggeleng, menjawab, “Kita selesaikan saja dulu urusan kita di kot
“Maafkan saya, Nyonya. Akan segera saya atasi. Silakan Nyonya masuk kembali,” kata Gaby.Allina menatap Gaby heran. Cara Gaby bicara pada Agnes benar-benar formal.‘Apakah dia memang dipekerjakan Morgan di rumahnya ini?’ pikirnya.Tak menggubris permintaan Gaby, Agnes malah melangkah keluar. Pintu dibiarkannya terbuka. Kini dia menatap Allina dengan gestur menantang.“Ada apa kau ke sini? Kau mencari Morgan?” tanyanya ketus.“Ya,” jawab Allina cepat. “Tapi orang ini bilang dia sedang tak ada di rumah. Apa benar?”“Ya. Dia tak ada di rumah,” balas Agnes ketus.Gaby menatap Agnes dan Allina bergantian. Dia benar-benar bingung. Dia tak tahu kalau Agnes dan Allina sudah saling kenal.“Nyonya, biar saya saja yang tangani ini. Silakan Nyonya—”Agnes mengangkat tangan kanannya, meminta Gaby berhenti bicara.Fakta bahwa Gaby langsung menurut menguatkan dugaan Allina kalau wanita ini memang dipekerjakan Morgan di rumahnya ini.“Ada apa kau mencari Morgan? Kau masih mau mencoba merenggutnya dar
Allina terdiam memandangi Agnes yang masuk ke rumah. Tamparan Agnes masih menyisakan perih di pipinya.‘Sekarang kita impas.’Itulah yang dikatakan Agnes. Apakah itu artinya Agnes telah memaafkannya? Atau yang dimaksud impas di situ barulah sekadar Agnes balas menampar Allina sebab Allina lebih dulu menamparnya?Tak jelas. Tak ada yang bisa memastikannya kecuali Agne sendiri.Namun, tentunya, Allina tak punya niat untuk memaksa masuk dan mengejar Agnes.Kini dia menatap Gaby. Gaby mengangkat bahu, memberinya tatapan malas.Allina menatap pintu rumah yang tertutup itu. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, dia pun berpikir untuk pergi.Soal Morgan, dia akan memikirkannya nanti. Siapa tahu mereka berpapasan di suatu tempat. Dia yakin Lambat-laun Morgan akan kembali ke kota ini setelah urusannya di luar kota itu selesai.Allina pun balik badan, menuruni anak-anak tangga.Gaby membiarkannya, tak menahannya atau apa. Setelah Agnes masuk dia kini bisa sedikit santai. Dilipatkan kedua tanganny