Dua hari berlalu…Di sebuah ruas jalan di Kota HK, Jonas sedang mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit tempat majikannya, Jonathan Weiss, dirawat.Jonathan telah menjalani operasi darurat pemasangan dan penyambungan kembali tulang kaki tiga hari yang lalu. Meski operasi berjalan lancar, diperkirakan akan butuh waktu tiga hingga empat bulan sampai Jonathan bisa menggunakan kakinya lagi seperti semula.“Semua ini gara-gara si keparat itu! Aku tak akan bisa menjalani sisa hidupku dengan tenang kalau aku belum melihat mayatnya dengan mata kepalaku sendiri!” gerutunya.Dendamnya kepada Morgan memang benar-benar akut. Dan dia yakin, saat ini Morgan masih berkeliaran di suatu tempat di kota ini.Tentu saja Jonas telah memerintahkan anak-anak buahnya untuk mencari Morgan, melakukan penelusuran di sekitar kawasan mobilnya Morgan meledak.Yang menghambat mereka, upaya pencarian itu harus mereka lakukan diam-diam, sebab di saat yang sama para polisi pun tampak melakukan hal yang sama.Mereka
Dua ratus orang lebih, dengan berbagai senjata di tangan, menyerang Morgan di saat yang bersamaan. Morgan memasang kuda-kuda. Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia menghadapi ratusan orang seorang diri seperti ini. "Hiyaaaa!!"Teriakan penuh amarah orang-orang itu membelah malam yang sunyi di hutan tersebut. Namun, yang terdengar kemudian adalah teriakan yang berbeda. Tiga orang terlempar ke atas, lima orang terlempar ke lima arah berbeda, sepuluh orang terlempar ke danau. Itu semua terjadi dalam satu-dua detik saja.Apa yang terjadi itu cukup mengejutkan pasukannya Jonas. Terlebih lagi, Morgan kini membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar. Serangan demi serangan tetap datang, tapi kini mulai ada orang-orang yang ragu. Gerakan mereka melambat dan fokus mereka berkurang. Morgan sendiri, sementara itu, sangat fokus dan mulai panas. Meski ratusan orang itu menyerangnya secara bersamaan, pada akhirnya hanya beberapa saja dari mereka yang berhadapan dengannya langsung. Mudah saja
Morgan mengerutkan kening. Polisi menuju ke rumahnya? Untuk apa. Berpikir sebentar, dia lalu membalas pesan chat Kris itu:[Pantau saja dulu. Awasi semua pergerakan mereka, tapi jangan lakukan apa pun.]Beberapa saat kemudian ponselnya kembali bergetar, tapi Morgan tak mengeceknya. Dia sedang fokus mengeluarkan dua peluru yang bersarang di tubuhnya itu, dan setelah itu menutupi luka tembak hingga nyaris tak pernah ada. Sambil bersandar di jok dan menarik-embuskan, Morgan mengambil ponselnya dan mengecek kotak masuk pesan. Kris mengatakan akan melakukan apa yang diperintahkannya, dan akan melapor sewaktu-waktu jika itu dianggap perlu. Morgan lantas menaruh kembali ponselnya di dasbor, dan berpikir, menduga-duga apa yang mengarahkan para polisi ke rumahnya. 'Mungkinkah ini ada hubungannya dengan insiden yang menimpaku dua hari yang lalu itu?' pikirnya. Tiba-tiba saja, titik-titik peristiwa muncul di benaknya, lalu terhubung satu sama lain dengan garis-garis imajiner. Dugaannya s
Mobil-mobil lapis baja itu berhenti di belakang tiga mobil patroli polisi.Suasana mendadak jadi menegangkan. Joseph dan Jimmy, juga polisi-polisi lain, menatap ke arah mobil-mobil itu dengan harap-harap cemas.Dan tentu saja, saat pintu mobil-mobil itu terbuka, yang keluar adalah sosok-sosok tentara.Seragam yang mereka kenakan menunjukkan kalau mereka bertugas di kota ini.Joseph tahu itu. Dan kini, kecemasannya menjadi-jadi.Dia mulai membayangkan hal buruk apa yang mungkin menimpanya setelah ini.“Ada apa ini? Kenapa ada polisi di rumah ini? Ada urusan apa kalian?” tanya seorang tentara yang berjalan mendekat.Dia adalah Kris. Sekilas dia melirik Morgan dan mendapati Morgan mengangguk.“Cepat jelaskan padaku, apa yang kalian lakukan di sini?” desak Kris.Polisi-polisi itu menatap Joseph dan Jimmy. Mereka tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi perlu meminta izin terlebih dulu.Akhirnya Joseph sendiri yang angkat bicara.“Kami sedang menyelidiki insiden ledakan mobil dua hari yang
Di dalam sebuah taksi online, Agnes menyandarkan punggung dan belakang kepalanya ke jok penumpang, sembari memejamkan mata. Kedua matanya sebenarnya sudah sepat, tetapi dia tak bisa tidur juga. Otaknya aktif. Dia terus memikirkan hal-hal yang membuatnya cemas. Saat ini, taksi online itu sedang membawa Agnes ke sebuah kedai kopi yang buka hingga tengah malam. Di sana, dia akan bertemu seseorang untuk bercerita kepadanya: Allina.Hubungan Agnes dengan Allina mulai terjalin setelah Allina membiarkannya—dan bahkan mengantarnya—pulang padahal wanita itu diperintahkan oleh Morgan untuk menjaganya tetap di rumah mewah itu. Beberapa hari kemudian mereka sempat bertemu di sebuah kafe, di mana Allina menyampaikan padanya pesan-pesan dukungan dari Morgan. Kali ini, dia akan mencoba mengulik informasi-informasi dari wanita itu, tentang Morgan. "Sudah sampai," kata si sopir taksi online. Agnes membuka matanya, menoleh ke jendela di sampingnya. Setelah memastikan tak ada barangnya yang ket
Livia terkejut mendapati Agnes ada di situ. Terlebih lagi, saat ini, dia sedang kencan dengan calon sugar daddy-nya.Dia pun menatap Agnes dengan kesal. Dia tak mau Agnes merusak rencananya yang sejauh ini terbukti berhasil.“Livia, siapa orang yang tak punya sopan santun ini? Dia temanmu?” tanya si pria berusia 40-an tahun itu.“Abaikan saja dia, Om. Sebenarnya dia ini adik iparku, tapi dia sudah diusir oleh ayahnya sendiri. Suaminya mantan narapidana. Wajar saja kalau dia tak punya sopan santun,” jelas Livia, melirik Agnes dengan benci.Giliran Agnes yang terkejut. Dia tahu Livia tak pernah menyukainya, tapi haruskah dia mengatakan sesuatu sejahat itu?“Oh, suaminya mantan narapidana? Pantas saja,” kata pria itu.“Iya, Om. Begitulah kalau punya pasangan kriminal. Kelakuannya tak bisa diharapkan. Makanya, Om, kita abaikan saja dia. Anggap saja dia tak ada,” tanggap Livia.Agnes menatap Livia tak percaya. Dan dia masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Livia, kenapa malam-mal
Oleh orang-orang yang tak mereka kenal itu, Agnes dan Allina dimasukkan ke salah satu mobil dan ditutupi matanya dengan kain hitam. Kedua tangan mereka pun diikat. Di sepanjang perjalanan mereka tak bisa melakukan apa pun selain diam saja. Paling tidak, orang-orang itu tak mencoba menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Setelah kira-kira setengah jam, mobil akhirnya berhenti. Mereka mendengar bunyi pintu dibuka, orang-orang turun, dan ada cahaya yang menerpa wajah dan bagian kiri tubuh mereka. "Bawa mereka turun!" kata salah satu dari orang-orang yang membawanya itu. Agnes dan Allina pun dibantu untuk turun dari mobil. Mata mereka masih ditutupi kain hitam dan tangan mereka masih diikat. Dua orang mendorong sambil mengarahkan mereka untuk maju. Agnes sudah sangat ketakutan, tapi dia tak berani bicara. Tadi setelah mereka keluar dari mobilnya Allina, Allina sempat bertanya apa maksud orang-orang itu mengadang mereka. Dan apa yang kemudian terjadi? Allina ditampar keras.Bahkan saat
Setelah mengatakannya, Morgan melepaskan tangan dua anak buahnya Leno, dan kini dia berjalan ke arah Leno dengan aura berwarna hitam yang menyeruak dari tubuhnya."Kenapa kalian diam saja? Habisi dia!" perintah Leno.Anak-anak buahnya Leno, yang sempat tercengang melihat kemunculan Morgan, kini menyerang Morgan dan berbagai penjuru.Jumlah mereka setidaknya mencapai 50 orang. Beberapa dari mereka memegang senjata api, bersiap mem-back up teman-temannya yang maju duluan jika sesuatu terjadi pada mereka.Tetapi, dalm sekejap, tiba-tiba saja Morgan lenyap, dan detik demi detik kemudian yang terjadi adalah ambruknya orang-orang itu.Mereka seperti baru saja dicabut nyawanya secara serentak. Dan bukan hanya itu, senjata-senjata api mereka itu hancur hingga berkeping-keping."A-apa yang terjadi? K-kenapa bisa begini?" gumam Leno yang mulai ketakutan.Saking ketakutannya dia, dia bahkan lupa memasukkan batangnya ke balik celana dalam.Dan batangnya itu, yang tadi keras dan panjang, mendadak
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat