"Apa maksudmu, Livia? Kita sedang menuju ke rumah," kata Agnes, heran dengan permintaan kakak iparnya itu."Turunkan aku di sini! Aku bisa pulang sendiri! Tak sudi aku diantar suami sampahmu ini!" balas Livia."Livia! Morgan baru saja menolongmu! Mestinya kau berterima kasih padanya!" balas Agnes, kesal."Dia bisa saja meninggalkanmu sendirian di sana, tapi dia memilih untuk membawamu, memangkumu ke mobilnya ini, dan dia bahkan menyembuhkan luka-luka memar di wajahmu. Beginikah caramu berterima kasih?" timpal Allina.Merasa diserang dari dua arah, Livia semakin defensif."Aku tak peduli! Pokoknya turunkan aku sekarang!" ujar Livia, mencoba membuka pintu di samping kirinya.Tentu saja upayanya itu sia-sia. Morgan sudah mengunci semua pintu mobil, dan dia tak akan membukanya sampai mereka tiba di kediaman Keluarga Wistara."Kau ini kenapa sih, Livia? Sebegitu bencinyakah kau pada suamiku? Kalau kau tadi tak pingsan, kau akan melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana dia menolong ki
Allina merasakan perih di perutnya, terutama saat Leno menarik pisau belati itu. Untungnya, saat Leno akan menancapkan pisau itu lagi ke perutnya, Allina sempat mundur dan menghindar. Perutnya tak terkena tusukan lagi, tapi Leno mengikutinya dengan keras di bawah leher. Allina mundur sambil terbatuk-batuk. Dia masih harus menghindari serangan membabi-buta Leno yang berusaha melukainya lagi. Jeda yang dibutuhkan Allina itu baru ada beberapa belas detik kemudian, ketika Leno tampak lelah dan berkeringat. Allina mundur menjauh. Sambil memegangi luka di perutnya yang masih mengeluarkan darah, dia menatap Leno dengan waspada. Satu hal membuatnya bingung: kenapa Leno tiba-tiba ada di situ? Bukankah mestinya dia..."Kau ingat apa yang kau lakukan padaku dua hari yang lalu, Jalang? Gara-gara kau, aku harus mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk pengobatan darurat!" kata Leno. Dia tampak tak nyaman, sesekali mengangkang dan mengubah posisi berdirinya. Diusapnya bulir-bulir keringat di
Morgan seharusnya bisa tiba lebih cepat. Tapi, di perjalanan menuju pusat pelatihannya Allina ini, Kris tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Dan Kris tidak sendiri saat Morgan menghampirinya di sebuah ruko tempat dia dan anak-anak buahnya kadang menyusun strategi. Di sana ada juga Yudha. Keberadaan Yudha di situ tentu membuat Morgan bertanya-tanya sepenting dan segenting apa informasi yang akan diberikan padanya. Dan ketika Kris memberikan informasi itu, Morgan geram. Tadi pagi dia meminta Kris untuk mencari tahu hal-hal terkait Leno, dan rupanya temuan-temuan Kris dan anak buahnya lebih buruk daripada yang dibayangkan Morgan. Sesuai dugaan Morgan, Leno memimpin sebuah organisasi hitam yang, secara ilegal, menjalankan bisnis di Kota HK. Bisnis-bisnis gelapnya itu tersebar di berbagai titik, mulai dari penjualan obat-obat terlarang hingga prostitusi ilegalilegal, dan dia telah melakukannya selama lebih dari 20 tahun. Dari situlah dia bisa punya begitu banyak uang dan me
Dalam perjalanan ke kantor pusat Charta Group, Morgan memikirkan apa-apa yang dikatakan Leno tadi.Sejauh ini sudah ada dua pihak yang diduga kuat terlibat dalam insiden penculikan dan penyekapan istrinya tujuh tahun lalu. Dan, keduanya sama-sama organisasi hitam alias mafia.Leno mengaku diminta seseorang untuk mengerahkan orang-orangnya, membuat keributan di kawasan lain di kota HK, jauh dari lokasi penyekapan Agnes.Imbalannya sangat besar, sehingga Leno tanpa pikir panjang langsung melakukan apa yang diminta seseorang itu. Tapi, dia tak benar-benar tahu seseorang itu siapa.Permintaan dan transaksi itu dilakukan oleh pihak perantara. Begitu Leno menjelaskan.Adapun soal pihak mana yang akan diuntungkan oleh aksi kriminal terbuka kelompoknya itu sendiri tujuh tahun yang lalu, Leno tak juga tak tahu pasti.Begitu minim informasi yang diberikan si perantara itu kepadanya. Namun, satu hal dia cukup yakin: pihak tersebut punya akses istimewa ke sumber daya yang tak terbatas.Satu hal l
Di perayaan hari jadi Charta Group, tiga hari kemudian... Mewakili Wistara Group, Agnes datang ditemani Henry dan Robert. Kecanggungan terlihat dari bagaimana Agnes mencoba menjaga jarak dari ayahnya dan kakaknya itu. Bagaimanapun, sejak Agnes mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah demi tetap menggarap proyek dari Charta Group hubungan mereka telah banyak berubah. Agnes bahkan belum bicara lagi dengan kedua pria itu sampai tadi ketika mereka bertemu di luar hotel. Perayaan hari jadi Charta Group tahun ini dilangsungkan di Hotel X, salah satu hotel termewah dan terbesar di pusat Kota HK. Tidak sembarang orang bisa masuk ke hotel ini. Bahkan harga sewa kamar termurahnya saja lima puluh juta per malam. Hotel ini memang didesain khusus untuk orang-orang superkaya dan superpenting. Dan malam ini, hotel ini akan kedatangan tamu kehormatan yang sangat dinanti-nantikan: Sang Dewa Perang. "Ingat, Agnes, saat menghampiri Dewa Perang nanti biar aku dan Robert saja yang bicara. Wani
Arman langsung menjauh dari Morgan, sembari menatapnya ketakutan.Dia masih ingat momen mengerikan ketika Morgan memegang tangannya dan meremukkan tulang tangannya itu.Itu salah satu momen terburuk di dalam hidupnya.“Kenapa memangnya kalau aku di sini? Kau takut aku membongkar rahasiamu?” tanya Morgan.“Ra-rahasia apa?” tanggap Arman, menatap Morgan cemas.Morgan tersenyum miring, berkata, “Kau yakin ingin aku mengatakannya di sini, di hadapan Keluarga Wistara?”Arman semakin cemas. Dia tak tahu apa yang ada di benak Morgan, tapi firasatnya mengatakan kalau itu bukan hal yang baik baginya.“Heh, Keparat! Apa sebenarnya maumu? Tak bisakah kau bersikap sopan sedikit kepada Nak Arman? Dia ini berasal dari kalangan atas sedangkan kau hanya orang miskin yang beruntung pernah tinggal menumpang di rumah kami!” cerca Henry.“Iya! Dasar tak tahu diri kau, Morgan! Dan apa juga yang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa orang miskin sepertimu memasuki restoran ini? Hal licik apalagi yang kau lak
Sebab dilontarkan setelah tepuk tangan terhenti, suara Arman terdengar begitu lantang, dan tentu saja kini dia menjadi pusat perhatian.Sebagian orang yang tak mengenalnya memasang muka jengah, sebab sungguh tidak pantas sikap kasar seperti itu ditunjukkan seseorang yang menghadiri acara seberkelas ini.Tidak seperti ayahnya yang begitu dikenal dan dihormati oleh orang-orang superpenting yang tengah menghadiri acara ini, Arman di mata mereka hanya anak muda sengak yang tidak tahu cara bersikap.“Kalau menurut kalian ini lucu, maka ada yang salah dengan otak kalian! Mana Sang Dewa Perang yang kami tunggu-tunggu? Kenapa malah kriminal seperti dia yang sekarang berdiri di panggung?” kata Arman lagi.“Orang ini mantan narapidana, asal kalian tahu saja. Tujuh tahun dia dipenjara karena tuduhan pencurian dan pemerkosaan. Bisa-bisanya kalian beri orang seperti dia panggung di acara seprestisius ini! Lelucon macam apa ini?!” sambungnya.Orang-orang kini mulai kasak-kusuk. Mereka tak tahu apak
“Apa maksudmu, Jenderal?”[Begini. Aku baru saja mendapat informasi kalau Rudolf telah kembali, dan dia sedang mencarimu. Dan sebab perusahaanmu telah mengumumkan kalau Dewa Perang akan hadir di acara malam ini, dia saat ini sedang menuju ke Kota HK.]Morgan terdiam. Rudolf adalah pemimpin salah satu pasukan pemberontak yang dihadapinya di salah satu perang tersulit dalam tujuh tahun ini.Di perang yang dimenangkan Morgan itu Rudolf tersingkirkan, terpaksa kabur ke luar negeri, sementara pasukan pemberontaknya ditumpas habis oleh Morgan.Jika benar kini dia telah kembali, itu artinya dia sudah merasa siap untuk membalas dendam.[Kau harus berhati-hati, Morgan. Kemungkinan besar, Rudolf punya koneksi di Kota HK ini.][Setidaknya beberapa orang penting di kota ini diam-diam punya hubungan dengannya, dan bisa jadi mereka saat ini menghadiri acara kalian.][Dan jika sampai orang itu tahu keluarganya Dewa Perang, istrimu akan berada dalam bahaya.][Orang-orang itu bisa diam-diam mengambil
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat