Mobil-mobil lapis baja itu berhenti di belakang tiga mobil patroli polisi.Suasana mendadak jadi menegangkan. Joseph dan Jimmy, juga polisi-polisi lain, menatap ke arah mobil-mobil itu dengan harap-harap cemas.Dan tentu saja, saat pintu mobil-mobil itu terbuka, yang keluar adalah sosok-sosok tentara.Seragam yang mereka kenakan menunjukkan kalau mereka bertugas di kota ini.Joseph tahu itu. Dan kini, kecemasannya menjadi-jadi.Dia mulai membayangkan hal buruk apa yang mungkin menimpanya setelah ini.“Ada apa ini? Kenapa ada polisi di rumah ini? Ada urusan apa kalian?” tanya seorang tentara yang berjalan mendekat.Dia adalah Kris. Sekilas dia melirik Morgan dan mendapati Morgan mengangguk.“Cepat jelaskan padaku, apa yang kalian lakukan di sini?” desak Kris.Polisi-polisi itu menatap Joseph dan Jimmy. Mereka tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi perlu meminta izin terlebih dulu.Akhirnya Joseph sendiri yang angkat bicara.“Kami sedang menyelidiki insiden ledakan mobil dua hari yang
Di dalam sebuah taksi online, Agnes menyandarkan punggung dan belakang kepalanya ke jok penumpang, sembari memejamkan mata. Kedua matanya sebenarnya sudah sepat, tetapi dia tak bisa tidur juga. Otaknya aktif. Dia terus memikirkan hal-hal yang membuatnya cemas. Saat ini, taksi online itu sedang membawa Agnes ke sebuah kedai kopi yang buka hingga tengah malam. Di sana, dia akan bertemu seseorang untuk bercerita kepadanya: Allina.Hubungan Agnes dengan Allina mulai terjalin setelah Allina membiarkannya—dan bahkan mengantarnya—pulang padahal wanita itu diperintahkan oleh Morgan untuk menjaganya tetap di rumah mewah itu. Beberapa hari kemudian mereka sempat bertemu di sebuah kafe, di mana Allina menyampaikan padanya pesan-pesan dukungan dari Morgan. Kali ini, dia akan mencoba mengulik informasi-informasi dari wanita itu, tentang Morgan. "Sudah sampai," kata si sopir taksi online. Agnes membuka matanya, menoleh ke jendela di sampingnya. Setelah memastikan tak ada barangnya yang ket
Livia terkejut mendapati Agnes ada di situ. Terlebih lagi, saat ini, dia sedang kencan dengan calon sugar daddy-nya.Dia pun menatap Agnes dengan kesal. Dia tak mau Agnes merusak rencananya yang sejauh ini terbukti berhasil.“Livia, siapa orang yang tak punya sopan santun ini? Dia temanmu?” tanya si pria berusia 40-an tahun itu.“Abaikan saja dia, Om. Sebenarnya dia ini adik iparku, tapi dia sudah diusir oleh ayahnya sendiri. Suaminya mantan narapidana. Wajar saja kalau dia tak punya sopan santun,” jelas Livia, melirik Agnes dengan benci.Giliran Agnes yang terkejut. Dia tahu Livia tak pernah menyukainya, tapi haruskah dia mengatakan sesuatu sejahat itu?“Oh, suaminya mantan narapidana? Pantas saja,” kata pria itu.“Iya, Om. Begitulah kalau punya pasangan kriminal. Kelakuannya tak bisa diharapkan. Makanya, Om, kita abaikan saja dia. Anggap saja dia tak ada,” tanggap Livia.Agnes menatap Livia tak percaya. Dan dia masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Livia, kenapa malam-mal
Oleh orang-orang yang tak mereka kenal itu, Agnes dan Allina dimasukkan ke salah satu mobil dan ditutupi matanya dengan kain hitam. Kedua tangan mereka pun diikat. Di sepanjang perjalanan mereka tak bisa melakukan apa pun selain diam saja. Paling tidak, orang-orang itu tak mencoba menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Setelah kira-kira setengah jam, mobil akhirnya berhenti. Mereka mendengar bunyi pintu dibuka, orang-orang turun, dan ada cahaya yang menerpa wajah dan bagian kiri tubuh mereka. "Bawa mereka turun!" kata salah satu dari orang-orang yang membawanya itu. Agnes dan Allina pun dibantu untuk turun dari mobil. Mata mereka masih ditutupi kain hitam dan tangan mereka masih diikat. Dua orang mendorong sambil mengarahkan mereka untuk maju. Agnes sudah sangat ketakutan, tapi dia tak berani bicara. Tadi setelah mereka keluar dari mobilnya Allina, Allina sempat bertanya apa maksud orang-orang itu mengadang mereka. Dan apa yang kemudian terjadi? Allina ditampar keras.Bahkan saat
Setelah mengatakannya, Morgan melepaskan tangan dua anak buahnya Leno, dan kini dia berjalan ke arah Leno dengan aura berwarna hitam yang menyeruak dari tubuhnya."Kenapa kalian diam saja? Habisi dia!" perintah Leno.Anak-anak buahnya Leno, yang sempat tercengang melihat kemunculan Morgan, kini menyerang Morgan dan berbagai penjuru.Jumlah mereka setidaknya mencapai 50 orang. Beberapa dari mereka memegang senjata api, bersiap mem-back up teman-temannya yang maju duluan jika sesuatu terjadi pada mereka.Tetapi, dalm sekejap, tiba-tiba saja Morgan lenyap, dan detik demi detik kemudian yang terjadi adalah ambruknya orang-orang itu.Mereka seperti baru saja dicabut nyawanya secara serentak. Dan bukan hanya itu, senjata-senjata api mereka itu hancur hingga berkeping-keping."A-apa yang terjadi? K-kenapa bisa begini?" gumam Leno yang mulai ketakutan.Saking ketakutannya dia, dia bahkan lupa memasukkan batangnya ke balik celana dalam.Dan batangnya itu, yang tadi keras dan panjang, mendadak
"Apa maksudmu, Livia? Kita sedang menuju ke rumah," kata Agnes, heran dengan permintaan kakak iparnya itu."Turunkan aku di sini! Aku bisa pulang sendiri! Tak sudi aku diantar suami sampahmu ini!" balas Livia."Livia! Morgan baru saja menolongmu! Mestinya kau berterima kasih padanya!" balas Agnes, kesal."Dia bisa saja meninggalkanmu sendirian di sana, tapi dia memilih untuk membawamu, memangkumu ke mobilnya ini, dan dia bahkan menyembuhkan luka-luka memar di wajahmu. Beginikah caramu berterima kasih?" timpal Allina.Merasa diserang dari dua arah, Livia semakin defensif."Aku tak peduli! Pokoknya turunkan aku sekarang!" ujar Livia, mencoba membuka pintu di samping kirinya.Tentu saja upayanya itu sia-sia. Morgan sudah mengunci semua pintu mobil, dan dia tak akan membukanya sampai mereka tiba di kediaman Keluarga Wistara."Kau ini kenapa sih, Livia? Sebegitu bencinyakah kau pada suamiku? Kalau kau tadi tak pingsan, kau akan melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana dia menolong ki
Allina merasakan perih di perutnya, terutama saat Leno menarik pisau belati itu. Untungnya, saat Leno akan menancapkan pisau itu lagi ke perutnya, Allina sempat mundur dan menghindar. Perutnya tak terkena tusukan lagi, tapi Leno mengikutinya dengan keras di bawah leher. Allina mundur sambil terbatuk-batuk. Dia masih harus menghindari serangan membabi-buta Leno yang berusaha melukainya lagi. Jeda yang dibutuhkan Allina itu baru ada beberapa belas detik kemudian, ketika Leno tampak lelah dan berkeringat. Allina mundur menjauh. Sambil memegangi luka di perutnya yang masih mengeluarkan darah, dia menatap Leno dengan waspada. Satu hal membuatnya bingung: kenapa Leno tiba-tiba ada di situ? Bukankah mestinya dia..."Kau ingat apa yang kau lakukan padaku dua hari yang lalu, Jalang? Gara-gara kau, aku harus mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk pengobatan darurat!" kata Leno. Dia tampak tak nyaman, sesekali mengangkang dan mengubah posisi berdirinya. Diusapnya bulir-bulir keringat di
Morgan seharusnya bisa tiba lebih cepat. Tapi, di perjalanan menuju pusat pelatihannya Allina ini, Kris tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Dan Kris tidak sendiri saat Morgan menghampirinya di sebuah ruko tempat dia dan anak-anak buahnya kadang menyusun strategi. Di sana ada juga Yudha. Keberadaan Yudha di situ tentu membuat Morgan bertanya-tanya sepenting dan segenting apa informasi yang akan diberikan padanya. Dan ketika Kris memberikan informasi itu, Morgan geram. Tadi pagi dia meminta Kris untuk mencari tahu hal-hal terkait Leno, dan rupanya temuan-temuan Kris dan anak buahnya lebih buruk daripada yang dibayangkan Morgan. Sesuai dugaan Morgan, Leno memimpin sebuah organisasi hitam yang, secara ilegal, menjalankan bisnis di Kota HK. Bisnis-bisnis gelapnya itu tersebar di berbagai titik, mulai dari penjualan obat-obat terlarang hingga prostitusi ilegalilegal, dan dia telah melakukannya selama lebih dari 20 tahun. Dari situlah dia bisa punya begitu banyak uang dan me