Pagi itu, Ardi datang ke toko kue untuk membantu ibunya, Bu Surti. Saat mereka menata kue-kue di toko, suasana pagi yang sejuk berubah menjadi tegang saat mereka hendak membuka garasi toko."Astaga, ini kotoran manusia dan sampah! Siapa yang berani-beraninya?" Bu Surti marah dan wajahnya memerah karena kesal. "Ardi, cek CCTV! Kita harus tahu siapa yang melakukan ini!"Ardi segera pergi untuk mengecek rekaman CCTV. Saat melihat rekaman beberapa malam sebelumnya, ia menemukan bahwa banyak pengemis dan orang terlantar sering menggunakan area depan toko sebagai tempat buang air dan tidur. Namun, saat ia memeriksa lebih lanjut, ia melihat rekaman malam saat hujan beberapa hari yang lalu. Ia terkejut melihat Ziva dan Raka melakukan hubungan intim di toko. Ardi tersentak dan dengan cepat menyimpan rekaman itu di ponselnya. Ia kembali kepada ibunya dan memberi tahu tentang pengemis dan orang-orang yang mengotori toko mereka. Namun, ia tidak menyebutkan tentang Ziva dan Raka."Dasar tidak tah
Malam semakin larut ketika Raka dan anak buahnya tiba di depan toko roti Ibu Surti. Lingkungan sekitar sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan cepat pulang ke rumah mereka. Raka memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mulai bergerak.Dengan cepat dan tenang, mereka mendekati toko roti itu. Salah satu dari mereka membawa linggis dan mulai membuka paksa pintu belakang toko. Begitu pintu terbuka, mereka masuk dengan hati-hati.Di dalam, suasana toko roti yang biasanya hangat dan nyaman kini terasa mencekam. Raka melihat sekeliling dengan mata yang penuh kebencian. "Mulai hancurkan semuanya," bisiknya dengan suara yang rendah namun memerintah.Anak buahnya mulai menghancurkan etalase, meja, dan peralatan dapur dengan brutal. Suara kaca pecah dan kayu retak bergema di seluruh ruangan. Raka menatap semua itu dengan kepuasan yang dingin.Salah satu anak buah menumpahkan minyak dari dapur ke seluruh ruangan. Raka mengambil korek api dari sakunya dan menyalakannya, memandang api kecil i
Keesokan harinya, Ziva memutuskan untuk mengunjungi rumah Bu Surti. Saat ia sampai di depan rumah, ia memanggil beberapa kali, namun tidak ada yang merespons. Ia terus menunggu di luar dengan sabar hingga akhirnya Ardi muncul dari pintu dengan wajah marah."Apa yang kamu lakukan di sini, Ziva?" tanyanya dengan suara keras dan tajam."Aku hanya ingin memastikan Bu Surti baik-baik saja. Dan apakah toko bisa kita buk-""Setelah semua yang terjadi? Kamu masih sanggup membahas toko? Kamu sudah gila?""Ardi, apa-apaan kamu? Aku cuma bertanya tentang toko kapan dibuka. Kenapa kamu begitu?""Kau tahu, semua ini terjadi karena kamu! Kamu membawa sial bagi kami! Pergi dari sini sebelum aku benar-benar marah," bentaknya.Ziva terkejut dan terluka oleh kata-kata Ardi. Ia tidak mengerti mengapa Ardi begitu marah padanya, tapi ia tahu bahwa tidak ada gunanya memperpanjang percakapan ini. Dengan kecewa, Ziva berbalik dan pergi dari rumah itu.Berjalan di kota tanpa tujuan yang jelas, Ziva merasa put
Pagi itu, Ziva tiba di kampus dengan semangat baru. Ia membawa kotak berisi kue bolu dan roti hasil buatannya semalam. Ia ingin berbagi dengan Sari, berharap dukungan dari temannya tersebut.Di kafetaria, Ziva menemukan Sari sedang duduk sendirian. "Sari, aku bawa sesuatu untukmu," kata Ziva dengan senyum."Apa itu?" tanya Sari dengan penasaran.Ziva membuka kotak kue dan menawarkan sepotong bolu kepada Sari. Sari mencicipi kue itu dan matanya berbinar."Ziva, ini enak sekali! Kamu punya bakat luar biasa," puji Sari.Mereka berdua berbincang santai, membahas rencana Ziva untuk membuka toko roti baru. Sari memberikan banyak dukungan dan ide-ide untuk mengembangkan usahanya.Namun, tiba-tiba terdengar keributan dari salah satu sudut kampus. Ziva dan Sari melihat ke arah kerumunan yang mulai berkumpul."Ada apa di sana?" tanya Ziva.Mereka berdua mendekat dan melihat Raka dan Ardi saling menantang satu sama lain. Wajah keduanya penuh kemarahan."Ayo, Ardi! Kalau kamu memang berani, kita
Ziva bangun pagi dengan kepala pusing, memikirkan bagaimana ia bisa mendapatkan modal untuk membuka toko roti. "Seandainya Leon di sini," pikirnya, "aku bisa memanfaatkan pria itu." Dengan perasaan yang campur aduk, Ziva bersiap-siap untuk pergi ke kampus.Di kampus, suasana terasa aneh. Banyak mahasiswa melihat ponsel mereka dengan kaget. Ziva mendengar bisik-bisik bahwa Ardi telah dipindahkan ke kampus lain oleh ayah Raka. Sementara itu, Raka masih dirawat di rumah sakit.Ziva mencoba fokus pada pelajarannya, namun pikirannya terus berkelana. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi di balik layar.***Di sebuah perlelangan barang mewah, suasana sangat ramai. Berpuluh-puluh orang kaya dari berbagai kota datang untuk membeli lukisan dan perhiasan. Di antara mereka, ada Madam Maroon dan suaminya, Rob. Ayah Leon, Brok, juga hadir bersama pengawal tertingginya. Namun, yang paling mencolok adalah seorang wanita misterius berusia sekitar 30 tahun yang mengenakan topeng hitam dan pa
Pagi itu, Ziva kembali ke ruang rahasia dengan hati-hati. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia temukan. Di salah satu sudut ruangan, ia melihat sebuah brankas kecil yang tertutup debu. Ziva merogoh sakunya dan mengambil kunci yang sebelumnya digunakan untuk membuka pintu rahasia. Dengan tangan gemetar, ia mencoba kunci tersebut pada brankas, dan ternyata cocok.Brankas terbuka perlahan, memperlihatkan isi di dalamnya. Ziva menemukan beberapa ikat uang yang rapi tersusun dan sebuah pistol kecil yang terlihat sudah tua namun masih terawat baik. Ziva mengambil pistol itu dengan hati-hati, merasa ketakutan dan gemetaran saat memegangnya. Ini adalah senjata Black D, mungkin untuk berjaga-jaga dalam situasi darurat. Ziva menelan ludah, lalu menyimpan pistol itu kembali di brankas.Dengan uang yang ditemukan, Ziva merencanakan untuk memulai bisnis toko rotinya. Ia menghubungi istri Johnson dan mengajaknya ke barbershop untuk membantu memulai perombakan dan persiapan. Bersama anaknya, mereka m
Esok paginya, Ziva bangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah sarapan sederhana, ia bersama Ibu Kiki, istri Johnson, menuju dapur baru mereka di D' CAKE. Dapur tersebut masih sederhana dengan peralatan yang seadanya, namun Ziva yakin mereka bisa menghasilkan kue dan roti yang lezat.Dengan penuh semangat, Ziva mulai mengaduk adonan, mengukur bahan-bahan, dan memanggang kue serta roti sesuai dengan resep yang telah ia buat. Ibu Kiki membantu menyiapkan bahan-bahan, mengawasi oven, dan menata kue-kue yang sudah jadi. Aroma manis dari kue dan roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.Setelah semuanya selesai, Ziva dan Ibu Kiki menata kue dan roti di etalase dengan rapi. Setiap kue dan roti dipajang dengan hati-hati, memastikan tampilan yang menggugah selera. Mereka bersiap untuk menyambut pelanggan pertama mereka dengan penuh harapan.Namun, waktu berlalu dan tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Jam demi jam berlalu, dan or
Di sisi lain kota, wanita bertopeng misterius itu tengah menikmati mandi di kamar mandinya yang sangat mewah. Uap air panas memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman. Cahaya lampu gantung kristal memantul di dinding marmer yang berkilauan. Wanita itu berdiri di bawah pancuran, air mengalir lembut di atas tubuhnya yang anggun. Ia menutup mata, menikmati setiap tetes air yang membasuh kulitnya.Setelah beberapa saat, seorang pengawal mengetuk pintu kamar mandi dengan sopan. "Madam, ada surat untuk Anda," katanya dengan hormat.Wanita itu meraih handuk lembut berwarna putih dan membungkus tubuhnya dengan anggun. Ia membuka pintu kamar mandi dan menerima surat serta kartu hitam berlogo Beruang. Dengan elegan, ia duduk di tepi bathtub dan membuka surat itu."Undangan pertemuan dari Brok di sebuah tempat rahasia di luar kota," ia membaca keras-keras, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang dingin. Dengan gerakan anggun, ia menjatuhkan surat itu ke lantai dan menuju kamar tidur.Di ka
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan