Beberapa hari kemudian, Ziva berusaha tegar menjalani hari-harinya. Meski duka masih menyelimuti hatinya, ia mencoba fokus pada pelajaran dan aktivitas di kampus. Leon dan Raka selalu menyemangati Ziva, memberikan dukungan agar ia bisa bangkit dari kesedihannya. Untuk Leon, Ziva berusaha merespon dengan baik, namun tidak untuk Raka. Setiap kali bertemu dengannya, Ziva selalu bersikap dingin padanya.Hari itu, kampus mengadakan seminar dengan tamu istimewa, yaitu ayahnya Raka, seorang pengusaha sukses di bidang tambang emas. Pak Rob, begitu ia dikenal, akan membagikan pengalamannya mengenai peran sosial seorang kaya dalam masyarakat.Aula kampus dipenuhi mahasiswa yang antusias mendengarkan Pak Rob. Ziva, Leon, dan Raka duduk di barisan depan. Pak Rob berdiri di atas panggung, wajahnya berseri-seri dengan karisma seorang pengusaha sukses."Selamat pagi, mahasiswa-mahasiswa hebat!" sapa Pak Rob, membuka pidatonya. "Saya merasa terhormat bisa berbagi pengalaman dengan kalian hari ini. Men
Esok harinya, Ziva berusaha bersikap romantis pada Leon. Di kampus, ia memperlihatkan perhatian yang lebih dari biasanya. Saat mereka duduk di bangku taman, Ziva menatap Leon dengan mata penuh kasih sayang, meski dalam hatinya ia merasakan kebencian yang mendalam."Leon, kamu sudah makan?" tanya Ziva lembut, sembari memberikan sandwich yang ia bawa.Leon tersenyum, terkejut dengan perhatian Ziva. "Terima kasih, Ziva. Kamu sangat perhatian."Hari itu di kampus, mereka terlihat seperti pasangan bahagia. Ziva tertawa pada lelucon Leon, menggenggam tangannya saat mereka berjalan di koridor, dan tersenyum hangat setiap kali Leon berbicara. Semua orang yang melihat mereka berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna.Malamnya, Leon mengajak Ziva makan di restoran di kota. Awalnya, ia ingin mengajak Ziva makan di restoran bintang lima. Namun ia menyadari satu hal, Ziva tidak suka kemewahan. Oleh karena itu, Leon hanya mengajak Ziva makan di restoran biasa untuk menyenangkan hati Ziva.
Ziva membuka pintu rumahnya dengan lemas. Kehidupan tanpa Black D terasa semakin berat setiap harinya. Dia tidak pernah pandai memasak, dan tanpa kehadiran pamannya, tugas itu menjadi tantangan besar. Pagi ini, dia terpaksa memakan telur yang gosong karena dia kehabisan gas dan bahan makanan. Uang pesangon dari kematian Black D juga sudah hampir habis.Dengan tekad mencari solusi, Ziva pergi ke toko terdekat untuk membeli bahan makanan. Namun, ketika tiba di kasir, dia menyadari bahwa uangnya tidak cukup. Merasa malu dan putus asa, dia hampir meninggalkan barang-barangnya ketika seorang pria yang tidak dikenalnya datang dan membayar belanjaannya. Tanpa percakapan panjang, Ziva berterima kasih padanya.Pria itu sebenarnya adalah salah satu intel yang ditugaskan Raka untuk memperhatikan Ziva jika ia kesusahan, namun Ziva tidak menyadarinya. Dia sangat berterima kasih dan pulang dengan perasaan sedikit lega.Di dapur, Ziva kembali memasak. Namun, hasilnya tetap mengecewakan. Telur yang d
Ziva berjalan menyusuri jalanan kota dengan perasaan cemas. Ia memegang erat ijazah SMA-nya, berharap ada pekerjaan yang bisa mendukung kebutuhannya. Setelah berjam-jam mencari, ia akhirnya melihat sebuah toko roti kecil di sudut jalan. Papan nama toko itu berbunyi "Roti Surti".Ziva memasuki toko tersebut dan disambut oleh aroma roti yang baru saja dipanggang. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah berdiri di balik konter, terlihat sedang mengelap meja. Wanita itu tampak sudah memiliki anak, terlihat dari foto-foto keluarga yang terpasang di dinding."Selamat siang, Nak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu dengan senyum hangat.Ziva mengangguk dan berkata, "Selamat siang, Bu. Nama saya Ziva. Saya sedang mencari pekerjaan. Saya ingin tahu apakah ibu membutuhkan bantuan di sini."Wanita itu memandang Ziva dengan perhatian. "Oh, tentu saja. Toko ini memang sepi akhir-akhir ini. Tapi, gajinya tidak seberapa, Nak."Ziva merasa lega mendengar tawaran itu. "Tidak apa-apa, Bu. Say
Beberapa hari setelah kunjungan Raka dan teman-temannya ke toko roti, bisnis Ibu Surti mulai menunjukkan peningkatan. Banyak pelanggan baru yang datang, tertarik oleh cerita tentang toko roti yang pernah dikunjungi oleh sekelompok pria muda yang ramah. Ziva bekerja keras membantu Ibu Surti, dan senyum lega sering terpancar dari wajah Ibu Surti melihat tokonya semakin ramai.Pagi itu, Ziva sedang sibuk di balik konter saat suara deru mobil mewah menarik perhatian semua orang. Leon turun dari mobilnya dengan elegan, mengenakan setelan yang rapi. Semua pengunjung toko roti terkesan dengan penampilannya.Leon masuk ke toko dengan senyum hangat. "Selamat pagi, Ziva. Ternyata kamu bekerja di sini," katanya sambil melihat sekeliling toko.Ziva tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Selamat pagi, Leon. Iya, aku bekerja di sini sekarang."Tanpa basa-basi, Leon mengeluarkan kartu kreditnya. "Aku ingin membeli semua roti yang ada di toko ini," katanya dengan suara tegas
Di markas besar Bearpo, suasana mencekam memenuhi ruangan yang dipenuhi nuansa beruang. Patung-patung beruang dengan mata merah menyala menghiasi setiap sudut ruangan, sementara lampu redup memberikan kesan suram dan menakutkan. Di tengah ruangan, Brok Bearpo duduk di kursi besar dengan tongkatnya yang berlapis emas di tangan.Salah satu pengawal Brok masuk dengan cepat dan memberikan laporan. "Tuan, kami mendapat pesanan narkoba berjumlah besar yang akan dikirim ke Inggris," kata pengawal itu dengan suara tegas.Brok menghisap rokok mahalnya dan mengangguk. "Bagus. Siapkan semuanya dengan rapi. Panggil Leon sekarang."Leon dipanggil dan masuk dengan sedikit ragu. "Ada apa, Ayah?" tanyanya.Brok menatapnya tajam. "Leon, ada pengiriman besar narkoba ke Inggris. Kau yang akan mengantarnya."Leon terkejut dan mencoba menolak. "Tapi, Ayah, aku punya tugas skripsi yang harus diselesaikan. Aku tidak bisa pergi sekarang."Brok mengerutkan keningnya, tanda bahwa kesabarannya mulai habis. "Leo
Leon merasa jantungnya berdetak kencang. Ia mencoba melarikan diri, tetapi seorang polisi menangkapnya dengan cepat dan memborgol tangannya."Ini jebakan," kata Leon dengan suara gemetar.Polisi memeriksa koper dan menemukan narkoba di dalamnya. "Leon Bearpo, Anda ditangkap atas tuduhan penyelundupan narkoba," kata polisi dengan suara tegas.Leon tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu bahwa situasinya sangat buruk dan tidak ada jalan keluar. Ia melihat sekilas ke arah pria-pria yang seharusnya menerima barang itu, dan menyadari bahwa mereka adalah anak buah Raka.Dengan tangan terborgol, Leon dibawa ke mobil polisi. Di kejauhan, ia bisa melihat pesawat-pesawat yang terus lepas landas, tetapi bagi Leon, hari itu adalah akhir dari kebebasannya. Di balik semua ini, Raka telah berhasil melancarkan rencananya untuk menjebak Leon, dan kebenaran tentang keluarga Bearpo perlahan mulai terungkap.Suasana di markas besar Bearpo terasa mencekam. Dinding-dinding dihiasi dengan dekorasi beruang yang
Ziva memulai harinya dengan sedikit kegalauan. Leon belum juga muncul di kampus, dan Ziva mulai curiga. Ia ingin melanjutkan rencananya untuk masuk lebih dalam ke kehidupan Leon, tetapi ketidakhadiran Leon membuatnya bingung. Di kampus, Raka semakin giat melakukan hal-hal romantis untuk Ziva. Ia seringkali membawakan Ziva kopi pagi, menyelipkan catatan kecil berisi semangat di buku catatan Ziva, dan selalu memastikan Ziva merasa dihargai dan diperhatikan. Kehadiran Raka yang terus-menerus membuat Ziva sedikit demi sedikit merasakan kehangatan di tengah dinginnya rencana balas dendam yang ada di hatinya.Setelah kuliah selesai, Ziva dan Raka menuju toko roti untuk bekerja. Sepanjang hari mereka bekerja bersama, melayani pelanggan yang terus berdatangan berkat viralnya toko tersebut. Keakraban mereka semakin terlihat saat bekerja sama, dan kebersamaan itu membuat Ziva merasa sedikit lebih tenang.Saat malam tiba, toko roti mulai sepi. Ibu Surti telah pulang lebih awal dengan mobilnya d
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan