Esok harinya, Ziva berusaha bersikap romantis pada Leon. Di kampus, ia memperlihatkan perhatian yang lebih dari biasanya. Saat mereka duduk di bangku taman, Ziva menatap Leon dengan mata penuh kasih sayang, meski dalam hatinya ia merasakan kebencian yang mendalam."Leon, kamu sudah makan?" tanya Ziva lembut, sembari memberikan sandwich yang ia bawa.Leon tersenyum, terkejut dengan perhatian Ziva. "Terima kasih, Ziva. Kamu sangat perhatian."Hari itu di kampus, mereka terlihat seperti pasangan bahagia. Ziva tertawa pada lelucon Leon, menggenggam tangannya saat mereka berjalan di koridor, dan tersenyum hangat setiap kali Leon berbicara. Semua orang yang melihat mereka berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna.Malamnya, Leon mengajak Ziva makan di restoran mewah di kota. Saat Leon menjemputnya, Ziva tampil cantik dengan gaun hitam sederhana namun elegan. Leon, dengan setelan jas rapi, memandang Ziva dengan kagum."Kamu terlihat sangat cantik malam ini," kata Leon dengan nada t
Ziva membuka pintu rumahnya dengan lemas. Kehidupan tanpa Black D terasa semakin berat setiap harinya. Dia tidak pernah pandai memasak, dan tanpa kehadiran pamannya, tugas itu menjadi tantangan besar. Pagi ini, dia terpaksa memakan telur yang gosong karena dia kehabisan gas dan bahan makanan. Uang pesangon dari kematian Black D juga sudah hampir habis.Dengan tekad mencari solusi, Ziva pergi ke toko terdekat untuk membeli bahan makanan. Namun, ketika tiba di kasir, dia menyadari bahwa uangnya tidak cukup. Merasa malu dan putus asa, dia hampir meninggalkan barang-barangnya ketika seorang pria yang tidak dikenalnya datang dan membayar belanjaannya. Tanpa percakapan panjang, Ziva berterima kasih padanya.Pria itu sebenarnya adalah salah satu intel yang ditugaskan Raka untuk memperhatikan Ziva jika ia kesusahan, namun Ziva tidak menyadarinya. Dia sangat berterima kasih dan pulang dengan perasaan sedikit lega.Di dapur, Ziva kembali memasak. Namun, hasilnya tetap mengecewakan. Telur yang d
Ziva berjalan menyusuri jalanan kota dengan perasaan cemas. Ia memegang erat ijazah SMA-nya, berharap ada pekerjaan yang bisa mendukung kebutuhannya. Setelah berjam-jam mencari, ia akhirnya melihat sebuah toko roti kecil di sudut jalan. Papan nama toko itu berbunyi "Roti Surti".Ziva memasuki toko tersebut dan disambut oleh aroma roti yang baru saja dipanggang. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah berdiri di balik konter, terlihat sedang mengelap meja. Wanita itu tampak sudah memiliki anak, terlihat dari foto-foto keluarga yang terpasang di dinding."Selamat siang, Nak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu dengan senyum hangat.Ziva mengangguk dan berkata, "Selamat siang, Bu. Nama saya Ziva. Saya sedang mencari pekerjaan. Saya ingin tahu apakah ibu membutuhkan bantuan di sini."Wanita itu memandang Ziva dengan perhatian. "Oh, tentu saja. Toko ini memang sepi akhir-akhir ini. Tapi, gajinya tidak seberapa, Nak."Ziva merasa lega mendengar tawaran itu. "Tidak apa-apa, Bu. Say
Beberapa hari setelah kunjungan Raka dan teman-temannya ke toko roti, bisnis Ibu Surti mulai menunjukkan peningkatan. Banyak pelanggan baru yang datang, tertarik oleh cerita tentang toko roti yang pernah dikunjungi oleh sekelompok pria muda yang ramah. Ziva bekerja keras membantu Ibu Surti, dan senyum lega sering terpancar dari wajah Ibu Surti melihat tokonya semakin ramai.Pagi itu, Ziva sedang sibuk di balik konter saat suara deru mobil mewah menarik perhatian semua orang. Leon turun dari mobilnya dengan elegan, mengenakan setelan yang rapi. Semua pengunjung toko roti terkesan dengan penampilannya.Leon masuk ke toko dengan senyum hangat. "Selamat pagi, Ziva. Ternyata kamu bekerja di sini," katanya sambil melihat sekeliling toko.Ziva tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Selamat pagi, Leon. Iya, aku bekerja di sini sekarang."Tanpa basa-basi, Leon mengeluarkan kartu kreditnya. "Aku ingin membeli semua roti yang ada di toko ini," katanya dengan suara tegas
Di markas besar Bearpo, suasana mencekam memenuhi ruangan yang dipenuhi nuansa beruang. Patung-patung beruang dengan mata merah menyala menghiasi setiap sudut ruangan, sementara lampu redup memberikan kesan suram dan menakutkan. Di tengah ruangan, Brok Bearpo duduk di kursi besar dengan tongkatnya yang berlapis emas di tangan.Salah satu pengawal Brok masuk dengan cepat dan memberikan laporan. "Tuan, kami mendapat pesanan narkoba berjumlah besar yang akan dikirim ke Inggris," kata pengawal itu dengan suara tegas.Brok menghisap rokok mahalnya dan mengangguk. "Bagus. Siapkan semuanya dengan rapi. Panggil Leon sekarang."Leon dipanggil dan masuk dengan sedikit ragu. "Ada apa, Ayah?" tanyanya.Brok menatapnya tajam. "Leon, ada pengiriman besar narkoba ke Inggris. Kau yang akan mengantarnya."Leon terkejut dan mencoba menolak. "Tapi, Ayah, aku punya tugas skripsi yang harus diselesaikan. Aku tidak bisa pergi sekarang."Brok mengerutkan keningnya, tanda bahwa kesabarannya mulai habis. "Leo
"Seharusnya, kau beritahukan di mana hartamu itu!"Teriakan kejam dari ketua gangster itu begitu mengerikan.Sayangnya, hujan yang turun begitu deras seolah menutupi jerit ketakutan yang memenuhi rumah besar di ujung jalan. Padahal, keluarga Determine sedang menghadapi malam terburuk dalam hidup mereka.Kris Determine, sang pengusaha sukses yang dikenal karena ketangguhannya, sudah terkulai lemah dengan darah mengalir dari pelipisnya. Di hadapannya, sang istri, Leoni, dan anak sulung mereka, Arga, diikat dan ditutup matanya. Hanya Ziva, anak perempuan mereka yang baru berusia tujuh tahun, yang berhasil diselamatkan oleh salah satu anak buah setia Kris, Black D. Keduanya bersembunyi di ruang rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga dan orang-orang terdekat.Dor!Tiba-tiba terdengar suara tembakan, menggema di seluruh rumah. Ziva menutup telinganya dan mulai menangis, tapi Black D tidak bisa membiarkan dirinya terbawa emosi. Dia harus segera membawa Ziva keluar dari situasi menge
"Hei, lihat jalan dong!" Seorang gadis dari grup populer di kampus Sun Rise membentak Ziva begitu saja.Padahal, dialah yang berjalan sambil bercanda tawa, hingga buku-buku Ziva jatuh berserakan di tanah.Hal itu sontak membuat Ziva memandang mereka dengan tatapan dingin. "Kalian yang harusnya lebih berhati-hati," jawabnya singkat namun tajam, sambil mulai memunguti buku-bukunya.Raka, pemimpin kelompok mahasiswa populer itu, sontak melangkah maju. "Maaf, kita nggak sengaja," katanya dengan nada lebih lembut.Dia mencoba meredakan ketegangan.Sayangnya, Raka dan teman-temannya tak menyangka dengan ucapan Ziva selanjutnya."Kalian pikir permintaan maaf bisa memperbaiki segalanya?" Suasana di sekitar mendadak tegang.Teman-teman Raka bahkan menatap Ziva dengan pandangan tak percaya.Biasanya, semua orang berusaha mendapatkan perhatian mereka, tapi gadis ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya terlihat tak tersentuh."Dengar ya, jangan sok jagoan di sini," ancam Dom, salah satu pemud
"Aku tidak tertarik," jawabnya tanpa basa-basi, kemudian berbalik meninggalkan Raka yang terdiam dan dua siswa yang masih kebingungan. Dia memilih lanjut ke kelas lainnya. Namun di dalam kelas, Ziva menatap kehadiran salah satu siswa yang baru saja masuk dari pintu kelas. Walau telihat biasa saja, namun di mata Ziva mahasiswi itu tampak kebingungan. “Apa kamu lihat-lihat? Tidak pernah ya melihat gadis cantik sepertiku?” ucapnya tiba-tiba pada Ziva. Ekspresi Ziva sama datarnya saat melihat mahasiswi itu. “Murah!” ucap Ziva pelan, namun menyakitkan. Seketika itu juga gadis itu murka. Rautnya berubah, wajahnya memerah. “Apa maksud kata kamu itu?” “Aku melihat semuanya, perempuan kotor!” pekik Ziva. Seluruh pandangan tertuju pada Ziva, menyaksikan kegaduhan walau belum tau pasti maksud dari Ziva. “Awas kamu, Ziva!” ancam Celine dengan geramnya. Ia kembali ke bangkunya. Ziva tersenyum sinis. Siswi itu sangat dibenci oleh Ziva, begitupun sebaliknya. Sepulang dari kampus, Ziva be