Wahai hati kondisikan! Aduh, kenapa jantungku berdebar kencang sekali…Zaara berusaha menetralkan perasaannya pada Haikal. Dia bahagia bisa bertemu dengannya tetapi kesal mengingat sikapnya.Dia berhasil meninggalkannya dengan bergegas pergi mengunjungi rumah neneknya Embun yang sebenarnya terletak tak jauh dari jalan setapak. Dia ingin berbagi rezeki yang diperoleh hari ini.“Assalamualaikum!” seru Zaara dengan mengetuk pintu berbahan mahoni tua yang sudah dimakan rayap.“Waalaikumsalam warahmatullah,” sahut seseorang dari dalam rumah. Seorang wanita berwarna rambut kinantan keluar menyambut kedatangan Zaara.“Enin bagaimana kabarmu?” tanya Zaara mendekati wanita itu dan berusaha meraih tangannya untuk dikecupnya.“Saya buka Enin, Neng. Saya Uwanya Embun, Uwa Nia.”“Oh, maaf, aku kira Enin.”Zaara salah tingkah. Pantas saja suaranya berbeda.“Tidak apa-apa,” katanya dengan tersenyum hangat. “Mari masuk!” “Oh ya aku Zaara temannya Embun, Uwa.”Zaara memperkenalkan diri pada Uwa Nia.
“Maaf mengganggu, sudah saatnya cairan infus Mbak Safira diganti,”Seorang perawat datang menyelamatkan Haikal dari situasi pelik di mana Safira mengajukan pertanyaan yang rumit padanya.Dengan cepat dan lihai perawat perempuan muda tersebut sudah selesai mengganti cairan infus.“Mbak, jika cairan infusan ini sudah habis boleh pulang,” serunya dengan tersenyum lebar pada Safira bergantian pada Haikal. “Permisi ya Mbak dan Mas!” Baik Safira maupun Haikal sama-sama diam, terjebak dalam pikiran masing-masing.“Syukurlah kamu sudah baikkan. Sekarang kamu relaks dan tak usah berpikir yang berat-berat. Aku sangat sibuk tapi aku akan pulang setelah memastikan kamu mau makan,” ucap Haikal bernada lembut. Sekeras-kerasnya sikap dirinya, hanya pada Safira dia bersikap lembut. Dan, lagi, pernyataan Haikal keluar dari topik pembicaraan. Safira hanya ingin membahas soal hubungan mereka.Safira tetap bungkam. Kini bahkan dia tidak merespon sama sekali. Hanya cairan hangat yang mengalir deras di k
***Terlihat seorang dokter keluar dari ruangan ICU dan langsung menghampiri Embun yang tengah duduk berdua bersama Zaara di kursi tunggu yang terletak kurang lebih lima meter dari ruangan tersebut.“Keluarga Bu Nurasiah?” tanya sang dokter pada Embun lalu mendelik ke arah Zaara sebentar.“Iya, Dok, bagaimana sekarang kabar nenek saya?” tanya Embun dipenuhi rasa ingin tahu yang tinggi.“Bu Nurasiah sudah sadar dan memanggil nama Embun,” ucap sang dokter dengan sumringah, merasa ikut bahagia melihat kondisi pasiennya yang membaik.“Alhamdulillah,” ucap Embun dan Zaara saling pandang. Bahkan, Embun menangis saking bahagia.“Saya Embun, cucunya …” ucap Embun dengan begitu antusias.“Sekarang Bu Nurasiah sudah sadar. Kami sedang melakukan observasi. Dia harus melakukan serangkaian pemeriksaan. Untuk saat ini dia akan dipindahkan ke ruang intensif. Silahkan selesaikan administrasi terlebih dahulu,” papar sang dokter dengan begitu tenang. “Baik, Dok,”Embun mengangguk. Yang terpenting bag
Zaara gegas pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat ashar. Dia berucap syukur dan berdoa untuk kesembuhan Enin. Adapun Embun lebih dulu selesai shalat dan menunggui Enin.Saat Zaara memakai kembali sepatunya, dia nyaris jatuh tetiba Embun menghambur memeluknya dari belakang. Rupanya dia kembali ke mushola mencarinya.“Zaara makasih banget … ya Allah kamu sudah menolong Enin sampai bayarin biaya pengobatannya. Aku tak tahu harus berkata apa,” katanya dengan kegirangan sehingga orang yang melihat seperti tengah tertawa termasuk Haikal yang berada tak jauh dari sana.“Iya … iya …” sahut Zaara merenggangkan pelukannya sebab Zaara merasa pengap.“Maaf, aku saking bahagia …” seloroh Embun yang tak pandai menyembunyikan perasaan harunya.Beberapa detik Zaara tercenung dan baru sadar jika Embun seharusnya tidak berterima kasih padanya. Yang membayar biaya pengobatan Enin bukan dirinya tetap orang lain.“Embun … sebenarnya yang membayar--”Kata-kata Zaara terputus kala seseorang ikut masuk
Beberapa orang menoleh pada sumber suara tong sampah berbahan besi yang terpental hingga menghantam pilar dinding rumah sakit. Mereka terkejut dengan aksi gila Haikal Harun yang mengidap temperamen akut. Haidar yang berada di sana juga tak luput mendengar suara berisik tersebut. Dia berjengit kaget seraya menoleh pada sumber suara.“Mas Haidar, ada apa? Kok berisik banget sih …” seru Zaara dengan melangkahkan kakinya ke arah yang sama.Haidar menganga melihat sosok menjulang--yang tak lain sang kakak tercinta adalah tersangka utamanya. Dia penasaran apa yang sedang dilakukan oleh sang kakak hingga membuat rusuh di tempat yang tak seharusnya. Dia terlihat ditegur oleh pegawai rumah sakit karena insiden tersebut nyaris mencelakai pasien ataupun keluarga pasien yang berada di sekitar sana. Terlihat Haikal mangut-mangut meminta maaf antara merasa bersalah dan malu.“Mas … ada apa?” tanya Zaara lagi diliputi penasaran.“Orang gila ngamuk, Ra …” jawab Haidar dengan menahan tawa, melihat seo
Sudah larut malam Haikal tidak bisa memejamkan mata sehingga dia memutuskan untuk menonton film hollywood dalam sebuah ruangan khusus yang berbentuk movie theater versi mini yang terletak tak jauh dari kamarnya. Di tangannya ada popcorn rasa balado dan sebotol soda di atas meja kecil untuk menemaninya menikmati kisah gore yang sudah lama diincar.Pikirannya masih berkelana karena teringat ucapan Antonie yang mengatakan bahwa Haidar mungkin menyukai Zaara. Wajar saja, Antonie mengingatkan Haikal bahwa kedekatan mereka bisa disebabkan oleh passion yang sama. Zaara dan Haidar sama-sama seorang seniman.Pun, Antonie memperingati Haikal untuk waspada dengan tingkah adiknya yang memang memiliki kepribadian yang hangat dan seringkali digilai para wanita. Dia juga romantis dan lembut. Sangat jauh dengan kepribadian Haikal yang dingin dan kaku. Perlakuan yang manis tersebut bisa menarik simpati gadis manapun termasuk Zaara.Argh,Sesekali Haikal mengerang kesal karena telah meminta pendapat An
“Mas Haikal?”Zaara bergumam saat tersadar dari tidurnya. Sedetik kemudian senyum merekah di wajahnya. Bisa-bisanya dia bermimpi mesum siang bolong. Dia menggeleng kecil.Embun yang mendapati Zaara tengah tersenyum sendiri mengernyitkan dahinya. “Kamu kenapa?”Zaara menggeser tempat duduknya, memberi ruang untuk Embun duduk.“Enggak,” katanya dengan merona.“Bohong! Kenapa tersenyum begitu? Curiga nih …”Embun mencebik kesal. “Pipimu juga kayak kepiting rebus,”“Serius enggak kenapa-kenapa,” elak Zaara dengan membuang wajahnya ke arah lorong rumah sakit, menahan setangkup malu.Tepat di sana seorang pemuda berpakaian casual dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya tengah tersenyum manis ke arahnya dengan jantung yang berdegup kencang, tanpa sepengetahuannya.‘Maaf, Zaara Nadira, sumpah demi apapun, kamu itu menggemaskan. Maaf, aku menciummu tanpa ijin,’Haikal tertawa geli dalam hati. Mudah-mudah tidak ada yang melihat aksinya barusan, mencuri ciuman seorang gadis yang ketiduran.
“Aku sudah putus dengan tunanganku, Zaara,” cetus Haikal dengan terkekeh pelan. Dia terkekeh karena melihat sikap Zaara yang ketus, secara tidak langsung menunjukan rasa cemburu padanya. Haikal begitu percaya diri jika Zaara juga menerima kehadirannya. Mungkin di hatinya sudah terlukis namanya.Sebaliknya, Zaara menganggap jika Haikal itu playboy cap kadal tengkurap yang seringkali mempermainkan hati para gadis. Betapa tidak, Haikal putus dari kekasihnya tetapi malah terlihat bahagia. Bukankah seharusnya orang yang baru putus cinta itu mengalami apa yang dinamakan patah hati.Sebuah anomali, Haikal tidak menunjukan gejala tersebut. Zaara yang naif. Tentu saja Haikal tidak akan patah hati sebab ada gadis lain yang membuatnya jatuh hati, dirinya.“Zaara, kamu tuh lucu ya … apa jangan-jangan kamu cemburu ya? Mungkin, sebab aku tak pernah menceritakan soal tunanganku.”Haikal membuang nafas kasar.“A-pa? Cemburu? Halo! Mas Haikal demam ya? Dih, kepedean banget, ngapain cemburu,”Zaara mem