Perkataan itu membuat Albin merasa cemas. Ditakutkan ada kegagalan di sana.Dokter menjelaskan, "Kami berhasil menyambungkan kembali tangan kanannya. Namun, saraf-sarafnya sangat kompleks. Dario membutuhkan terapi intensif dan waktu yang lama untuk mengetahui apakah tangannya masih bisa bekerja seperti dulu."Albin menatap ke arah pintu ruang operasi, di mana Dario masih tertidur di dalam.Albin menghela napas panjang, menatap dokter di depannya."Yang terpenting adalah kita sudah mencoba," kata Albin mantap. "selebihnya, kita hanya bisa berharap."Dokter mengangguk, menyeka keringat di dahinya. "Kami akan terus mengawasinya. Jika ada perkembangan, kami akan memberitahu Anda."Albin mengangguk. "Terima kasih, Dok."Setelah itu, dokter pamit meninggalkan ruangan, meninggalkan Albin dengan pikirannya sendiri.Beberapa menit kemudian, pintu lorong rumah sakit terbuka, dan langkah tergesa terdengar.Gigio Moratta masuk, diikuti oleh Viviana. Mereka langsung menghampiri Albin.Gigio menata
Ketegangan di ruang rapat terasa pekat, seperti udara sebelum badai.Randy dan Matias saling bertukar pandang, mencari cara untuk membalikkan keadaan.Mereka tidak menyangka Angeline akan begitu tegas dan langsung menunjuk Sabrina sebagai sekretaris pribadinya tanpa melalui mereka.Mereka terbiasa mengendalikan segalanya, termasuk siapa yang menempati posisi strategis di perusahaan ini.Dan kali ini, mereka kehilangan kendali akan hal itu. Inilah yang tidak bisa mereka terima.Randy menghela napas, berusaha menyusun kata-kata."Baiklah," kata Randy pada akhirnya, mencoba terdengar netral. "aku mengerti bahwa memilih sekretaris pribadi adalah wewenang Presiden Direktur."Sabrina dan Angeline tetap diam, menunggu kelanjutannya."Tapi..." Randy melanjutkan, menatap langsung ke mata Angeline, "biasanya, kita mengambil orang dari dalam perusahaan. Seseorang yang sudah mengenal sistem kerja dan budaya di sini. Serta hal itu menjadi sebuah bentuk efisiensi.”Angeline tidak terpengaruh."Seor
Udara di kantor polisi terasa berat, seolah-olah mengandung sesuatu yang tak kasat mata tetapi menekan dada siapa pun yang berada di dalamnya.Di balik meja kayu tua yang penuh berkas, seorang perwira polisi duduk dengan ekspresi serius. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, kebiasaan yang dia lakukan setiap kali merasa tertekan.Di hadapannya, sepasang suami istri yang berduka duduk dengan ekspresi penuh emosi.Mereka adalah orang tua Marco.Ibu Marco masih menangis, sedangkan ayahnya berusaha menahan amarah."Sekarang, katakan lagi ... siapa yang membunuh anak Anda?" tanya sang perwira, meskipun dia sebenarnya sudah tahu jawabannya."Lucas," jawab ayah Marco dengan suara tegas. "Lucas Jordan!"Suasana di ruangan itu seketika berubah mencekam.Sang perwira membeku. Dia menelan ludah, lalu menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar percakapan ini.Lucas Jordan?The Obsidian Blade?Pria yang bahkan para mafia pun enggan berurusan dengannya?Sang perwira
Gigio menatap mata putranya dalam-dalam, mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik tatapan tajam itu.Dia melihat sesuatu yang berbahaya. Api dendam yang masih membara di mata Dario Gigio menarik napas panjang, lalu berbicara dengan suara tenang tetapi tegas.“Dario,” kata Gigio. “aku bisa melihatnya di matamu. Kamu masih menyimpan dendam terhadap Lucas.”Dario mengepalkan tangannya di atas selimut, tetapi dia tetap diam.“Aku tahu ini sulit diterima,” lanjut Gigio. “tapi jangan bertindak bodoh. Aku sudah mengorbankan banyak hal untuk menjaga posisi kita, dan Lucas adalah alasan kenapa keluarga Moratta seperti ini sekarang.”Dario menoleh tajam. “Apa maksud Ayah?”Gigio mendengus pelan, lalu duduk di kursi dekat ranjang Dario.“Kamu tahu siapa yang menyembuhkan Viviana?” tanyanya.Dario terdiam.“Bukan hanya itu. Dia juga yang membuat Ayah bisa menjadi Ketua Serikat Dagang,” lanjut Gigio.Dario menarik napas dalam-dalam. Dia sadar akan hal itu. Namun saat ini, sangat sulit un
Moretti dan Diego saling bertukar pandang, tatapan mereka penuh kecemasan yang tidak bisa mereka sembunyikan.Pertanyaan Moretti tadi masih menggantung di udara.Apakah Matteo benar-benar menyerah?Lucas menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca, lalu akhirnya berkata, “Aku membiarkan Matteo pergi.”Moretti terkejut. “Apa? Kenapa?”Diego ikut menatap Lucas dengan bingung. “Kenapa tidak menghabisinya sekalian, Ketua?”Lucas mendesah pelan, lalu menatap mereka dengan dingin.Diego sadar akan kesalahannya. Lalu cepat-cepat dia berkata, “Maaf Ketua, bukan maksudku untuk mengatur.”“Aku berharap dia bisa memperbaiki diri,” jawab Lucas akhirnya. “aku ingin memberinya kesempatan untuk berubah.”Moretti terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.Lucas orang yang dikenal murah hati. Namun dia juga sangat tegas.Jadi fakta bahwa dia membiarkan musuh sekuat Matteo pergi, membuatnya sedikit sulit mempercayainya.“Tapi Ketua,” kata Moretti akhirnya. “bagaimana kalau dia kembali dengan dendam
Dada Angeline terasa sesak. Dia tidak menyukai wanita itu. Tidak sama sekali.Namun, dia menahan dirinya untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya diam, menunggu bagaimana Lucas akan bersikap.Di balkon, Lucas berpikir keras.Apakah dia harus pergi?Dia tidak terlalu peduli dengan Stella. Tapi produsernya?Salah satu petinggi organisasi mafia Dominus Noctis...Lucas menarik napas panjang.“Baiklah,” kata Lucas pada akhirnya. “aku datang.”"Bagus," jawab Stella, terdengar puas. "aku di bar La Luna. Jangan lama-lama. Aku tidak punya banyak waktu."“Baik!” ucap Lucas.Lucas menutup teleponnya, lalu kembali masuk ke dalam kamar.Tatapan Angeline langsung tajam, menembus ke arahnya.Lucas bisa merasakan aura tidak menyenangkan dari istrinya.Namun dia tidak ingin memperpanjang masalah.“Aku akan pergi sebentar untuk bertemu dengan teman,” kata Lucas dengan santai.Angeline tidak langsung menjawab. Dia menutup botol skincare dengan tenang, meletakkannya di meja, lalu bangkit dari kursi.Di
Stella menoleh ke belakang ke arah Lucas dan memberikan isyarat kalau dia baik-baik saja.“Nanti kita bertemu lagi!” ucap Stella tanpa suara, hanya gerak mulut saja.Lucas paham. Dia tidak mengikuti Stella maupun berusaha untuk menghalangi Hector membawa Stella.Tujuan awalnya adalah melihat siapa sosok produsernya Stella. Dan sekarang dia sudah melihat orang itu.Lucas pun akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Dia tidak mau membuang waktu lebih lama karena tidak ingin Angeline marah.Namun ketika dia pulang dan akan masuk ke dalam kamar, pintu kamarnya dikunci.“Kenapa dia kunci pintu kamar?” tanya Lucas, bingung.Tidak mau membuat keributan, Lucas pun memilih tidur di kamar depan.Keesokan hariPerusahaan BQuality Di ruangan Randy.Randy dan Matias baru saja mendapat kabar kalau Angeline akan mengadakan audit di perusahaan.Berita ini bocor karena keteledoran Sabrina yang menelpon pihak profesional yang akan mengaudit perusahaan saat berjalan ke ruangan Angeline.Di saat itu, s
"Kami ditugaskan untuk tidak menyia-nyiakan waktu." Sabrina mengeryitkan kening. Tugas apa itu? Sepertinya semua karyawan perusahaan seharusnya begitu kan? Tanpa harus ditugaskan."Bagus kalau begitu." Angeline melihat seisi ruangan yang memang sibuk bukan main.Salah satu staff junior, hampir tersandung kakinya sendiri saat berjalan terburu-buru membawa setumpuk dokumen. Beberapa kertas terlepas dari pegangannya."Ah, maaf!" serunya panik, berlutut untuk memunguti kertas yang berserakan.Sabrina menyipitkan mata, lalu melangkah masuk sedikit untuk membantu Lisa. "Tidak apa-apa. Tapi kenapa terburu-buru sekali? Ini kan jam istirahat?"Gadis itu melirik gelisah ke sekeliling sebelum menjawab dengan suara pelan. "Kami diperintahkan untuk bekerja lebih giat dan tidak boleh bermalas-malasan," ujarnya menyamakan jawaban dengan teman yang lainnya. "Diperintahkan?" Sabrina mengerutkan dahi. "oleh siapa?""Oleh …”"Oleh saya." Suara SPV devisi keuangan terdengar dari mejanya. "ada beberapa
Lampu kamar hotel redup. Suara napas yang berat dan aroma parfum mahal bercampur dengan bau alkohol ringan masih tertinggal di udara. Stella duduk di atas ranjang dengan gaun tidur tipis yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Sementara itu, Hector, dengan dada terbuka dan hanya mengenakan celana tidur, menerima panggilan di balkon.Suara berat dari seberang telepon terdengar menggelegar, walau hanya samar.‘Hector. Don Emilio memanggilmu.’Hector mengernyit. ‘Untuk apa?’‘Bersiaplah. Pertemuan akan digelar di markas utama, Provinsi Everdale. Segera. Tidak ada alasan untuk terlambat.’Klik.Panggilan berakhir. Hector tidak membalas apa-apa. Tapi wajahnya berubah. Tegang. Tajam.Dia menutup ponsel, lalu berbalik ke dalam kamar. Langkah kakinya tenang, namun setiap tapaknya seperti menyimpan gelombang tekanan tak kasat mata.Stella mengangkat kepalanya. “Kamu mau ke mana?”Hector meraih handuk, lalu menjawab singkat, “Don Emilio memanggilku.”Stella mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba?
Ruangan itu sepi, tapi bukan keheningan yang nyaman. Setiap napas yang terdengar terasa berat, seolah udara pun tahu bahwa ancaman besar sedang menggantung di atas kepala mereka. Julian, Moretti, dan Diego semua duduk diam, menatap Lucas yang berdiri di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi sulit ditebak.“Organisasi Dominus Noctis tidak akan tinggal diam,” kata Lucas akhirnya, suaranya tenang tapi mengandung tekanan yang dalam. “kematian Stefano adalah penghinaan bagi mereka. Dan sekarang, setelah Marchetti menghilang dari muka bumi, mereka pasti sedang bersiap membalas.”Julian mengepalkan kedua tangannya, keras hingga buku jarinya memutih.“Biarkan saja mereka datang,” kata Julian dengan suara rendah yang bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena semangat membara. “Pada saat itu juga, mereka datang hanya untuk menggali kubur mereka sendiri.”Lucas menoleh perlahan, menatap Julian lurus. “Percaya diri boleh. Tapi jangan pernah menganggap enteng organisasi Dominus Noctis
Jeremy melangkah keluar dari kantor BQuality dengan langkah santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia bahkan sempat tersenyum kecil pada resepsionis sebelum pintu lift menutup di depannya.Jeremy tahu Angeline akan berpikir ulang.Dia tahu wanita itu tidak akan tinggal diam begitu saja. Dan ketika waktu itu tiba, Jeremy yakin, Angeline akan mencarinya.Oleh sebab itu, dia merasa tenang. Dan pulang seperti seorang pemenang.“Brengsek!” seru Sabrina, membanting map ke atas meja. “Bajingan itu benar-benar menyebalkan! Sok manis, padahal isinya racun semua!”Angeline hanya diam. Pandangannya kosong menatap layar laptop yang masih menyala. Tapi pikirannya tidak di sana. Ia sedang menimbang. Menganalisa. Mencari celah dari ancaman yang dilemparkan Jeremy tadi.Sabrina melangkah mendekat. Suaranya masih ketus. “Apa dia pikir kita bisa begitu saja jatuh ke perangkapnya?”Tak ada respons.“Angeline?”“Aku mendengarmu,” jawabnya pelan.Sabrina mengepalkan tangan. “Aku tahu, ini bukan aku yang te
Jeremy tidak langsung menjawab pertanyaan Angeline. Dia berdiri pelan, menatap keluar jendela besar di balik meja kerja Angeline yang menghadap ke pusat kota.“Sebenarnya,” ujarnya setelah beberapa detik yang terasa lambat, “aku hanya ingin menawarkan bantuan.”“Bantuan?” tanyanya Angeline seraya mengangkat alisnya, curiga. “bantuan apa maksudmu?”Jeremy berbalik, sorot matanya tajam namun senyumnya masih bertahan di wajah.“Carlos tidak akan tinggal diam. Dia akan mengumpulkan empat orang lainnya, lima karyawan yang baru saja kamu pecat. Mereka tidak akan datang ke sini. Tidak akan membuat tuntutan hukum. Mereka akan membuat langkah yang jauh lebih berbahaya,” ucap Jeremy.Sabrina menyipitkan mata. Lalu dia bertanya, “Langkah apa maksudmu?”“Mereka akan memviralkan kasus ini di media sosial,” jawab Jeremy tenang. “mereka akan tampil sebagai korban. Mengungkap cerita mereka. Memutar balik fakta. Dan tentu saja, publik akan menelan mentah-mentah semuanya.”Angeline menegang. Dia menole
Angeline tidak menoleh. Ia masih menatap layar tablet di depannya.“Dia memang sepupu kita, tapi Jeremy bukan orang biasa. Dia penuh perhitungan,” lanjut Sabrina. “dan biasanya, kalau dia datang tanpa pemberitahuan itu berarti dia membawa masalah. Kamu pun sudah sering mengalaminya, bukan?”“Kita tidak boleh langsung berprasangka buruk,” jawab Angeline datar. “siapa tahu dia datang membawa kabar baik.”Sabrina mengerutkan dahi. “Apa kamu tidak lelah terus bersikap baik kepada orang yang berkali-kali menjatuhkanmu?”Angeline mengangkat pandangannya perlahan. Matanya tenang, tapi juga tajam. “Aku tidak bersikap baik karena aku bodoh. Aku bersikap baik karena aku tahu siapa diriku.”Sabrina mendengus pelan, tidak membantah. Tapi nada suaranya tetap keras. “Dia bukan seperti Lucas. Dia tidak akan memikirkan keselamatanmu atau bagaimana perasaanmu. Jeremy hanya tahu satu hal, keuntungan.”“Kalau begitu, biarkan aku lihat sendiri apa yang dia inginkan,” jawab Angeline sambil berdiri.Sabrin
“The Obsidian Blade...”Lucas hanya diam di jok belakang. Pandangannya mengarah keluar jendela, menatap bayangan gedung-gedung yang lewat satu per satu. Namun pikirannya tidak benar-benar melihat. Di matanya, hanya ada satu nama: Carlos. Dan di hatinya, masih diselimuti apa yang dikatakan oleh Angeline.Troy yang menyetir di kursi depan kembali bicara, kali ini dengan suara sedikit lebih tegas, “The Obsidian Blade, apakah semuanya baik-baik saja?”Lucas menarik napas dalam dan menjawab pelan namun tajam, “Salah satu dari lima orang yang dipecat dari BQuality akan bertindak. Namanya Carlos. Aku bertemu dengannya pagi ini.”“Carlos?” ulang Troy dengan nada geram. “Bajingan itu. Jadi dia mengancam keselamatan Nona Angeline?”Lucas mengangguk pelan. “Secara langsung tidak. Tapi dari caranya bicara, dari matanya, dari jeda setiap katanya, dia berniat untuk melakukan sesuatu.”Troy menggertakkan gigi. “Kalau begitu kita bersihkan saja dia. Seperti yang kita lakukan pada Randy dan Matias. Di
“Aku mengerti maksudmu,” kata Angeline dengan nada yang mulai melunak. “Tapi kamu juga harus mengerti kalau aku sedang sibuk. Kalau memang darurat, seharusnya kamu bisa mengirimkan pesan terlebih dahulu.”Lucas menatap istrinya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar, “Aku takut jika aku hanya mengirim pesan, kamu malah salah paham lagi. Mengingat kamu sedang marah padaku.”Angeline menarik napas dalam, menahan diri agar nada bicaranya tetap tenang. “Baiklah. Sekarang, apa kamu yakin jika Carlos benar-benar akan bertindak nekat?”Lucas mengangguk pelan. “Untuk masalah yakin, bisa dibilang aku yakin. Aku mendengarnya langsung dari mulutnya, dan aku melihat matanya ketika dia mengatakannya. Tapi … aku tetap berharap tidak akan terjadi apa-apa.”“Kalau begitu,” kata Angeline sambil menyilangkan tangan di dada, “apa rencanamu?”Lucas melangkah lebih dekat. “Aku hanya ingin kamu mendengarkan dan bekerja sama denganku. Tidak ada rencana rumit. Aku hanya
Lucas masih berdiri di tepi taman saat namanya terpampang jelas di layar aplikasi: Carlos. Sopir taksi online barusan. Wajahnya, nada bicaranya, dan kalimat terakhir yang dia ucapkan, semuanya kini menggelitik rasa curiga yang tak bisa lagi diabaikan.“Carlos…” gumam Lucas.Ia memejamkan mata sejenak. Nama itu tidak asing.Lalu ia teringat. Randy. Matias. Dua orang bawahan Angeline yang merupakan otak penggelapan dana di perusahaan BQuality. Mereka menyebut 5 nama yang membantu mereka menggelapkan dana dan kelima orang itu juga ikut menggelapkan dana. Salah satu nama pelaku adalah Carlos.Lucas menggeram pelan. Kalau itu memang orang yang sama…Tanpa menunda waktu, Lucas menekan tombol panggilan di layar ponselnya. Ia menghubungi Angeline.Nada sambung terdengar.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Tidak dijawab.Lucas menggertakkan gigi, napasnya mulai memburu.Ia mencoba lagi. Sama. Tidak ada jawaban.“Ayolah, Angeline. Jangan marah terus. Sekarang bukan waktu yang tepat,” ucap Lucas.Ia m
Lea menatap Lucas yang masih duduk di kursi makan. Dalam hatinya, ia berharap pria itu akan berbalik dan menghampirinya. Mungkin menatap matanya lebih lama. Mungkin menyentuhnya. Menarik pinggangnya ke dalam pelukan. Atau membisikkan sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu.Rumah sedang kosong. Hanya ada mereka di situ. Angeline sudah pergi. Tidak akan ada yang melihat.Namun Lucas hanya berdiri."Aku akan pergi berolahraga," katanya tenang sambil membetulkan kerah jaket olahraganya.Lea tersenyum tipis, meski hatinya sedikit tenggelam. “Tidak mau sarapan dulu, Tuan?”Lucas menggeleng pelan. “Setelah olahraga saja. Perutku tidak terbiasa diisi sebelum gerak. Terasa berat.”Lea mengangguk. “Baik, Tuan.”Lucas melirik meja makan. “Kamu boleh makan saja pancake dan smoothies yang kubuat tadi. Sayang kalau dibuang.”“Baik. Terima kasih,” jawab Lea pelan.Lucas meninggalkan dapur dengan langkah santai. Suara sepatunya pelan, berirama. Lea hanya bisa memandangi punggung pria itu menghila