Stella menoleh ke belakang ke arah Lucas dan memberikan isyarat kalau dia baik-baik saja.“Nanti kita bertemu lagi!” ucap Stella tanpa suara, hanya gerak mulut saja.Lucas paham. Dia tidak mengikuti Stella maupun berusaha untuk menghalangi Hector membawa Stella.Tujuan awalnya adalah melihat siapa sosok produsernya Stella. Dan sekarang dia sudah melihat orang itu.Lucas pun akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Dia tidak mau membuang waktu lebih lama karena tidak ingin Angeline marah.Namun ketika dia pulang dan akan masuk ke dalam kamar, pintu kamarnya dikunci.“Kenapa dia kunci pintu kamar?” tanya Lucas, bingung.Tidak mau membuat keributan, Lucas pun memilih tidur di kamar depan.Keesokan hariPerusahaan BQuality Di ruangan Randy.Randy dan Matias baru saja mendapat kabar kalau Angeline akan mengadakan audit di perusahaan.Berita ini bocor karena keteledoran Sabrina yang menelpon pihak profesional yang akan mengaudit perusahaan saat berjalan ke ruangan Angeline.Di saat itu, s
"Kami ditugaskan untuk tidak menyia-nyiakan waktu." Sabrina mengeryitkan kening. Tugas apa itu? Sepertinya semua karyawan perusahaan seharusnya begitu kan? Tanpa harus ditugaskan."Bagus kalau begitu." Angeline melihat seisi ruangan yang memang sibuk bukan main.Salah satu staff junior, hampir tersandung kakinya sendiri saat berjalan terburu-buru membawa setumpuk dokumen. Beberapa kertas terlepas dari pegangannya."Ah, maaf!" serunya panik, berlutut untuk memunguti kertas yang berserakan.Sabrina menyipitkan mata, lalu melangkah masuk sedikit untuk membantu Lisa. "Tidak apa-apa. Tapi kenapa terburu-buru sekali? Ini kan jam istirahat?"Gadis itu melirik gelisah ke sekeliling sebelum menjawab dengan suara pelan. "Kami diperintahkan untuk bekerja lebih giat dan tidak boleh bermalas-malasan," ujarnya menyamakan jawaban dengan teman yang lainnya. "Diperintahkan?" Sabrina mengerutkan dahi. "oleh siapa?""Oleh …”"Oleh saya." Suara SPV devisi keuangan terdengar dari mejanya. "ada beberapa
Sabrina menatap Randy dengan penuh kecurigaan. Jelas baginya jika yang dikatakan oleh Randy itu adalah sebuah ancaman.Randy tersenyum tipis, lalu tertawa kecil seolah ucapan Sabrina adalah sesuatu yang lucu."Ancaman?" kata Randy, pura-pura terkejut. "Sabrina, kamu terlalu sensitif. Aku hanya memberitahumu bagaimana perusahaan ini bekerja. Ini bukan tempat untuk sebuah idealisme berlebihan. Kalau kamu ingin bertahan lama di sini, sebaiknya kamu belajar bagaimana sistem berjalan."Sabrina mengerutkan kening. Lalu dia bertanya, "Sistem macam apa yang membuat karyawan bekerja tanpa henti seperti ini?""Yang menghasilkan uang," jawab Randy singkat. “ini perusahaan besar, Sabrina. Kita dituntut untuk memberikan yang terbaik. Setelah kita bisa berikan, perusahaan juga akan memberikan yang terbaik untuk kita.”Sabrina tidak suka dengan jawaban itu. Namun, dia juga sadar jika berdebat dengan Randy saat ini hanya akan membuang-buang waktu. Dan terlebih, memang yang dikatakannya adalah sebuah
Dario menatap layar ponselnya. Nama Ayah masih terpampang jelas di sana, dengan suara dering yang terus menggema di dalam mobil yang melaju di tengah malam.Tangannya sedikit gemetar. Dia tahu jika dia mengangkat telepon itu, Gigio pasti akan mencoba membujuknya untuk pulang.Tapi dia tidak bisa kembali.Dario menarik napas dalam, lalu mematikan ponselnya. Seketika, mobil terasa lebih sunyi.Ruben, yang sedang fokus menyetir, melirik sekilas ke arah Dario. “Itu dari ayahmu?”“Ya, dari ayahku,” jawab Dario sambil menganggukkan kepalanya pelan.“Ayahmu pasti panik sekali saat ini, Dario,” kata Ruben. “tanganmu belum pulih dan sekarang kamu kabur. Perasaannya pasti kacau. Apakah kamu tidak mau pulang saja?”Dario mendengus, lalu menatap jendela dengan ekspresi keras. “Aku tidak akan pulang, Ruben. Ini bukan sekadar tentang kehilangan tangan. Lucas menghancurkan harga diriku. Aku tidak bisa hidup sebagai orang yang lemah.”Ruben terdiam sebentar, lalu dia mengangguk pelan sambil berkata,
Lucas menatap Gigio dengan ekspresi santai, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang tajam dan dingin.Gigio menelan ludah. Dia sadar, pertanyaannya tadi bisa dianggap sebagai tuduhan. Jika ada satu hal yang dia pelajari dari Lucas, itu adalah bahwa pria ini tidak suka dicurigai tanpa alasan yang jelas.Gigio buru-buru melambaikan tangannya. “Bukan begitu, Lucas. Aku hanya khawatir. Dario baru saja kehilangan tangannya, dan sekarang dia menghilang dari rumah sakit tanpa jejak. Aku hanya ingin memastikan…”Lucas menyilangkan tangannya di dada. “Gigio, kalau aku ingin Dario mati, aku sudah membunuhnya saat di rumah Marco. Tidak ada gunanya bagiku menculiknya sekarang.”Gigio terdiam. Kata-kata Lucas memang masuk akal.Lucas mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Gigio dengan lebih tajam. “Aku menyuruh Gigio bersujud dan memotong tangan anaknya di depanku. Bukankah itu sudah cukup sebagai hukuman?”Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Gigio. Dia tahu Lucas tidak asal bicara
Dario berdiri diam di depan gerbang besi yang tinggi, napasnya terasa berat. Udara malam yang dingin menyelimuti mereka, tetapi bukan itu yang membuat Dario tegang.Gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya seperti monumen yang menandai awal perjalanan baru atau akhir dari semuanya.Di sebelahnya, Ruben tampak lebih santai. Dia menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket, menatap gerbang dengan ekspresi bosan.“Kenapa kamu tegang begitu?” Ruben melirik ke arah Dario. “bukannya ini yang kamu inginkan?”Dario menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bukan itu masalahnya. Hanya saja ... tempat ini terasa berbeda.”Mata Dario menyapu bangunan di balik gerbang, rumah batu besar dengan desain klasik, pilar-pilar tinggi, dan jendela-jendela gelap yang seolah mengawasi mereka. Rumah ini tidak seperti rumah pelatih bela diri pada umumnya.Ruben tertawa kecil. Lalu dia berkata, “Ya, tempat ini memang misterius. Tapi tenang saja. Dua tahun lalu, aku pernah ke sini saat mengantar Marco.”D
Ruangan menjadi sunyi.Api di perapian berderak, memberikan cahaya temaram di wajah Xena yang kini berubah semakin menyeramkan.Xena menutup matanya sejenak, menarik napas panjang.Tidak lama kemudian, dia pun berdiri.Dengan gerakan pelan tetapi pasti, dia melangkah mendekati Dario.Saat dia berbicara, suaranya terdengar seperti petir di malam yang gelap.“Kalau begitu, kita punya tujuan yang sama,” ucap Xena.Dario menoleh ke arah Ruben, matanya penuh semangat."Apakah itu berarti aku diterima menjadi muridmu?" tanya Dario dengan nada penuh harapan.Xena tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap tajam."Belum tentu," jawab Xena. "aku akan melihat potensimu setelah dua kali latihan. Jika kamu tidak cukup baik, kamu akan pergi dari sini."Dario mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan mengecewakanmu."Xena tidak menanggapi, tetapi bibirnya melengkung dalam senyum samar. Seolah dia tahu bahwa semangat Dario bukanlah segalanya.Xena bertepuk tangan pelan. Seorang pria bertubuh besar dengan
Sabrina menyandarkan punggungnya ke kursi dengan senyum yang nyaris tidak bisa dia sembunyikan. Di hadapannya, tim audit masih berkutat dengan dokumen-dokumen laporan keuangan yang menumpuk di meja. Tangan mereka sibuk mengetik, mencatat, dan sesekali berbisik satu sama lain, mendiskusikan sesuatu yang tampak serius."Kalian harus teliti, jangan sampai ada dokumen yang terlewat." Sabrina memberi perintah."Baik, Bu Presdir!" jawab salah satu dari tim audit. "Aku mau hari ini selesai semua." Sabrina melipat tangan di depan dada. Ruangan rapat dipenuhi suasana tegang. Beberapa eksekutif perusahaan yang hadir duduk dengan ekspresi penuh waspada, menunggu hasil audit yang bisa saja mengguncang perusahaan.Matias dan Randy, dua orang yang dicurigai Sabrina tidak terlihat sepanjang hari. Tentu saja, itu semakin memperkuat keyakinan Sabrina bahwa mereka sedang menyembunyikan sesuatu. Pasti ada hal yang mereka lakukan, yang tidak orang lain tahu. "Ini akan menjadi hari yang panjang," gumam
Lampu kamar hotel redup. Suara napas yang berat dan aroma parfum mahal bercampur dengan bau alkohol ringan masih tertinggal di udara. Stella duduk di atas ranjang dengan gaun tidur tipis yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Sementara itu, Hector, dengan dada terbuka dan hanya mengenakan celana tidur, menerima panggilan di balkon.Suara berat dari seberang telepon terdengar menggelegar, walau hanya samar.‘Hector. Don Emilio memanggilmu.’Hector mengernyit. ‘Untuk apa?’‘Bersiaplah. Pertemuan akan digelar di markas utama, Provinsi Everdale. Segera. Tidak ada alasan untuk terlambat.’Klik.Panggilan berakhir. Hector tidak membalas apa-apa. Tapi wajahnya berubah. Tegang. Tajam.Dia menutup ponsel, lalu berbalik ke dalam kamar. Langkah kakinya tenang, namun setiap tapaknya seperti menyimpan gelombang tekanan tak kasat mata.Stella mengangkat kepalanya. “Kamu mau ke mana?”Hector meraih handuk, lalu menjawab singkat, “Don Emilio memanggilku.”Stella mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba?
Ruangan itu sepi, tapi bukan keheningan yang nyaman. Setiap napas yang terdengar terasa berat, seolah udara pun tahu bahwa ancaman besar sedang menggantung di atas kepala mereka. Julian, Moretti, dan Diego semua duduk diam, menatap Lucas yang berdiri di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi sulit ditebak.“Organisasi Dominus Noctis tidak akan tinggal diam,” kata Lucas akhirnya, suaranya tenang tapi mengandung tekanan yang dalam. “kematian Stefano adalah penghinaan bagi mereka. Dan sekarang, setelah Marchetti menghilang dari muka bumi, mereka pasti sedang bersiap membalas.”Julian mengepalkan kedua tangannya, keras hingga buku jarinya memutih.“Biarkan saja mereka datang,” kata Julian dengan suara rendah yang bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena semangat membara. “Pada saat itu juga, mereka datang hanya untuk menggali kubur mereka sendiri.”Lucas menoleh perlahan, menatap Julian lurus. “Percaya diri boleh. Tapi jangan pernah menganggap enteng organisasi Dominus Noctis
Jeremy melangkah keluar dari kantor BQuality dengan langkah santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia bahkan sempat tersenyum kecil pada resepsionis sebelum pintu lift menutup di depannya.Jeremy tahu Angeline akan berpikir ulang.Dia tahu wanita itu tidak akan tinggal diam begitu saja. Dan ketika waktu itu tiba, Jeremy yakin, Angeline akan mencarinya.Oleh sebab itu, dia merasa tenang. Dan pulang seperti seorang pemenang.“Brengsek!” seru Sabrina, membanting map ke atas meja. “Bajingan itu benar-benar menyebalkan! Sok manis, padahal isinya racun semua!”Angeline hanya diam. Pandangannya kosong menatap layar laptop yang masih menyala. Tapi pikirannya tidak di sana. Ia sedang menimbang. Menganalisa. Mencari celah dari ancaman yang dilemparkan Jeremy tadi.Sabrina melangkah mendekat. Suaranya masih ketus. “Apa dia pikir kita bisa begitu saja jatuh ke perangkapnya?”Tak ada respons.“Angeline?”“Aku mendengarmu,” jawabnya pelan.Sabrina mengepalkan tangan. “Aku tahu, ini bukan aku yang te
Jeremy tidak langsung menjawab pertanyaan Angeline. Dia berdiri pelan, menatap keluar jendela besar di balik meja kerja Angeline yang menghadap ke pusat kota.“Sebenarnya,” ujarnya setelah beberapa detik yang terasa lambat, “aku hanya ingin menawarkan bantuan.”“Bantuan?” tanyanya Angeline seraya mengangkat alisnya, curiga. “bantuan apa maksudmu?”Jeremy berbalik, sorot matanya tajam namun senyumnya masih bertahan di wajah.“Carlos tidak akan tinggal diam. Dia akan mengumpulkan empat orang lainnya, lima karyawan yang baru saja kamu pecat. Mereka tidak akan datang ke sini. Tidak akan membuat tuntutan hukum. Mereka akan membuat langkah yang jauh lebih berbahaya,” ucap Jeremy.Sabrina menyipitkan mata. Lalu dia bertanya, “Langkah apa maksudmu?”“Mereka akan memviralkan kasus ini di media sosial,” jawab Jeremy tenang. “mereka akan tampil sebagai korban. Mengungkap cerita mereka. Memutar balik fakta. Dan tentu saja, publik akan menelan mentah-mentah semuanya.”Angeline menegang. Dia menole
Angeline tidak menoleh. Ia masih menatap layar tablet di depannya.“Dia memang sepupu kita, tapi Jeremy bukan orang biasa. Dia penuh perhitungan,” lanjut Sabrina. “dan biasanya, kalau dia datang tanpa pemberitahuan itu berarti dia membawa masalah. Kamu pun sudah sering mengalaminya, bukan?”“Kita tidak boleh langsung berprasangka buruk,” jawab Angeline datar. “siapa tahu dia datang membawa kabar baik.”Sabrina mengerutkan dahi. “Apa kamu tidak lelah terus bersikap baik kepada orang yang berkali-kali menjatuhkanmu?”Angeline mengangkat pandangannya perlahan. Matanya tenang, tapi juga tajam. “Aku tidak bersikap baik karena aku bodoh. Aku bersikap baik karena aku tahu siapa diriku.”Sabrina mendengus pelan, tidak membantah. Tapi nada suaranya tetap keras. “Dia bukan seperti Lucas. Dia tidak akan memikirkan keselamatanmu atau bagaimana perasaanmu. Jeremy hanya tahu satu hal, keuntungan.”“Kalau begitu, biarkan aku lihat sendiri apa yang dia inginkan,” jawab Angeline sambil berdiri.Sabrin
“The Obsidian Blade...”Lucas hanya diam di jok belakang. Pandangannya mengarah keluar jendela, menatap bayangan gedung-gedung yang lewat satu per satu. Namun pikirannya tidak benar-benar melihat. Di matanya, hanya ada satu nama: Carlos. Dan di hatinya, masih diselimuti apa yang dikatakan oleh Angeline.Troy yang menyetir di kursi depan kembali bicara, kali ini dengan suara sedikit lebih tegas, “The Obsidian Blade, apakah semuanya baik-baik saja?”Lucas menarik napas dalam dan menjawab pelan namun tajam, “Salah satu dari lima orang yang dipecat dari BQuality akan bertindak. Namanya Carlos. Aku bertemu dengannya pagi ini.”“Carlos?” ulang Troy dengan nada geram. “Bajingan itu. Jadi dia mengancam keselamatan Nona Angeline?”Lucas mengangguk pelan. “Secara langsung tidak. Tapi dari caranya bicara, dari matanya, dari jeda setiap katanya, dia berniat untuk melakukan sesuatu.”Troy menggertakkan gigi. “Kalau begitu kita bersihkan saja dia. Seperti yang kita lakukan pada Randy dan Matias. Di
“Aku mengerti maksudmu,” kata Angeline dengan nada yang mulai melunak. “Tapi kamu juga harus mengerti kalau aku sedang sibuk. Kalau memang darurat, seharusnya kamu bisa mengirimkan pesan terlebih dahulu.”Lucas menatap istrinya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar, “Aku takut jika aku hanya mengirim pesan, kamu malah salah paham lagi. Mengingat kamu sedang marah padaku.”Angeline menarik napas dalam, menahan diri agar nada bicaranya tetap tenang. “Baiklah. Sekarang, apa kamu yakin jika Carlos benar-benar akan bertindak nekat?”Lucas mengangguk pelan. “Untuk masalah yakin, bisa dibilang aku yakin. Aku mendengarnya langsung dari mulutnya, dan aku melihat matanya ketika dia mengatakannya. Tapi … aku tetap berharap tidak akan terjadi apa-apa.”“Kalau begitu,” kata Angeline sambil menyilangkan tangan di dada, “apa rencanamu?”Lucas melangkah lebih dekat. “Aku hanya ingin kamu mendengarkan dan bekerja sama denganku. Tidak ada rencana rumit. Aku hanya
Lucas masih berdiri di tepi taman saat namanya terpampang jelas di layar aplikasi: Carlos. Sopir taksi online barusan. Wajahnya, nada bicaranya, dan kalimat terakhir yang dia ucapkan, semuanya kini menggelitik rasa curiga yang tak bisa lagi diabaikan.“Carlos…” gumam Lucas.Ia memejamkan mata sejenak. Nama itu tidak asing.Lalu ia teringat. Randy. Matias. Dua orang bawahan Angeline yang merupakan otak penggelapan dana di perusahaan BQuality. Mereka menyebut 5 nama yang membantu mereka menggelapkan dana dan kelima orang itu juga ikut menggelapkan dana. Salah satu nama pelaku adalah Carlos.Lucas menggeram pelan. Kalau itu memang orang yang sama…Tanpa menunda waktu, Lucas menekan tombol panggilan di layar ponselnya. Ia menghubungi Angeline.Nada sambung terdengar.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Tidak dijawab.Lucas menggertakkan gigi, napasnya mulai memburu.Ia mencoba lagi. Sama. Tidak ada jawaban.“Ayolah, Angeline. Jangan marah terus. Sekarang bukan waktu yang tepat,” ucap Lucas.Ia m
Lea menatap Lucas yang masih duduk di kursi makan. Dalam hatinya, ia berharap pria itu akan berbalik dan menghampirinya. Mungkin menatap matanya lebih lama. Mungkin menyentuhnya. Menarik pinggangnya ke dalam pelukan. Atau membisikkan sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu.Rumah sedang kosong. Hanya ada mereka di situ. Angeline sudah pergi. Tidak akan ada yang melihat.Namun Lucas hanya berdiri."Aku akan pergi berolahraga," katanya tenang sambil membetulkan kerah jaket olahraganya.Lea tersenyum tipis, meski hatinya sedikit tenggelam. “Tidak mau sarapan dulu, Tuan?”Lucas menggeleng pelan. “Setelah olahraga saja. Perutku tidak terbiasa diisi sebelum gerak. Terasa berat.”Lea mengangguk. “Baik, Tuan.”Lucas melirik meja makan. “Kamu boleh makan saja pancake dan smoothies yang kubuat tadi. Sayang kalau dibuang.”“Baik. Terima kasih,” jawab Lea pelan.Lucas meninggalkan dapur dengan langkah santai. Suara sepatunya pelan, berirama. Lea hanya bisa memandangi punggung pria itu menghila