Prolog
Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan pencernaanku.”“Apakah itu alasan untuk membenarkanmu mengganggu tidurku?”Davina menggeleng. Merapatkan kemeja putih yang dikenakannya karena tadi tak sempat mengancingkannya. Kemudian melangkah melewati Dirga yang hampir memenuhi ambang pintu dengan memiringkan tubuh.Setelah Davina berhasil melangkah keluar, barulah Dirga melangkah masuk.“Bolehkah aku meminjam pakaianmu?” Pertanyaan Davina menghentikan Dirga yang sudah membuka pintu kaca. Pria itu memutar kepala, menatapnya dengan raut yang selalu membuatnya segera menutup mulut.Pandangan Dirga turun ke arah pakaian gadis itu yang semalam ia robek dan lempar ke lantai. Jelas tak layak untuk dipakai. Dan perlukah gadis itu mempertanyakannya? Ini bukan pertama kalinya Davina membawa pakaiannya untuk pergi ke kamar gadis itu tanpa ketelanjangan. Terutama jejak gairahnya yang ada di kulit gadis itu.Dirga memberikan satu anggukan singkat sebelum berbalik dan masuk ke dalam bilik shower, mengguyur tubuhnya dengan air dingin.Davina menutup pintu kamar mandi. Tubuhnya terasa remuk, juga mengantuk. Semalam Dirga benar-benar tak membiarkannya tidur. Membuatnya melayani hasrat pria itu yang seolah tiada habisnya. Dan sekarang ia harus membereskan kamar pria itu yang seperti kapal pecah, terutama di bagian tempat tidur.Pemandangan yang hampir setiap hari ia temui, ketika ia diseret ke kamar ini untul melayani pria itu di tempat tidur. Ya, ia berada di rumah ini untuk dijadikan pelayan. Pelayan rumah maupun ranjang seorang Banyu Dirgantara.Davina mulai membereskan tempat tidur, mengganti sprei dan mengambil pakaian-pakaian kotor. Juga menyiapkan pakaian kerja pria itu. Setelah selesai, ia membawa keranjang pakaian kotor dan berjalan ke arah pintu. Tetapi baru saja ia melewati pintu, seorang wanita berhenti di hadapannya.Kedua mata Davina melebar, begitu pun wanita tinggi dengan rambut pirang yang terurai itu. “Siapa kau?” Mata wanita cantik yang mengenakan minidress dengan lengan pendek dan kerah V terlalu rendah yang menampakkan belahan dada tersebut menyipit tajam. Mengamati penampilan Davina dari atas ke bawah. Rambut Davina yang masih berantakan, mengenakan kemeja putih yang kebesaran yang ia yakin bukan milik gadis itu, juga pada keranjang pakaian kotor yang berada di kedua tangan.Wanita itu tak yakin apakah gadis yang berdiri di depannya ini pelayan atau pelacur yang disewa Dirga? Atau … simpanan? Jelas ia tak menyukai yang terakhir.Davina tak menjawab, dari balik punggungnya ia mendengar pintu kamar mandi yang dibuka.“Siapa kau?!” Suara wanita itu keluar lebih keras dan penuh emosi. “Apa kau tak punya mulut untuk menjawab?!”Davina masih terbungkam. Sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan tersebut. Yang membuat wanita itu semakin geram dan menancapkan kelima jari di kepala Davina. Menjambaknya dengan kencang hingga kesakitan, tetapi Davina tak mengeluarkan sedikit pun rintihannya.“Siapa kau?!!”Rasa sakit itu semakin menusuk di kepalanya ketika si wanita menggoyang-goyang kepalanya dengan keras. Membuat kepalanya pusing dan tubuhnya sudah didorong ke belakang, siap menerima rasa sakit di pantat sebeluam kemudian pinggangnya ditangkap dan tangan wanita itu berhenti mencengkeram kepalanya.“Lepaskan, Galena,” desis Dirga sambil mencengkeram pergelangan tangan wanita itu.Galena melepaskannya, bukan karena ingin atau takut dengan tatapan tajam Dirga, melainkan karena pergelangan tangannya yang nyaris dipatahkan oleh pria itu. “Siapa dia? Kenapa dia mengenakan pakaian seperti itu dan keluar dari kamarmu, hah?”Dirga tak menjawab, melepaskan pegangannya pada Davina dan berkata, “Pergilah ke kamarmu.”Davina melangkah ke arah tangga dan menghilang dari pandangan keduanya. “Aku sudah mengatakan hari ini akan datang, kan? Kau tidak menjemputku di bandara dan membuat tunanganmu harus melihat hal menjijikkan seperti ini.”Dirga bahkan lupa sudah pernah bertunangan jika wanita yang didepannya ini tidak mengingatkan. “Katakan apa yang kau inginkan dengan kedatanganmu, aku sibuk.”Mata Galena melotot atas keacuhan Dirga. “Siapa dia?”Dirga mendesah dengan jengah. “Jika kau datang hanya untuk mendikte kesenanganku, sebaiknya kau pergi,” pungkasnya kemudian berbalik.Galena semakin membelalak, tangannya reflek menangkap lengan Dirga sebelum pria itu menutup pintu kamar. “Tunggu, Dirga.”Dirga hanya memutar kepala ke samping. Menatap Galena dengan kesabaran yang semakin menipis. Suasana hatinya begitu buruk setelah terbangun lebih cepat dari biasanya.Galena menekan harga dirinya. Keacuhan Dirga benar-benar membuat harga dirinya tergores sebagai seorang wanita sekaligus tunangan pria itu. Ya, pria seperti Dirga memang berengsek, tapi bagaimana pun pria itu adalah miliknya. “Aku tak akan mengganggu kesenanganmu.”“Seolah kau perlu mengatakannya,” dengus Dirga. “Aku tak perlu ijinmu.”Galena menipiskan bibirnya, tetapi memaksa senyum tetap tertampil sempurna di wajahnya. “Aku datang ke sini karena papa ingin memajukan hari pernikahan kita.”Salah satu alis Dirga terangkat.“Bulan depan.”"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting
Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.*** Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan
Praanggg ...Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai. "Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengat
Meera mengeluarkan sebutir tablet yang masih tersisa. Ya, obat itu adalah obat penurun panas untuk Davina. Ia tahu sang tuan bahkan tak peduli dengan sakit yang sungguh-sungguh diderita oleh Davina dan bersikeras bahwa itu adalah kepura-puraan gadis itu. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah membantu menyembuhkan demam Davina.“Apa ini?” Mata Galena menyipit.“Hanya vitamin.”Galena mendengus. “Kau pikir aku percaya?”“Saya tidak berbohong, Nona. Davina sedang sakit, jadi saya hanya mencoba membantunya.”Galena menyambar tablet obat tersebut.“N-nona?”“Aku akan melaporkan kelicikanmu pada Dirga. Jadi siapkan dirimu untuk dipecat dari rumah ini.”Meera menggelengkan kepalanya tak berdaya. “N-nona?”Galena melotot penuh peringatan. Menggunakan ujung telunjuknya untuk mendoorng-dorong kepala Meera. “Kau pikir bisa membodohi kami sebagai majikanmu? Dasar pelayan tak tahu diuntung.”Meera semakin dibuat tak berdaya, kepalanya tertunduk dalam dan tak berani melawan. Saat Galena melangkah perg
Davina tersedak dengan keras, membuat apa pun yang ada di mulutnya tertelan habis. Tubuhnya jatuh tersungkur di lantai ketika Galena melepaskan jambakan dan bekapannya. Air mata mengalir di kedua mata. Salah satu tangan memegang leher demi meredakan rasa sakit di tenggorokan yang terasa seperti dirobek.Ia masih terbatuk, ada rasa mengganjal di tenggorokan yang masih menyakitkan. Galena berjongkok di depannya, menangkap rahang dan membuka mulutnya. Memastikan tidak ada apa pun yang tersisa di dalam mulutnya."Sekarang, biarkan obat itu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Jika beruntung, hanya akan satu nyawa yang melayang." seringai Galena keji. Menepuk pipi Davina dengan kasar sebelum bangkit berdiri. Lalu duduk di sofa dengan kedua kaki dan tangan bersilang dada. Menikmati setiap siksaan yang sudah diberikannya pada gadis pelacur tunangan.Itulah bayaran yang harus dilunasi untuk semua perhatian yang diberikan oleh Dirga. Terlalu banyak.Kedua pelayang yang berdiri di samping kanan
“Apa yang terjadi?” Dirga bertanya dengan suara dingin dan datarnya pada dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan.Dokter muda itu memasang raut tanya yang jelas. “Apakah Anda walinya?”Dirga sedikit kesulitan menjawab. Ya, umurnya dan Davina terpaut 15 tahun. Ditambah tubuh gadis itu yang kecil yang membuat Davina terlihat seperti pelajar. Padahal sudah jelas gadis itu sudah cukup umur untuk ditidurinya. Kecurigaan dalam pandangan dokter tersebut tentu saja membuatnya kesal, dan menjawab dengan kesal. “Ya, aku walinya.”“Anda siapanya pasien?” Kali ini tatapan pria itu tampak mengamati.Dirga tentu saja tahu apa yang dipikirkan oleh dokter muda itu. Terlalu muda untuk jadi ayah dan terlalu dewasa untuk dijadikan kekasih. Dan lagi, Davina juga terlalu muda untuk seorang istri.Dirga menggeram rendah dengan tatapan mengancam yang tersorot di kedua mata. “Kenapa itu menjadi urusanmu?”“Kami tidak bisa memberikan informasi …”“Aku yang membawanya ke rumah sakit. Aku yang bertangg
“Butuh bantuan?”Kepala Davina masih terasa pusing ketika perawat datang untuk membawakan makan malam. Sejak tadi siang, hanya ada Clay yang duduk di sofa. Pria itu sama sekali tak bicara dan menyibukkan diri dengan beberapa panggilan dan ponsel. Dan itu pertama kalinya pria itu bicara padanya.Davina menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang masih tersisa untuk bangun terduduk. Mengambil nampan yang diletakkan di meja kecil, tetapi karena tubuhnya masih lemah dan tak banyak kekuatan yang masih tersisa, nampan itu hanya beberapa detik berada dalam genggamannya sebelum jatuh ke lantai.Clay yang terduduk di sofa hanya mendengus tipis. “Tidak butuh bantuan dan hanya merepotkan saja, begitu?”Davina tak mengatakan apa pun. Tertunduk malu.“Inilah alasan Dirga begitu bersenang-senang denganmu. Kau sangat mudah dipermainkan dan sangat merepotkan. Membuat hidupnya yang membosankan jadi sedikit menyenangkan.” Clay bangkit berdiri dan melangkah mendekati ranjang pasien.Ada kerutan yang tersa
“David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. “Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman