Home / CEO / Pelayan Sang Tuan / 7. Menghilang

Share

7. Menghilang

Author: Luisana Zaffya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Butuh bantuan?”

Kepala Davina masih terasa pusing ketika perawat datang untuk membawakan makan malam. Sejak tadi siang, hanya ada Clay yang duduk di sofa. Pria itu sama sekali tak bicara dan menyibukkan diri dengan beberapa panggilan dan ponsel. Dan itu pertama kalinya pria itu bicara padanya.

Davina menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang masih tersisa untuk bangun terduduk. Mengambil nampan yang diletakkan di meja kecil, tetapi karena tubuhnya masih lemah dan tak banyak kekuatan yang masih tersisa, nampan itu hanya beberapa detik berada dalam genggamannya sebelum jatuh ke lantai.

Clay yang terduduk di sofa hanya mendengus tipis. “Tidak butuh bantuan dan hanya merepotkan saja, begitu?”

Davina tak mengatakan apa pun. Tertunduk malu.

“Inilah alasan Dirga begitu bersenang-senang denganmu. Kau sangat mudah dipermainkan dan sangat merepotkan. Membuat hidupnya yang membosankan jadi sedikit menyenangkan.” Clay bangkit berdiri dan melangkah mendekati ranjang pasien.

Ada kerutan yang tersamar di kening Davina, menelaah kata-kata Clay dan berpikir lebih dalam.

Tangan Clay terulur menyentuh dagu Davina dan sedikit mengangkatnya naik agar tatapan keduanya bertemu.

“Maaf.”

Clay malah terkekeh, semakin mendekatkan wajahnya ke wajah mungil Davina yang pucat. “Maaf? Ck, asal kau tahu, aku bukan orang yang pemaaf. Aku jelas tak lebih baik dari Dirga.”

Davina tak membalas lagi.

“Bagaimana denganmu? Apa kau bersenang-senang dengan hukumanmu?” bisik Clay lirih.

Mata Davina melebar akan pertanyaan Clay yang memang disengaja untuk melecehkan dirinya. Ia memang pelayan Dirga, pelacur Dirga, dan ia berusaha mengebaskan hati akan semua pelecehan tersebut. Akan tetapi, ia masih terkejut dan hatinya masih tercubit dengan keras. Wajahnya yang sudah pucat, tak bisa lebih pucat lagi.

“Kenapa? Kau tersinggung?”

Bibir Davina menipis. Terbiasa direndahkan oleh Dirga membuatnya mudah beradaptasi dengan pelecehan tersebut. Keduanya saling mengunci pandangan hingga cukup lama, menyelimuti keduanya dalam kesunyian.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” Geraman dalam dari arah pintu membuat Clay memutus kontak mata lebih dulu. Melepaskan tangannya dari dagu Davina dan menegakkan punggung. Lalu menekan tombol di dinding di samping ranjang pasien.

“Seperti yang kau bilang, dia memang suka merepotkan orang lain.” Clay berbalik dan menjawab dengan penuh ketenangan.

Wajah Dirga mengeras, pandangannya turun ke arah lantai tempat nampan berisi makan malam Davina yang berserakan di sekitar kaki Clay. Lalu berjalan masuk dengan tatapan kecurigaan yang menusuk ke arah Davina dan Clay. Davina tampak tegang sementara Clay masih diselimuti ketenangan.

“Kau sudah selesai?” Clay bertanya lagi. “Kalau begitu aku pergi,” ucapnya melewati Dirga dan berjalan ke arah pintu sambil bersenandung lirih.

Davina menjilat bibirnya yang kering merasakan tatapan Dirga yang semakin menusuk. Tak tahan dengan tatapan pria itu yang semakin menelanjanginya, ia pun menundukkan wajahnya.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Dirga.

Davina hanya memberikan satu gelengan.

“Bermain rahasia?”

Davina menggeleng lagi. Tetapi menangkap kemarahan dalam suara Dirga, ia pun menjawab lirih, “Dia hanya kesal karena aku menjatuhkan makananku.”

Mata Dirga menyipit, mencoba mencari kebohongan di raut wajah gadis itu. Meski terlihat polos dan seperti buku yang mudah dibacanya, tetap saja ia merasa ada sesuatu dari gadis ini yang tersembunyi rapi di belakang sana. Bersembunyi dengan sangat baik dan rapi hingga Dirga berpikir belum pernah ada kebohongan sehalus dan sepolos ini.

Selama sepuluh detik penuh keduanya hanya terdiam dalam kesenyapan. Masih tak bisa mempercayai ucapan dan raut gadis itu, tetapi memutuskan untuk membiarkannya dan mencari tahunya sendiri. Dengan cara yang lain.

Tak lama, dua perawat membawa nampan makan malam Davina yang baru dan membersihkan lantai.

Perawat memasang meja dan meletakkan nampan makanan Davina.

“Terima kasih,” ucapnya lirih pada perawat tersebut yang kemudian membantu temannya membersihkan lantai.

Tak sampai lima menit, dua perawat itu melangkah keluar. Meninggalkan Davina dan Dirga yang duduk di ujung ranjang, tak melepaskan pandangan dari Davina yang sibuk menandaskan isi perut.

Ada seringai yang tersamar di ujung bibir pria itu mengamati Davina yang menghabiskan isi piring dengan lahap.

Setelah selesai makan, ada kesenyapan yang dalam terbentang di antara keduanya. Davina mulai merasa canggung. Ia hanya bisa berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa pun. Dan ternyata situasi semacam ini membuat kecanggungannya semakin memadat.

Dengan sikap patuhnya, ia selalu memiliki kesibukan setiap kali bersama Dirga. Di atas ranjang atau membersihkan kamar, menyiapkan pakaian, menyiapkan makan dan menunggu sang tuan makan. Saat tak menginginkannya, Dirga hanya akan mengusirnya.

“Sejak kapan kau tahu?” Dirga memecah keheningan tersebut.

“Empat hari yang lalu,” jawab Davina lirih.

Dirga mencoba menghitung, teringat ketika Davina mengeluh sakit dan sikap buruknya pada gadis itu. Yang lagi-lagi tak mampu meluruhkan dendamnya terhadap ayah gadis itu. “Dan apa yang kau pikirkan?”

Davina tak menjawab. Ia sendiri tak tahu apa yang dipikirkannya ketika mengetahui kehamilan tersebut. Ia hanya merasa badannya sakit ketika teringat tamu bulanannya yang tak pernah datang sejak Dirga menyembuhkan kakinya sekitar satu bulan yang lalu.

“Kau berpikir aku tak akan menyukainya.”

Davina masih bergeming. Merasakan desisan tajam Dirga yang membuatnya menahan napas.

“Jadi kau hanya berusaha menyelesaikan masalah secara diam-diam begitu? Yang pada akhirnya juga menjadi tak diam-diam di belakangku.”

Davina tetap bergeming.

“Sekaran Galena sudah menyelesaikan masalahmu. Kau senang?”

Davina bahkan tak yakin apa yang harus dirasakannya saat ini. Senang, lega, atau merasa kehilangan? Karena sejujurnya ada sesuatu yang hilang dari dadanya menyadari bahwa janin di perutnya sudah terbunuh karena ketidak berdayaannya menghadapi situasi. Penyesalan dan rasa bersalah yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Membuatnya ingin ikut mati saja sehingga semua penderitaan ini cepat berakhir.

Akan tetapi ia tahu semua itu tak akan berakhir dengan mudah. Dirga jelas akan membuatnya selamat hanya untuk menerima hukuman yang lebih besar.

“Diam berarti ya?”

“Lalu apa kau ingin meratapi nasibnya yang berakhir dengan tragis?”

Dirga membeku akan kesinisan yang melapisi suara lemah Davina. “Kau melawanku?”

Davina merapatkan mulutnya kembali. Menjawab senang atau tidak, jawabannya akan tetap salah di mata Dirga.

Ada dorongan untuk mengulurkan tangan dan mencengkeram rahang Davina, tetapi ketika melihat luka di ujung bibir gadis itu yang belum sembuh membuatnya menahan diri. “Tidurlah. Kau harus sembuh lebih cepat dan menerima hukuman atas mulutmu yang lancang itu.”

Davina menelah ludahnya dan dengan patuh membaringkan tubuhnya. Sementara Dirga teralihkan oleh panggilan dari ponsel pria itu. Melangkah mendekati jendela kamar.

“Ada apa?” desisnya tajam. Mendengarkan dengan seksama dan wajahnya seketika menegang. “Di mana?”

“Aku akan ke sana. Tunggu di basement.” Dirga menurunkan ponselnya dan melihat Davina yang mulai memejamkan mata. Ia pun beranjak menuju pintu dan keluar.

Mata Davina terbuka begitu pintu tertutup. Mendengarkan suara langkah Dirga yang semakin menjauh dan memastikan tak terdengar apa pun ketika bangun terduduk dan menyingkap selimut. Bibirnya meringis menahan rintihan ketika kedua kakinya menyentuh lantai. Perutnya masih sakit, tapi ia masih bisa menahannya.

'Saat dia ke basement, kau hanya punya waktu sepuluh menit untuk pergi ke pintu belakang rumah sakit. Aku meninggalkan tanda di dinding, mulai dari tangga darurat untuk turun satu lantai di bawah. D.'

Davina membaca kembali nota kecil yang berhasil diselipkan di balik mangkuk sup makan siangnya.

D. Davina tahu pria itu pasti akan menyelamatkannya. Harapan itulah yang membuatnya bertahan.

Related chapters

  • Pelayan Sang Tuan   8. Rencana Si Kembar

    “David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. “Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman

  • Pelayan Sang Tuan   9. Rencana David

    "Apa maksudmu, David?" Akhirnya Davina berhasil mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat lamanya terpaku oleh penjelasan sang kakak."Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu." David merangkum sisi wajah Davina, ujung ibu jemarinya menyentuh luka di bibir sang adik. "Hanya ini satu-satunya cara agar kau lolos darinya.""T-tapi tidak dengan cara ini, David.""Aku sudah menyelidiki semuanya tentang dia. Dengan posisimu sebagai istri pria lain, itu akan melindungimu …""Tidak, David. Aku tak ingin melibatkan orang lain dengan masalah keluarga kita. Apa pun tujuannya, pernikahan ini tidak benar.""Percaya padaku." David menggenggam tangan mungil Davina. Meyakinkan sang adik. "Ega akan menjadi orang yang memiliki hak paling besar atas dirimu. Kau tahu pria sialan itu tak bisa diharapkan tanggung jawabnya untuk melindungimu.""David …""Kumohon, Davina. Hanya ini satu-satunya cara yang paling tepat untuk situasi ini."Davina terdiam. Menatap Ega yang tampak tak terpengaruh dengan perd

  • Pelayan Sang Tuan   10. Pernikahan Berdarah

    Part 10 Pernikahan BerdarahPandangan Davina terpaku pada mobil di tengah. Satu-satunya mobil yang pintunya terbuka terakhir karena anak buah Dirga sudah turun semua dan mengarahkan pistol ke arah ketiganya. Egad an Davidmaju satu langkah untuk menghadang semua pria berpistol tersebut. Tampak konyol tapi Davina sangat menghargai usaha keduanya.Di antara celah tubuh keduanya, ia bisa melihat kaki Dirga yang melangkah turun. Pandangan mereka bertemu dan ia bisa menangkap senyum kemenangan yang sama ketika pria itu menangkapnya di hutan. Sekarang pria itu berhasil menangkapnya kembali.“Seharunya aku tak melibatkan kalian berdua,” sesal Davina dengan suara yang bergetar. Merasakan genggaman David yang semakin menguat.“Maka kami yang akan melibatkan diri kami sendiri, Davina,” desis David.“Kakakmu benar, Davina.” Ega mengiyakan.“Kau punya ide?”“Kau tak bilang mereka bersenjata. Satu-satunya yang kupunya hanya pisau bedah yang kutinggalkan di vila.”“Kau membawa pisau bedah ke vila?”

  • Pelayan Sang Tuan   11. Hidup Baru Yang Tak Pernah Berubah

    Davina menatap tanpa daya ketika bertatapan dengan David yang juga tak bisa berucap. Mulut pria itu masih tersumpal kain, begitu pun dengan Ega. Davina diberikan pada salah satu pengawal dan dibawa ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, ia melihat David yang dilemparkan ke arah Ega. Ega langsung menangkapnya dan ia bisa melihat sang kakak yang mengerang kesakitan sambil memegang kaki sementara Dirga berdiri di hadapan keduanya. Entah apa yang dikatakan Dirga pada keduanya, Davina merasa lega, setidaknya pria tidak mengeluarkan pistol untuk menghabisi nyawa David maupun Ega dengan cepat. Ega adalah seorang dokter, Davina hanya bisa berharap pria itu bisa membantu David.Dirga berbalik dan lamgsung naik ke dalam mobil yang Davina tumpangi. Membuat gadis iu bergeser ke samping. Mendengus singkat, Dirga mengamati wajah Davina yang tertunduk. Mobil mulai melaju dan ia sempat melihat semua anak buah Dirga yang naik ke dalam mobil masing-masing, meninggalkan David dan Ega. Ega membantu David

  • Pelayan Sang Tuan   12. Diam Dan Patuh

    Davina tak tahu berapa lama waktu yang sudah ia habiskan untuk membersihkan kamar mandi dan dirinya. Ditambah ia harus mencari pakaiannya di kamar sebelah, yang ternyata sudah dikosongkan oleh Dirga."Ke mana semua pakaian di kamar itu?" tanya Davina pada pelayan yang kebetulan muncul saat ia keluar dari kamar. "Tuan Dirga sudah membakar semuanya?"Mata Davina melebar. "Membakarnya?"Pelayan itu mengangguk, kemudian berpamit pergi karena harus segera ke bawah. Meninggalkan Davina yang masih terbengong. Mendesah pendek, wajahnya tertunduk, menatap jubah mandi yang masih dikenakannya. Ya, Dirga bisa melakukan apa pun sesuka pria itu. Toh semua pakaian itu juga pemberian Dirga. Pria itu menculiknya tanpa membawa pakaian miliknya. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan pada hari itu sudah dibuang ke tempat sampah karena berlumuran darahnya.Dan menyadari tak ada pakaian yang bisa dikenakannya selain kain ini, jadi ia pun turun ke lantai satu, menyempatkan diri ke kamar Meera untuk mendapa

  • Pelayan Sang Tuan   13. Perubahan

    Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke

  • Pelayan Sang Tuan   14. Rencana

    Dirga terkekeh. “Well, aku tidak sedang mengamati kebahagiaan keluarga kalian. Hanya … sedang merindukan Sesil.”Saga menggeram. “Enyah dari hidup kami, Dirga. Kami sudah muak dengan semua gangguan yang ada tanpa kedengkianmu.”“Kami?” Salah satu alis Dirga terangkat. “Kau, Saga. Bukan Sesil. Hubungan kami masih baik-baik saja,” koreksinya kemudian. “Dan Sesil tak pernah merasa muak denganku.”Wajah Saga semakin menggelap, mengeluarkan pistol dari sarungnya di pinggang dan menggunakan gagangnya untuk memukul kaca jendela mobil Dirga. “Pergi atau aku akan menggunakan ini untuk kepalamu?”Dirga mendengus, menginjak pedal gas. Bukan karena takut ancaman Saga, tetapi dari balik kaca spion ia bisa melihat Sesil yang melangkah turun dari dalam mobil. Mendesah panjang, ia melajukan mobil langsung pulang ke rumah.Memberikan kuncinya pada Jim untuk diperbaiki di bengkel dan ia langsung ke lantai atas. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu menginjakkan kaki di lantai dua.“Apa-apaan ini?

  • Pelayan Sang Tuan   15. Di Dalam Ruangan VIP

    “Sekarang, gadis licik,” ulang Dirga melihat Davina yang hanya tertegun mendengarkan perintahnya. “D-di sini?” Davina mengigit bibir bagian dalamnya. Tatapan Dirga begitu dingin dan tegas. Memaksa dirinya untuk menuruti perintah tersebut meski ia masih bergeming di tempatnya. Menahan malu yang lebih besar dari biasanya. Jauh lebih baik jika Dirga yang merobek dan melucuti pakaiannya, tetapi melepaskan pakaian sendiri di depan tatapan pria itu, tentu saja rasa malunya menjadi berkali-kali lipat lebih besar.“Ya. Di sini, sekarang juga.” Bibir Dirga nyaris tak bergerak. Ada ketidak sabaran yang jelas dalam tatapan tajam pria itu. Tangan Davina bergerak dengan turun perlahan dan menurunkan celana karet sang tuan yang kebesaran.“Semuanya,” tambah Dirga melihat Davina yang tampak ragu untuk melepaskan kaos polos miliknya.Wajah Davina yang memerah tertunduk malu, memegang ujung kaos dan menariknya hingga ke atas, kemudian membiarkan kain kaos tersebut jatuh di lantai di samping kakinya

Latest chapter

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8b

    Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8a

    Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7b

    Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7a Cinta Sang Tuan

    Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6b

    Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6a

    Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5b

    Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5a

    Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 4b

    ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin

DMCA.com Protection Status