Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke
Dirga terkekeh. “Well, aku tidak sedang mengamati kebahagiaan keluarga kalian. Hanya … sedang merindukan Sesil.”Saga menggeram. “Enyah dari hidup kami, Dirga. Kami sudah muak dengan semua gangguan yang ada tanpa kedengkianmu.”“Kami?” Salah satu alis Dirga terangkat. “Kau, Saga. Bukan Sesil. Hubungan kami masih baik-baik saja,” koreksinya kemudian. “Dan Sesil tak pernah merasa muak denganku.”Wajah Saga semakin menggelap, mengeluarkan pistol dari sarungnya di pinggang dan menggunakan gagangnya untuk memukul kaca jendela mobil Dirga. “Pergi atau aku akan menggunakan ini untuk kepalamu?”Dirga mendengus, menginjak pedal gas. Bukan karena takut ancaman Saga, tetapi dari balik kaca spion ia bisa melihat Sesil yang melangkah turun dari dalam mobil. Mendesah panjang, ia melajukan mobil langsung pulang ke rumah.Memberikan kuncinya pada Jim untuk diperbaiki di bengkel dan ia langsung ke lantai atas. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu menginjakkan kaki di lantai dua.“Apa-apaan ini?
“Sekarang, gadis licik,” ulang Dirga melihat Davina yang hanya tertegun mendengarkan perintahnya. “D-di sini?” Davina mengigit bibir bagian dalamnya. Tatapan Dirga begitu dingin dan tegas. Memaksa dirinya untuk menuruti perintah tersebut meski ia masih bergeming di tempatnya. Menahan malu yang lebih besar dari biasanya. Jauh lebih baik jika Dirga yang merobek dan melucuti pakaiannya, tetapi melepaskan pakaian sendiri di depan tatapan pria itu, tentu saja rasa malunya menjadi berkali-kali lipat lebih besar.“Ya. Di sini, sekarang juga.” Bibir Dirga nyaris tak bergerak. Ada ketidak sabaran yang jelas dalam tatapan tajam pria itu. Tangan Davina bergerak dengan turun perlahan dan menurunkan celana karet sang tuan yang kebesaran.“Semuanya,” tambah Dirga melihat Davina yang tampak ragu untuk melepaskan kaos polos miliknya.Wajah Davina yang memerah tertunduk malu, memegang ujung kaos dan menariknya hingga ke atas, kemudian membiarkan kain kaos tersebut jatuh di lantai di samping kakinya
Jam lima sore, seorang perias datang untuk menyiapkan Davina. Mendadani wajah gadis itu dan menata rambutnya. Ketika selesai, Davina dibuat terpaku dengan penampilan wajahnya dari balik cermin. Ia tak pernah berdandan sebelumnya, dan didandani sepertyi ini tentu saja membuatnya terlihat seperti orang lain. Ia terlihat cantik dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal, tetapi mampu menonjolkan kecantikan wajahnya hampir di semua sisi. Rambutnya dibiarkan tergerai ke samping, semakin menyempurnakan penampilannya.“Kau sangat cantik,” gumam perias tersebut puas memuji. Yang membuat wajah Davina tertunduk malu. Ia sangat jarang dipuji. Hampir tak pernah jika pujian ibunya, David, dan Ega tidak dihitung. “Sekarang saatnya berpakain.”Perias itu berjalan ke tempat tidur, mengambil gaun yang tadi diberikan oleh Dirga dan membawanya pada Davina. “Kau ingin memakainya sendiri atau dengan bantuanku?”Davina bangkit berdiri, dan menoleh ke samping. Melihat gaun peach yang tercengang itu ada
“A-aku …” Davina tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika bibirnya dilumat oleh Dirga. Membungkam jawaban apa pun yang hendak ia ucapkan.Davina tersentak kaget, menarik wajahnya mundur menyadari mereka berada di tempat umum. Wajahnya merah padam merasakan pandangan orang di sekitar mereka.Dirga terkekeh. Membiarkan Davina kembali tenang di kursinya ketika ponselnya berdering. Sekilas ia melirik siapa pemanggilnya, kemudian menoleh ke arah Clay.“Siapa?”“Aku akan kembali dalam sepuluh menit. Awasi dia,” perintah Dirga sebelum beranjak dan melangkah pergi.“Kali ini kau selamat. Di antara kesialanmu, ternyata kau masih memiliki sedikit keberuntungan, ya?”Davina tak menanggapi. Makanan pembuka sudah mulai disiapkan dan ia memilih mengalihkan perhatian pada kue coklat di hadapannya. Hingga makanan utama disajikan, Clay tak lagi mengganggunya dan Dirga masih belum kembali.“Jadi, kau masih hidup?” Tiba-tiba Galena duduk di kursi kosong tempat Dirga. Raut sinisnya mengamati penampila
Dirga cukup terkejut dengan kata-kata yang baru saja didengarnya dari Davina. Wajahnya seketika menggelap, menyadari ada tantangan yang tersirat di kedua mata Davina. Bahkan gadis licik itu menyebutkan namanya dengan bibir tipis yang sialan menggoda di saat yang bersamaan. Dagu Davina juga sedikit terangkat, menatap langsung kedua matanya. Dengan keberanian yang sembrono mencoba mendikte kata-katanya yang memang sengaja untuk merendahkan gadis itu.“Kau bilang apa?” desis Dirga tajam.Davina menelan ludahnya, mencoba mengenyahkan ketakutan akan amarah Dirga yang begitu besar.“Tidakkah, kau merasa perlu berhenti dengan kata-katamu?” Suara Davina keluar dengan lirih. “Kau sudah berlebihan.”Dirga menyeringai. “Kau berani melawanku?”Davina terdiam. Ada ketakutan yang mulai merayapi dadanya dengan kemurkaan yang menguar dari tubuh Dirga. Ia menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan gemetar yang mulai menyerang tubuhnya.“Kau benar-benar bocah yang tak tahu diri.” Dirga mendorong tubu
Langkah Dirga yang tengah menyeberangi ruang tengah terhenti ketika berpapasan dengan Davina yang baru keluar dari area dapur. Pandangan pria itu mengeras mengamati penampilan Davina. Pakaian yang dikenakan jelas adalah sebuah penantangan. Gadis itu jelas tahu semua pakaian yang sudah ia beli untuk Davina.Seolah belum cukup menerima semua kemarahan yang sudah ia lampiaskan, sekarang Davina masih berpikir ingin menguji kesabarannya. “Bawakan segelas teh,” perintahnya dengan bibir yang menipis tajam.Davina tak mengangguk. Gadis itu menatap wajah Dirga dengan ketenangan yang mati-matian ia pertahankan. “Aku akan langsung ke atas.”Wajah Dirga memias. Matanya menyipit lebih tajam pada Davina yang bukannya berbalik ke arah dapur, malah mendekati tangga. Dalam tiga langkah besarnya, ia menangkap lengan Davina. “Kau tak mendengar perintahku?”“Kau tak butuh teh itu. Yang kau inginkan hanya tubuhku, kan?”Kata-kata Davina benar adanya. Yang ia inginkan hanya tubuh gadis licik ini, tetapi ka
Part 20 Rencana Di Atas RencanaDirga menggeram keras sambil membanting kedua kepala tangannya di meja. Barang-barang di pinggiran meja jatuh dan berhamburan di lantai ketika sekali lagi ia menghantamkan kepalan tersebut di meja dengan teriakan yang keras. Amarah memenuhi dadanya, meluap-luap tak terkendali sekaligus berusaha ia tahan setengah mati.Berani-beraninya gadis licik itu menantangnya?Beraninya berpikir akan bisa menentang perintahnya?Kepatuhan, kepasrahan, dan kepolosan Davina kali ini terasa lebih sulit ia kendalikan. Dan kesulitan itu meningkat berkali-kali hanya dalam satu malam. Sampai pada tingkat ia mulai kehilangan kontrol untuk mengendalikan gadis itu.Dan yang lebih membuatnya frustrasi adalah … kenapa gadis sialan itu berhasil mengusik dirinya? Lebih banyak dan lebih besar daripada yang diinginkannya. Daripada seharusnya. Davina hanya pelayannya. Pemuas nafsunya dan samsak balas dendamnya.Setelah semua sikap kasar dan“Kau terlihat berapi-api, Dirga.” Clay mela