“A-aku …” Davina tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika bibirnya dilumat oleh Dirga. Membungkam jawaban apa pun yang hendak ia ucapkan.Davina tersentak kaget, menarik wajahnya mundur menyadari mereka berada di tempat umum. Wajahnya merah padam merasakan pandangan orang di sekitar mereka.Dirga terkekeh. Membiarkan Davina kembali tenang di kursinya ketika ponselnya berdering. Sekilas ia melirik siapa pemanggilnya, kemudian menoleh ke arah Clay.“Siapa?”“Aku akan kembali dalam sepuluh menit. Awasi dia,” perintah Dirga sebelum beranjak dan melangkah pergi.“Kali ini kau selamat. Di antara kesialanmu, ternyata kau masih memiliki sedikit keberuntungan, ya?”Davina tak menanggapi. Makanan pembuka sudah mulai disiapkan dan ia memilih mengalihkan perhatian pada kue coklat di hadapannya. Hingga makanan utama disajikan, Clay tak lagi mengganggunya dan Dirga masih belum kembali.“Jadi, kau masih hidup?” Tiba-tiba Galena duduk di kursi kosong tempat Dirga. Raut sinisnya mengamati penampila
Dirga cukup terkejut dengan kata-kata yang baru saja didengarnya dari Davina. Wajahnya seketika menggelap, menyadari ada tantangan yang tersirat di kedua mata Davina. Bahkan gadis licik itu menyebutkan namanya dengan bibir tipis yang sialan menggoda di saat yang bersamaan. Dagu Davina juga sedikit terangkat, menatap langsung kedua matanya. Dengan keberanian yang sembrono mencoba mendikte kata-katanya yang memang sengaja untuk merendahkan gadis itu.“Kau bilang apa?” desis Dirga tajam.Davina menelan ludahnya, mencoba mengenyahkan ketakutan akan amarah Dirga yang begitu besar.“Tidakkah, kau merasa perlu berhenti dengan kata-katamu?” Suara Davina keluar dengan lirih. “Kau sudah berlebihan.”Dirga menyeringai. “Kau berani melawanku?”Davina terdiam. Ada ketakutan yang mulai merayapi dadanya dengan kemurkaan yang menguar dari tubuh Dirga. Ia menggigit bibir bagian dalamnya demi menahan gemetar yang mulai menyerang tubuhnya.“Kau benar-benar bocah yang tak tahu diri.” Dirga mendorong tubu
Langkah Dirga yang tengah menyeberangi ruang tengah terhenti ketika berpapasan dengan Davina yang baru keluar dari area dapur. Pandangan pria itu mengeras mengamati penampilan Davina. Pakaian yang dikenakan jelas adalah sebuah penantangan. Gadis itu jelas tahu semua pakaian yang sudah ia beli untuk Davina.Seolah belum cukup menerima semua kemarahan yang sudah ia lampiaskan, sekarang Davina masih berpikir ingin menguji kesabarannya. “Bawakan segelas teh,” perintahnya dengan bibir yang menipis tajam.Davina tak mengangguk. Gadis itu menatap wajah Dirga dengan ketenangan yang mati-matian ia pertahankan. “Aku akan langsung ke atas.”Wajah Dirga memias. Matanya menyipit lebih tajam pada Davina yang bukannya berbalik ke arah dapur, malah mendekati tangga. Dalam tiga langkah besarnya, ia menangkap lengan Davina. “Kau tak mendengar perintahku?”“Kau tak butuh teh itu. Yang kau inginkan hanya tubuhku, kan?”Kata-kata Davina benar adanya. Yang ia inginkan hanya tubuh gadis licik ini, tetapi ka
Part 20 Rencana Di Atas RencanaDirga menggeram keras sambil membanting kedua kepala tangannya di meja. Barang-barang di pinggiran meja jatuh dan berhamburan di lantai ketika sekali lagi ia menghantamkan kepalan tersebut di meja dengan teriakan yang keras. Amarah memenuhi dadanya, meluap-luap tak terkendali sekaligus berusaha ia tahan setengah mati.Berani-beraninya gadis licik itu menantangnya?Beraninya berpikir akan bisa menentang perintahnya?Kepatuhan, kepasrahan, dan kepolosan Davina kali ini terasa lebih sulit ia kendalikan. Dan kesulitan itu meningkat berkali-kali hanya dalam satu malam. Sampai pada tingkat ia mulai kehilangan kontrol untuk mengendalikan gadis itu.Dan yang lebih membuatnya frustrasi adalah … kenapa gadis sialan itu berhasil mengusik dirinya? Lebih banyak dan lebih besar daripada yang diinginkannya. Daripada seharusnya. Davina hanya pelayannya. Pemuas nafsunya dan samsak balas dendamnya.Setelah semua sikap kasar dan“Kau terlihat berapi-api, Dirga.” Clay mela
Saat Dirga masuk ke dalam kamar, Davina sudah berbaring tidur di sisi ranjang. Mengenakan kaos putih dan celana karet berwarna abu tua yang ujungnya digulung hingga di mata kaki. Gadis itu memang terlihat seksi dan menggairahkan apa pun yang dikenakan. Langkahnya sempat terhenti di ujung tempat tidur, menatap wajah Davina yang begitu nyenyak dalam tidur. Sementara sesuatu di dadanya bergemuruh menginginkan gadis itu.Ujung bibirnya berkedut tak suka dengan keinginan yang selalu saja muncul setiap kali melihat Davina. Dendam dan keinginan yang seolah saling bertautan, membuatnya kesal saat dendamnya mulai memudar dengan keinginan yang terlalu banyak terhadap gadis itu.Kata-kata Clay dan Brian kembali berdengung di kepalanya.‘Kenapa kau bertanya jika memang tak ingin membaginya, Dirga? Apakah dia memang semanis dan semenyenangkan itu ketika di tempat tidur?’‘Ck, kau masih saja posesif, Dirga. Jika masih saja seperti ini, apa kau tidak belajar apa yang terjadi pada Sesil?’Bibirnya me
Dirga melempar pistol di tangannya dan melompat ke arah Davina. Ia hanya terlambat sedetik, satu gerakan mematikan Davina berhasil membuat amarah mendidih di ubun-ubunnya. Ia tercengang dengan keras akan kenekatan gadis licik itu yang membuat darah segar mengucur dari pergelangan tangan Davina.Kedua lengannya berhasil menangkap kepala gadis itu sebelum jatuh membentur lantai, sementara tangannya yang lain memegang pergelangan tangan Davina. Ia masih bisa merasakan darah merembes di antara sela-sela jemarinya. Dengan sigap, meletakkan kepala Davina di pangkuannya dan menyambar sapu tangan yang diulurkan pengawalnya dan langsung membebat pergelangan gadis itu. Sambil memerintah untuk menyiapkan mobil ke rumah sakit.Dirga menggendong tubuh Davina dan setengah berlari keluar. Menyusul si pengawal yang sudah keluar lebih dulu dan siap dengan mobil di depan teras. Perjalanan lebih singkat dari biasanya karena jalanan yang lengang. Begitu sampai di ruang IGD, Davina langsung dibawa ke rua
Davina sama sekali tak berani bersuara sepanjang perjalanan. Tampaknya Dirga pun tak berminat untuk berbasa-basi. Pria itu hanya duduk terdiam, dengan pandangan mengarah ke depan tetapi konsentrasinya jelas bukan pada jalanan. Tenggelam dalam pikirannya. Kerutan yang dalam di kening pria itu menunjukkan seberapa kerasnya pria itu berpikir. Entah apa yang coba direncanakan oleh Dirga, ia hanya berharap itu sama sekali tak ada hubungannya dengan sang paman.Kecepatan mobil berkurang dan melewati pintu gerbang. Berhenti di teras. Davina melihat dua orang yang berdiri menunggu di teras. Bukan pelayan, tetapi hanya sekilas ia menyadari itu Clay, dan … pandangan Davina membeku mengenali pria lainnya yang berdiri di samping Clay adalah Brian. Sang paman.Kepucatan seketika memenuhi wajah Davina. Hanya beberapa saat yang lalu Dirga mengetahui tentang pamannya dan sekarang sang paman ada di sana.“Turun!” perintah Dirga dengan kasar ketika Davina hanya duduk terbengong menatap ke arah teras se
“Maaf, maafkan aku, Rega.” Erang kesakitan membangunkan Davina. Mata gadis itu segera terbuka dan menoleh ke samping. Melihat kepala Dirga yang bergerak ke kiri dan kanan degan mata masih terpejam. Sementara wajah pria itu dibanjiri keringat. “Aku tak akan memaafkan mereka. Aku tak akan mengampuni mereka.”“Rega. Jangan tinggalkan aku.”“Kumohon.”“Aku tak bisa hidup tanpamu.”Davina bangun terduduk mendengarkan kata-kata yang tak asing tersebut bercampur dalam erangan Dirga. Ya, ini memang bukan pertama kalinya Dirga bermimpi buruk dan tapi ini pertama kalinya Dirga mengerangkan nama Rega. Dengan kata-kata yang sama dan berulang kali. Penuh penyesalan yang pedih.“D-dirga?” Tangan Davina terulur, menyentuh pundak Dirga dan menggoyang pelan. Berusaha membangunkan pria itu.“Maaf, maafkan aku, Rega.”Sekali lagi Davina menggoyang pundak Dirga, kali ini lebih keras. Mata Dirga terbuka sepenuhnya dan napasnya terengah keras. Bertatapan dengan Davina yang duduk dan tubuh condong ke arahny