“Maaf, maafkan aku, Rega.” Erang kesakitan membangunkan Davina. Mata gadis itu segera terbuka dan menoleh ke samping. Melihat kepala Dirga yang bergerak ke kiri dan kanan degan mata masih terpejam. Sementara wajah pria itu dibanjiri keringat. “Aku tak akan memaafkan mereka. Aku tak akan mengampuni mereka.”“Rega. Jangan tinggalkan aku.”“Kumohon.”“Aku tak bisa hidup tanpamu.”Davina bangun terduduk mendengarkan kata-kata yang tak asing tersebut bercampur dalam erangan Dirga. Ya, ini memang bukan pertama kalinya Dirga bermimpi buruk dan tapi ini pertama kalinya Dirga mengerangkan nama Rega. Dengan kata-kata yang sama dan berulang kali. Penuh penyesalan yang pedih.“D-dirga?” Tangan Davina terulur, menyentuh pundak Dirga dan menggoyang pelan. Berusaha membangunkan pria itu.“Maaf, maafkan aku, Rega.”Sekali lagi Davina menggoyang pundak Dirga, kali ini lebih keras. Mata Dirga terbuka sepenuhnya dan napasnya terengah keras. Bertatapan dengan Davina yang duduk dan tubuh condong ke arahny
Dirga bangun dengan rasa tak nyaman yang ada di kening. Juga tekanan di lengan. Kepalanya terasa pening meski tak mengganggunya. Ya, sejak kemarin siang ia sudah merasa tak enak badan. Saat pulang pun ia harus menyelesaikan sedikit pekerjaan yang tersisa hingga makan malam. Brian datang dengan setumpuk masalah lainnya, tetapi tak bisa ia tangani karena pusing di kepalanya semakin tak tertahankan. Memutuskan untuk naik ke tempat tidur.Ia pikir setelah tidur lebih awal pusingnya akan berkurang, tetapi pening itu masih terasa. Dan … keningnya berkerut menemukan handuk lembablah yang menempel di keningnya. Kemudian ia sedikit mengangkat kepalanya, menemukan kepala Davina yang berbaring di lengannya. Pandangannya sedikit ke atas dan menemukan baskom di meja nakas.Ada kejanggalan di hatinya ketika memikirkan apa yang sudah Davina lakukan untuknya. Tetapi ia segera mematikan perasaannya dan menyentakkan lengannya. Meski tidak kasar, tapi sentakannya cukup kuat untuk membangunkan Davina.Da
“Paman?”Brian menoleh, menyadari suara Davina yang bergetar. Tangannya terulur dan menggenggam tangan keponakannya. “Tenanglah. Kau sudah bebas.”“Apa paman membunuhnya?” Davina menoleh perlahan. Semakin yakin apa yang dilakukannya tidak benar.Brian tak menjawab. Ia tak yakin di mana tadi menembak Dirga karena kejadiannya begitu tiba-tiba. Rasa bersalah, dan frustrasi bercampur aduk. Lebih buruk ketika ia terlambat menyelamatkan Rega dari tangan Jimi.“Hentikan mobilnya, Paman.”Wajah Brian seketika terkejut, fokusnya pada jalanan mulai teralih dengan kata-kata Davina.“Apa paman melakukan ini karena ayahku?”“Tidak, Davina. Paman memang mencarimu.” Ada keraguan dalam suaranya. Salah satu ancaman Jimi juga yang mendorongnya melakukan semua cara ini.“Aku tak mungkin menggunakan kebebasanku dengan kematiannya.”“Dia belum tentu mati.”“Dia juga belum tentu hidup.”Brian mendesah dengan gusar.“Paman mengkhianatinya. Seperti yang ayah lakukan padanya. Ini tidak adil untuknya.”“Dan ya
Langkah Dirga terhenti.“Sejak kecil, bahkan untuk mendapatkan ayahnya yang seorang berengsek dan ibu yang sakit-sakitan. Pun setelah ibunya meninggal, sekarang kau yang merenggut hidupnya. Kau tak lebih baik dari Jimi, Dirga.”Ada selintas emosi muncul di wajah Dirga.‘Kita tak bisa memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih hidup seperti apa yang kita inginkan? Tidakkah terlaku egoosi jika memaksa anak untuk membayar dendam orang tuanya?’Mata Dirga terpejam ketika kata-kata itu melintas di benaknya. Suara yang manis dan menenangkan. Yang tak pernah ia lupakan hingga saat ini. Tapi saat matanya terbuka, emosi di kedua matanya menguat dan ia berkata dengan dingin, “Dia bukan Rega.”Kedua pundak semakin turun, matanya terpejam dan setetes air mata jatuh di pipinya. “Maafkan paman, Davina,” rintihnya penuh sesal.***Davina terduduk di tepian ranjang ketika pintu kamar dibuka dan dibanting tertutup. Ia menolah dan Dirga melintasi ruangan tanpa melirik kepadanya
Sejak malam itu, Davina kembali menjadi pelayan yang patuh untuk Dirga. Tak ada keributan yang berarti meski Dirga seolah sengaja mencari-cari kesalahan gadis licik itu. Bahkan hanya untuk pakaiannya yang kusut. Seperti pagi ini.Dirga melempar kemeja tersebut ke lantai. “Lagi-lagi kau tidak melakukan tugasmu dengan baik.”“Aku akan mendapatkan kemeja yang lain.” Davina kembali mendekati lemari pakaian Dirga dan mengambil kemeja dengan warna yang sama. Memastikan setiap sisi kain tersebut benar-benar licin sebelum membawanya pada Dirga.Dirga menyambar kemejanya dan mengenakannya. Tetapi pandangannya kemudian beralih pada dress biru laut yang dipakai oleh gadis licik itu. Kainnya yang tipis membentuk di tubuh Davina. Dengan belahan yang rendah sehingga belahan dada gadis itu terlihat jelas. “Ganti pakaianmu. Aku tak suka.”Davina mengangguk, berjalan mendekati lemari pakaiannya dan mengambil dress yang berada tepat di hadapannya.“Aku tak mengatakan kau boleh pergi,” desis Dirga sebel
Davina menarik selimut menutupi tubuhnya, menoleh ke arah pintu dan beringsut menjauh. Sementara Dirga duduk di sofa panjang, menurunkan ponselnya dan menyeringai dengan ketakutan di wajah Davina. Kemarahan di dadanya belum surut.“A-apa kau akan benar-benar melakukan ini padaku?” cicit Davina, memegang erat kuat menutupi dadanya dan punggungnya bersandar di kepala ranjang.“Tanpa keraguan sedikit pun.”“Apakah itu akan membuatmu puas?”Dirga hanya menyeringai. Pintu kamarnya tertutup dan Clay melangkah masuk. Pandangan pria itu langsung menemukan Dirga di sofa dan Davina yang meringkuk di kepala ranjang. Melihat kekacauan di tempat tidur, sudah jelas apa yang baru saja terjadi.“Kau yakin dengan kata-katamu?” Clay mendekati Dirga yang tak melepaskan pandangan sedikit pun dari tubuh Davina telanjang yang bergetar di balik selimut.Dirga mengangguk.“Di sini?”“Aku akan menjadi penonton untuk kalian.” Dirga mendapatkan posisi yang nyaman yang mengarah tepat ke tempat tidur.Clay mengan
“Apa kau akan berhenti mengoceh hanya karena aku menyangkal?” dengus Dirga menyamarkan keterkejutan pada dirinya sendiri. Kepalanya berputar ke samping dan beruntung Davina muncul, gadis itu melangkah keluar dengan raut yang masih pucat dan tubuh yang kurus dari yang Dirga duga. Wajah Davina juga terlihat lebih tirus dengan mata yang cekung. Sesuatu di dada Dirga seolah bergejolak marah melihat kondisi gadis itu yang semakin menurun karena kehamilan. Setiap pagi Davina selalu muntah, padahal makanan yang masuk ke dalam perut gadis itu juga tak seberapa. Dirga sendiri tak menyangka ternyata sebuah kehamilan bisa sesulit itu. Tetapi, bukankah ini yang diinginkan dari gadis itu. Setiap derita Davina Riley. Sial, bahkan sekarang nama gadis itu adalah Davina Dirgantara.Davina naik ke dalam mobil dengan kepala yang masih pusing karena dibangunkan tiba-tiba oleh Meera. Wanita itu mengatakan kalau DIrga sudah menunggunya di dalam mobil. Saat itulah ia baru teringat jika Dirga menyuruhnya be
“Buka mulutmu.” Dirga mendekatkan sesuap bubur ke mulut Davina.Davina hanya menatap sendok bubur tersebut. Bau amis yang semakin menusuk hidungnya kali ini membuatnya harus menutup mulut dengan telapak tangan. Sejak nampan makan paginya dibawa ke dalam ruangan, aroma yang samar-samar menguar sudah membuatnya mual, dan sekarang Davina benar-benar akan muntah. “Kumohon, singkirkan itu. Kepalaku pusing.”Wajah Dirga kembali mengeras. Sejak tadi gadis itu benar-benar berlagak menolak ini dan itu darinya. Matanya menyipit mengamati lebih dalam ekspresi di wajah Davina, tetapi melihat pelipis gadis itu yang mulai basah oleh keringat membuatnya mengalah. Dirga setengah membanting sendok kembali ke mangkuk dan membawa nampan tersebut menjauh.“Sebenarnya apa yang kau inginkan, hah?” sergah Dirga dengan gusar. “Apa kau memang sengaja ingin mati kelaparan, hah?”“Kau pikir ini juga tidak menyulitkanku? Aku kelaparan, tapi perutku selalu menolak makanan apa pun yang masuk ke mulutku. Aku bahka
Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang
Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i
Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk
Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat
Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen
Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m
Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya
Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t
‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin