Langkah Dirga terhenti.“Sejak kecil, bahkan untuk mendapatkan ayahnya yang seorang berengsek dan ibu yang sakit-sakitan. Pun setelah ibunya meninggal, sekarang kau yang merenggut hidupnya. Kau tak lebih baik dari Jimi, Dirga.”Ada selintas emosi muncul di wajah Dirga.‘Kita tak bisa memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih hidup seperti apa yang kita inginkan? Tidakkah terlaku egoosi jika memaksa anak untuk membayar dendam orang tuanya?’Mata Dirga terpejam ketika kata-kata itu melintas di benaknya. Suara yang manis dan menenangkan. Yang tak pernah ia lupakan hingga saat ini. Tapi saat matanya terbuka, emosi di kedua matanya menguat dan ia berkata dengan dingin, “Dia bukan Rega.”Kedua pundak semakin turun, matanya terpejam dan setetes air mata jatuh di pipinya. “Maafkan paman, Davina,” rintihnya penuh sesal.***Davina terduduk di tepian ranjang ketika pintu kamar dibuka dan dibanting tertutup. Ia menolah dan Dirga melintasi ruangan tanpa melirik kepadanya
Sejak malam itu, Davina kembali menjadi pelayan yang patuh untuk Dirga. Tak ada keributan yang berarti meski Dirga seolah sengaja mencari-cari kesalahan gadis licik itu. Bahkan hanya untuk pakaiannya yang kusut. Seperti pagi ini.Dirga melempar kemeja tersebut ke lantai. “Lagi-lagi kau tidak melakukan tugasmu dengan baik.”“Aku akan mendapatkan kemeja yang lain.” Davina kembali mendekati lemari pakaian Dirga dan mengambil kemeja dengan warna yang sama. Memastikan setiap sisi kain tersebut benar-benar licin sebelum membawanya pada Dirga.Dirga menyambar kemejanya dan mengenakannya. Tetapi pandangannya kemudian beralih pada dress biru laut yang dipakai oleh gadis licik itu. Kainnya yang tipis membentuk di tubuh Davina. Dengan belahan yang rendah sehingga belahan dada gadis itu terlihat jelas. “Ganti pakaianmu. Aku tak suka.”Davina mengangguk, berjalan mendekati lemari pakaiannya dan mengambil dress yang berada tepat di hadapannya.“Aku tak mengatakan kau boleh pergi,” desis Dirga sebel
Davina menarik selimut menutupi tubuhnya, menoleh ke arah pintu dan beringsut menjauh. Sementara Dirga duduk di sofa panjang, menurunkan ponselnya dan menyeringai dengan ketakutan di wajah Davina. Kemarahan di dadanya belum surut.“A-apa kau akan benar-benar melakukan ini padaku?” cicit Davina, memegang erat kuat menutupi dadanya dan punggungnya bersandar di kepala ranjang.“Tanpa keraguan sedikit pun.”“Apakah itu akan membuatmu puas?”Dirga hanya menyeringai. Pintu kamarnya tertutup dan Clay melangkah masuk. Pandangan pria itu langsung menemukan Dirga di sofa dan Davina yang meringkuk di kepala ranjang. Melihat kekacauan di tempat tidur, sudah jelas apa yang baru saja terjadi.“Kau yakin dengan kata-katamu?” Clay mendekati Dirga yang tak melepaskan pandangan sedikit pun dari tubuh Davina telanjang yang bergetar di balik selimut.Dirga mengangguk.“Di sini?”“Aku akan menjadi penonton untuk kalian.” Dirga mendapatkan posisi yang nyaman yang mengarah tepat ke tempat tidur.Clay mengan
“Apa kau akan berhenti mengoceh hanya karena aku menyangkal?” dengus Dirga menyamarkan keterkejutan pada dirinya sendiri. Kepalanya berputar ke samping dan beruntung Davina muncul, gadis itu melangkah keluar dengan raut yang masih pucat dan tubuh yang kurus dari yang Dirga duga. Wajah Davina juga terlihat lebih tirus dengan mata yang cekung. Sesuatu di dada Dirga seolah bergejolak marah melihat kondisi gadis itu yang semakin menurun karena kehamilan. Setiap pagi Davina selalu muntah, padahal makanan yang masuk ke dalam perut gadis itu juga tak seberapa. Dirga sendiri tak menyangka ternyata sebuah kehamilan bisa sesulit itu. Tetapi, bukankah ini yang diinginkan dari gadis itu. Setiap derita Davina Riley. Sial, bahkan sekarang nama gadis itu adalah Davina Dirgantara.Davina naik ke dalam mobil dengan kepala yang masih pusing karena dibangunkan tiba-tiba oleh Meera. Wanita itu mengatakan kalau DIrga sudah menunggunya di dalam mobil. Saat itulah ia baru teringat jika Dirga menyuruhnya be
“Buka mulutmu.” Dirga mendekatkan sesuap bubur ke mulut Davina.Davina hanya menatap sendok bubur tersebut. Bau amis yang semakin menusuk hidungnya kali ini membuatnya harus menutup mulut dengan telapak tangan. Sejak nampan makan paginya dibawa ke dalam ruangan, aroma yang samar-samar menguar sudah membuatnya mual, dan sekarang Davina benar-benar akan muntah. “Kumohon, singkirkan itu. Kepalaku pusing.”Wajah Dirga kembali mengeras. Sejak tadi gadis itu benar-benar berlagak menolak ini dan itu darinya. Matanya menyipit mengamati lebih dalam ekspresi di wajah Davina, tetapi melihat pelipis gadis itu yang mulai basah oleh keringat membuatnya mengalah. Dirga setengah membanting sendok kembali ke mangkuk dan membawa nampan tersebut menjauh.“Sebenarnya apa yang kau inginkan, hah?” sergah Dirga dengan gusar. “Apa kau memang sengaja ingin mati kelaparan, hah?”“Kau pikir ini juga tidak menyulitkanku? Aku kelaparan, tapi perutku selalu menolak makanan apa pun yang masuk ke mulutku. Aku bahka
Tengah malam, Davina terbangun karena rasa lapar yang mendadak datang. Lampu ruangan sudah diatur redup dan di seberang ruangan ia mendengar dengkur halus Dirga. Ia menyingkap selimut dengan perlahan dan bangun terduduk. Hanya ada air putih di samping nakas. Entah jam berapa ini, Davina hanya menduga sekitar jam satu atau dua.Apakah kantin rumah sakit buka tengah malam begini? Mungkin juga ada cafe atau mini market di sekitar rumah sakit yang buka 24 jam. Ia ingin makan sesuatu yang manis. Coklat. Tapi … pandangannya beralih pada Dirga yang ada masih terlelap.Tidak. Ia tidak mungkin mengganggu pria itu. Setelah sepanjang hari sudah mengatur semua asupan gizi ke dalam mulutnya, dan entah bagaimana caranya semua itu berhasil masuk ke dalam perut tanpa ia muntahkan. Sikap pria itu memang sedikit lebih baik, walau terkadang masih mengucapkan kata-kata kasar dan tanpa hati, tatapan pria itu terasa berbeda. Ck, untuk apa lagi ia memikirkan pria itu. Seolah kebencian dan kemarahan yang s
Saat Dirga kembali ke ruang perawatan Davina, Gadis itu sudah kelelahan menunggu dan hampir terlelap kembali. Tetapi satu lumatan yang mengusap biirnya membangunkannya secara tiba-tiba.“Aku sudah bersusah payah memenuh keinginanmu dan kau ingin tidur dengan membiarkan anakku kelaparan?” Tatapan Dirga menajam dengan peringatan meski masih ada kelembutan di sana. pria itu segera menegakkan punggung dan membuka kantong plastik yang baru saja dibawanya. Mengambil sebuah kotak berwarna emas dan membuka pembungkusnya sementara Davina bangun terduduk.Tanpa sadar, binar keceriaan muncul di kedua matanya, yang dengan tak sabaran menjilat bibirnya yang kering. “K-kau mendapatkannya?”Dirga menatap ekspresi Davina sambil duduk di tepi ranjang. “Ya, aku harus mendapatkannya untuk kepentingan anakku, kan?”Tangan Davina yang sudah terangkat hendak mengambil salah satu bola coklat yang masih terbungkus plastik emas. Tangannya berhenti di udara dan ia mengangguk. Ya, ia cukup sadar diri. Semua pe
Sesampai di kamar, Davina duduk di tepi ranjang sementara Dirga masuk ke dalam kamar mandi. Perasaannya tak berhenti mengkhawatirkan kejadian di lobi rumah sakit dan mencemaskan sang paman. Ia bahkan tak punya ponsel untuk menghubungi pamannya. Ponsel yang diberikan sang paman berhasil ditemukan oleh Dirga di dalam lemari beberapa hari setelah malam itu.Getaran ringan dari arah nakas memecah lamunannya, ia melihat ponsel Dirga yang bergetar menampilkan nama Clay. Davina menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, suara gemericik air terdengar samar-samar.Panggilan tersebut berhenti. Tetapi Davina memang sama sekali tak berniat mengangkat. Hanya saja, ide itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia mencoba peruntungannya dan mengambil ponsel tersebut. Sungguh beruntung ponsel tersebut tidak terlindungi oleh password. Yang pertama ia lakukan adalah mencari nama sang paman di kontak. Ya, pamannya adalah teman Dirga, kan. Jadi pasti ada kontak sang paman di sana.Brian Danish.Davin