Tengah malam, Davina terbangun karena rasa lapar yang mendadak datang. Lampu ruangan sudah diatur redup dan di seberang ruangan ia mendengar dengkur halus Dirga. Ia menyingkap selimut dengan perlahan dan bangun terduduk. Hanya ada air putih di samping nakas. Entah jam berapa ini, Davina hanya menduga sekitar jam satu atau dua.Apakah kantin rumah sakit buka tengah malam begini? Mungkin juga ada cafe atau mini market di sekitar rumah sakit yang buka 24 jam. Ia ingin makan sesuatu yang manis. Coklat. Tapi … pandangannya beralih pada Dirga yang ada masih terlelap.Tidak. Ia tidak mungkin mengganggu pria itu. Setelah sepanjang hari sudah mengatur semua asupan gizi ke dalam mulutnya, dan entah bagaimana caranya semua itu berhasil masuk ke dalam perut tanpa ia muntahkan. Sikap pria itu memang sedikit lebih baik, walau terkadang masih mengucapkan kata-kata kasar dan tanpa hati, tatapan pria itu terasa berbeda. Ck, untuk apa lagi ia memikirkan pria itu. Seolah kebencian dan kemarahan yang s
Saat Dirga kembali ke ruang perawatan Davina, Gadis itu sudah kelelahan menunggu dan hampir terlelap kembali. Tetapi satu lumatan yang mengusap biirnya membangunkannya secara tiba-tiba.“Aku sudah bersusah payah memenuh keinginanmu dan kau ingin tidur dengan membiarkan anakku kelaparan?” Tatapan Dirga menajam dengan peringatan meski masih ada kelembutan di sana. pria itu segera menegakkan punggung dan membuka kantong plastik yang baru saja dibawanya. Mengambil sebuah kotak berwarna emas dan membuka pembungkusnya sementara Davina bangun terduduk.Tanpa sadar, binar keceriaan muncul di kedua matanya, yang dengan tak sabaran menjilat bibirnya yang kering. “K-kau mendapatkannya?”Dirga menatap ekspresi Davina sambil duduk di tepi ranjang. “Ya, aku harus mendapatkannya untuk kepentingan anakku, kan?”Tangan Davina yang sudah terangkat hendak mengambil salah satu bola coklat yang masih terbungkus plastik emas. Tangannya berhenti di udara dan ia mengangguk. Ya, ia cukup sadar diri. Semua pe
Sesampai di kamar, Davina duduk di tepi ranjang sementara Dirga masuk ke dalam kamar mandi. Perasaannya tak berhenti mengkhawatirkan kejadian di lobi rumah sakit dan mencemaskan sang paman. Ia bahkan tak punya ponsel untuk menghubungi pamannya. Ponsel yang diberikan sang paman berhasil ditemukan oleh Dirga di dalam lemari beberapa hari setelah malam itu.Getaran ringan dari arah nakas memecah lamunannya, ia melihat ponsel Dirga yang bergetar menampilkan nama Clay. Davina menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, suara gemericik air terdengar samar-samar.Panggilan tersebut berhenti. Tetapi Davina memang sama sekali tak berniat mengangkat. Hanya saja, ide itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia mencoba peruntungannya dan mengambil ponsel tersebut. Sungguh beruntung ponsel tersebut tidak terlindungi oleh password. Yang pertama ia lakukan adalah mencari nama sang paman di kontak. Ya, pamannya adalah teman Dirga, kan. Jadi pasti ada kontak sang paman di sana.Brian Danish.Davin
“K-kau tidak keluar?” Setelah beberapa saat menunggu dan tak ada tanda-tanda Dirga akan keluar.“Selesaikan urusanmu.”“A-aku ingin buang air kecil.”“Ya, lakukanlah. Kita sudah terbiasa saling melihat saat telanjang, kan? Kenapa kau berpura gugup hanya karena aku ada di kamar mandi.”“Aku tak pernah mengamatimu ketika sedang buang air kecil.”Dirga mendesah jengah. “Memangnya apa yang ingin kau sembunyikan dariku, hah? Diam-diam menghubungi pamanmu?”Davina tergelagap.“Kau pikir aku tak akan tahu hanya karena kau sudah menghapus riwayatnya, hah?”“A-aku hanya mengkhawatirkan keadaannya.” Suara Davina semakin melirih dengan wajah yang semakin tertunduk. “Aku mendapatkan luka yang sama dan kau bahkan tak perlu berpikir untuk langsung menghampirinya jika aku tidak mencegahmu, kan?”Davina seketika terdiam. Tapi … bukankah sudah ada Reyna yang mengurus luka Dirga?“B-bisakah aku keluar? Aku tidak bisa melakukannya.”Dirga menatap wajah Davina yang setengahnya tertutup rambut gadis itu
"Pernikahan ini sama sekali tak ada artinya, Meera. Dia bukan suamiku dan aku bukan istrinya. Jangan mengungkit tentang hal itu.""Pernikahan ini sama sekali bukan apa-apa. Aku bahkan menganggapnya tak pernah terjadi. Aku berharap bisa menghilangkan ingatanku yang satu itu."Dirga bahkan lebih dibuat marah dengan pernyataan Davina tersebut ketimbang memergoki gadis itu sedang membuang tenaga atau waktu di dapur. Mencurahkan hati sialan pada sesama pelayan. Sial. Bahkan tak seharusnya gadis licik itu berhak bicara hal semacam itu.Davina nyaris terserimpet kakinya sendiri karena dipaksa mengikuti langkah Dirga yang terburu. Tubuhnya tertarik ke depan, membentur dada Dirga ketika pria itu tiba-tiba berhenti."Tidak bisakah kau memperhatikan langkahmu, hah?"Davina menegakkan punggungnya dan berdiri dengan kedua kakinya. Bukankah pria itu yang membuatnya terjatuh? Kenapa mendadak Dirga menjadi begitu uring-uringan?"Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dalam setiap langkahmu ag
Saat Dirga kembali ke kamar, ia tak menemukan Davina di tempat tidur. Tapi pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan suara muntahan yang terdengar membuatnya gegas berlari menghampiri gadis itu. Di kamar mandi, Davina bersimpuh di depan lubang toilet dan memuntahkan isi perutnya. Dirga membungkuk di belakang gadis itu, mengusap punggung dan menguncir rambut Davina yang terurai dengan tangannya yang lain. "Kau baik-baik saja?"Davina menjawab dengan satu muntahan lagi. Lonjakan dari dalam perutnya begitu kuat hingga air mata merembes di ujung matanya. Tetapi muntahan kali ini membuat perutnya merasa lebih baik dan ia tahu sesi muntahan tersebut akan segera berakhir.Setelah napasnya mulai kembali normal, Dirga membantu Davina bangun dari simpuh dan duduk di pinggiran bath up. Kemudian menutup lubang toilet dan menyalakan flush, lalu menyambar tisu dari meja wastafel dan membersihkan keringat di wajah dan sisa muntahan di sekitar bibir Davina."Kau ingin minum?"Davina mengangguk den
“Kau belum tidur?” Dirga akhirnya bersuara karena sejak tadi Davina bergerak ke kanan dan kiri dengan tak nyaman.Davina menoleh ke belakang, melihat Dirga yang ternyata matanya masih terbuka padahal sejak tadi pria itu sama sekali tak bergerak dan bersuara. “Kau belum tidur?”“Aku bertanya padamu lebih dulu.”Davina menggeleng pelan. “Bolehkah aku berjalan-jalan sebentar, perutku terasa tidak nyaman.”“Ini sudah malam, gadis licik.”“Hanya di depan kamar. Jadi langkahku tidak akan mengganggu tidurmu.”Dirga terdiam sejenak. “Di dalam kamar saja. Kupikir kamar ini cukup luas, kan?”Davina tampak terbengong, sekali lagi mengulang perintah Dirga. Biasanya Dirga jelas akan terganggu dengan suara langkahnya, bahkan ketika hanya ke kamar mandi. Dan sekarang pria itu menyuruhnya berjalan-jalan di dalam kamar. Apakah pria itu sengaja menyindirnya?“Tidak jadi.” Davina menggeleng dan kembali berbaring memunggungi Dirga.“Kenapa? Kau khawatir mengganggu tidurku?” Dirga bangun terduduk dan meny
Davina tak mengangguk. Terakhir kontrol, dokter mengatakan pertumbuhan janinnya sudah normal dan sehat. Hanya perlu menjaga asupan gizi. Dirga pun pernah bertanya tentang berhubungan intim pada dokter. Sepertinya hanya untuk ini.“Apakah kau sudah merasa lebih baik?”Entah kenapa Davina mengangguk dan bibirnya langsung ditangkap oleh Dirga. Pria itu melumatnya dengan rakus meski tetap berhati-hati agar tak menyakitinya.“Katakan kalau aku membuatmu tak nyaman,” bisik Dirga tanpa melepaskan pagutannya. Membaringkan tubuh Davina dengan lembut sementara tangannya mulai menelusup ke balik pakaian tidur gadis itu. Menyentuh kulit telanjang Davina yang mulut dan lembut. Luapan gairahnya begitu besar. Bagaimana tidak? Sudah sebulan penuh sejak gadis itu keluar dari rumah sakit, Dirga mati-matian menahan hasratnya setiap kali melihat kulit Davina ketika pakaian gadis itu tersingkap, atau ketika gadis itu sedang berpakaian, atau bahkan ketika melintas di depannya dan aroma manis yang tertangka
Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang
Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i
Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk
Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat
Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen
Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m
Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya
Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t
‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin