“Buka mulutmu.” Dirga mendekatkan sesuap bubur ke mulut Davina.Davina hanya menatap sendok bubur tersebut. Bau amis yang semakin menusuk hidungnya kali ini membuatnya harus menutup mulut dengan telapak tangan. Sejak nampan makan paginya dibawa ke dalam ruangan, aroma yang samar-samar menguar sudah membuatnya mual, dan sekarang Davina benar-benar akan muntah. “Kumohon, singkirkan itu. Kepalaku pusing.”Wajah Dirga kembali mengeras. Sejak tadi gadis itu benar-benar berlagak menolak ini dan itu darinya. Matanya menyipit mengamati lebih dalam ekspresi di wajah Davina, tetapi melihat pelipis gadis itu yang mulai basah oleh keringat membuatnya mengalah. Dirga setengah membanting sendok kembali ke mangkuk dan membawa nampan tersebut menjauh.“Sebenarnya apa yang kau inginkan, hah?” sergah Dirga dengan gusar. “Apa kau memang sengaja ingin mati kelaparan, hah?”“Kau pikir ini juga tidak menyulitkanku? Aku kelaparan, tapi perutku selalu menolak makanan apa pun yang masuk ke mulutku. Aku bahka
Tengah malam, Davina terbangun karena rasa lapar yang mendadak datang. Lampu ruangan sudah diatur redup dan di seberang ruangan ia mendengar dengkur halus Dirga. Ia menyingkap selimut dengan perlahan dan bangun terduduk. Hanya ada air putih di samping nakas. Entah jam berapa ini, Davina hanya menduga sekitar jam satu atau dua.Apakah kantin rumah sakit buka tengah malam begini? Mungkin juga ada cafe atau mini market di sekitar rumah sakit yang buka 24 jam. Ia ingin makan sesuatu yang manis. Coklat. Tapi … pandangannya beralih pada Dirga yang ada masih terlelap.Tidak. Ia tidak mungkin mengganggu pria itu. Setelah sepanjang hari sudah mengatur semua asupan gizi ke dalam mulutnya, dan entah bagaimana caranya semua itu berhasil masuk ke dalam perut tanpa ia muntahkan. Sikap pria itu memang sedikit lebih baik, walau terkadang masih mengucapkan kata-kata kasar dan tanpa hati, tatapan pria itu terasa berbeda. Ck, untuk apa lagi ia memikirkan pria itu. Seolah kebencian dan kemarahan yang s
Saat Dirga kembali ke ruang perawatan Davina, Gadis itu sudah kelelahan menunggu dan hampir terlelap kembali. Tetapi satu lumatan yang mengusap biirnya membangunkannya secara tiba-tiba.“Aku sudah bersusah payah memenuh keinginanmu dan kau ingin tidur dengan membiarkan anakku kelaparan?” Tatapan Dirga menajam dengan peringatan meski masih ada kelembutan di sana. pria itu segera menegakkan punggung dan membuka kantong plastik yang baru saja dibawanya. Mengambil sebuah kotak berwarna emas dan membuka pembungkusnya sementara Davina bangun terduduk.Tanpa sadar, binar keceriaan muncul di kedua matanya, yang dengan tak sabaran menjilat bibirnya yang kering. “K-kau mendapatkannya?”Dirga menatap ekspresi Davina sambil duduk di tepi ranjang. “Ya, aku harus mendapatkannya untuk kepentingan anakku, kan?”Tangan Davina yang sudah terangkat hendak mengambil salah satu bola coklat yang masih terbungkus plastik emas. Tangannya berhenti di udara dan ia mengangguk. Ya, ia cukup sadar diri. Semua pe
Sesampai di kamar, Davina duduk di tepi ranjang sementara Dirga masuk ke dalam kamar mandi. Perasaannya tak berhenti mengkhawatirkan kejadian di lobi rumah sakit dan mencemaskan sang paman. Ia bahkan tak punya ponsel untuk menghubungi pamannya. Ponsel yang diberikan sang paman berhasil ditemukan oleh Dirga di dalam lemari beberapa hari setelah malam itu.Getaran ringan dari arah nakas memecah lamunannya, ia melihat ponsel Dirga yang bergetar menampilkan nama Clay. Davina menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, suara gemericik air terdengar samar-samar.Panggilan tersebut berhenti. Tetapi Davina memang sama sekali tak berniat mengangkat. Hanya saja, ide itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia mencoba peruntungannya dan mengambil ponsel tersebut. Sungguh beruntung ponsel tersebut tidak terlindungi oleh password. Yang pertama ia lakukan adalah mencari nama sang paman di kontak. Ya, pamannya adalah teman Dirga, kan. Jadi pasti ada kontak sang paman di sana.Brian Danish.Davin
“K-kau tidak keluar?” Setelah beberapa saat menunggu dan tak ada tanda-tanda Dirga akan keluar.“Selesaikan urusanmu.”“A-aku ingin buang air kecil.”“Ya, lakukanlah. Kita sudah terbiasa saling melihat saat telanjang, kan? Kenapa kau berpura gugup hanya karena aku ada di kamar mandi.”“Aku tak pernah mengamatimu ketika sedang buang air kecil.”Dirga mendesah jengah. “Memangnya apa yang ingin kau sembunyikan dariku, hah? Diam-diam menghubungi pamanmu?”Davina tergelagap.“Kau pikir aku tak akan tahu hanya karena kau sudah menghapus riwayatnya, hah?”“A-aku hanya mengkhawatirkan keadaannya.” Suara Davina semakin melirih dengan wajah yang semakin tertunduk. “Aku mendapatkan luka yang sama dan kau bahkan tak perlu berpikir untuk langsung menghampirinya jika aku tidak mencegahmu, kan?”Davina seketika terdiam. Tapi … bukankah sudah ada Reyna yang mengurus luka Dirga?“B-bisakah aku keluar? Aku tidak bisa melakukannya.”Dirga menatap wajah Davina yang setengahnya tertutup rambut gadis itu
"Pernikahan ini sama sekali tak ada artinya, Meera. Dia bukan suamiku dan aku bukan istrinya. Jangan mengungkit tentang hal itu.""Pernikahan ini sama sekali bukan apa-apa. Aku bahkan menganggapnya tak pernah terjadi. Aku berharap bisa menghilangkan ingatanku yang satu itu."Dirga bahkan lebih dibuat marah dengan pernyataan Davina tersebut ketimbang memergoki gadis itu sedang membuang tenaga atau waktu di dapur. Mencurahkan hati sialan pada sesama pelayan. Sial. Bahkan tak seharusnya gadis licik itu berhak bicara hal semacam itu.Davina nyaris terserimpet kakinya sendiri karena dipaksa mengikuti langkah Dirga yang terburu. Tubuhnya tertarik ke depan, membentur dada Dirga ketika pria itu tiba-tiba berhenti."Tidak bisakah kau memperhatikan langkahmu, hah?"Davina menegakkan punggungnya dan berdiri dengan kedua kakinya. Bukankah pria itu yang membuatnya terjatuh? Kenapa mendadak Dirga menjadi begitu uring-uringan?"Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dalam setiap langkahmu ag
Saat Dirga kembali ke kamar, ia tak menemukan Davina di tempat tidur. Tapi pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan suara muntahan yang terdengar membuatnya gegas berlari menghampiri gadis itu. Di kamar mandi, Davina bersimpuh di depan lubang toilet dan memuntahkan isi perutnya. Dirga membungkuk di belakang gadis itu, mengusap punggung dan menguncir rambut Davina yang terurai dengan tangannya yang lain. "Kau baik-baik saja?"Davina menjawab dengan satu muntahan lagi. Lonjakan dari dalam perutnya begitu kuat hingga air mata merembes di ujung matanya. Tetapi muntahan kali ini membuat perutnya merasa lebih baik dan ia tahu sesi muntahan tersebut akan segera berakhir.Setelah napasnya mulai kembali normal, Dirga membantu Davina bangun dari simpuh dan duduk di pinggiran bath up. Kemudian menutup lubang toilet dan menyalakan flush, lalu menyambar tisu dari meja wastafel dan membersihkan keringat di wajah dan sisa muntahan di sekitar bibir Davina."Kau ingin minum?"Davina mengangguk den
“Kau belum tidur?” Dirga akhirnya bersuara karena sejak tadi Davina bergerak ke kanan dan kiri dengan tak nyaman.Davina menoleh ke belakang, melihat Dirga yang ternyata matanya masih terbuka padahal sejak tadi pria itu sama sekali tak bergerak dan bersuara. “Kau belum tidur?”“Aku bertanya padamu lebih dulu.”Davina menggeleng pelan. “Bolehkah aku berjalan-jalan sebentar, perutku terasa tidak nyaman.”“Ini sudah malam, gadis licik.”“Hanya di depan kamar. Jadi langkahku tidak akan mengganggu tidurmu.”Dirga terdiam sejenak. “Di dalam kamar saja. Kupikir kamar ini cukup luas, kan?”Davina tampak terbengong, sekali lagi mengulang perintah Dirga. Biasanya Dirga jelas akan terganggu dengan suara langkahnya, bahkan ketika hanya ke kamar mandi. Dan sekarang pria itu menyuruhnya berjalan-jalan di dalam kamar. Apakah pria itu sengaja menyindirnya?“Tidak jadi.” Davina menggeleng dan kembali berbaring memunggungi Dirga.“Kenapa? Kau khawatir mengganggu tidurku?” Dirga bangun terduduk dan meny