Saat Dirga masuk ke dalam kamar, Davina sudah berbaring tidur di sisi ranjang. Mengenakan kaos putih dan celana karet berwarna abu tua yang ujungnya digulung hingga di mata kaki. Gadis itu memang terlihat seksi dan menggairahkan apa pun yang dikenakan. Langkahnya sempat terhenti di ujung tempat tidur, menatap wajah Davina yang begitu nyenyak dalam tidur. Sementara sesuatu di dadanya bergemuruh menginginkan gadis itu.Ujung bibirnya berkedut tak suka dengan keinginan yang selalu saja muncul setiap kali melihat Davina. Dendam dan keinginan yang seolah saling bertautan, membuatnya kesal saat dendamnya mulai memudar dengan keinginan yang terlalu banyak terhadap gadis itu.Kata-kata Clay dan Brian kembali berdengung di kepalanya.‘Kenapa kau bertanya jika memang tak ingin membaginya, Dirga? Apakah dia memang semanis dan semenyenangkan itu ketika di tempat tidur?’‘Ck, kau masih saja posesif, Dirga. Jika masih saja seperti ini, apa kau tidak belajar apa yang terjadi pada Sesil?’Bibirnya me
Dirga melempar pistol di tangannya dan melompat ke arah Davina. Ia hanya terlambat sedetik, satu gerakan mematikan Davina berhasil membuat amarah mendidih di ubun-ubunnya. Ia tercengang dengan keras akan kenekatan gadis licik itu yang membuat darah segar mengucur dari pergelangan tangan Davina.Kedua lengannya berhasil menangkap kepala gadis itu sebelum jatuh membentur lantai, sementara tangannya yang lain memegang pergelangan tangan Davina. Ia masih bisa merasakan darah merembes di antara sela-sela jemarinya. Dengan sigap, meletakkan kepala Davina di pangkuannya dan menyambar sapu tangan yang diulurkan pengawalnya dan langsung membebat pergelangan gadis itu. Sambil memerintah untuk menyiapkan mobil ke rumah sakit.Dirga menggendong tubuh Davina dan setengah berlari keluar. Menyusul si pengawal yang sudah keluar lebih dulu dan siap dengan mobil di depan teras. Perjalanan lebih singkat dari biasanya karena jalanan yang lengang. Begitu sampai di ruang IGD, Davina langsung dibawa ke rua
Davina sama sekali tak berani bersuara sepanjang perjalanan. Tampaknya Dirga pun tak berminat untuk berbasa-basi. Pria itu hanya duduk terdiam, dengan pandangan mengarah ke depan tetapi konsentrasinya jelas bukan pada jalanan. Tenggelam dalam pikirannya. Kerutan yang dalam di kening pria itu menunjukkan seberapa kerasnya pria itu berpikir. Entah apa yang coba direncanakan oleh Dirga, ia hanya berharap itu sama sekali tak ada hubungannya dengan sang paman.Kecepatan mobil berkurang dan melewati pintu gerbang. Berhenti di teras. Davina melihat dua orang yang berdiri menunggu di teras. Bukan pelayan, tetapi hanya sekilas ia menyadari itu Clay, dan … pandangan Davina membeku mengenali pria lainnya yang berdiri di samping Clay adalah Brian. Sang paman.Kepucatan seketika memenuhi wajah Davina. Hanya beberapa saat yang lalu Dirga mengetahui tentang pamannya dan sekarang sang paman ada di sana.“Turun!” perintah Dirga dengan kasar ketika Davina hanya duduk terbengong menatap ke arah teras se
“Maaf, maafkan aku, Rega.” Erang kesakitan membangunkan Davina. Mata gadis itu segera terbuka dan menoleh ke samping. Melihat kepala Dirga yang bergerak ke kiri dan kanan degan mata masih terpejam. Sementara wajah pria itu dibanjiri keringat. “Aku tak akan memaafkan mereka. Aku tak akan mengampuni mereka.”“Rega. Jangan tinggalkan aku.”“Kumohon.”“Aku tak bisa hidup tanpamu.”Davina bangun terduduk mendengarkan kata-kata yang tak asing tersebut bercampur dalam erangan Dirga. Ya, ini memang bukan pertama kalinya Dirga bermimpi buruk dan tapi ini pertama kalinya Dirga mengerangkan nama Rega. Dengan kata-kata yang sama dan berulang kali. Penuh penyesalan yang pedih.“D-dirga?” Tangan Davina terulur, menyentuh pundak Dirga dan menggoyang pelan. Berusaha membangunkan pria itu.“Maaf, maafkan aku, Rega.”Sekali lagi Davina menggoyang pundak Dirga, kali ini lebih keras. Mata Dirga terbuka sepenuhnya dan napasnya terengah keras. Bertatapan dengan Davina yang duduk dan tubuh condong ke arahny
Dirga bangun dengan rasa tak nyaman yang ada di kening. Juga tekanan di lengan. Kepalanya terasa pening meski tak mengganggunya. Ya, sejak kemarin siang ia sudah merasa tak enak badan. Saat pulang pun ia harus menyelesaikan sedikit pekerjaan yang tersisa hingga makan malam. Brian datang dengan setumpuk masalah lainnya, tetapi tak bisa ia tangani karena pusing di kepalanya semakin tak tertahankan. Memutuskan untuk naik ke tempat tidur.Ia pikir setelah tidur lebih awal pusingnya akan berkurang, tetapi pening itu masih terasa. Dan … keningnya berkerut menemukan handuk lembablah yang menempel di keningnya. Kemudian ia sedikit mengangkat kepalanya, menemukan kepala Davina yang berbaring di lengannya. Pandangannya sedikit ke atas dan menemukan baskom di meja nakas.Ada kejanggalan di hatinya ketika memikirkan apa yang sudah Davina lakukan untuknya. Tetapi ia segera mematikan perasaannya dan menyentakkan lengannya. Meski tidak kasar, tapi sentakannya cukup kuat untuk membangunkan Davina.Da
“Paman?”Brian menoleh, menyadari suara Davina yang bergetar. Tangannya terulur dan menggenggam tangan keponakannya. “Tenanglah. Kau sudah bebas.”“Apa paman membunuhnya?” Davina menoleh perlahan. Semakin yakin apa yang dilakukannya tidak benar.Brian tak menjawab. Ia tak yakin di mana tadi menembak Dirga karena kejadiannya begitu tiba-tiba. Rasa bersalah, dan frustrasi bercampur aduk. Lebih buruk ketika ia terlambat menyelamatkan Rega dari tangan Jimi.“Hentikan mobilnya, Paman.”Wajah Brian seketika terkejut, fokusnya pada jalanan mulai teralih dengan kata-kata Davina.“Apa paman melakukan ini karena ayahku?”“Tidak, Davina. Paman memang mencarimu.” Ada keraguan dalam suaranya. Salah satu ancaman Jimi juga yang mendorongnya melakukan semua cara ini.“Aku tak mungkin menggunakan kebebasanku dengan kematiannya.”“Dia belum tentu mati.”“Dia juga belum tentu hidup.”Brian mendesah dengan gusar.“Paman mengkhianatinya. Seperti yang ayah lakukan padanya. Ini tidak adil untuknya.”“Dan ya
Langkah Dirga terhenti.“Sejak kecil, bahkan untuk mendapatkan ayahnya yang seorang berengsek dan ibu yang sakit-sakitan. Pun setelah ibunya meninggal, sekarang kau yang merenggut hidupnya. Kau tak lebih baik dari Jimi, Dirga.”Ada selintas emosi muncul di wajah Dirga.‘Kita tak bisa memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih hidup seperti apa yang kita inginkan? Tidakkah terlaku egoosi jika memaksa anak untuk membayar dendam orang tuanya?’Mata Dirga terpejam ketika kata-kata itu melintas di benaknya. Suara yang manis dan menenangkan. Yang tak pernah ia lupakan hingga saat ini. Tapi saat matanya terbuka, emosi di kedua matanya menguat dan ia berkata dengan dingin, “Dia bukan Rega.”Kedua pundak semakin turun, matanya terpejam dan setetes air mata jatuh di pipinya. “Maafkan paman, Davina,” rintihnya penuh sesal.***Davina terduduk di tepian ranjang ketika pintu kamar dibuka dan dibanting tertutup. Ia menolah dan Dirga melintasi ruangan tanpa melirik kepadanya
Sejak malam itu, Davina kembali menjadi pelayan yang patuh untuk Dirga. Tak ada keributan yang berarti meski Dirga seolah sengaja mencari-cari kesalahan gadis licik itu. Bahkan hanya untuk pakaiannya yang kusut. Seperti pagi ini.Dirga melempar kemeja tersebut ke lantai. “Lagi-lagi kau tidak melakukan tugasmu dengan baik.”“Aku akan mendapatkan kemeja yang lain.” Davina kembali mendekati lemari pakaian Dirga dan mengambil kemeja dengan warna yang sama. Memastikan setiap sisi kain tersebut benar-benar licin sebelum membawanya pada Dirga.Dirga menyambar kemejanya dan mengenakannya. Tetapi pandangannya kemudian beralih pada dress biru laut yang dipakai oleh gadis licik itu. Kainnya yang tipis membentuk di tubuh Davina. Dengan belahan yang rendah sehingga belahan dada gadis itu terlihat jelas. “Ganti pakaianmu. Aku tak suka.”Davina mengangguk, berjalan mendekati lemari pakaiannya dan mengambil dress yang berada tepat di hadapannya.“Aku tak mengatakan kau boleh pergi,” desis Dirga sebel