Beranda / CEO / Pelayan Sang Tuan / 8. Rencana Si Kembar

Share

8. Rencana Si Kembar

Penulis: Luisana Zaffya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 

“David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. 

Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.

“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.

Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. 

“Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman sebelum ia berpindah ke balik kemudi.

“Bagaimana kau menemukanku?”

“Maaf, aku terlambat. Kau tahu hubunganku dan pria tua sialan itu tak baik sehingga aku mengabaikan semua panggilan dan pesan darinya. Tapi … hari itu aku tak sengaja mendengarkan pesan suaranya. Dia mengatakan kau dalam bahaya.”

“Ayah menghubungimu?”

David mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari arah jalanan.

Davina tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kenapa? Kau merasa tersentuh?” dengus David dengan nada mengejek. Kemudian wajahnya berubah dingin dan kesal. “Dia yang membuatmu terlibat situasi sialan ini, Davina. Jangan coba-coba tersentuh. Itu bukan kasih sayang, itu adalah sedikit tanggung jawab yang memang harus dia lakukan.”

Davina segera menutup mulutnya. Ya, kakak kembarnya David Carson sudah membuang nama Riley di belakang nama pria itu sejak sembilan tahun yang lalu. Memutuskan meninggalkan rumah dan pergi ke panti asuhan. Kakaknya beruntung berhasil mendapatkan orang tua angkat yang begitu menyayangi David, meski sang kakak tak pernah memutus kontak di antara mereka dan keduanya juga terkadang saling bertemu di belakang sang ibu.

Sementara dirinya, tak bisa meninggalkan ibunya yang tengah sakit parah hingga satu tahun yang lalu akhirnya dikalahkan oleh kanker paru-paru dan menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Davina.

David datang di pemakaman tersebut dan langsung menghilang begitu ayahnya datang. Itu lebih baik atau kembarannya itu akan kehilangan kendali dan terjadi baku hantam yang malah hanya akan membuat wajah David hancur.

Tadinya ia pikir David akan mencarinya karena dia datang ke pertemuan yang mereka janjikan dua minggu sebelum Dirga dan Clay datang ke rumahnya. Tak menyangka sang ayahlah yang mengirimkan bantuan tersebut pada David.

“Seharusnya aku datang di pertemuan yang kita janjikan hari itu. Tapi aku harus ikut bersama keluargaku ke luar negeri untuk menjenguk kakek yang sakit. Aku sudah mengirim pesan padamu dan baru menyadari seminggu kemudian kalau kau belum membalas pesanku. Aku merasa ada yang tak beres dan bergegas kembali. Tapi rumah kosong dan aku mulai panik mencarimu. Kau tidak ada di mana-mana. Sampai aku tak sengaja mendengarkan pesan suara yang dikirim pria tua sialan itu.”

Davina mengangguk. Tangannya terulur, menggenggam tangan sang kakak yang masih memegang setir. “Sekarang kau sudah datang.”

“Ya. Tapi sudah sangat terlambat.” Suara David melirih dan diselimuti kesenduan. Beberapa kali mengedipkan matanya. Adiknya sudah hancur dan masih berusaha terlihat baik-baik saja. Seperti biasa, yang membuat hatinya bergemuruh oleh amarah.

“Setidaknya sekarang semua sudah berhenti.”

“Apakah sulit mengatakan kau sedang tidak baik-baik saja?” Suara David mulai terdengar kasar. “Lihatlah apa yang sudah dilakukan berengsek itu padamu.”

Davina merasa malu untuk dirinya sendiri. David pasti tahu apa yang terjadi padanya di rumah Dirga. “K-kau tahu?”

“Semuanya. Kau pikir bagaimana aku menemukanmu jika tidak tahu apa yang terjadi padamu?”

Davina kembali menutup mulutnya. David sudah menyelamatkannya, hanya itu yang ia butuhkan tanpa membuat sang kakak lebih khawatir lagi.

“Tidurlah. Masih ada dua jam perjalanan.” Suara David mulai melunak meski suasana hatinya masih tetap buruk.

Davina mengangguk pelan. Setelah minum obat dan tubuhnya yang kewalahan bahkan hanya untuk turun ke lantai bawah rumah sakit tiba-tiba membuatnya mengantuk. Ia mencoba mendapatkan posisi yang nyaman ketika tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

“David?” panggilnya dan menegakkan punggungnya dengan tiba-tiba.

David menoleh. “Ada apa?”

“Sepertinya aku menjatuhkan kertas itu,” jawab Davina sambil memeriksa setiap kantong di baju pasiennya.

*** 

Pintu lift di depan Dirga bergeser terbuka dan ia melangkah keluar ketika ponselnya bergetar.

“Ada apa, Clay?”

“Di mana kau?”

“Base …”

“Basement?”

Langkah Dirga seketika terhenti menyadari ada ketegangan dalam suara Clay. “Ada apa?”

“Kembali ke kamar. Sekarang!”

Dirga berbalik dan pintu lift sudah tertutup, membuatnya harus naik tangga darurat. Ia melangkah dan berlari secepat kakinya bisa, tak peduli berapa anak tangga yang harus dilompatinya agar tak membuang sedetik pun waktu yang tersisa. Sejak tadi ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan Davina. Ada sesuatu yang coba direncanakan dan sembunyikan di balik kepatuhan dan kepolosan gadis itu.

Davina berkedip lebih sering dari biasanya, tetapi betapa pun kerasnya Dirga berpikir, ia tak bisa menemukan celah di balik wajah polos gadis itu. Yang selalu membuatnya penasaran. Ada satu hal yang ia lupakan. Yang ia sendiri tak tahu di bagian mana. 

Tak lebih dari lima menit, ia sudah sampai di lantai 8 dan membanting terbuka pintu ruang perawatan Davina. Langkahnya membeku, wajahnya menggelap dengan rahang yang mengeras menemukan ranjang pasien yang kosong. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

‘Ke mana perginya gadis sialan itu?’

Giginya bergemeletuk dan kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, mencoba menjernihkan kewarasannya di antara terjangan kemurkaannya.

‘Beraninya gadis sialan itu melarikan diri.’

Suara langkah kaki yang bergema di lorong semakin keras dan mendekat. Clay sampai di belakangnya dengan napas terengah. Tak terkejut menemukan ranjang pasien Davina yang kosong.

“Apa yang terjadi?” desis Dirga tanpa berbalik dan bibirnya yang menipis tajam. Pandangannya masih melekat pada ranjang pasien di hadapannya, yang menjadi tamparan keras di wajahnya. Pengkhianatan ini lagi-lagi membuatnya tersadar, tak ada siapa pun di dunia ini yang layak ia percaya. Termasuk kepolosan gadis sialan itu.

Clay maju sambil merogoh saku jasnya dan mengeluarkan selembar foto yang ditunjukkan pada Dirga. Menormalkan napasnya lebih dulu sebelum berkata, “David ‘Riley’ Carson.”

Dirga mengambil lembaran foto tersebut dan matanya menyipit mengamati gambar pria muda yang tampaknya seumuran dengan Davina. Tak butuh lebih dari dua detik untuk menemukan kesamaan fisik mereka. Pria muda bernama David ini memiliki wajah yang sama dengan Davina dalam versi laki-laki.

“Ya, dia kakak kembar Davina.”

*** 

Mobil akhirnya berhenti di sebuah villa yang berada di daerah pegunungan. David menggoyang lembut pundak sang adik.

Perlahan Davina terbangun dan mengedarkan pandangan ke luar mobil. Melihat rumah dua tingkat dengan taman bunga yang asri di sisi kiri. Juga air mancur tepat di samping kanan mobil, yang kemudian mengingatkannya akan rumah Dirga meski air mancur ini sedikit lebih kecil.

“Di mana kita?”

“Salah satu villa keluarga angkatku,” jawab David sambil melangkah turun dari mobil. Kemudian memutari bagian depan mobil dan membukakan pintu untuk sang adik. “Untuk sementara kita tinggal di sini. Kemarilah.”

“Aku bisa sendiri, David,” tolak Davina ketika kedua tangan David terulur hendak menggendongnya.

“Ck. Jangan berlagak sok kuat, Davina. Seharusnya kau masih berada di rumah sakit dan dalam perawatan intens dokter.” David pun menyelipkan kedua lengannya di balik lutut dan punggung Davina, membawa sang adik masuk ke dalam rumah.

Menggunakan ponselnya, David menerangi jalan menuju kamar terdekat yang ada di lantai bawah. Ia sudah hafal setiap perabot di rumah ini sehingga tak perlu terantuk apa pun. David membaringkan tubuh Davina di kasur yang empuk lalu menyalakan lampu.

“Kau butuh sesuatu?”

Davina menggeleng.

“Kalau begitu, kembalilah tidur. Besok pagi ada yang perlu kita bicarakan.”

Kerutan membentuk di kening Davina, tetapi ia masih mengantuk dan kepalanya pusing. Entah apa pun yang ingin dikatakan David, sekarang yang dibutuhkannya hanyalah kasur empuk dan selimut untuk memejamkan matanya.

David menarik selimut dan membungkuk untuk mendaratkan kecupan di ujung kepala Davina, menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utaman sebelum menutup pintu.

Esok paginya, Davina terbangun oleh suara kicau burung. Matanya perlahan terbuka dan menyadari ia tak lagi terbangun di kamar lantai dua di kediaman Dirga. Ada kelegaan sekaligus seperti mimpi mengingat semalam Davidlah yang membawanya kabur.

Suara langkah kaki dari balik pintu mengalihkan pandangannya dari jendela kamar yang sudah terbuka dan menampilkan pemandangan taman yang dipenuhi bunga mekar meski lebih banyak yang masih kuncup.

Pintu diketuk dua kali dan Davina menjawab, “Masuk.”

David muncul, tetapi kemudian ada seorang pria yang mengekor di belakang sang kakak dengan nampan berisi makan pagi. Kening Davina berkerut, bertanya dalam isyarat tentang siapakah pria itu.

Tak menjawab, David duduk di pinggiran tempat tidur sambil meletakkan beberapa kantong berisi pakaian ganti untuk Davina di ujung tempat tidur. “Kepalamu pusing?”

Davina menggeleng. “Sudah merasa lebih baik.”

David mengangguk paham. "Kalau memiliki keluhan, katakan. Dia seorang dokter," jelas David menunjuk pria yang berdiri di samping meja kecil.

Sekali lagi Davina menoleh pada berambut ikal coklat dengan senyum yang manis dan tatapan lembut. 

Pria itu mengulurkan tangan ke arah Davina. "Aku Ega. Kakak angkat David."

Mata Davina melebar dan terkesiap pelan. "Kakak angkat?"

Ega mengangguk, "David sudah menceritakan semuanya tentangmu."

Wajah Davina bersemu malu. Tak yakin kisah mana yang sudah diceritakan oleh David pada pria ini. Davina pun hanya bisa memaksa bibirnya tersenyum demi menutupi rasa malunya. "Davina," ucapnya lirih hampir tak terdengar. Kemudian menatap pada David dengan isyarat mata. 'Apa ini?'

David mendesah pelan. Mengabaika pertanyaan Davina dan berkata, "Makan dan ganti pakaianmu.  Setengah jam lagi kami ada kembali dan memeriksa keadaanmu."

Davina merasa ada yang janggal tetapi menuruti apa yang dipintah David dengan satu anggukan singkat. David bangkit berdiri sambil meremas kedua tangan Davina.

"Semua yang kau butuhkan ada di dalam kantong itu. Katakan jika masih ada yang kurang, aku akan mendapatkannya untukmu."

Keduanya pria itu pun melangkah keluar. Davina tak menunggu lama untuk mengisi perutnya yang lapar. Mengisi tenaga untuk membersihkan diri. Ia sempat terpaku menemukan pembalut dan pakaian dalam di dalam kantong tersebut. Sepertinya tidak ada yang dibutuhkannya.

Davina pun membawa kantong tersebut ke kamar mandi dan keluar sepuluh menit kemudian. Ia baru selesai merapikan rambutnya ketika pintu kamar diketuk  David dan Ega kembali masuk. Kali ini Ega membawa tas kulit berwarna hitam yang berisi peralata dokter. 

"Tekanan darah masih rendah. Aku akan mengambil sampel darahmu untuk melakukan beberapa tes sederhana. Alat yang kubawa tak selengkap di rumah sakit. Perutmu masih sakit?"

Davina menggeleng.

"Masih mulas?"

"Sedikit."

Ega mengangguk. "Kau masih butuh banyak istirahat dan banyak tambahan gizi untuk memulihkan tubuhmu."

Setelah Ega selesai mengambil sampel darahnya, pria itu berpindah meja di set sofa. Melakukan sesuatu dengan alat-alat yang entah apa. Lalu berganti Davidlah yang duduk di samping ranjang.

David terhenyak, menatap wajah Davina dan menghela napas panjang.  Tangannya terangkat dan merangkum sisi wajah Davina. Ujung ibu jarinya berhenti di luka robek yang sudah mengering di ujung bibir Davina. Membuat bibirnya berkedut menahan amarah.

"Semua sudah berakhir, David." Davina menurunkan tangan David dari wajahnya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya yang mungil.

David mendesah lagi. Menatap wajah Davina dan berkata, "Kau sudah berkenalan dengan Ega, kan?"

Davina terdiam, melirik ke arah Ega yang masih sibuk di meja.

"Dia bersedia membantumu."

Kening Davina berkerut, penuh tanda tanya.

"Dia akan menikahimu."

 

Bab terkait

  • Pelayan Sang Tuan   9. Rencana David

    "Apa maksudmu, David?" Akhirnya Davina berhasil mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat lamanya terpaku oleh penjelasan sang kakak."Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu." David merangkum sisi wajah Davina, ujung ibu jemarinya menyentuh luka di bibir sang adik. "Hanya ini satu-satunya cara agar kau lolos darinya.""T-tapi tidak dengan cara ini, David.""Aku sudah menyelidiki semuanya tentang dia. Dengan posisimu sebagai istri pria lain, itu akan melindungimu …""Tidak, David. Aku tak ingin melibatkan orang lain dengan masalah keluarga kita. Apa pun tujuannya, pernikahan ini tidak benar.""Percaya padaku." David menggenggam tangan mungil Davina. Meyakinkan sang adik. "Ega akan menjadi orang yang memiliki hak paling besar atas dirimu. Kau tahu pria sialan itu tak bisa diharapkan tanggung jawabnya untuk melindungimu.""David …""Kumohon, Davina. Hanya ini satu-satunya cara yang paling tepat untuk situasi ini."Davina terdiam. Menatap Ega yang tampak tak terpengaruh dengan perd

  • Pelayan Sang Tuan   10. Pernikahan Berdarah

    Part 10 Pernikahan BerdarahPandangan Davina terpaku pada mobil di tengah. Satu-satunya mobil yang pintunya terbuka terakhir karena anak buah Dirga sudah turun semua dan mengarahkan pistol ke arah ketiganya. Egad an Davidmaju satu langkah untuk menghadang semua pria berpistol tersebut. Tampak konyol tapi Davina sangat menghargai usaha keduanya.Di antara celah tubuh keduanya, ia bisa melihat kaki Dirga yang melangkah turun. Pandangan mereka bertemu dan ia bisa menangkap senyum kemenangan yang sama ketika pria itu menangkapnya di hutan. Sekarang pria itu berhasil menangkapnya kembali.“Seharunya aku tak melibatkan kalian berdua,” sesal Davina dengan suara yang bergetar. Merasakan genggaman David yang semakin menguat.“Maka kami yang akan melibatkan diri kami sendiri, Davina,” desis David.“Kakakmu benar, Davina.” Ega mengiyakan.“Kau punya ide?”“Kau tak bilang mereka bersenjata. Satu-satunya yang kupunya hanya pisau bedah yang kutinggalkan di vila.”“Kau membawa pisau bedah ke vila?”

  • Pelayan Sang Tuan   11. Hidup Baru Yang Tak Pernah Berubah

    Davina menatap tanpa daya ketika bertatapan dengan David yang juga tak bisa berucap. Mulut pria itu masih tersumpal kain, begitu pun dengan Ega. Davina diberikan pada salah satu pengawal dan dibawa ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, ia melihat David yang dilemparkan ke arah Ega. Ega langsung menangkapnya dan ia bisa melihat sang kakak yang mengerang kesakitan sambil memegang kaki sementara Dirga berdiri di hadapan keduanya. Entah apa yang dikatakan Dirga pada keduanya, Davina merasa lega, setidaknya pria tidak mengeluarkan pistol untuk menghabisi nyawa David maupun Ega dengan cepat. Ega adalah seorang dokter, Davina hanya bisa berharap pria itu bisa membantu David.Dirga berbalik dan lamgsung naik ke dalam mobil yang Davina tumpangi. Membuat gadis iu bergeser ke samping. Mendengus singkat, Dirga mengamati wajah Davina yang tertunduk. Mobil mulai melaju dan ia sempat melihat semua anak buah Dirga yang naik ke dalam mobil masing-masing, meninggalkan David dan Ega. Ega membantu David

  • Pelayan Sang Tuan   12. Diam Dan Patuh

    Davina tak tahu berapa lama waktu yang sudah ia habiskan untuk membersihkan kamar mandi dan dirinya. Ditambah ia harus mencari pakaiannya di kamar sebelah, yang ternyata sudah dikosongkan oleh Dirga."Ke mana semua pakaian di kamar itu?" tanya Davina pada pelayan yang kebetulan muncul saat ia keluar dari kamar. "Tuan Dirga sudah membakar semuanya?"Mata Davina melebar. "Membakarnya?"Pelayan itu mengangguk, kemudian berpamit pergi karena harus segera ke bawah. Meninggalkan Davina yang masih terbengong. Mendesah pendek, wajahnya tertunduk, menatap jubah mandi yang masih dikenakannya. Ya, Dirga bisa melakukan apa pun sesuka pria itu. Toh semua pakaian itu juga pemberian Dirga. Pria itu menculiknya tanpa membawa pakaian miliknya. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan pada hari itu sudah dibuang ke tempat sampah karena berlumuran darahnya.Dan menyadari tak ada pakaian yang bisa dikenakannya selain kain ini, jadi ia pun turun ke lantai satu, menyempatkan diri ke kamar Meera untuk mendapa

  • Pelayan Sang Tuan   13. Perubahan

    Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke

  • Pelayan Sang Tuan   14. Rencana

    Dirga terkekeh. “Well, aku tidak sedang mengamati kebahagiaan keluarga kalian. Hanya … sedang merindukan Sesil.”Saga menggeram. “Enyah dari hidup kami, Dirga. Kami sudah muak dengan semua gangguan yang ada tanpa kedengkianmu.”“Kami?” Salah satu alis Dirga terangkat. “Kau, Saga. Bukan Sesil. Hubungan kami masih baik-baik saja,” koreksinya kemudian. “Dan Sesil tak pernah merasa muak denganku.”Wajah Saga semakin menggelap, mengeluarkan pistol dari sarungnya di pinggang dan menggunakan gagangnya untuk memukul kaca jendela mobil Dirga. “Pergi atau aku akan menggunakan ini untuk kepalamu?”Dirga mendengus, menginjak pedal gas. Bukan karena takut ancaman Saga, tetapi dari balik kaca spion ia bisa melihat Sesil yang melangkah turun dari dalam mobil. Mendesah panjang, ia melajukan mobil langsung pulang ke rumah.Memberikan kuncinya pada Jim untuk diperbaiki di bengkel dan ia langsung ke lantai atas. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu menginjakkan kaki di lantai dua.“Apa-apaan ini?

  • Pelayan Sang Tuan   15. Di Dalam Ruangan VIP

    “Sekarang, gadis licik,” ulang Dirga melihat Davina yang hanya tertegun mendengarkan perintahnya. “D-di sini?” Davina mengigit bibir bagian dalamnya. Tatapan Dirga begitu dingin dan tegas. Memaksa dirinya untuk menuruti perintah tersebut meski ia masih bergeming di tempatnya. Menahan malu yang lebih besar dari biasanya. Jauh lebih baik jika Dirga yang merobek dan melucuti pakaiannya, tetapi melepaskan pakaian sendiri di depan tatapan pria itu, tentu saja rasa malunya menjadi berkali-kali lipat lebih besar.“Ya. Di sini, sekarang juga.” Bibir Dirga nyaris tak bergerak. Ada ketidak sabaran yang jelas dalam tatapan tajam pria itu. Tangan Davina bergerak dengan turun perlahan dan menurunkan celana karet sang tuan yang kebesaran.“Semuanya,” tambah Dirga melihat Davina yang tampak ragu untuk melepaskan kaos polos miliknya.Wajah Davina yang memerah tertunduk malu, memegang ujung kaos dan menariknya hingga ke atas, kemudian membiarkan kain kaos tersebut jatuh di lantai di samping kakinya

  • Pelayan Sang Tuan   16. Pesta

    Jam lima sore, seorang perias datang untuk menyiapkan Davina. Mendadani wajah gadis itu dan menata rambutnya. Ketika selesai, Davina dibuat terpaku dengan penampilan wajahnya dari balik cermin. Ia tak pernah berdandan sebelumnya, dan didandani sepertyi ini tentu saja membuatnya terlihat seperti orang lain. Ia terlihat cantik dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal, tetapi mampu menonjolkan kecantikan wajahnya hampir di semua sisi. Rambutnya dibiarkan tergerai ke samping, semakin menyempurnakan penampilannya.“Kau sangat cantik,” gumam perias tersebut puas memuji. Yang membuat wajah Davina tertunduk malu. Ia sangat jarang dipuji. Hampir tak pernah jika pujian ibunya, David, dan Ega tidak dihitung. “Sekarang saatnya berpakain.”Perias itu berjalan ke tempat tidur, mengambil gaun yang tadi diberikan oleh Dirga dan membawanya pada Davina. “Kau ingin memakainya sendiri atau dengan bantuanku?”Davina bangkit berdiri, dan menoleh ke samping. Melihat gaun peach yang tercengang itu ada

Bab terbaru

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8b

    Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8a

    Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7b

    Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7a Cinta Sang Tuan

    Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6b

    Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6a

    Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5b

    Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5a

    Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 4b

    ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin

DMCA.com Protection Status