"Apa maksudmu, David?" Akhirnya Davina berhasil mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat lamanya terpaku oleh penjelasan sang kakak."Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu." David merangkum sisi wajah Davina, ujung ibu jemarinya menyentuh luka di bibir sang adik. "Hanya ini satu-satunya cara agar kau lolos darinya.""T-tapi tidak dengan cara ini, David.""Aku sudah menyelidiki semuanya tentang dia. Dengan posisimu sebagai istri pria lain, itu akan melindungimu …""Tidak, David. Aku tak ingin melibatkan orang lain dengan masalah keluarga kita. Apa pun tujuannya, pernikahan ini tidak benar.""Percaya padaku." David menggenggam tangan mungil Davina. Meyakinkan sang adik. "Ega akan menjadi orang yang memiliki hak paling besar atas dirimu. Kau tahu pria sialan itu tak bisa diharapkan tanggung jawabnya untuk melindungimu.""David …""Kumohon, Davina. Hanya ini satu-satunya cara yang paling tepat untuk situasi ini."Davina terdiam. Menatap Ega yang tampak tak terpengaruh dengan perd
Part 10 Pernikahan BerdarahPandangan Davina terpaku pada mobil di tengah. Satu-satunya mobil yang pintunya terbuka terakhir karena anak buah Dirga sudah turun semua dan mengarahkan pistol ke arah ketiganya. Egad an Davidmaju satu langkah untuk menghadang semua pria berpistol tersebut. Tampak konyol tapi Davina sangat menghargai usaha keduanya.Di antara celah tubuh keduanya, ia bisa melihat kaki Dirga yang melangkah turun. Pandangan mereka bertemu dan ia bisa menangkap senyum kemenangan yang sama ketika pria itu menangkapnya di hutan. Sekarang pria itu berhasil menangkapnya kembali.“Seharunya aku tak melibatkan kalian berdua,” sesal Davina dengan suara yang bergetar. Merasakan genggaman David yang semakin menguat.“Maka kami yang akan melibatkan diri kami sendiri, Davina,” desis David.“Kakakmu benar, Davina.” Ega mengiyakan.“Kau punya ide?”“Kau tak bilang mereka bersenjata. Satu-satunya yang kupunya hanya pisau bedah yang kutinggalkan di vila.”“Kau membawa pisau bedah ke vila?”
Davina menatap tanpa daya ketika bertatapan dengan David yang juga tak bisa berucap. Mulut pria itu masih tersumpal kain, begitu pun dengan Ega. Davina diberikan pada salah satu pengawal dan dibawa ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, ia melihat David yang dilemparkan ke arah Ega. Ega langsung menangkapnya dan ia bisa melihat sang kakak yang mengerang kesakitan sambil memegang kaki sementara Dirga berdiri di hadapan keduanya. Entah apa yang dikatakan Dirga pada keduanya, Davina merasa lega, setidaknya pria tidak mengeluarkan pistol untuk menghabisi nyawa David maupun Ega dengan cepat. Ega adalah seorang dokter, Davina hanya bisa berharap pria itu bisa membantu David.Dirga berbalik dan lamgsung naik ke dalam mobil yang Davina tumpangi. Membuat gadis iu bergeser ke samping. Mendengus singkat, Dirga mengamati wajah Davina yang tertunduk. Mobil mulai melaju dan ia sempat melihat semua anak buah Dirga yang naik ke dalam mobil masing-masing, meninggalkan David dan Ega. Ega membantu David
Davina tak tahu berapa lama waktu yang sudah ia habiskan untuk membersihkan kamar mandi dan dirinya. Ditambah ia harus mencari pakaiannya di kamar sebelah, yang ternyata sudah dikosongkan oleh Dirga."Ke mana semua pakaian di kamar itu?" tanya Davina pada pelayan yang kebetulan muncul saat ia keluar dari kamar. "Tuan Dirga sudah membakar semuanya?"Mata Davina melebar. "Membakarnya?"Pelayan itu mengangguk, kemudian berpamit pergi karena harus segera ke bawah. Meninggalkan Davina yang masih terbengong. Mendesah pendek, wajahnya tertunduk, menatap jubah mandi yang masih dikenakannya. Ya, Dirga bisa melakukan apa pun sesuka pria itu. Toh semua pakaian itu juga pemberian Dirga. Pria itu menculiknya tanpa membawa pakaian miliknya. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan pada hari itu sudah dibuang ke tempat sampah karena berlumuran darahnya.Dan menyadari tak ada pakaian yang bisa dikenakannya selain kain ini, jadi ia pun turun ke lantai satu, menyempatkan diri ke kamar Meera untuk mendapa
Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke
Dirga terkekeh. “Well, aku tidak sedang mengamati kebahagiaan keluarga kalian. Hanya … sedang merindukan Sesil.”Saga menggeram. “Enyah dari hidup kami, Dirga. Kami sudah muak dengan semua gangguan yang ada tanpa kedengkianmu.”“Kami?” Salah satu alis Dirga terangkat. “Kau, Saga. Bukan Sesil. Hubungan kami masih baik-baik saja,” koreksinya kemudian. “Dan Sesil tak pernah merasa muak denganku.”Wajah Saga semakin menggelap, mengeluarkan pistol dari sarungnya di pinggang dan menggunakan gagangnya untuk memukul kaca jendela mobil Dirga. “Pergi atau aku akan menggunakan ini untuk kepalamu?”Dirga mendengus, menginjak pedal gas. Bukan karena takut ancaman Saga, tetapi dari balik kaca spion ia bisa melihat Sesil yang melangkah turun dari dalam mobil. Mendesah panjang, ia melajukan mobil langsung pulang ke rumah.Memberikan kuncinya pada Jim untuk diperbaiki di bengkel dan ia langsung ke lantai atas. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu menginjakkan kaki di lantai dua.“Apa-apaan ini?
“Sekarang, gadis licik,” ulang Dirga melihat Davina yang hanya tertegun mendengarkan perintahnya. “D-di sini?” Davina mengigit bibir bagian dalamnya. Tatapan Dirga begitu dingin dan tegas. Memaksa dirinya untuk menuruti perintah tersebut meski ia masih bergeming di tempatnya. Menahan malu yang lebih besar dari biasanya. Jauh lebih baik jika Dirga yang merobek dan melucuti pakaiannya, tetapi melepaskan pakaian sendiri di depan tatapan pria itu, tentu saja rasa malunya menjadi berkali-kali lipat lebih besar.“Ya. Di sini, sekarang juga.” Bibir Dirga nyaris tak bergerak. Ada ketidak sabaran yang jelas dalam tatapan tajam pria itu. Tangan Davina bergerak dengan turun perlahan dan menurunkan celana karet sang tuan yang kebesaran.“Semuanya,” tambah Dirga melihat Davina yang tampak ragu untuk melepaskan kaos polos miliknya.Wajah Davina yang memerah tertunduk malu, memegang ujung kaos dan menariknya hingga ke atas, kemudian membiarkan kain kaos tersebut jatuh di lantai di samping kakinya
Jam lima sore, seorang perias datang untuk menyiapkan Davina. Mendadani wajah gadis itu dan menata rambutnya. Ketika selesai, Davina dibuat terpaku dengan penampilan wajahnya dari balik cermin. Ia tak pernah berdandan sebelumnya, dan didandani sepertyi ini tentu saja membuatnya terlihat seperti orang lain. Ia terlihat cantik dengan polesan make up yang tidak terlalu tebal, tetapi mampu menonjolkan kecantikan wajahnya hampir di semua sisi. Rambutnya dibiarkan tergerai ke samping, semakin menyempurnakan penampilannya.“Kau sangat cantik,” gumam perias tersebut puas memuji. Yang membuat wajah Davina tertunduk malu. Ia sangat jarang dipuji. Hampir tak pernah jika pujian ibunya, David, dan Ega tidak dihitung. “Sekarang saatnya berpakain.”Perias itu berjalan ke tempat tidur, mengambil gaun yang tadi diberikan oleh Dirga dan membawanya pada Davina. “Kau ingin memakainya sendiri atau dengan bantuanku?”Davina bangkit berdiri, dan menoleh ke samping. Melihat gaun peach yang tercengang itu ada