Home / CEO / Pelayan Sang Tuan / 6. Kerepotan Lainnya

Share

6. Kerepotan Lainnya

Author: Luisana Zaffya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Apa yang terjadi?” Dirga bertanya dengan suara dingin dan datarnya pada dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan.

Dokter muda itu memasang raut tanya yang jelas. “Apakah Anda walinya?”

Dirga sedikit kesulitan menjawab. Ya, umurnya dan Davina terpaut 15 tahun. Ditambah tubuh gadis itu yang kecil yang membuat Davina terlihat seperti pelajar. Padahal sudah jelas gadis itu sudah cukup umur untuk ditidurinya. Kecurigaan dalam pandangan dokter tersebut tentu saja membuatnya kesal, dan menjawab dengan kesal. “Ya, aku walinya.”

“Anda siapanya pasien?” Kali ini tatapan pria itu tampak mengamati.

Dirga tentu saja tahu apa yang dipikirkan oleh dokter muda itu. Terlalu muda untuk jadi ayah dan terlalu dewasa untuk dijadikan kekasih. Dan lagi, Davina juga terlalu muda untuk seorang istri.

Dirga menggeram rendah dengan tatapan mengancam yang tersorot di kedua mata. “Kenapa itu menjadi urusanmu?”

“Kami tidak bisa memberikan informasi …”

“Aku yang membawanya ke rumah sakit. Aku yang bertanggung jawab atas nyawanya. Dia adalah keponakanku.” Kemarahan Dirga tampak jelas dalam setiap kata yang diucapkannya. Kebohongan keluar tanpa keraguan sedikit pun. Ya, ia tak mungkin mengakui Davina sebagai anaknya atau kekasihnya, kan? “Jadi, katakan padaku apa yang terjadi dengannya?”

Dokter itu masih tampak mempertimbangkan. Tetapi memutuskan menurut atau ia akan terlibat dalam masalah yang lebih serius melihat emosi Dirga yang siap meluap. “Pasien mengalami pendarahan dan membutuhkan donor darah. Juga janin dalam kandungannya tak terselamatkan.”

Seluruh tubuh Dirga menegang. Janin? Tak terselamatkan? Jadi gadis itu hamil? Dan beraninya menyembunyikan hal ini di belakangnya. Kemarahan di wajah Dirga semakin menggelap. Rahangnya mengeras dengam geraham yang bergemeletuk. Sekaligus tak tahu bagaimana harus menghadapi situasi sialan ini.

Tetapi kemudian ia teringat apa yang dikatakan oleh pelayannya. Galena memaksa Davina menelan sesuatu. “Apa penyebabnya?” Bibirnya nyaris tak bergerak, suara yang keluar pun disleimuti ketenangan meski terdengar seperti akan menelan dokter itu hidup-hiduo.

Dokter muda tersebut tampak terdiam untuk sejenak. “Keponakan Anda minum obat penggugur kandungan. Dan dosisnya terlalu besar. Jadi …”

Dirga menggeram, tak butuh mendengarkan lebih banyak. Kemurkaan yang meluap-luap memenuhi dadanya, naik ke ubun-ubun. Jadi Galena sudah tahu Davina hamil dan memutuskan membunuh darah dagingnya? Begitu?

Tak hanya lancang, wanita itu rupanya menantangnya?

***

Dirga hanya duduk tertegun di sofa panjang. Pandangannya mengarah pada ranjang pasien yang ada di seberang ruangan. Davina berbaring di atasnya, dengan mata yang masih terpejam dan wajah yang pucat. Ada luka robek di ujung bibir gadis itu, juga rahang yang memerah dan bekas kuku yang menancap dalam di pipi. Ia tahu bekas luka apa pun itu yang ada di wajah Davina. Tamparan dan cengkeram. Ditambah kuku Galena yang panjang, bekas itu jadi tampak jelas. Dan ia memahami tatapan kecurigaan yang dilayangkan sang dokter ketika melihatnya.

Erangan pelan terdengar dari Davina. Kening Dirga berkerut dan melihat kelopak mata Davina yang bergerak-gerak dengan perlahan. Begitu terbuka sepenuhnya, pandangan gadis itu beredar ke seluruh ruangan dan langsung bertatapan dengannya.

Dirga mendengus tipis ketika Davina terkesiap pelan dan hendak bangun terduduk, tetapi mengerang ketika merasakan kesakitan di daerah perut.

“Dokter menyuruhmu jangan banyak bergerak. Rahimmu sedang bermasalah.”

Ada keterkejutan di wajah gadis itu yang polos. Ck, selalu terlihat rapuh, lemah, dan polos. Ya, hanya itu senjata Davina, kan? Bangkit berdiri, Dirga melangkah dengan perlahan mendekat dan berhenti di samping ranjang pasien. “Adakah yang ingin kau jelaskan padaku?"

Bibir Davina bergetar dan menjadi semakin pucat. Seperti tikus kecil yang terpojok, hanya saja bahkan gadis itu tak akan berani mencicit. Karena ia tak suka cicitan dan gadis itu tahu.

Tangan Davina bergerak pelan ke perut. Rahimnya sedang bermasalah. Lalu, apakah janinnya masih hidup atau …

“Mendadak bisu, hah?”

Davina masih membungkam. Tak yakin apa yang ingin didengarkan oleh sang tuan. Tentang kehamilannya atau tentang apa yang dilakukan Galena padanya.  “A-apa saja yang dikatakan oleh dokter?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Davina kembali menutup mulut. Mencoba mengamati raut sang tuan. Apakah marah kehamilannya atau karena ia tak memberitahu tentang kehamilannya? Tetapi Davina jelas tak bisa membaca ekspresi Dirga selain bongkahan gunung es di kedua mata pria itu setiap kali menatapnya. Yang kadang bisa menjadi seperti kobaran abi ketika marah padanya. Selain kedua hal itu, tak ada ekspresi apa pun yang ada di sana.

“Jadi sejak awal kau memang tahu dirimu sedang hamil?” dengus Dirga.

“Kupikir kau tak akan suka mendengarnya. Jadi …”

“Dengan lancangnya kau mencoba menyembunyikannya dariku, begitu?”

Davina merapatkan mulut. Merasakan kemarahan yang mulai menyelimuti wajah Dirga. Pria itu kemudian mengulurkan tangan, menyentuhkan ujung jemari di bekas kuku Galena di pipi, juga luka di ujung bibir sebelum mencengkeram wajah Davina. Kuat meski tak cukup untuk membuat gadis itu merintih. Lalu ia membungkuk dan mulai memangkas jarak di antara wajah mereka.

“Kau tahu hanya aku yang berhak merendahkan dan menyiksamu, kan? Dan kau membiarkan orang lain memperlakukanmu seperti ini?” Ada kemarahan yang berkilat di kedua mata Dirga yang berhasil membuat bibir Davina bergetar.

“M-maaf.”

“Apakah itu akan mengembalikan semua kerepotan yang sudah kulakukan untukmu? Apa kau tahu berapa banyak kerepotan yang sudah kulakukan untukmu? Berapa banyak darah yang harus kuberikan untukmu karena rumah sakit kehabisan stok darah?”

Davina kembali merapatkan bibirnya. Kedua matanya mulai memanas dan air mata merebak di kedua kelopak matanya. Oleh ketakutan yang selalu tak sanggup dihadapinya ketika berhadapan dengan sang tuan.

Bibir Dirga menipis, menyentakkan wajah Davina dan menegakkan punggungnya kembali. “Ck,” decaknya pelan ketik gadis itu mulai terisak. Meski ia yakin gadis itu hanya sengaja melebih-lebihkan, tetap saja mengingat kondisi Davina yang lemah membuatnya menahan diri. Kali ini Dirga membiarkan gadis itu meratapi kesedihan tersebut. Sebelum kemudia melangkah ke arah pintu.

Tepat ketika Dirga menutup pintu ruang perawatan di belakangnya, Clay muncul di ujung lorong. Langsung menemukan keberadaannya dan melangkah lebih cepat.

“Apa yang terjadi?” tanya Clay.

Dirga terdiam. Kekhawatiran Clay terlalu jelas, membuatnya menjadi lebih kesal pada pria itu.

“Kudengar Davina masuk ke rumah sakit karena keguguran. Dia hamil?”

Dirga tak menjawab. “Bukankah bagus jika anak itu lenyap juga?”

“Kau yakin?” Tatapan Clay lebih dalam. “Lalu kenapa wajahmu terlihat begitu gusar?”

Dirga tak langsung menjawab. “Aku hanya kesal dia membiarkan Galena melecehkannya.”

“Ya, melihat dia hanya pelayan dan meski lancang, Galena sang calon tuan rumah, kau pikir dia akan berani melawan?”

Dirga menatap Clay lebih tajam, kata-kata Clay terkesan membela Davina. Ya, pria itu sempat menyangsikan hukuman yang ia pilih ketika menyelamatkan Davina hari itu. Setelahnya pun Clay tak pernah berkomentar apa pun. “Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Jika hanya merasa bosan, sebaiknya kau pikirkan lagi, Dirga. Dia tak ada sangkut pautnya.”

Mata Dirga menyipit, “Kau salah besar. Kesalahan terbesarnya adalah menjadi anak Jimi.”

Clay pun mengatupkan bibirnya. “Oke. Segala hal tentang dia memang salah, kan? Bahkan cara dia bernapas.”

“Kenapa itu terdengar seperti sindiran?”

“Apa sekarang kau mendadak jadi sensitif?”

Dirga terdiam, begitu pun dengan Clay. “Kau dipecat.”

Clay hanya memutar kedua bola matanya. “Oke. Aku akan memeriksa keadaan pelayanmu. Dan … ada setumpuk laporan yang kutinggalkan di mobilmu. Lebih banyak tumpukan hal yang harus kau tanggung setelah kau melempar Galena ke ayahnya.Ah, aku yang melakukannya. Dia terlalu lama mengemas barang-barangnya. Jadi aku membuangnya ke tempat sampah.”

Dirga terdiam dan Clay berjalan melewatinya, menghilang di balik pintu perawatan Davina masih dengan ketenangan yang membuatnya kesal.

Related chapters

  • Pelayan Sang Tuan   7. Menghilang

    “Butuh bantuan?”Kepala Davina masih terasa pusing ketika perawat datang untuk membawakan makan malam. Sejak tadi siang, hanya ada Clay yang duduk di sofa. Pria itu sama sekali tak bicara dan menyibukkan diri dengan beberapa panggilan dan ponsel. Dan itu pertama kalinya pria itu bicara padanya.Davina menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang masih tersisa untuk bangun terduduk. Mengambil nampan yang diletakkan di meja kecil, tetapi karena tubuhnya masih lemah dan tak banyak kekuatan yang masih tersisa, nampan itu hanya beberapa detik berada dalam genggamannya sebelum jatuh ke lantai.Clay yang terduduk di sofa hanya mendengus tipis. “Tidak butuh bantuan dan hanya merepotkan saja, begitu?”Davina tak mengatakan apa pun. Tertunduk malu.“Inilah alasan Dirga begitu bersenang-senang denganmu. Kau sangat mudah dipermainkan dan sangat merepotkan. Membuat hidupnya yang membosankan jadi sedikit menyenangkan.” Clay bangkit berdiri dan melangkah mendekati ranjang pasien.Ada kerutan yang tersa

  • Pelayan Sang Tuan   8. Rencana Si Kembar

    “David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. “Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman

  • Pelayan Sang Tuan   9. Rencana David

    "Apa maksudmu, David?" Akhirnya Davina berhasil mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat lamanya terpaku oleh penjelasan sang kakak."Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu." David merangkum sisi wajah Davina, ujung ibu jemarinya menyentuh luka di bibir sang adik. "Hanya ini satu-satunya cara agar kau lolos darinya.""T-tapi tidak dengan cara ini, David.""Aku sudah menyelidiki semuanya tentang dia. Dengan posisimu sebagai istri pria lain, itu akan melindungimu …""Tidak, David. Aku tak ingin melibatkan orang lain dengan masalah keluarga kita. Apa pun tujuannya, pernikahan ini tidak benar.""Percaya padaku." David menggenggam tangan mungil Davina. Meyakinkan sang adik. "Ega akan menjadi orang yang memiliki hak paling besar atas dirimu. Kau tahu pria sialan itu tak bisa diharapkan tanggung jawabnya untuk melindungimu.""David …""Kumohon, Davina. Hanya ini satu-satunya cara yang paling tepat untuk situasi ini."Davina terdiam. Menatap Ega yang tampak tak terpengaruh dengan perd

  • Pelayan Sang Tuan   10. Pernikahan Berdarah

    Part 10 Pernikahan BerdarahPandangan Davina terpaku pada mobil di tengah. Satu-satunya mobil yang pintunya terbuka terakhir karena anak buah Dirga sudah turun semua dan mengarahkan pistol ke arah ketiganya. Egad an Davidmaju satu langkah untuk menghadang semua pria berpistol tersebut. Tampak konyol tapi Davina sangat menghargai usaha keduanya.Di antara celah tubuh keduanya, ia bisa melihat kaki Dirga yang melangkah turun. Pandangan mereka bertemu dan ia bisa menangkap senyum kemenangan yang sama ketika pria itu menangkapnya di hutan. Sekarang pria itu berhasil menangkapnya kembali.“Seharunya aku tak melibatkan kalian berdua,” sesal Davina dengan suara yang bergetar. Merasakan genggaman David yang semakin menguat.“Maka kami yang akan melibatkan diri kami sendiri, Davina,” desis David.“Kakakmu benar, Davina.” Ega mengiyakan.“Kau punya ide?”“Kau tak bilang mereka bersenjata. Satu-satunya yang kupunya hanya pisau bedah yang kutinggalkan di vila.”“Kau membawa pisau bedah ke vila?”

  • Pelayan Sang Tuan   11. Hidup Baru Yang Tak Pernah Berubah

    Davina menatap tanpa daya ketika bertatapan dengan David yang juga tak bisa berucap. Mulut pria itu masih tersumpal kain, begitu pun dengan Ega. Davina diberikan pada salah satu pengawal dan dibawa ke dalam mobil. Begitu pintu ditutup, ia melihat David yang dilemparkan ke arah Ega. Ega langsung menangkapnya dan ia bisa melihat sang kakak yang mengerang kesakitan sambil memegang kaki sementara Dirga berdiri di hadapan keduanya. Entah apa yang dikatakan Dirga pada keduanya, Davina merasa lega, setidaknya pria tidak mengeluarkan pistol untuk menghabisi nyawa David maupun Ega dengan cepat. Ega adalah seorang dokter, Davina hanya bisa berharap pria itu bisa membantu David.Dirga berbalik dan lamgsung naik ke dalam mobil yang Davina tumpangi. Membuat gadis iu bergeser ke samping. Mendengus singkat, Dirga mengamati wajah Davina yang tertunduk. Mobil mulai melaju dan ia sempat melihat semua anak buah Dirga yang naik ke dalam mobil masing-masing, meninggalkan David dan Ega. Ega membantu David

  • Pelayan Sang Tuan   12. Diam Dan Patuh

    Davina tak tahu berapa lama waktu yang sudah ia habiskan untuk membersihkan kamar mandi dan dirinya. Ditambah ia harus mencari pakaiannya di kamar sebelah, yang ternyata sudah dikosongkan oleh Dirga."Ke mana semua pakaian di kamar itu?" tanya Davina pada pelayan yang kebetulan muncul saat ia keluar dari kamar. "Tuan Dirga sudah membakar semuanya?"Mata Davina melebar. "Membakarnya?"Pelayan itu mengangguk, kemudian berpamit pergi karena harus segera ke bawah. Meninggalkan Davina yang masih terbengong. Mendesah pendek, wajahnya tertunduk, menatap jubah mandi yang masih dikenakannya. Ya, Dirga bisa melakukan apa pun sesuka pria itu. Toh semua pakaian itu juga pemberian Dirga. Pria itu menculiknya tanpa membawa pakaian miliknya. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan pada hari itu sudah dibuang ke tempat sampah karena berlumuran darahnya.Dan menyadari tak ada pakaian yang bisa dikenakannya selain kain ini, jadi ia pun turun ke lantai satu, menyempatkan diri ke kamar Meera untuk mendapa

  • Pelayan Sang Tuan   13. Perubahan

    Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke

  • Pelayan Sang Tuan   14. Rencana

    Dirga terkekeh. “Well, aku tidak sedang mengamati kebahagiaan keluarga kalian. Hanya … sedang merindukan Sesil.”Saga menggeram. “Enyah dari hidup kami, Dirga. Kami sudah muak dengan semua gangguan yang ada tanpa kedengkianmu.”“Kami?” Salah satu alis Dirga terangkat. “Kau, Saga. Bukan Sesil. Hubungan kami masih baik-baik saja,” koreksinya kemudian. “Dan Sesil tak pernah merasa muak denganku.”Wajah Saga semakin menggelap, mengeluarkan pistol dari sarungnya di pinggang dan menggunakan gagangnya untuk memukul kaca jendela mobil Dirga. “Pergi atau aku akan menggunakan ini untuk kepalamu?”Dirga mendengus, menginjak pedal gas. Bukan karena takut ancaman Saga, tetapi dari balik kaca spion ia bisa melihat Sesil yang melangkah turun dari dalam mobil. Mendesah panjang, ia melajukan mobil langsung pulang ke rumah.Memberikan kuncinya pada Jim untuk diperbaiki di bengkel dan ia langsung ke lantai atas. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu menginjakkan kaki di lantai dua.“Apa-apaan ini?

Latest chapter

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8b

    Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8a

    Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7b

    Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7a Cinta Sang Tuan

    Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6b

    Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6a

    Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5b

    Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5a

    Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 4b

    ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin

DMCA.com Protection Status