Home / CEO / Pelayan Sang Tuan / 1. Putri Sang Musuh

Share

1. Putri Sang Musuh

Author: Luisana Zaffya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.

Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh.

"Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"

Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."

Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."

Seringai Dirga naik lebih tinggi ketika wajah Jimi membeku hanya dalam sepersekian detik. Rupanya pria itu masih memiliki sedikit hati meski hanya seujung jarum. Jimi pasti mengenali foto gadis di tangannya. Tak akan menyangkal karena sangkalannya hanya akan membuat dirinya semakin menjadi menggunakan Davina sebagai samsak balas dendamnya.

"Mata dibayar mata, dan kaki dibayar kaki." Dirga tersenyum geli. "Beruntung kakinya kembali sembuh seperti kakiku, meski tidak sama seperti semula."

Wajah Jimi semakin menggelap, kedua tangan yang mengepal di meja kini memukul keras ke arah kaca yang menjadi penghalang di antara mereka. Tetapi bahkan peluru saja tidak bisa menembus benda bening itu. "Apa yang kau lakukan padanya?!"

Dengan senyum lebar yang masih menghiasi wajahnya, Dirga berdiri sambil mengembalikan foto itu ke saku kemeja hitamnya. Berbalik dan menuli dari teriakan Jimi yang menggelitik telingnya. Siapa bilang balas dendam tidak semenyenangkan ini. Semua terasa manis.

***

Entah berapa lama Dirga duduk di balik kemudi di dalam mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Pandangannya tak lepas dari keluarga kecil yang mengeliling meja di dalam restoran. Meja yang mereka ambil berada di samping jendela. Sehingga kebahagiaan yang menyelimuti keluarga kecil itu terpampang jelas di depan matanya. Tak tersangkalkan dan menampar kenyataan hidupnya.

Sungguh, ia berusaha sangat keras untuk merelakan wanita yang masih menggenggam perasaannya itu. Namun, hatinya masih tak cukup rela melepaskan wanita itu. Masih bergemuruh melihat kemesraan Saga dan Sesil, juga pada kebahagiaan keluarga kecil itu.

Pandangannya teralih pada kaca spion. Dua mobil hitam mendekat ke arahnya. Tak butuh sialan lainnya, ia pun meninggalkan area restoran. Langsung menuju rumah.

Ingin berlari sejauh mungkin, karena berada di sekitar Sesil hanya akan membuat hatinya tak rela. Namun, ada kalanya hatinya tak ingin rela. Tak ingin ikhlas meninggalkan wanita itu belakang sana. Ada harapan, yang setipis angin dan berbisik padanya. Mungkin, suatu saat di masa depan. Wanita itu akan kembali padanya.

Terdengar naif, tapi sedikit menghibur hatinya yang kering dan tak bernyawa.

Hari sudah beranjak sore ketika ia menghentikan mobil di halaman rumah. Ia butuh minum, tapi hanya akan memperburuk pagi harinya. Sementara ada tumpukan masalah yang menggunung di ruang kerja yang harus diurusnya besok pagi.

Sepulang dari menemui Jimi di penjara, tadi ia hanya ingin mendapatkan beberapa makanan untuk mengisi perut ketika menemukan  Saga dan Sesil sedang makan di restoran yang ingin disinggahinya. Dan pikirannya hanya akan semakin semrawut jika kembali ke kantor.

Melangkah masuk, perhatiannya teralih pada Davina yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah dari area halaman belakang. Langkahnya terhenti, begitu pun gadis itu ketika menyadari keberadaannya. Ah, pengalih perhatian dari patah hatinya selalu muncul di saat yang tepat.

"Bawakan teh ke kamarku," perintahnya dingin dan datar sebelum melangkah naik ke kamar utama. Ia tak terlalu suka teh, coklat panas, kopi, atau minuman apa pun di bawa ke kamar. Perintah itu jelas bahwa dia sedang butuh hal lainnya dari gadis itu.

Sampai di kamar mandi, Dirga melepas pakaiannya dalam perjalanan ke bilik shower. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tak lama, ia melangkah keluar dan pintu kamarnya diketuk pelan. Membuka pintu dan membiarkan Davina melangkah masuk. Mengunci pintu di belakangnya, Dirga menunggu gadis itu meletakkan nampan di meja.

Pandangan Davina tertunduk. Berdiri di samping meja dan menunggu. Tak perlu lama, Dirga sudah setengah perjalanan menghampirinya. Memangkas jarak di antara mereka dan langsung menangkap tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Bibir pria itu mendarat di bibirnya, dan ia bisa merasakan tengkuknya yang ditahan lalu kepalanya didongakkan agar bibir pria itu lebih leluasa bergerilya di mulutnya.

"Buka mulutmu," desis Dirga dalam perintahnya. Davina menurut, membiarkan lidahnya mengabsen seluruh jajaran gigi gadis itu yang rapi. Menyesap rasa manis dan memabukkan yang mulai memudarkan kebahagiaan Sesil yang memenuhi pikirannya. Perlahan membius cemburu dan patah hati di dadanya.

Dan dalam dua menit, tubuh keduanya sudah berada di tengah tempat tidur. Tanpa sehelai pun benang pun yang memisahkan ketelanjangan mereka.

Davina sama sekali tak melawan. Hanya pasrah dan membiarkan Dirga menikmati setiap inci tubuhnya. Seperti biasanya. Seperti yang sudah-sudah.

Pertama kalinya Dirga menyentuhnya, perlawanannya sama sekali tak membuat keberengsekan pria itu berhenti. Bahkan pria itu memperlakukannya dengan kasar, tak segan-segan meninggalkan lebam di tubuhnya saat ia melawan.

Pria itu menyembuhkan kakinya hanya untuk dijadikan pemuas nafsu. Sebagai bayaran atas kekejaman ayahnya terhadap pria itu.

Jimi Riley, tak banyak hal yang diketahuinya tentang sosok ayah di hidupnya sejak ia dilahirkan. Pria itu hanya datang sekali dalam setahun, memberikan segepok uang untuk bertahan hidup bagi mereka.

Mata dibayar mata, kaki dibayar kaki, dan nyawa dibayar nyawa. Sekarang nyawanya sudah menjadi milik seorang Banyu Dirgantara dan berakhir di ranjang pria itu.

Dirga mengerang, wajahnya dipenuhi peluh dan setelah pelepasan yang luar biasa, ia menarik diri dari tubuh gadis di bawahnya. Berguling ke samping dengan napas terengah. Sementara Davina langsung berbaring miring memunggungi pria itu sambil menarik selimut menutupi ketelanjangannya.

Setelah beberapa saat, Davina pikir Dirga sudah terlelap dengan kesunyian yang menyelimuti tempat tidur. Ia pun bergerak turun.

"Aku belum selesai." Suara dingin Dirga menahan kaki Davina yang baru saja menyentuh lantai.

Davina memutar kepala dan lengannya ditarik. Tubuhnya kembali berbaring di bawah Dirga.

"Aku sudah pernah mengatakan padamu, kan. Kau hanya boleh turun hanya jika aku mengijinkanku."

"Sejak pagi, aku merasa merasa tidak enak badan. Bolehkah kali ini aku pergi lebih cepat dari biasanya." Davina memberanikan diri untuk membuka suara.

Tetapi Dirga sama sekali tak tertipu dengan raut pucat dan suara lemah yang dibuat-buat Davina. Itu semua hanya alasan untuk melawan keinginannya terhadap gadis itu. "Berdalih, hah?" dengusnya tipis. Ya. Semua itu hanya dalih. Ia tahu dibalik semua kepasrahan dan kepatuhan gadis ini terhadapnya, otak kecil Davina sedang merencanakan sesuatu yang besar.

Davina pun menutup mulutnya. Tak punya pilihan selain membiarkan Dirga menguras habis seluruh tenaganya.

Related chapters

  • Pelayan Sang Tuan   2. Positif

    Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.*** Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan

  • Pelayan Sang Tuan   3. Sang Dominan

    Praanggg ...Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai. "Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengat

  • Pelayan Sang Tuan   4. Sadis

    Meera mengeluarkan sebutir tablet yang masih tersisa. Ya, obat itu adalah obat penurun panas untuk Davina. Ia tahu sang tuan bahkan tak peduli dengan sakit yang sungguh-sungguh diderita oleh Davina dan bersikeras bahwa itu adalah kepura-puraan gadis itu. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah membantu menyembuhkan demam Davina.“Apa ini?” Mata Galena menyipit.“Hanya vitamin.”Galena mendengus. “Kau pikir aku percaya?”“Saya tidak berbohong, Nona. Davina sedang sakit, jadi saya hanya mencoba membantunya.”Galena menyambar tablet obat tersebut.“N-nona?”“Aku akan melaporkan kelicikanmu pada Dirga. Jadi siapkan dirimu untuk dipecat dari rumah ini.”Meera menggelengkan kepalanya tak berdaya. “N-nona?”Galena melotot penuh peringatan. Menggunakan ujung telunjuknya untuk mendoorng-dorong kepala Meera. “Kau pikir bisa membodohi kami sebagai majikanmu? Dasar pelayan tak tahu diuntung.”Meera semakin dibuat tak berdaya, kepalanya tertunduk dalam dan tak berani melawan. Saat Galena melangkah perg

  • Pelayan Sang Tuan   5. Hancur

    Davina tersedak dengan keras, membuat apa pun yang ada di mulutnya tertelan habis. Tubuhnya jatuh tersungkur di lantai ketika Galena melepaskan jambakan dan bekapannya. Air mata mengalir di kedua mata. Salah satu tangan memegang leher demi meredakan rasa sakit di tenggorokan yang terasa seperti dirobek.Ia masih terbatuk, ada rasa mengganjal di tenggorokan yang masih menyakitkan. Galena berjongkok di depannya, menangkap rahang dan membuka mulutnya. Memastikan tidak ada apa pun yang tersisa di dalam mulutnya."Sekarang, biarkan obat itu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Jika beruntung, hanya akan satu nyawa yang melayang." seringai Galena keji. Menepuk pipi Davina dengan kasar sebelum bangkit berdiri. Lalu duduk di sofa dengan kedua kaki dan tangan bersilang dada. Menikmati setiap siksaan yang sudah diberikannya pada gadis pelacur tunangan.Itulah bayaran yang harus dilunasi untuk semua perhatian yang diberikan oleh Dirga. Terlalu banyak.Kedua pelayang yang berdiri di samping kanan

  • Pelayan Sang Tuan   6. Kerepotan Lainnya

    “Apa yang terjadi?” Dirga bertanya dengan suara dingin dan datarnya pada dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan.Dokter muda itu memasang raut tanya yang jelas. “Apakah Anda walinya?”Dirga sedikit kesulitan menjawab. Ya, umurnya dan Davina terpaut 15 tahun. Ditambah tubuh gadis itu yang kecil yang membuat Davina terlihat seperti pelajar. Padahal sudah jelas gadis itu sudah cukup umur untuk ditidurinya. Kecurigaan dalam pandangan dokter tersebut tentu saja membuatnya kesal, dan menjawab dengan kesal. “Ya, aku walinya.”“Anda siapanya pasien?” Kali ini tatapan pria itu tampak mengamati.Dirga tentu saja tahu apa yang dipikirkan oleh dokter muda itu. Terlalu muda untuk jadi ayah dan terlalu dewasa untuk dijadikan kekasih. Dan lagi, Davina juga terlalu muda untuk seorang istri.Dirga menggeram rendah dengan tatapan mengancam yang tersorot di kedua mata. “Kenapa itu menjadi urusanmu?”“Kami tidak bisa memberikan informasi …”“Aku yang membawanya ke rumah sakit. Aku yang bertangg

  • Pelayan Sang Tuan   7. Menghilang

    “Butuh bantuan?”Kepala Davina masih terasa pusing ketika perawat datang untuk membawakan makan malam. Sejak tadi siang, hanya ada Clay yang duduk di sofa. Pria itu sama sekali tak bicara dan menyibukkan diri dengan beberapa panggilan dan ponsel. Dan itu pertama kalinya pria itu bicara padanya.Davina menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang masih tersisa untuk bangun terduduk. Mengambil nampan yang diletakkan di meja kecil, tetapi karena tubuhnya masih lemah dan tak banyak kekuatan yang masih tersisa, nampan itu hanya beberapa detik berada dalam genggamannya sebelum jatuh ke lantai.Clay yang terduduk di sofa hanya mendengus tipis. “Tidak butuh bantuan dan hanya merepotkan saja, begitu?”Davina tak mengatakan apa pun. Tertunduk malu.“Inilah alasan Dirga begitu bersenang-senang denganmu. Kau sangat mudah dipermainkan dan sangat merepotkan. Membuat hidupnya yang membosankan jadi sedikit menyenangkan.” Clay bangkit berdiri dan melangkah mendekati ranjang pasien.Ada kerutan yang tersa

  • Pelayan Sang Tuan   8. Rencana Si Kembar

    “David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. “Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman

  • Pelayan Sang Tuan   9. Rencana David

    "Apa maksudmu, David?" Akhirnya Davina berhasil mengeluarkan suaranya setelah beberapa saat lamanya terpaku oleh penjelasan sang kakak."Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu." David merangkum sisi wajah Davina, ujung ibu jemarinya menyentuh luka di bibir sang adik. "Hanya ini satu-satunya cara agar kau lolos darinya.""T-tapi tidak dengan cara ini, David.""Aku sudah menyelidiki semuanya tentang dia. Dengan posisimu sebagai istri pria lain, itu akan melindungimu …""Tidak, David. Aku tak ingin melibatkan orang lain dengan masalah keluarga kita. Apa pun tujuannya, pernikahan ini tidak benar.""Percaya padaku." David menggenggam tangan mungil Davina. Meyakinkan sang adik. "Ega akan menjadi orang yang memiliki hak paling besar atas dirimu. Kau tahu pria sialan itu tak bisa diharapkan tanggung jawabnya untuk melindungimu.""David …""Kumohon, Davina. Hanya ini satu-satunya cara yang paling tepat untuk situasi ini."Davina terdiam. Menatap Ega yang tampak tak terpengaruh dengan perd

Latest chapter

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8b

    Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8a

    Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7b

    Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7a Cinta Sang Tuan

    Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6b

    Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6a

    Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5b

    Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 5a

    Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 4b

    ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin

DMCA.com Protection Status