Daya berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Ketika menginjakkan kakinya di di bagian bordes, air mata benar-benar sudah menggenang di pelupuk matanya. Daya bertahan untuk tidak menangis. Ada Zora, adik perempuannya yang sedari tadi duduk di anak tangga terakhir, menyandarkan kepalanya di railing tangga rumah mewah keluarga mereka, mendengarkan segala perdebatan yang terjadi di lantai bawah dengan wajah sedih.
Pertengkaran papa dan mamanya sayup-sayup masih terdengar di telinga Daya. Daya menghambur masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, tepat disamping kamar Zora. Menutup pintu dan segera menguncinya dari dalam, Daya tau Zora mengikutinya. Daya bersandar di pintu, seluruh tubuhnya terasa lemah. Kakinya sungguh enggan melangkah. Tulang-tulang dan otot tubuhnya lunglai merosot ke lantai.
“Kak Daya, Zora boleh masuk?”, gadis remaja berparas cantik itu mengetuk pelan kamar kakak lelakinya. Daya tidak menjawab, dia tak ingin bekata apa-apa. Tangisannya meledak tanpa suara. Kedua tangan Daya menutup mulutnya, menahan suara tangis yang mungkin saja menyelinap keluar dari bibirnya.
“Kak, bukakan pintunya kak, ini cuma aku saja”, sekali lagi Zora terdengar memohon. Daya tidak mau membuka pintu. Bagaimanapun, Daya tidak ingin kelihatan lemah, apalagi di depan Zora, adik kesayangannya.
Setelah beberapa saat yang hening tanpa suara, Zora kembali memulai kata-katanya. “Kalau kakak sudah tenang, panggil Zora ya Kak”, kali ini nada suaranya mulai putus asa. Zora sangat memahami apa yang dirasakan Daya, kakak yang lebih tua dua setengah tahun darinya.
Sebagai saudara kandung, Daya dan Zora sangat akrab. Menempuh pendidikan di sekolah yang sama, Daya dan Zora selalu pergi dan pulang bersama hampir setiap hari, kecuali ada perbedaan waktu pulang karena Daya sudah di semester terakhir. Karena berada di sekolah yang sama itu pulalah yang membuat Zora sangat banyak mengetahui dan memahami apa yang dialami Daya, baik di rumah maupun di sekolah.
Dari balik pintu Daya bisa mendengar derap langkah kaki Zora menjauhi pintu kamarnya, diikuti dengan suara tertutupnya pintu kamar Zora. Menyadari adiknya tidak lagi di balik pintu kamar, Daya terisak.
Masih terngiang di telinga Daya perkataan papanya beberapa saat yang lalu. “Sudah cukup Daya, berhentilah bersikap seperti perempuan. Banyak orang yang bergosip tentang keluarga kita, membuat Papa malu. Malu sekali Papa punya anak bencong”, kata-kata papa menancap bagaikan sembilu, mendesak masuk ke otaknya, menyesakkan dada Daya.
“Kamu juga jangan keterlaluan mengatai anak kita Pa, bagaimanapun Daya anak kita. Kita panggil saja Azmi kemari nanti malam. Kita bicarakan dengannya Pa”, mama Daya mencoba menetralisir suasana, namun berakhir dengan perdebatan panjang dan suara yang saling meninggi hingga Daya tidak tahan untuk tetap berada di depan kedua orangtuanya.
Bagi Daya, tidak masalah semua orang mem-bully dan mengatainya bencong, di sekolah, di tempat kursus bahasa, kursus musik, dimanapun. Tapi sungguh ternyata terasa menyakitkan apabila kata tersebut keluar langsung dari mulut papa. Sejatinya, seorang papa akan selalu menjadi pelindung bagi seluruh keluarga, bukan saja pelindung secara fisik, namun seharusnya juga hati dan perasaan.
Daya sungguh dirundung perih, papa yang menanti-nantikan kelahirannya, menggendongnya pertama kali, membisikkan doa pertama di telinganya, mengajarinya banyak hal, ternyata tak mampu menerima Daya apa adanya. Tak bisa menerima apa yang dirasakan Daya dalam kegalauannya. Justru lebih memikirkan citra diri, nama baik, dan martabatnya di mata orang lain. Termasuk hanya memikirkan kelanjutan dari garis kelimpahan materi yang selama ini dimiliki keluarganya.
Daya memang berasal dari keluarga terpandang, keluarga berpunya yang terhormat. Papa dan mamanya berprofesi sebagai dokter yang cukup terkenal. Papa Daya adalah seorang dokter bedah jantung, sedangkan mamanya adalah seorang dokter anestesi. Kisah cinta kedua orangtuanya bermula dari universitas yang sama.
Seluruh keluarga besar Daya adalah orang terpelajar. Masyarakat di Padang, kota tempat tinggalnya lebih mengenal mereka sebagai keluarga dokter. Ungku, panggilan Daya kepada kakeknya, sungguh bangga dengan seluruh anak-anaknya yang juga menjadi dokter. Keluarga Daya juga terkenal atas kepemilikannya terhadap salah satu rumah sakit besar di kota kelahirannya tersebut.
Ketiga adik papa Daya juga menjadi dokter yang terkenal dengan spesialisasinya masing-masing. Namun alih-alih mendapatan dukungan dari anggota-anggota keluarganya, Daya justru sering menghadapi ‘bisik-bisik di belakangnya.
Tidak ada yang benar-benar mengerti keinginan Daya. Daya tidak pernah merasa berada di tempat yang seharusnya. Tidak dalam keluarga, tidak juga dalam tubuhnya. Daya tidak pernah bahagia terlahir sebagai laki-laki. Hal inilah yang selalu berusaha ditutupi dan dibungkam oleh seluruh keluarga, kecuali Tante Azmi dan Zora.
Tante Azmi adalah adik bungsu dari papa Daya yang berprofesi sebagai psikiater. Berbeda dengan saudaranya yang lain, Tante Azmi menempuh pendidikannya sampai dengan lulus spesialis kedokteran jiwa di Perancis. Pengalaman yang pernah membawanya jauh dari tanah kelahirannya membuat pikirannya lebih terbuka. Walaupun masih takut untuk terlalu membela Daya di depan keluarga besarnya, setidaknya Tante Azmi adik bungsu papanya itu yang masih mau mendengarkan kata hati Daya.
Daya kembali mendengar suara langkah kaki mengarah ke pintu kamarnya. Tangisnya belum lagi reda, sedihnya belum pula usai.
“Mama boleh masuk, Nak?”, suara mamanya terdengar cukup tenang. Daya masih tak bergeming.
“Daya, sebentar lagi mama ada jadwal operasi di Rumah Sakit, Nak. Mama hanya mau bicara sebentar saja”, Daya sungguh tidak tega mendengar suara memelas mamanya. Daya tahu bahwa dengan bekerja sebagai dokter, kedua orang tuanya harus mengorbankan banyak waktu yang seharusnya untuk keluarga, demi melayani pasien. Sumpah Hipokrates modern yang telah diucapkan ketika menginjakkan kaki dalam profesi dokter yang dijalaninya, tentu tak bisa dilanggar, apapun keadaannya. Meninggalkan rumah dalam kondisi demikian tentu bisa mengganggu pikiran ibunya.
Daya berdiri dan menghapus air matanya. Membuka pintu kamar di hadapannya. “Boleh mama masuk?” ujar mama sembari mengusap pipi Daya, menghapus sisa air matanya.
Daya berjalan menuju ranjang di kamarnya, tidak berkata apapun, diikuti mamanya. Daya duduk bersedekap di ranjang besar yang tertutup bed cover berwarna biru muda. Mama duduk tepat di depan Daya.
“Mama tidak bisa bicara banyak dengan Daya sekarang, karena sebentar lagi harus pergi. Mama janji akan berbicara panjang dengan Daya besok ya, Nak. Mama hanya mau Daya tenang, berpikir panjang. Mama juga mau Daya tahu, kalau mama dan papa itu sayang sekali pada Daya, hanya menginginkan yang terbaik untuk Daya”, mama berkata sambil memegang pergelangan tangan kiri Daya.
Daya masih tak bergeming, mencoba memahami apa yang disampaikan mamanya. Tapi rasanya, mama benar-benar sedang buru-buru. Daya tidak ingin kembali membuka argumentasi. Dia hanya ingin mamanya pergi bekerja dengan tenang, dan selamat hingga kembali pulang.
“Nanti malam, Tante Azmi mau datang, mama usahakan setelah pekerjaan mama selesai, mama akan segera pulang. Nanti Daya temui Tante Azmi ya Nak, mama harus segera bersiap untuk berangkat”, mama Daya melanjutkan ucapan yang perlu disampaikannya pada Daya.
Daya hanya mengangguk pelan. Mama beranjak berdiri dan mengelus lembut rambut Daya, kemudian berbalik. Daya menarik nafas panjang. Mama sudah mau menutup pintu kamarnya ketika Daya kembali memanggil, “Ma, Daya sayang sama mama”. Mamanya hanya tersenyum mengangguk, sejenak kemudian berlalu, di balik pintu yang tertutup.
Jam digital di atas meja nakas menunjukkan pukul 5 sore. Daya masih terduduk di atas ranjangnya, benar-benar merasa tidak baik. Cermin di lemari pakaian yang berjarak 5 meter darinya memantulkan bayangan Daya. Wajahnya terlihat kuyu, matanya pun masih sembab. Daya mencoba untuk tidak menangis lagi.Daya berpikir lebih baik dia mandi saja. Mungkin dengan mandi Daya akan merasa lebih segar. Dia berusaha bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Raya melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, kemudian masuk ke ruangan shower. Raya membuka keran shower, air hangat mengucur membasahi rambutnya lalu turun dan menelusuri jengkal demi jengkal tubuh Daya.Daya menengadahkan wajahnya ke atas, menantang arah jatuhnya air. Matanya pelan-pelan memejam, menikmati setiap tetesan air yang membasahinya. Semuanya kenangan dan apapun yang pernah dialami dari masa kecilnya kembali membayang, mewujud bagaikan kaleidoskop yang diputar berulang-ulang dalam kepalanya.Te
Berjalan keluar dari ruangan shower, Daya menyambar bathrob berwarna hijau lumut yang tersampir di gantungan handuk kemudian memakainya, kemudian mengambil satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya.Langkahnya terhenti di depan kaca besar meja wastafel. Daya biasanya mengeringkan rambut dengan hairdryer di bagian tersebut dan menata rambutnya. Hari ini Daya merasa malas untuk melakukan itu semua.Daya menatap kaca di depannya yang masih dipenuhi embun dari uap air hangat ketika dia berlama-lama di bawah pancuran. Bayangan dirinya tampak samar. Daya menarik nafas panjang sembari mengangkat tangannya, mencoba menghalau embun yang menutupi cermin. Dirinya di dalam cermin tampak mewujud semakin jelas.Daya memperhatikan bagian demi bagian dirinya yang dipantulkan cermin. Terlahir sebagai lelaki, Daya memiliki wajah yang rupawan. Bola matanya yang berwarna coklat tua tampak sempurnya berbingkai kelopak berbentuk almond eyes. Kedua mata
“Zora, kakak boleh masuk?” Daya berkata seraya mengetuk pintu kamar Zora. Zora menghambur dari kursi meja belajarnya. Separuh berlari membukakan pintu untuk Daya.“Kak, sini kak”, Zora menarik Daya masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera menutup pintu kamar itu. Daya menjatuhkan badannya di karpet duduk dalam kamar Zora. Zora mengikuti kakaknya, duduk tepat di depannya.“Kakak baik-baik saja kan?” Zora bertanya sambil menatap wajah kakaknya. Dia bisa melihat bahwa mata Daya masih sembab setelah menangis sesiangan. Gadis itu sangat sayang pada kakaknya. Wajahnya serupa dengan Daya, hanya saja, Zora adalah versi perempuannya.“Nggak tahu ya Ra, kakak bener-bener merasa putus asa. Papa dan mama memang tidak pernah mau paham apa yang kakak rasakan”, Daya duduk membungkuk dengan memeluk kedua lututnya yang bersilang vertikal di hadapannya. Kepalanya bersandar pada lutut kirinya.Zora mendekat pada Daya, salah sa
Zora memandang Daya yang menggelengkan kepalanya dan memberikan ekspresi serta gerak bibir mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin pergi. Matanya membesar, bingung dengan kemauan kakaknya itu. Daya memilih membiarkan Tante Azmi mengetahui mereka berdua di tangga. Zora yang sudah berdiri tidak menyetujui dan menarik lengan Daya supaya berdiri. Namun terlambat, Tante Azmi sudah menginjakkan kakinya di anak tangga setelah belokan. Menyadari mereka berdua sedang beradu argumen dalam bahasa isyarat, Tante Azmi tersenyum namun tetap naik dengan tenang dan tidak mengeluarkan sepatah katapun hingga anak tangga terakhir. Daya dan Zora yang bersiap menyapa mengurungkan niatnya melihat tante Azmi memberikan isyarat untuk diam dengan menaruh jari telunjuknya melintang vertikal pada bibirnya. Melewati Daya dan Zora, Tante Azmi menarik pelan tangan kedua keponakannya tersebut, mengajak mereka untuk mengikuti Tante Azmi. Tante Azmi memandang mereka berdua dan menunjuk ruang baca. Daya
Daya menarik nafas panjang, mencoba merasa-rasa, apakah dia bisa mengatakan keseluruhan isi hati kepada Tante Azmi. Akankah Tante Azmi mengerti atau juga akan menolak segala pikirannya. Dalam kepalanya, Daya sungguh menerawang jauh, berpikir, menganalisa.Tante Azmi yang memiliki latar belakang profesi sebagai psikiater tentu lebih memahami seluruh gejolak yang dirasakan Daya. Pendidikan yang dilewatinya jauh di luar negeri mungkin juga sudah banyak merubah persepsinya mengenai dunia.Di sisi lain, Tante Azmi juga merupakan anggota keluarga besar yang kemungkinan juga akan menolak keinginan Daya demi kehormatan keluarga besarnya tersebut. Raya mencoba memahami posisi orang-orang lain di sekitarnya, di dalam keluarganya. Siapakah yang menginginkan cibiran dan ejekan dari masyarakat sekitar karena ada anggota keluarga yang tak jelas lelaki atau perempuan? Siapa pula yang mampu menerima anggota keluarga yang sudah diketahui termasuk ke dalam salah satu jenis gender lalu k
Lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu adalah malam hari terakhir di bulan Agustus, sekaligus menjadi malam hari terakhir libur musim panas. Ini adalah tahun pertamanya di Perancis. Azmi membayangkan kembali ke perkualiahan membuatnya tegang. Sungguh kebebasan itu sebenarnya adalah tanggung jawab yang lebih besar, dan tanggung jawab itu sendiri berarti beban yang sangat berat.Dalam hati Azmi mengutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berani mengambil keputusan untuk melanjutnya pendidikan kedokteran di Perancis. Nilai pas-pasannya saat lulus sekolah menengah atas di Indonesia pun sungguh diragukan akan mampu berhasil dengan mulus memasuki jurusan kedokteran pada perguruan tinggi negeri di negara sendiri. Namun berkat kelimpahan materi yang dimiliki keluarganya, papa Azmi yang juga seorang dokter berhasil menemukan agensi yang mampu mengurus segalanya hingga Azmi akhirnya berhasil duduk manis di Sorbonne University.Azmi sebenarnya sangat pintar, nilai IQ-nya bahkan
Dalam hati Azmi memang sudah memastikan bahwa yang memencet bel pintu apartemen adalah Jean, atau Azmi lebih suka memanggilnya Joana. Namun untuk memastikan Azmi tetap mengintip melalui lubang pengintip. Tidak ada siapapun disana, Azmi terdiam, menduga memang ada orang usil yang memencet bel pintunya.Azmi bersiap untuk berbalik, teringat bahwa kalau saja itu Joana, tentu dia sudah membuka pintu menggunakan kunci miliknya. Bel kembali berbunyi, Azmi kembali mengintip dari lubang pintu. Kejadian kembali berulang, tidak tampak siapapun dan apapun di depan pintu. Azmi menjadi sedikit kesal, menduga bahwa jelas-jelas ada yang sedang mempermainkannya.Sekarang dia tidak beranjak, melainkan menununggu diam-diam di depan pintu. Beberapa waktu, bel tidak berbunyi. Azmi sungguh bukan perempuan yang penakut. Rasa-rasanya dia ingin keluar dan memeriksa.Kali ketiga bel berbunyi, kali ini Azmi tersenyum. Dia tetap diam senyap di tempat, berencana akan membuka pintu secepatn
Azmi dan Joana memesan pizza untuk makan malam. Menyadari bahwa besok harus memulai kembali kegiatan di kampus sudah membuat Azmi merasa malas melakukan apapun. Dia juga masih memiliki beberapa tugas yang harus diselesaikan, beberapa materi yang harus dipelajari kembali sebagai persiapan, bila tidak ingin mempermalukan negaranya. Membayangkan itu semua, mempelajari segala sesuatu yang tidak membuatnya tertarik sungguh mengumpan rasa kantuknya. Azmi merasa ingin segera tidur saja.“Hey, perempuan Indonesia yang cantik, kamu kelihatan mengantuk. Sudah pasti aku tidak salah menduga, pasti sepanjang liburan kamu hanya mengajak tidur buku-buku pelajaranmu dan melukis di balkon ini. Sekarang katakan kalau aku benar”, Joana tertawa geli memandang wajah sahabatnya itu.Azmi mengibaskan rambut pendeknya yang sebahu, lalu mengikatnya secara asal. Tidak perlu mengatakan tidak, dia jelas tak bisa mengelak. Lukisan-lukisan barunya bergelantungan di dinding. Bekas-bekas
Makam Joana berada di atas perbukitan di kota kelahirannya itu. Satu per satu orang yaang mengikuti acara pemakaman sudah pulang. Sekarang hanya tinggal Azmi dan Rene yang masih berada di makam tersebut. Rene tidak mau mengusik Azmi yang masih tampak menatap makam tersebut.“Aku akan menunggumu disana Az”, kata Rene pada Azmi. Azmi mengangguk pada Rene.“Aku akan menyusul sebentar lagi”, kata Azmi sebelum Rene beranjak.Azmi menatap nisan bertuliskan nama Joana. Beberapa pelayat dan keluarga Joana menaruh bunga di makam tersebut, termasuk Azmi.“Joana, maafkan aku. Maafkan aku tidak menemanimu sampai pagi malam itu. Maafkan aku membuatmu merasa sendiri. Aku berharap kau menemukan kedamaian disana. Aku berjanji padamu, aku akan menyelesaikan pendidikanku kedokteran dan melanjutkan di jurusan kejiwaan. Setidaknya, aku akan memiliki kesempatan seperti kesempatan yang tidak aku ambil sehingga berakibat kepergianmu. Selamat jalan
Beranjak minggu ketiga setelah meninggalnya Joana, Azmi merasa tidak ingin melanjutkan untuk tinggal di apartemen yang ditinggalinya bersama Joana dulu. Bukan karena takut, bukan pula karena merasa apa-apa. Hanya saja Azmi tdak mampu melepaskan bayangan sahabatnya itu dari ingatannya setiap kali dia melihat ruangan tempat dia dan Joana dulu bersama.Orangtua Azmi yang mengetahui tetang meninggalnya Joana kemudian juga meminta Azmi pindah ke apartemen lainnya. Azmi tentunya hanya mengatakan bahwa kematian Joana disebabkan oleh kecelakaan agar tidak menimbulkan keributan pada orangtuanya. Rene membantu Azmi untuk pindah ke apartemen yang sama dengannya. Namun berbeda dengan sebelumnya, Azmi sekarang memilih studio apartemen dengan satu kamar saja.Hari itu sudah memasuki minggu ketiga sejak kepergian Joana. Orangtuanya sungguh kesulitan menemukan rumah duka yang meau menerima pelayanan jenazah untuk Joana. Kebanyakan rumah pelayanan pemakaman menolak karena penyebab kema
Interogasi terhadap Azmi sudah selesai. Di pintu keluar dari kantor kepolisian, Azmi berpapasan dengan Madeleine dan Raphael Dubois, orangtua dari Joana. Sebenarnya mereka semua baik kepada Azmi. Azmi sudah beberapa kali datang kerumah mereka. Pada awalnya, kedua orangtu aitu sangat senang,, mengira bahwa pada akhirnya Jean mereka datang membawa kekasih. Namun, itu tentu disangkal oleh Jean yang mengatakan bahwa mereka berdua adalah sahabat. Azmi juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kedua orangtua Joana. Mereka mungin saja tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dihadapi Joana setiap harinya. Mereka tidak mampu memahami apa yang ada dalam pikirannya, apa yang menjadi kehendak dari anak mereka itu. “Maafkan aku, aku sangat berduka atas kepergian Jo..maksudku Jean”, kata Azmi pada kedua orang itu. Madeleine memeluk Azmi, “Aku tahu bahwa kau juga sangat terpukul atas kejadian ini Azmi. Kami minta maaf padamu, kau harus menghadapi semua itu sendirian”. Wanit
Seluruh tubuh Azmi bergetar melihat pemandangan di dalam kamar mandi. Lututnya terasa goyah, dan kepalanya berkunang-kunang.Azmi hampir saja pingsan. Sahabatnya terduduk di bawah shower. Ada dua luka sayatan yang terbuka melintang di pergelangan tangannya sementara tubuhnya yang mengenakan baju t shirt putih penuh bercak darah tampak pucat pasi. Kepalanya tersandar ke sudut kamar mandi.Air yang mengucur dari keran shower memang telah mengalirkan darahnya, namun bercak darah di dinding dan bajunya masih melekat. Azmi merasa limbung, berdiri untuk kembali ke kamar dan menelpon bantuan.Beberapa menit setelahnya, bantuan datang. Petugas kesehatan membawa jenazah Joana dengan mobil ambulan sementara, sementara Azmi harus ikut ke kantor kepolisian setempat untuk memberikan keterangan.Azmi pasrah, tidak mengapa dia disibukkan seharian. Namun kehilangan sahabat yang biasanya selalu bersamanya membuat Azmi tak mampu berpikir dengan lurus. Entah apa yang harus
Azmi dan Joana memesan pizza untuk makan malam. Menyadari bahwa besok harus memulai kembali kegiatan di kampus sudah membuat Azmi merasa malas melakukan apapun. Dia juga masih memiliki beberapa tugas yang harus diselesaikan, beberapa materi yang harus dipelajari kembali sebagai persiapan, bila tidak ingin mempermalukan negaranya. Membayangkan itu semua, mempelajari segala sesuatu yang tidak membuatnya tertarik sungguh mengumpan rasa kantuknya. Azmi merasa ingin segera tidur saja.“Hey, perempuan Indonesia yang cantik, kamu kelihatan mengantuk. Sudah pasti aku tidak salah menduga, pasti sepanjang liburan kamu hanya mengajak tidur buku-buku pelajaranmu dan melukis di balkon ini. Sekarang katakan kalau aku benar”, Joana tertawa geli memandang wajah sahabatnya itu.Azmi mengibaskan rambut pendeknya yang sebahu, lalu mengikatnya secara asal. Tidak perlu mengatakan tidak, dia jelas tak bisa mengelak. Lukisan-lukisan barunya bergelantungan di dinding. Bekas-bekas
Dalam hati Azmi memang sudah memastikan bahwa yang memencet bel pintu apartemen adalah Jean, atau Azmi lebih suka memanggilnya Joana. Namun untuk memastikan Azmi tetap mengintip melalui lubang pengintip. Tidak ada siapapun disana, Azmi terdiam, menduga memang ada orang usil yang memencet bel pintunya.Azmi bersiap untuk berbalik, teringat bahwa kalau saja itu Joana, tentu dia sudah membuka pintu menggunakan kunci miliknya. Bel kembali berbunyi, Azmi kembali mengintip dari lubang pintu. Kejadian kembali berulang, tidak tampak siapapun dan apapun di depan pintu. Azmi menjadi sedikit kesal, menduga bahwa jelas-jelas ada yang sedang mempermainkannya.Sekarang dia tidak beranjak, melainkan menununggu diam-diam di depan pintu. Beberapa waktu, bel tidak berbunyi. Azmi sungguh bukan perempuan yang penakut. Rasa-rasanya dia ingin keluar dan memeriksa.Kali ketiga bel berbunyi, kali ini Azmi tersenyum. Dia tetap diam senyap di tempat, berencana akan membuka pintu secepatn
Lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu adalah malam hari terakhir di bulan Agustus, sekaligus menjadi malam hari terakhir libur musim panas. Ini adalah tahun pertamanya di Perancis. Azmi membayangkan kembali ke perkualiahan membuatnya tegang. Sungguh kebebasan itu sebenarnya adalah tanggung jawab yang lebih besar, dan tanggung jawab itu sendiri berarti beban yang sangat berat.Dalam hati Azmi mengutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berani mengambil keputusan untuk melanjutnya pendidikan kedokteran di Perancis. Nilai pas-pasannya saat lulus sekolah menengah atas di Indonesia pun sungguh diragukan akan mampu berhasil dengan mulus memasuki jurusan kedokteran pada perguruan tinggi negeri di negara sendiri. Namun berkat kelimpahan materi yang dimiliki keluarganya, papa Azmi yang juga seorang dokter berhasil menemukan agensi yang mampu mengurus segalanya hingga Azmi akhirnya berhasil duduk manis di Sorbonne University.Azmi sebenarnya sangat pintar, nilai IQ-nya bahkan
Daya menarik nafas panjang, mencoba merasa-rasa, apakah dia bisa mengatakan keseluruhan isi hati kepada Tante Azmi. Akankah Tante Azmi mengerti atau juga akan menolak segala pikirannya. Dalam kepalanya, Daya sungguh menerawang jauh, berpikir, menganalisa.Tante Azmi yang memiliki latar belakang profesi sebagai psikiater tentu lebih memahami seluruh gejolak yang dirasakan Daya. Pendidikan yang dilewatinya jauh di luar negeri mungkin juga sudah banyak merubah persepsinya mengenai dunia.Di sisi lain, Tante Azmi juga merupakan anggota keluarga besar yang kemungkinan juga akan menolak keinginan Daya demi kehormatan keluarga besarnya tersebut. Raya mencoba memahami posisi orang-orang lain di sekitarnya, di dalam keluarganya. Siapakah yang menginginkan cibiran dan ejekan dari masyarakat sekitar karena ada anggota keluarga yang tak jelas lelaki atau perempuan? Siapa pula yang mampu menerima anggota keluarga yang sudah diketahui termasuk ke dalam salah satu jenis gender lalu k
Zora memandang Daya yang menggelengkan kepalanya dan memberikan ekspresi serta gerak bibir mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin pergi. Matanya membesar, bingung dengan kemauan kakaknya itu. Daya memilih membiarkan Tante Azmi mengetahui mereka berdua di tangga. Zora yang sudah berdiri tidak menyetujui dan menarik lengan Daya supaya berdiri. Namun terlambat, Tante Azmi sudah menginjakkan kakinya di anak tangga setelah belokan. Menyadari mereka berdua sedang beradu argumen dalam bahasa isyarat, Tante Azmi tersenyum namun tetap naik dengan tenang dan tidak mengeluarkan sepatah katapun hingga anak tangga terakhir. Daya dan Zora yang bersiap menyapa mengurungkan niatnya melihat tante Azmi memberikan isyarat untuk diam dengan menaruh jari telunjuknya melintang vertikal pada bibirnya. Melewati Daya dan Zora, Tante Azmi menarik pelan tangan kedua keponakannya tersebut, mengajak mereka untuk mengikuti Tante Azmi. Tante Azmi memandang mereka berdua dan menunjuk ruang baca. Daya