Daya berasal dari keluarga terpandang. Papanya adalah seorang dokter bedah jantung yang handal. Mamanya juga memiliki profesi yang sama sebagai dokter, namun dengan spesialiasi anestesi. Seluruh keluarga besar Daya adalah orang terpelajar. Masyarakat di kota tempat tinggalnya lebih mengenal mereka sebagai keluarga dokter. Sejak ungku, panggilan Daya kepada orang tua laki-laki papanya yang juga seorang dokter bedah masih muda, keluarga Daya sudah terkenal atas kepemilikannya terhadap salah satu rumah sakit besar di kota kelahirannya tersebut. Ketiga adik papa Daya juga menjadi dokter yang terkenal dengan spesialisasinya masing-masing. Sebagai anak dan cucu pertama laki-laki dalam keluarga Syahbri, Daya diharapkan dapat menjadi penerus gelar keluarga, menyambung profesi dokter. Segala upaya dicukupkan untuk Daya. Fasilitas pendidikan dan sekolah di tempat yang elit khusus bagi putra putri keluarga berpunya dipersiapkan untuk Daya. Namun semua itu tidak pernah menjadi keinginan Daya. Daya tidak pernah merasa berada di tempat yang seharusnya, alih-alih dalam keluarga, tidak juga dalam tubuhnya. Daya tidak pernah bahagia terlahir sebagai laki-laki. Hal inilah yang selalu berusaha ditutupi dan dibungkam oleh seluruh keluarga, kecuali Tante Azmi yang berprofesi sebagai psikiater, lulusan dari Perancis. Walaupun masih takut untuk terlalu membela Daya di depan keluarga besarnya, setidaknya Tante Azmi adik bungsu papanya itu masih mau mendengarkan dan menghibur Daya. Selepas Sekolah Menengah Atas, keluarga besar mendesak Daya untuk memilih jurusan kedokteran. Sementara Daya tertarik untuk menjadi seorang cellis, pemain cello. Sementara, papanya terus memaksa Daya dengan berbagai cara. Hingga pada satu malam, Daya tak sanggup lagi menahan segalanya. Daya pergi dari rumah, meninggalkan segala yang dirasa tak mampu memahami seluk beluk hatinya. Kemanakah Daya pergi? Mampukah dia bertahan? Bisakah Daya mencapai cita-citanya?
View MoreMakam Joana berada di atas perbukitan di kota kelahirannya itu. Satu per satu orang yaang mengikuti acara pemakaman sudah pulang. Sekarang hanya tinggal Azmi dan Rene yang masih berada di makam tersebut. Rene tidak mau mengusik Azmi yang masih tampak menatap makam tersebut.“Aku akan menunggumu disana Az”, kata Rene pada Azmi. Azmi mengangguk pada Rene.“Aku akan menyusul sebentar lagi”, kata Azmi sebelum Rene beranjak.Azmi menatap nisan bertuliskan nama Joana. Beberapa pelayat dan keluarga Joana menaruh bunga di makam tersebut, termasuk Azmi.“Joana, maafkan aku. Maafkan aku tidak menemanimu sampai pagi malam itu. Maafkan aku membuatmu merasa sendiri. Aku berharap kau menemukan kedamaian disana. Aku berjanji padamu, aku akan menyelesaikan pendidikanku kedokteran dan melanjutkan di jurusan kejiwaan. Setidaknya, aku akan memiliki kesempatan seperti kesempatan yang tidak aku ambil sehingga berakibat kepergianmu. Selamat jalan
Beranjak minggu ketiga setelah meninggalnya Joana, Azmi merasa tidak ingin melanjutkan untuk tinggal di apartemen yang ditinggalinya bersama Joana dulu. Bukan karena takut, bukan pula karena merasa apa-apa. Hanya saja Azmi tdak mampu melepaskan bayangan sahabatnya itu dari ingatannya setiap kali dia melihat ruangan tempat dia dan Joana dulu bersama.Orangtua Azmi yang mengetahui tetang meninggalnya Joana kemudian juga meminta Azmi pindah ke apartemen lainnya. Azmi tentunya hanya mengatakan bahwa kematian Joana disebabkan oleh kecelakaan agar tidak menimbulkan keributan pada orangtuanya. Rene membantu Azmi untuk pindah ke apartemen yang sama dengannya. Namun berbeda dengan sebelumnya, Azmi sekarang memilih studio apartemen dengan satu kamar saja.Hari itu sudah memasuki minggu ketiga sejak kepergian Joana. Orangtuanya sungguh kesulitan menemukan rumah duka yang meau menerima pelayanan jenazah untuk Joana. Kebanyakan rumah pelayanan pemakaman menolak karena penyebab kema
Interogasi terhadap Azmi sudah selesai. Di pintu keluar dari kantor kepolisian, Azmi berpapasan dengan Madeleine dan Raphael Dubois, orangtua dari Joana. Sebenarnya mereka semua baik kepada Azmi. Azmi sudah beberapa kali datang kerumah mereka. Pada awalnya, kedua orangtu aitu sangat senang,, mengira bahwa pada akhirnya Jean mereka datang membawa kekasih. Namun, itu tentu disangkal oleh Jean yang mengatakan bahwa mereka berdua adalah sahabat. Azmi juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kedua orangtua Joana. Mereka mungin saja tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dihadapi Joana setiap harinya. Mereka tidak mampu memahami apa yang ada dalam pikirannya, apa yang menjadi kehendak dari anak mereka itu. “Maafkan aku, aku sangat berduka atas kepergian Jo..maksudku Jean”, kata Azmi pada kedua orang itu. Madeleine memeluk Azmi, “Aku tahu bahwa kau juga sangat terpukul atas kejadian ini Azmi. Kami minta maaf padamu, kau harus menghadapi semua itu sendirian”. Wanit
Seluruh tubuh Azmi bergetar melihat pemandangan di dalam kamar mandi. Lututnya terasa goyah, dan kepalanya berkunang-kunang.Azmi hampir saja pingsan. Sahabatnya terduduk di bawah shower. Ada dua luka sayatan yang terbuka melintang di pergelangan tangannya sementara tubuhnya yang mengenakan baju t shirt putih penuh bercak darah tampak pucat pasi. Kepalanya tersandar ke sudut kamar mandi.Air yang mengucur dari keran shower memang telah mengalirkan darahnya, namun bercak darah di dinding dan bajunya masih melekat. Azmi merasa limbung, berdiri untuk kembali ke kamar dan menelpon bantuan.Beberapa menit setelahnya, bantuan datang. Petugas kesehatan membawa jenazah Joana dengan mobil ambulan sementara, sementara Azmi harus ikut ke kantor kepolisian setempat untuk memberikan keterangan.Azmi pasrah, tidak mengapa dia disibukkan seharian. Namun kehilangan sahabat yang biasanya selalu bersamanya membuat Azmi tak mampu berpikir dengan lurus. Entah apa yang harus
Azmi dan Joana memesan pizza untuk makan malam. Menyadari bahwa besok harus memulai kembali kegiatan di kampus sudah membuat Azmi merasa malas melakukan apapun. Dia juga masih memiliki beberapa tugas yang harus diselesaikan, beberapa materi yang harus dipelajari kembali sebagai persiapan, bila tidak ingin mempermalukan negaranya. Membayangkan itu semua, mempelajari segala sesuatu yang tidak membuatnya tertarik sungguh mengumpan rasa kantuknya. Azmi merasa ingin segera tidur saja.“Hey, perempuan Indonesia yang cantik, kamu kelihatan mengantuk. Sudah pasti aku tidak salah menduga, pasti sepanjang liburan kamu hanya mengajak tidur buku-buku pelajaranmu dan melukis di balkon ini. Sekarang katakan kalau aku benar”, Joana tertawa geli memandang wajah sahabatnya itu.Azmi mengibaskan rambut pendeknya yang sebahu, lalu mengikatnya secara asal. Tidak perlu mengatakan tidak, dia jelas tak bisa mengelak. Lukisan-lukisan barunya bergelantungan di dinding. Bekas-bekas
Dalam hati Azmi memang sudah memastikan bahwa yang memencet bel pintu apartemen adalah Jean, atau Azmi lebih suka memanggilnya Joana. Namun untuk memastikan Azmi tetap mengintip melalui lubang pengintip. Tidak ada siapapun disana, Azmi terdiam, menduga memang ada orang usil yang memencet bel pintunya.Azmi bersiap untuk berbalik, teringat bahwa kalau saja itu Joana, tentu dia sudah membuka pintu menggunakan kunci miliknya. Bel kembali berbunyi, Azmi kembali mengintip dari lubang pintu. Kejadian kembali berulang, tidak tampak siapapun dan apapun di depan pintu. Azmi menjadi sedikit kesal, menduga bahwa jelas-jelas ada yang sedang mempermainkannya.Sekarang dia tidak beranjak, melainkan menununggu diam-diam di depan pintu. Beberapa waktu, bel tidak berbunyi. Azmi sungguh bukan perempuan yang penakut. Rasa-rasanya dia ingin keluar dan memeriksa.Kali ketiga bel berbunyi, kali ini Azmi tersenyum. Dia tetap diam senyap di tempat, berencana akan membuka pintu secepatn
Lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu adalah malam hari terakhir di bulan Agustus, sekaligus menjadi malam hari terakhir libur musim panas. Ini adalah tahun pertamanya di Perancis. Azmi membayangkan kembali ke perkualiahan membuatnya tegang. Sungguh kebebasan itu sebenarnya adalah tanggung jawab yang lebih besar, dan tanggung jawab itu sendiri berarti beban yang sangat berat.Dalam hati Azmi mengutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berani mengambil keputusan untuk melanjutnya pendidikan kedokteran di Perancis. Nilai pas-pasannya saat lulus sekolah menengah atas di Indonesia pun sungguh diragukan akan mampu berhasil dengan mulus memasuki jurusan kedokteran pada perguruan tinggi negeri di negara sendiri. Namun berkat kelimpahan materi yang dimiliki keluarganya, papa Azmi yang juga seorang dokter berhasil menemukan agensi yang mampu mengurus segalanya hingga Azmi akhirnya berhasil duduk manis di Sorbonne University.Azmi sebenarnya sangat pintar, nilai IQ-nya bahkan
Daya menarik nafas panjang, mencoba merasa-rasa, apakah dia bisa mengatakan keseluruhan isi hati kepada Tante Azmi. Akankah Tante Azmi mengerti atau juga akan menolak segala pikirannya. Dalam kepalanya, Daya sungguh menerawang jauh, berpikir, menganalisa.Tante Azmi yang memiliki latar belakang profesi sebagai psikiater tentu lebih memahami seluruh gejolak yang dirasakan Daya. Pendidikan yang dilewatinya jauh di luar negeri mungkin juga sudah banyak merubah persepsinya mengenai dunia.Di sisi lain, Tante Azmi juga merupakan anggota keluarga besar yang kemungkinan juga akan menolak keinginan Daya demi kehormatan keluarga besarnya tersebut. Raya mencoba memahami posisi orang-orang lain di sekitarnya, di dalam keluarganya. Siapakah yang menginginkan cibiran dan ejekan dari masyarakat sekitar karena ada anggota keluarga yang tak jelas lelaki atau perempuan? Siapa pula yang mampu menerima anggota keluarga yang sudah diketahui termasuk ke dalam salah satu jenis gender lalu k
Zora memandang Daya yang menggelengkan kepalanya dan memberikan ekspresi serta gerak bibir mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin pergi. Matanya membesar, bingung dengan kemauan kakaknya itu. Daya memilih membiarkan Tante Azmi mengetahui mereka berdua di tangga. Zora yang sudah berdiri tidak menyetujui dan menarik lengan Daya supaya berdiri. Namun terlambat, Tante Azmi sudah menginjakkan kakinya di anak tangga setelah belokan. Menyadari mereka berdua sedang beradu argumen dalam bahasa isyarat, Tante Azmi tersenyum namun tetap naik dengan tenang dan tidak mengeluarkan sepatah katapun hingga anak tangga terakhir. Daya dan Zora yang bersiap menyapa mengurungkan niatnya melihat tante Azmi memberikan isyarat untuk diam dengan menaruh jari telunjuknya melintang vertikal pada bibirnya. Melewati Daya dan Zora, Tante Azmi menarik pelan tangan kedua keponakannya tersebut, mengajak mereka untuk mengikuti Tante Azmi. Tante Azmi memandang mereka berdua dan menunjuk ruang baca. Daya
Daya berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Ketika menginjakkan kakinya di di bagian bordes, air mata benar-benar sudah menggenang di pelupuk matanya. Daya bertahan untuk tidak menangis. Ada Zora, adik perempuannya yang sedari tadi duduk di anak tangga terakhir, menyandarkan kepalanya di railing tangga rumah mewah keluarga mereka, mendengarkan segala perdebatan yang terjadi di lantai bawah dengan wajah sedih.Pertengkaran papa dan mamanya sayup-sayup masih terdengar di telinga Daya. Daya menghambur masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, tepat disamping kamar Zora. Menutup pintu dan segera menguncinya dari dalam, Daya tau Zora mengikutinya. Daya bersandar di pintu, seluruh tubuhnya terasa lemah. Kakinya sungguh enggan melangkah. Tulang-tulang dan otot tubuhnya lunglai merosot ke lantai.“Kak Daya, Zora boleh masuk?”, gadis remaja berparas cantik itu mengetuk pelan kamar kakak lelakinya. Daya tidak menjawab, dia tak ingin bekata apa-apa. Tangisannya...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments