Kartini duduk di ruang tamu rumah Mahen dan Dita, ditemani segelas teh hangat yang disajikan Dita. Anak-anaknya bermain di sudut ruangan, suara tawa kecil mereka terdengar lirih, tetapi Kartini tahu itu adalah suara kebebasan—suara yang tak pernah ia dengar selama bertahun-tahun di rumah lama. "Kak Kartini, kami benar-benar minta maaf," kata Dita dengan penuh rasa bersalah. "Aku dan Mahen seharusnya dari dulu membantumu melawan semua ketidakadilan itu. Kami terlalu takut pada Bastian dan... ibu." Kartini menggenggam tangan Dita dengan lembut. "Dita, jangan seperti itu. Aku justru bersyukur punya kalian. Kalian yang akhirnya memberiku keberanian untuk melangkah." Mahen, yang duduk di sofa seberang, mengangguk mantap. "Sekarang tugas kami memastikan kamu bisa berdiri tegak lagi, Kartini. Rumah ini rumahmu juga. Anggap saja tempat ini sebagai batu loncatan sebelum kamu menemukan tempat yang baru." Kartini tersenyum, matanya be
Empat hari setelah tawaran Antonio, Mahen dan Dita membantu Kartini pindah ke apartemen yang disediakan. Mobil mereka penuh dengan barang-barang Kartini dan anak-anaknya, meskipun sebagian besar hanyalah pakaian dan perabotan kecil. Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di gedung apartemen yang dimaksud. Bangunan itu menjulang megah, dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya matahari sore. Satpam menyambut mereka dengan ramah, memberikan arahan ke resepsionis, di mana seorang staf memberikan kunci cadangan. "Ibu Kartini, ini kunci sementara untuk unit Anda. Kunci utama masih dipegang Pak Antonio, beliau akan mengantarkannya langsung setelah rapat selesai," ujar staf itu sopan. Dita dan Mahen saling bertukar pandang, takjub dengan pelayanan yang begitu profesional. --- Saat pintu apartemen terbuka, mereka semua terpana. Ruangan itu luas, dengan lantai marmer yang mengilap, dinding bercat putih gading di
Ruangan apartemen terasa hening, hanya terdengar suara AC yang berhembus lembut. Kartini melirik jam dinding lagi, menunjukkan pukul 11 malam. Dita dan Mahen sudah pamit pulang sejam yang lalu, dan anak-anaknya sudah tertidur pulas di kamar tidur utama. Ia duduk di sofa ruang tamu, mencoba menenangkan pikirannya yang terus bergelayut tentang apartemen ini. Baru saja rasa kantuk mulai menyerang, tiba-tiba terdengar suara pintu utama yang berusaha dibuka dari luar. Kartini langsung tegang, jantungnya berdegup kencang. Siapa yang datang malam-malam begini? Ia segera bangkit, menatap ke arah pintu dengan waspada. Ketika pintu terbuka perlahan, muncul sosok Antonio. Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku. Di tangannya tergantung beberapa kantong plastik berisi makanan. Wajahnya terlihat tenang, tetapi mata tajamnya langsung menatap ke arah Kartini yang berdiri canggung di ruang tamu. "Maaf, saya terlambat," ucap Anto
Hari-hari di kantor berubah menjadi penuh kecanggungan bagi Kartini. Setelah malam itu, ia tak bisa menghapus momen ketika Antonio mencium keningnya. Bukan hanya karena perasaan asing yang muncul, tetapi juga karena kebingungan besar tentang apa maksud dari tindakan pria itu. Setiap kali ia melangkah di koridor kantor, mendengar suara langkah berat Antonio dari kejauhan saja sudah membuat jantungnya berdebar. Begitu Antonio memanggilnya ke ruangannya, ia selalu mencari alasan untuk menghindar. Terkadang pura-pura sibuk dengan pekerjaannya, terkadang meminta rekan kerjanya untuk menyampaikan pesan bahwa ia sedang berada di luar ruangan. Namun, ketika panggilan itu bersifat penting, seperti rapat besar bersama tim atau klien, Kartini tak punya pilihan selain hadir. Meski begitu, ia selalu duduk sejauh mungkin dari Antonio, menghindari tatapan pria itu, dan berbicara seperlunya saja. --- Antonio mulai menyadari perub
Ruangan itu sunyi, hanya ada suara anggur yang dituangkan perlahan ke dalam gelas kristal Antonio. Di tengah kesunyian yang menenangkan itu, matanya yang tajam tak berhenti menatap ke depan, kosong dan dalam, meskipun pikirannya penuh akan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Kartini. Wanita yang telah meresap ke setiap celah pikirannya, merubah segala sesuatu tanpa ia sadari. “Siapkan kanvasnya,” suara Antonio terdengar tegas, namun ada kelembutan yang samar di dalamnya, sebuah perasaan yang tidak biasa. Pelukis yang ada di hadapannya mengangguk cepat, mengetahui betul apa yang harus dilakukan. Ini bukan gambaran biasa, bukan sekadar lukisan untuk memenuhi waktu. Ini adalah lukisan tentang wanita yang kini menguasai hati Antonio, wanita yang tak bisa lepas dari pikirannya. Pelukis itu duduk, menyiapkan alatnya, namun Antonio tak langsung berbicara. Ia mengangkat gelas anggurnya, meneguknya dengan tenang, matanya tetap lurus ke depan, seolah berbic
Antonio berdiri di hadapan lukisan yang baru selesai dikerjakan, matanya yang tajam menatap lukisan itu dengan penuh perhatian, seolah meneliti setiap detail. Suasana di ruangan itu hening, hanya ada suara detakan jam dinding yang berirama pelan, menandakan betapa tenangnya hati Antonio, meskipun sebetulnya hatinya bergejolak. Lukisan itu memancarkan keanggunan yang begitu kuat, dengan Kartini yang terlukis begitu sempurna—matanya yang tajam, tubuhnya yang penuh dengan lekuk elegan, dan gaun merah marunnya yang tampak melilit indah di tubuhnya. Setiap detail dalam lukisan itu seperti menangkap esensi Kartini yang sesungguhnya. Antonio berdiri beberapa langkah dari lukisan, matanya tidak pernah lepas, tak peduli waktu yang berjalan. Untuk sesaat, dia hanya terdiam, seolah membiarkan perasaan itu menguasainya. Mungkin, lebih tepatnya, dia terpesona. “Pelukis,” suara Antonio terdengar rendah namun berwibawa, seolah perintah yang datang begit
Setelah rapat panjang yang penuh tekanan, Antonio memutuskan untuk meluangkan waktu sejenak. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju ruang kerja Kartini. Ketika pintu ruangannya terbuka, ia mendapati Kartini sedang berdiskusi dengan salah satu staf. Suasana di ruang itu tetap profesional, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini di antara mereka. Kartini menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Matanya bertemu dengan mata Antonio, dan meskipun terkejut, ia langsung menata diri, berusaha tetap tenang dan menjaga sikap profesional. Antonio menghentikan langkahnya, berdiri dengan postur tegak. "Kartini," sapa Antonio dengan nada yang berat namun penuh perhatian. "Iya, Pak?" jawab Kartini dengan sopan, tetap berusaha menjaga wajahnya netral meskipun ada sedikit kegugupan. Antonio menatap Kartini sejenak, sebelum melanjutkan dengan pertanyaan yang terdengar begitu wajar namun sangat memperhatikan. "Apakah Anda sudah mempersiapka
Pagi itu, Antonio tengah duduk di ruang kerjanya di rumah, menyesap kopi hitam sembari membaca laporan mingguan. Suasana tenang itu terusik oleh dering telepon dari adiknya, Tatiana. “Antonio, kau tidak akan percaya apa yang baru saja kudengar,” suara Tatiana terdengar penuh semangat di ujung telepon. Antonio mengangkat alis, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Apa yang membuatmu begitu antusias pagi-pagi begini, Tati?” tanyanya dengan nada datar, namun ada sedikit rasa ingin tahu. Tatiana terkekeh kecil sebelum melanjutkan. “Kadita dan Bastian… mereka bercerai!” Antonio terdiam sesaat, matanya menyipit. “Oh?” ucapnya singkat, ekspresinya tetap tenang, meskipun ada kilatan kepuasan di matanya. “Apa yang menyebabkan itu?” Tatiana tak bisa menahan gelak tawa. “Ceritanya terlalu kacau, Antonio. Kadita—wanita sialan itu—ternyata terlibat kasus pemalsuan emas. Dia menjual emas palsu, dan para pembeli yang merasa tert
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu
Langit cerah membentang luas di atas lapangan golf yang hijau dan rapi. Angin sepoi-sepoi menambah kesejukan udara, menciptakan suasana yang seharusnya tenang dan damai. Namun, suasana hati Antonio sepertinya sedang bergolak. Ia berdiri di atas rumput, tongkat golf di tangannya, dan tatapannya penuh amarah, seolah setiap pukulan adalah pelampiasan untuk perasaan yang tak terungkapkan. Tatiana, yang duduk di dekat buggy golf, hanya menggelengkan kepala. "Kak, ini main golf, bukan mau tanding tinju atau perang , lho," ujarnya setengah bercanda sambil memandang kakaknya yang terus-menerus memukul bola dengan agresif. Antonio hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Pukulannya terdengar keras, dan bola itu terlempar jauh, hampir menabrak pembatas lapangan. Kartini yang berdiri tidak jauh dari situ mengerutkan keningnya, menyaksikan dengan cemas. Ia mendekat, memegang bola golf baru, dan dengan hati-hati meletakkann
Ruang lobi hotel dipenuhi suasana formal saat rombongan investor asing tiba. Antonio dengan setelan jas rapi, berdiri dengan penuh wibawa di samping Pak Hendro. Di sebelahnya, Bastian juga terlihat santai tetapi dengan senyum penuh percaya diri. Para investor ini adalah kunci untuk meningkatkan modal hotel, dan setiap ide yang mereka presentasikan hari ini akan menentukan keputusan besar. Ketika Antonio mulai memaparkan idenya, suaranya terdengar tegas dan meyakinkan. "Strategi kita ke depan adalah mengintegrasikan layanan berbasis teknologi untuk tamu bisnis. Dengan aplikasi custom, tamu dapat memesan fasilitas meeting, catering, hingga transportasi langsung dari ponsel mereka. Ini akan memberikan kemudahan yang menjadi nilai tambah." Para investor tampak tertarik. Salah satu dari mereka mengangguk, mencatat poin yang disampaikan Antonio. Namun, sebelum Antonio bisa melanjutkan, Bastian menyela dengan senyum halus. "Itu id
Rapat pagi itu di ruang konferensi besar terasa tegang sejak awal. Antonio duduk di kursinya dengan postur tegak dan wajah dingin, tangannya yang baru sembuh sebagian dari gips bertumpu di meja. Di seberangnya, Bastian tampak lebih santai, tetapi sorot matanya jelas penuh tantangan. Topik diskusi adalah strategi pemasaran untuk meningkatkan okupansi hotel, terutama di segmen tamu bisnis. "Rencana itu terlalu berisiko," Antonio memulai, suaranya tegas. "Mengalihkan sebagian besar anggaran ke pemasaran digital tanpa memastikan ROI yang jelas akan membuat kita rentan terhadap kerugian." Bastian langsung menyela. "Antonio, kalau kita terus berpikir konservatif seperti itu, kita akan tertinggal. Kompetitor kita sudah berinvestasi besar di media digital, dan mereka mulai melihat hasilnya. Kita harus berani mengambil langkah besar." Antonio mendengus pelan, lalu menatap Bastian dengan dingin. "Langkah besar tanpa perhit