Kadita duduk di depan cermin, menatap bayangannya sendiri yang kini terasa semakin asing. Ia tak bisa menahan pikiran tentang Kartini yang semakin berkembang pesat, dan rasa cemas itu semakin menggerogoti dirinya. Semua yang dilihatnya tentang Kartini—kesuksesannya, kemajuan ekonominya, bahkan bagaimana Kartini kini bisa berdiri dengan bangga di kaki sendiri—semakin membuat hatinya cemas.
"Jangan sampai aku kalah sama dia," gumam Kadita pada dirinya sendiri. Hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia sudah cukup lama menikmati kesenangan dunia, dan sekarang, dengan segala perubahan di hidupnya, ia merasa terancam. Ia tak ingin menjadi seperti Kartini di masa lalu dengan kehidupan yang dulu, menjadi ibu rumah tangga yang bergantung pada suami, dan merawat anak. Itu semua terlalu mengingatkannya pada masa lalu yang penuh dengan keterbatasan. Akhirnya, dengan rasa cemas yang semakin membesar, Kadita memutuskan untuk menelepon mantan suaminya, Antonio. Ia tak bisa mAntonio duduk di ruang kerjanya yang mewah, dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Segelas anggur merah terletak di tangan kirinya, sementara tangan kanannya dengan santai mengetuk meja mahoni di depannya. Ia memandang gelas itu, memutar anggurnya perlahan, seolah mencari jawaban di dalamnya. “Hmm… Kadita,” gumamnya dengan suara rendah dan penuh penekanan. "Beraninya kau kembali padaku setelah semua ini.” Antonio meneguk anggurnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang sinis. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitam yang nyaman, wajahnya mencerminkan kepuasan dan niat yang dingin. “Kalau ini yang kau pilih, aku akan menunjukkan padamu konsekuensinya.” Ia meraih ponsel di meja, menelusuri kontaknya yang dipenuhi nama-nama penting di industri perhotelan. Nama-nama besar yang hanya dia yang memiliki akses. Dengan sentuhan satu jari, ia menghubungi koleganya yang pertama. Panggi
Di pagi yang mulai cerah, suasana di ruang tamu rumah Bastian justru sedang panas. Ibu Sulastri duduk di sofa sambil melipat tangan, wajahnya kesal menatap Kadita yang santai mengunyah keripik sambil menonton acara televisi. Sementara itu, suara tangisan bayi terdengar samar dari kamar. "Kadita, kamu ini sadar gak sih kalau kamu udah satu bulan di rumah cuma makan tidur aja?!" seru Bu Sulastri dengan nada tinggi, memotong keasyikan Kadita menonton TV. Kadita melirik sekilas, lalu mengangkat alis santai. "Ya terus? Kan aku lagi nunggu panggilan kerja, Bu. Gak mungkin aku jadi babu juga di sini." "Babu?!" Ibu Sulastri langsung bangkit dari sofa. "Jadi maksudmu aku ini babu di rumah ini?! Aku yang cuci piring, aku yang ngurus cucuku, aku yang beresin rumah, dan kamu cuma ongkang-ongkang kaki kayak ratu?! Kamu ini istri siapa, hah?! Jangan mentang-mentang Bastian suami kamu, terus kamu pikir aku wajib ngelayanin kamu!" Kadita m
Langit senja mulai memayungi Hotel Fransco, tetapi kesibukan di dalam tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Seluruh staf sibuk mempersiapkan acara pelepasan Pak Aditya, General Manager mereka yang dihormati. Suasana terasa campur aduk, antara sedih karena kehilangan pemimpin yang bijaksana, dan penasaran dengan sosok GM baru yang akan menggantikannya. "Aku dengar Pak Aditya akan pindah ke Bali, jadi GM di salah satu hotel bintang lima di sana," bisik seorang resepsionis pada rekannya di pantry. "Serius? Wah, enak banget ya, kerja di Bali," sahut rekannya dengan nada iri. "Tapi... kamu tahu gak siapa penggantinya?" "Katanya sih orangnya ganteng banget, mapan, karismatik. Pokoknya idaman banget deh!" Gosip ini menyebar dengan cepat, membuat suasana semakin heboh. Beberapa staf wanita mulai merapikan dandanan mereka, berharap tampil menawan di depan GM baru nanti. Di tengah acara, Pak Aditya dan Pak Hendro, sang o
Setelah mengambil GoFood-nya dan makan sebentar di pantry, Kartini menikmati makanan itu dalam diam. Namun, belum sempat ia menghabiskan semuanya, seorang rekan kerja mendatanginya dengan wajah cemas. "Kartini, ayo cepat! Semua diminta masuk ke ruang acara. Pak Hendro mau ngenalin GM baru kita ke semua karyawan," ucapnya dengan nada mendesak. Kartini mendesah pelan, merasa sedikit terganggu. "Bentar, makananku belum selesai." "Udah, nanti aja. Kalau telat, bisa kena teguran!" Dengan berat hati, Kartini meninggalkan makanannya yang masih setengah, lalu mengikuti langkah rekannya menuju ballroom utama. Di dalam, suasana sudah tertata rapi. Semua karyawan dari berbagai divisi berdiri berbaris sesuai jabatan mereka, dari manajer hingga staf biasa. Pak Hendro, owner Hotel Fransco, berdiri di depan ruangan bersama Antonio yang kini tampak lebih formal dibanding saat Kartini menabraknya tadi. Dengan setelan jas hita
Kartini duduk sendirian di kantin hotel, menatap catatan hasil rapat tadi dengan penuh konsentrasi. Meski rasa malu akibat teguran Antonio masih menyelimuti pikirannya, ia bertekad untuk tidak membiarkan insiden itu mengganggu performanya. “Ini pelajaran. Jangan sampai kejadian tadi bikin aku dianggap nggak kompeten,” pikirnya sambil membaca ulang poin-poin penting yang ia tulis. Namun, suara langkah sepatu berderap mendekat, diikuti aroma maskulin yang familiar. Kartini mendongak, dan di hadapannya Antonio sudah duduk dengan santai, jasnya tetap rapi tanpa cela, kacamata hitamnya disematkan di saku jas. “Kok sendirian di sini?” tanya Antonio tanpa basa-basi, suaranya rendah tapi tegas. Kartini meneguk ludah, sedikit terkejut. “Saya… lagi baca catatan dari rapat tadi, Pak.” Antonio mengangkat alis, sedikit tersenyum tipis, namun senyum itu sulit diartikan. Ia bersandar ke kursi, matanya menatap Kartini tajam. “Bagus. Kalau
Sudah empat bulan sejak Antonio bergabung sebagai GM di hotel ini. Dalam kurun waktu tersebut, ia telah mengamati kinerja Kartini dengan cermat. Ia selalu terkesan dengan ketekunan dan kecekatan Kartini, terutama dalam menangani masalah yang tampaknya sepele namun mempengaruhi kinerja hotel secara keseluruhan. Namun, hari ini, Antonio memutuskan untuk menguji langsung kemampuan tim housekeeping dalam rapat penting yang diadakan untuk membahas peningkatan pelayanan tamu. Ruangan rapat kali ini dipenuhi oleh para manajer dan kepala departemen, termasuk tim housekeeping. Antonio duduk di ujung meja, wajahnya serius, tidak menunjukkan ekspresi yang bisa ditebak. Ia memulai rapat dengan nada yang tegas. “Sekarang, kita akan membahas tentang pelayanan tamu. Salah satu aspek penting yang seringkali terlupakan adalah kebersihan kamar. Jadi, saya ingin mendengar ide-ide inovatif kalian, bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas layanan housekeeping kita.” Semua orang diam sejenak. Setiap
Kadita tampak frustrasi di area belakang rumah. Ember penuh pakaian basah berserakan, sementara dirinya berdiri dengan muka masam, menginjak-injak pakaian dengan penuh emosi. Ia meremas sebuah baju, lalu melemparnya kembali ke ember dengan kasar. “Kenapa hidupku jadi kayak gini, sih?! Bastian, dasar laki-laki nggak berguna! Semua ini gara-gara kamu!” seru Kadita dengan nada tinggi, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mencengkram rambutnya sendiri, kemudian duduk di bangku kayu dengan napas tersengal, seolah kelelahan oleh amarah dan rasa frustrasi. Di saat yang sama, suara langkah Kartini terdengar mendekat. Ia baru saja kembali ke rumah karena menyadari ada berkas penting yang tertinggal. Namun, suara gaduh di area belakang menarik perhatiannya. Kartini berjalan pelan ke arah sumber suara, dan pemandangan di depannya membuatnya terkejut sekaligus geli. Kadita tampak seperti orang yang kehilangan akal, duduk di antara pakaian ba
Kadita duduk di ruang tamu rumah mereka, jari-jarinya sibuk menggulir layar ponsel, mencari pembeli untuk tas-tas mewahnya. Sesekali ia mendesah panjang. "Ah, siapa peduli jadi ibu rumah tangga. Hidup di rumah ini bener-bener bikin gila," gumamnya sambil mengetik pesan ke teman-teman sosialitanya. Setelah mendapatkan pembeli, Kadita segera mengemas tas-tas itu dan mulai merancang rencana jalan-jalan ke Bali. Hidup sederhana bukan dunianya. Beberapa hari kemudian, ia sudah berada di bandara, tersenyum lebar bersama teman-temannya. Pakaian mereka mencolok, riasan wajah sempurna, seolah semua masalah hilang dalam sekejap. ____ Di rumah, Ibu Sulastri hanya bisa mengelus dada. Bayi Kadita menangis tak henti-henti sejak pagi, sementara Bastian terlihat lelah menghadapi kekacauan di rumah. “Ini istri kamu, ya? Enak banget hidupnya liburan ke Bali, ninggalin anaknya sama kita semua di sini! Dasar nggak punya tanggung jawab!” omel I
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu
Langit cerah membentang luas di atas lapangan golf yang hijau dan rapi. Angin sepoi-sepoi menambah kesejukan udara, menciptakan suasana yang seharusnya tenang dan damai. Namun, suasana hati Antonio sepertinya sedang bergolak. Ia berdiri di atas rumput, tongkat golf di tangannya, dan tatapannya penuh amarah, seolah setiap pukulan adalah pelampiasan untuk perasaan yang tak terungkapkan. Tatiana, yang duduk di dekat buggy golf, hanya menggelengkan kepala. "Kak, ini main golf, bukan mau tanding tinju atau perang , lho," ujarnya setengah bercanda sambil memandang kakaknya yang terus-menerus memukul bola dengan agresif. Antonio hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Pukulannya terdengar keras, dan bola itu terlempar jauh, hampir menabrak pembatas lapangan. Kartini yang berdiri tidak jauh dari situ mengerutkan keningnya, menyaksikan dengan cemas. Ia mendekat, memegang bola golf baru, dan dengan hati-hati meletakkann
Ruang lobi hotel dipenuhi suasana formal saat rombongan investor asing tiba. Antonio dengan setelan jas rapi, berdiri dengan penuh wibawa di samping Pak Hendro. Di sebelahnya, Bastian juga terlihat santai tetapi dengan senyum penuh percaya diri. Para investor ini adalah kunci untuk meningkatkan modal hotel, dan setiap ide yang mereka presentasikan hari ini akan menentukan keputusan besar. Ketika Antonio mulai memaparkan idenya, suaranya terdengar tegas dan meyakinkan. "Strategi kita ke depan adalah mengintegrasikan layanan berbasis teknologi untuk tamu bisnis. Dengan aplikasi custom, tamu dapat memesan fasilitas meeting, catering, hingga transportasi langsung dari ponsel mereka. Ini akan memberikan kemudahan yang menjadi nilai tambah." Para investor tampak tertarik. Salah satu dari mereka mengangguk, mencatat poin yang disampaikan Antonio. Namun, sebelum Antonio bisa melanjutkan, Bastian menyela dengan senyum halus. "Itu id
Rapat pagi itu di ruang konferensi besar terasa tegang sejak awal. Antonio duduk di kursinya dengan postur tegak dan wajah dingin, tangannya yang baru sembuh sebagian dari gips bertumpu di meja. Di seberangnya, Bastian tampak lebih santai, tetapi sorot matanya jelas penuh tantangan. Topik diskusi adalah strategi pemasaran untuk meningkatkan okupansi hotel, terutama di segmen tamu bisnis. "Rencana itu terlalu berisiko," Antonio memulai, suaranya tegas. "Mengalihkan sebagian besar anggaran ke pemasaran digital tanpa memastikan ROI yang jelas akan membuat kita rentan terhadap kerugian." Bastian langsung menyela. "Antonio, kalau kita terus berpikir konservatif seperti itu, kita akan tertinggal. Kompetitor kita sudah berinvestasi besar di media digital, dan mereka mulai melihat hasilnya. Kita harus berani mengambil langkah besar." Antonio mendengus pelan, lalu menatap Bastian dengan dingin. "Langkah besar tanpa perhit