Suasana di rumah mertua Kartini begitu ramai. Meja makan besar dikelilingi oleh kerabat, teman-teman, dan kolega orang tua suaminya. Kartini duduk di sudut, mencoba menyembunyikan diri di balik secangkir teh hangat, meski ia tahu, matanya sudah sering dijadikan objek perbincangan.
Sang mertua, Ibu Sulastri, berdiri di depan, wajahnya cerah dengan senyum yang tampak terlalu dipaksakan. Dia sedang memperkenalkan calon menantunya satu per satu dengan antusias, menunjukkan betapa bangganya dia memiliki anak-anak yang "sukses" dalam hidup. "Ini Dita, menantu pertama kita, seorang dokter yang luar biasa," kata Ibu Sulastri dengan nada bangga, menunjukkan wanita berbaju putih yang sedang mengatur rambutnya. Dita tersenyum manis, menerima tepuk tangan dari kerabat yang hadir. "Dan ini Dini, ipar kedua kita, pegawai negeri sipil yang bekerja keras di pemerintah," lanjut Ibu Sulastri, mengenalkan wanita muda dengan jas formal yang terlihat rapi dan penuh percaya diri. Tangan Kartini terjatuh perlahan ke meja, merasa sedikit terpinggirkan. Semua mata tertuju pada Dita dan Dini, tapi tidak pada dirinya. Tidak ada satu pun yang menyebut namanya. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mertuanya untuk mengenalkan Kartini. Kartini, meski dengan senyum tipis, merasakan ketidakadilan yang sudah sering ia terima. Ia tahu apa yang ada di pikiran Ibu Sulastri. Wanita yang lebih memilih berbicara tentang pekerjaan dan pencapaian materi daripada melihat kebahagiaan yang ada dalam rumah tangga. Setelah acara selesai, suasana mulai mereda. Orang-orang mulai bergerak untuk pulang, saling berpelukan dan bersalaman. Namun, Ibu Sulastri mendekati Kartini dengan langkah tegap. Wajahnya langsung berubah menjadi serius. "Kenapa kamu jadi ibu rumah tangga, sih? Bukankah seharusnya kamu bisa membantu ekonomi keluarga? Lihat saja Dita dan Dini, mereka bisa bekerja di luar, punya karier, dan ekonomi rumah tangga bisa maju cepat. Kenapa kamu justru menumpang hidup dengan suami?" Ibu Sulastri melontarkan kata-kata yang membuat Kartini terkejut. Kartini menatap mertuanya dengan tenang, meski hatinya sedikit terganggu. Ia menarik napas panjang dan berkata pelan, "Ibu, hakikatnya suami adalah tulang punggung keluarga. Kalau saya memilih untuk di rumah, itu keputusan kami berdua. Saya merasa bahagia dengan peran saya di rumah, menjaga anak-anak, dan mendukung suami." "Tapi kamu bukan lagi anak muda yang bisa terus bergantung pada suami! Apa salahnya kalau kamu bekerja?" ujar Ibu Sulastri, nada suaranya mulai meninggi. "Kamu itu hanya malas, tak mau berusaha." Kartini menatap sang mertua dengan mata yang tegas. "Ibu, jika saya memilih untuk membantu suami, itu adalah pilihan saya. Saya tahu ada banyak wanita yang bekerja di luar sana, dan itu bagus. Tapi bukan kewajiban wanita untuk bekerja di luar rumah hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain." Kartini merasa ada sedikit api dalam dirinya yang mulai membakar, meski ia berusaha untuk tetap menjaga kontrol. "Tapi kamu tidak melihat kenyataan! Saat kamu tinggal di rumah, ekonomi keluarga malah terhambat!" Ibu Sulastri mulai tidak sabar. "Kalau kamu bekerja, semuanya akan lebih mudah. Kalau saja kamu bisa seperti Dita dan Dini, pasti keluarga ini akan lebih sejahtera!" "Saya tidak perlu jadi orang lain untuk merasa sukses," jawab Kartini, suaranya tetap tenang namun penuh keyakinan. "Saya percaya bahwa kebahagiaan keluarga itu bukan hanya tentang uang. Saya memilih peran saya sebagai ibu rumah tangga karena itu yang membuat saya bahagia. Dan soal ekonomi, kita bisa mengelolanya dengan cara kita sendiri." Suasana semakin tegang. Beberapa orang yang masih ada di ruang tamu mulai memperhatikan, meski mereka berusaha untuk tidak terlalu mendengarkan. "Jadi, kamu merasa bahwa peran wanita di rumah hanya untuk mengurus anak dan suami?" Ibu Sulastri bertanya, nada suaranya penuh sinisme. "Tak ada yang salah dengan itu, Bu," jawab Kartini, kini sedikit lebih berani. "Setiap orang memiliki pilihan masing-masing dalam hidup. Saya memilih untuk mendampingi suami dan mengurus rumah tangga. Itu bukan berarti saya pemalas. Kadang, kebahagiaan datang dari pilihan yang sederhana." Ibu Sulastri terdiam, matanya menatap tajam ke arah Kartini, namun tak bisa membalas kata-kata tersebut. Suasana hening sesaat. Kartini menatapnya dengan tegar, merasa tak perlu menjelaskan lebih lanjut. Ia tahu, apapun yang dikatakan, tak akan mengubah pandangan sang mertua. Setelah beberapa detik yang terasa lama, Ibu Sulastri akhirnya mengalihkan pandangannya dan berbalik. "Kalau begitu, ya, itu pilihanmu. Tapi jangan salahkan siapa-siapa kalau keadaan ekonomi tidak berjalan seperti yang kamu harapkan," katanya, dengan suara yang sedikit lebih rendah, hampir seperti sebuah ancaman. Kartini hanya mengangguk, dan meski hatinya sedikit terluka, ia tahu bahwa ia sudah membuat pilihan yang tepat untuk dirinya dan keluarganya. Terkadang, tak semua orang mengerti keputusan kita, tapi itu bukan masalah. Yang penting, ia bahagia dengan kehidupannya. Ia berdiri dan pergi menuju ruang belakang, membiarkan suasana di ruang tamu kembali tenang, meskipun ia tahu perdebatan itu tidak akan berhenti begitu saja.Perayaan Idul Fitri kali ini terasa lebih berat bagi Kartini. Seperti biasa, keluarga besar suaminya berkumpul, penuh tawa dan canda. Namun, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang. Sambil mendengarkan Dini yang sedang memamerkan pencapaiannya, Kartini merasa setiap kata yang keluar dari mulut mertuanya seolah menusuknya. Dini duduk di sebelah Ibu Sulastri, dengan senyum lebar, menunjukkan kunci mobil Mazda terbaru yang baru dibelinya. "Alhamdulillah, akhirnya aku bisa beli mobil baru! Hasil kerja keras selama ini," ujar Dini bangga. Ibu Sulastri langsung menyambut dengan suara penuh kebanggaan. "Wah, Dini, luar biasa! Kamu benar-benar bisa memberikan kebanggaan untuk keluarga ini. Tidak seperti yang lain," katanya, sambil menatap Kartini yang duduk di sudut. Kartini bisa merasakan sindiran halus itu. Ibu Sulastri jelas-jelas sedang membandingkan Dini dengan dirinya. Semua mata terarah pada Dini, sementara dirinya hanya bisa menundu
Setelah kepergian Bastian, suasana di ruang tamu perlahan kembali mencair. Namun, Ibu Sulastri masih tampak kesal, duduk dengan wajah merengut sambil menyeruput teh. Dini, yang sedari tadi menikmati pujian, mencoba menenangkan mertuanya."Sudahlah, Bu. Jangan terlalu diambil hati. Mungkin Bastian cuma lagi stres," ujar Dini lembut sambil menepuk punggung Ibu Sulastri.Alex, suami Dini, malah tersenyum miring. "Tapi apa yang Ibu katakan tadi memang benar. Kalau Kartini mau bantu Bastian kerja, mereka enggak akan ketinggalan seperti sekarang."Dini menoleh ke suaminya, sedikit terganggu dengan komentarnya, tapi memilih untuk diam. Sementara itu, Dita, menantu pertama sekaligus kesayangan Ibu Sulastri, yang sedari tadi mendengarkan perdebatan dengan raut tak nyaman, akhirnya angkat bicara."Ibu, saya tahu Ibu peduli sama Bastian, tapi terus-terusan membandingkan seperti ini, rasanya enggak baik," kata Dita dengan nada hati-hati.Ibu Sul
*Di Dalam Mobil Bastian dan Kadita duduk di dalam mobil yang melaju pelan menuju rumah Bastian. Sudah hampir sebulan ini, Kadita yang selalu mengantar Bastian pulang. Bastian kini tak pernah membawa motor lagi, selalu memilih untuk menumpang mobil Kadita. Di dalam perjalanan, Bastian menatap Kadita yang tampak santai mengemudi. Wajahnya terlihat tenang dan penuh percaya diri. Ia menghela napas pelan, lalu membuka pembicaraan. "Kadita, kamu selalu semangat kerja, ya? Enggak pernah kelihatan capek," ujar Bastian, mencoba mencairkan suasana. Kadita tersenyum, melirik sekilas ke arah Bastian. "Saya pikir, kalau kita suka sama pekerjaan kita, capeknya jadi enggak terlalu terasa, Pak." Bastian tertawa kecil. "Hebat kamu. Kadang aku iri sama orang-orang kayak kamu." "Iri? Kenapa, Pak? Kan Bapak juga hebat. Jabatan Bapak jauh di atas saya," balas Kadita, nada suara
Malam semakin larut, tapi Kartini masih duduk termenung di ruang tamu. Pikirannya melayang-layang, mengingat kata-kata tajam Bastian yang terus terngiang di telinganya. "Lihat Kadita, dia mandiri, tangguh. Itu yang aku butuhkan."Matanya memerah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia tahu Bastian sedang berubah. Namun, ia tidak menyangka perubahan itu akan begitu menyakitkan.Saat Kartini sedang hanyut dalam pikirannya, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Ibu Sulastri muncul dengan wajah yang tampak lelah, tapi tatapannya langsung tajam begitu melihat Kartini duduk termenung. Ibu Sulastri adalah seorang janda tua, tinggal serumah dengan anak bungsunya–Bastian."Masih duduk di sini? Sudah malam, bukannya tidur," kata Ibu Sulastri sambil melipat tangan di depan dada.Kartini mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum kecil. "Iya, Bu. Saya lagi kepikiran sesuatu."Ibu Sulastri mendekat, duduk di sofa berseberangan dengan K
Dua bulan berlalu, dan hubungan antara Bastian dan Kadita semakin dekat. Apa yang awalnya hanya sekadar obrolan ringan di mobil kini berubah menjadi percakapan mendalam tentang mimpi, ambisi, dan kehidupan pribadi mereka. Kadita, seorang janda muda yang mandiri dan percaya diri, merasa bahwa ia dan Bastian adalah pasangan yang sempurna. Bastian, di sisi lain, semakin terperangkap dalam pesona Kadita. Kehadirannya memberi warna baru di tengah tekanan pekerjaan dan konflik rumah tangga. Kartini, dengan segala kecemasannya, mulai merasakan ada yang salah, tapi ia belum memiliki bukti kuat.____ Malam Itu di Kantor Selesai rapat malam itu, Kadita menghampiri Bastian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. Senyumnya manis, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya yang mengundang. "Pak Bastian, malam ini pulang sama saya lagi, ya?" ujar Kadita, santai tapi penuh maksud. Bastian menatapnya sejenak,
Malam sudah merangkak ke pukul 1 dini hari, dan Kartini masih duduk di ruang tamu. Pandangannya kosong menatap ke arah pintu. Jam dinding terus berdetak, seakan mengejek kekhawatirannya yang semakin menjadi-jadi.Bastian belum pulang, dan ini bukan kebiasaannya. Biasanya, meskipun lembur, suaminya akan tiba di rumah paling lambat pukul 10 malam."Mas, di mana kamu?" gumam Kartini pelan sambil meremas ujung pakaiannya. Ia mencoba menelepon, tapi panggilannya selalu berakhir di nada tunggu tanpa jawaban.Langkah kaki terdengar dari arah kamar. Ibu Sulastri muncul dengan kain batik yang disampirkan di bahunya. Ia menguap kecil, tapi wajahnya langsung mengerut ketika melihat Kartini masih duduk sendirian."Kartini, ngapain kamu duduk di sini? Sudah tengah malam," tanyanya, suaranya datar tapi penuh rasa ingin tahu.Kartini menoleh, mencoba tersenyum kecil untuk menyembunyikan kegelisahannya. "Saya lagi nunggu Mas Bastian, Bu. Dia belum p
-Pagi harinya, di rumahSuara mesin mobil terdengar dari luar, menghentikan langkah Kartini yang tengah mondar-mandir di ruang tamu. Dengan langkah tergesa, ia keluar rumah dan berdiri di depan pintu. Matanya langsung tertuju pada mobil yang berhenti di depan pagar. Dari balik kaca, ia mengenali sosok suaminya yang turun dengan langkah santai, seolah-olah tidak ada apa-apa.Namun, sebelum Kartini bisa melangkah mendekat, mobil itu kembali melaju pergi. Ia hanya bisa melihat bagian belakang kendaraan yang menghilang di tikungan. Kartini mengepalkan tangan, dadanya bergemuruh.Bastian berjalan menuju pintu tanpa rasa bersalah, seolah-olah semuanya wajar. Tapi sebelum ia sempat masuk, Kartini sudah berdiri di hadapannya dengan mata yang memerah karena menahan marah."Mas, kamu baru pulang sekarang?" Kartini langsung menyerang tanpa basa-basi.Bastian mendesah pelan, berusaha tetap tenang. "Iya, Tin. Kerjaan semalam banyak banget. Aku harus l
Hari itu terasa lebih cerah dari biasanya, meskipun hati Kartini masih kelabu. Ia berusaha menjalani hari seperti biasa, mengurus rumah dan anak-anak sambil menahan rasa cemas yang terus menggerogoti. Pagi itu, Dita, menantu pertama yang merupakan dokter spesialis, datang ke rumah membawa beberapa oleh-oleh. Kartini menyambutnya dengan senyum ramah, berusaha menutupi kegundahannya. "Dita, wah, kok tumben ke sini pagi-pagi?" sapa Kartini sambil membantu Dita meletakkan barang bawaannya di meja. Dita tersenyum, memperbaiki letak tas di bahunya. "Iya, Mbak. Aku habis ngantor, ada waktu kosong, jadi sekalian mampir ke sini." Tidak lama kemudian, Ibu Sulastri keluar dari kamar. Wajahnya langsung cerah melihat Dita. "Wah, menantu kesayangan Ibu datang! Apa kabar, Nak?" tanyanya sambil memeluk Dita dengan hangat. "Kabar baik, Bu. Ini aku bawain oleh-oleh kecil, tadi sempat beli di jalan," jawab Dita sambi
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu
Langit cerah membentang luas di atas lapangan golf yang hijau dan rapi. Angin sepoi-sepoi menambah kesejukan udara, menciptakan suasana yang seharusnya tenang dan damai. Namun, suasana hati Antonio sepertinya sedang bergolak. Ia berdiri di atas rumput, tongkat golf di tangannya, dan tatapannya penuh amarah, seolah setiap pukulan adalah pelampiasan untuk perasaan yang tak terungkapkan. Tatiana, yang duduk di dekat buggy golf, hanya menggelengkan kepala. "Kak, ini main golf, bukan mau tanding tinju atau perang , lho," ujarnya setengah bercanda sambil memandang kakaknya yang terus-menerus memukul bola dengan agresif. Antonio hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Pukulannya terdengar keras, dan bola itu terlempar jauh, hampir menabrak pembatas lapangan. Kartini yang berdiri tidak jauh dari situ mengerutkan keningnya, menyaksikan dengan cemas. Ia mendekat, memegang bola golf baru, dan dengan hati-hati meletakkann
Ruang lobi hotel dipenuhi suasana formal saat rombongan investor asing tiba. Antonio dengan setelan jas rapi, berdiri dengan penuh wibawa di samping Pak Hendro. Di sebelahnya, Bastian juga terlihat santai tetapi dengan senyum penuh percaya diri. Para investor ini adalah kunci untuk meningkatkan modal hotel, dan setiap ide yang mereka presentasikan hari ini akan menentukan keputusan besar. Ketika Antonio mulai memaparkan idenya, suaranya terdengar tegas dan meyakinkan. "Strategi kita ke depan adalah mengintegrasikan layanan berbasis teknologi untuk tamu bisnis. Dengan aplikasi custom, tamu dapat memesan fasilitas meeting, catering, hingga transportasi langsung dari ponsel mereka. Ini akan memberikan kemudahan yang menjadi nilai tambah." Para investor tampak tertarik. Salah satu dari mereka mengangguk, mencatat poin yang disampaikan Antonio. Namun, sebelum Antonio bisa melanjutkan, Bastian menyela dengan senyum halus. "Itu id
Rapat pagi itu di ruang konferensi besar terasa tegang sejak awal. Antonio duduk di kursinya dengan postur tegak dan wajah dingin, tangannya yang baru sembuh sebagian dari gips bertumpu di meja. Di seberangnya, Bastian tampak lebih santai, tetapi sorot matanya jelas penuh tantangan. Topik diskusi adalah strategi pemasaran untuk meningkatkan okupansi hotel, terutama di segmen tamu bisnis. "Rencana itu terlalu berisiko," Antonio memulai, suaranya tegas. "Mengalihkan sebagian besar anggaran ke pemasaran digital tanpa memastikan ROI yang jelas akan membuat kita rentan terhadap kerugian." Bastian langsung menyela. "Antonio, kalau kita terus berpikir konservatif seperti itu, kita akan tertinggal. Kompetitor kita sudah berinvestasi besar di media digital, dan mereka mulai melihat hasilnya. Kita harus berani mengambil langkah besar." Antonio mendengus pelan, lalu menatap Bastian dengan dingin. "Langkah besar tanpa perhit