Dua bulan berlalu, dan hubungan antara Bastian dan Kadita semakin dekat. Apa yang awalnya hanya sekadar obrolan ringan di mobil kini berubah menjadi percakapan mendalam tentang mimpi, ambisi, dan kehidupan pribadi mereka. Kadita, seorang janda muda yang mandiri dan percaya diri, merasa bahwa ia dan Bastian adalah pasangan yang sempurna. Bastian, di sisi lain, semakin terperangkap dalam pesona Kadita. Kehadirannya memberi warna baru di tengah tekanan pekerjaan dan konflik rumah tangga. Kartini, dengan segala kecemasannya, mulai merasakan ada yang salah, tapi ia belum memiliki bukti kuat.____ Malam Itu di Kantor Selesai rapat malam itu, Kadita menghampiri Bastian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. Senyumnya manis, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya yang mengundang. "Pak Bastian, malam ini pulang sama saya lagi, ya?" ujar Kadita, santai tapi penuh maksud. Bastian menatapnya sejenak,
Malam sudah merangkak ke pukul 1 dini hari, dan Kartini masih duduk di ruang tamu. Pandangannya kosong menatap ke arah pintu. Jam dinding terus berdetak, seakan mengejek kekhawatirannya yang semakin menjadi-jadi.Bastian belum pulang, dan ini bukan kebiasaannya. Biasanya, meskipun lembur, suaminya akan tiba di rumah paling lambat pukul 10 malam."Mas, di mana kamu?" gumam Kartini pelan sambil meremas ujung pakaiannya. Ia mencoba menelepon, tapi panggilannya selalu berakhir di nada tunggu tanpa jawaban.Langkah kaki terdengar dari arah kamar. Ibu Sulastri muncul dengan kain batik yang disampirkan di bahunya. Ia menguap kecil, tapi wajahnya langsung mengerut ketika melihat Kartini masih duduk sendirian."Kartini, ngapain kamu duduk di sini? Sudah tengah malam," tanyanya, suaranya datar tapi penuh rasa ingin tahu.Kartini menoleh, mencoba tersenyum kecil untuk menyembunyikan kegelisahannya. "Saya lagi nunggu Mas Bastian, Bu. Dia belum p
-Pagi harinya, di rumahSuara mesin mobil terdengar dari luar, menghentikan langkah Kartini yang tengah mondar-mandir di ruang tamu. Dengan langkah tergesa, ia keluar rumah dan berdiri di depan pintu. Matanya langsung tertuju pada mobil yang berhenti di depan pagar. Dari balik kaca, ia mengenali sosok suaminya yang turun dengan langkah santai, seolah-olah tidak ada apa-apa.Namun, sebelum Kartini bisa melangkah mendekat, mobil itu kembali melaju pergi. Ia hanya bisa melihat bagian belakang kendaraan yang menghilang di tikungan. Kartini mengepalkan tangan, dadanya bergemuruh.Bastian berjalan menuju pintu tanpa rasa bersalah, seolah-olah semuanya wajar. Tapi sebelum ia sempat masuk, Kartini sudah berdiri di hadapannya dengan mata yang memerah karena menahan marah."Mas, kamu baru pulang sekarang?" Kartini langsung menyerang tanpa basa-basi.Bastian mendesah pelan, berusaha tetap tenang. "Iya, Tin. Kerjaan semalam banyak banget. Aku harus l
Hari itu terasa lebih cerah dari biasanya, meskipun hati Kartini masih kelabu. Ia berusaha menjalani hari seperti biasa, mengurus rumah dan anak-anak sambil menahan rasa cemas yang terus menggerogoti. Pagi itu, Dita, menantu pertama yang merupakan dokter spesialis, datang ke rumah membawa beberapa oleh-oleh. Kartini menyambutnya dengan senyum ramah, berusaha menutupi kegundahannya. "Dita, wah, kok tumben ke sini pagi-pagi?" sapa Kartini sambil membantu Dita meletakkan barang bawaannya di meja. Dita tersenyum, memperbaiki letak tas di bahunya. "Iya, Mbak. Aku habis ngantor, ada waktu kosong, jadi sekalian mampir ke sini." Tidak lama kemudian, Ibu Sulastri keluar dari kamar. Wajahnya langsung cerah melihat Dita. "Wah, menantu kesayangan Ibu datang! Apa kabar, Nak?" tanyanya sambil memeluk Dita dengan hangat. "Kabar baik, Bu. Ini aku bawain oleh-oleh kecil, tadi sempat beli di jalan," jawab Dita sambi
Malam itu, suasana di ruang makan terasa sunyi. Kartini duduk di meja, menunggu suaminya pulang dari kerja. Ketika suara motor berhenti di depan rumah, Kartini menarik napas dalam, mempersiapkan dirinya untuk berbicara dengan hati-hati. Bastian masuk ke rumah dengan wajah lelah. “Makan malamnya udah siap?” tanyanya datar tanpa melihat ke arah Kartini. Kartini tersenyum kecil, meskipun hatinya berat. “Sudah, Mas. Aku juga ada yang mau dibicarakan. Boleh kita ngobrol sebentar?” Bastian duduk dengan malas di kursi. “Apa lagi sekarang? Aku capek. Kalau mau ngomong, cepetan.” Kartini menahan napas, berusaha menjaga suaranya tetap lembut. “Mas, aku cuma mau tanya... kemarin malam itu lembur di hotel, ya?” Mata Bastian langsung menajam. “Ya, jelas di hotel. Kenapa tanya kayak gitu?” Kartini menatapnya dengan lembut namun penuh ketegasan. “Aku cuma mau memastikan, soalnya... semalam ada yang bilang kalau Mas dilihat di Restaurant The Santo bersama seorang wanita.” Wajah Bastia
Kartini duduk di ruang tamu dengan wajah yang masih basah oleh air mata. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi hatinya terus bergemuruh memikirkan perubahan sikap Bastian dan semua kebohongan yang mulai terbongkar. Ibu Sulastri yang kebetulan lewat memperhatikan keadaan menantunya yang tampak murung. Ibu Sulastri menghentikan langkahnya dan mendekati Kartini. “Kamu nangis, Kartini? Ada apa ini?” tanyanya dengan nada setengah ingin tahu, setengah bingung. Kartini buru-buru menghapus air matanya. “Enggak, Bu. Cuma kecapekan aja.” Namun, Ibu Sulastri tidak bodoh. Ia duduk di kursi di seberang Kartini, menatap tajam. “Jangan bohong sama saya. Kamu nangis pasti ada sebabnya. Jangan bilang kalau ini gara-gara Bastian.” Kartini mencoba tersenyum, tapi itu terlihat dipaksakan. “Enggak, Bu. Enggak ada apa-apa kok.” Ibu Sulastri mendesah, lalu bertanya dengan nada penasaran. “Kamu jangan ngelindur. Saya tan
Pagi itu, Ibu Sulastri duduk di ruang tamu sambil memegangi ponselnya dengan wajah murung. Pikirannya tak lepas dari uang bulanan yang tiba-tiba berhenti diberikan oleh Bastian. Rasa kesalnya memuncak saat ia ingat pengakuan Kartini bahwa uang yang seharusnya untuk keluarga mungkin digunakan untuk selingkuhan. Tak tahan dengan kegelisahannya, Ibu Sulastri memutuskan menelepon menantunya, Dini. “Dini, kamu lagi sibuk?” tanya Ibu Sulastri begitu sambungan tersambung. Dini yang terdengar ceria di seberang menjawab, “Enggak, Bu. Ada apa? Tumben telepon pagi-pagi.” Ibu Sulastri mendengus. “Tumben apanya? Ibu ini lagi pusing, tahu! Si Bastian belakangan ini enggak pernah kasih uang ke Ibu lagi. Malah nyuruh minta sama Alex! Ini, kan, keterlaluan!” “Hah? Serius, Bu? Bastian? Kok bisa?” tanya Dini, terdengar terkejut. “Itu dia yang Ibu bingung. Katanya ada utang di kantin, tapi Ibu yakin ini
“KADITA! Jangan kabur, kamu!” teriak Ibu Sulastri dengan suara lantang saat melihat Kadita berjalan cepat meninggalkan lobi. Kadita langsung mempercepat langkahnya menuju lift, sementara staf hotel hanya bisa melongo melihat kejadian ini. Beberapa tamu yang sedang check-in bahkan berhenti untuk menonton. “Bu, tolong tenang. Ini area publik,” ujar supervisor dengan suara pelan, mencoba mencegah Ibu Sulastri melangkah lebih jauh. Tapi Ibu Sulastri menepis tangan supervisor. “Kamu jangan ikut campur! Ini urusan saya sama perempuan itu!” Seorang staf resepsionis berbisik kepada rekannya, “Buset, drama live, ya? Kayak sinetron.” Ibu Sulastri berlari kecil, tetapi sandal jepitnya tersangkut karpet. “Aduh! Sandal saya!” teriaknya sambil membetulkan sandal, membuat beberapa tamu menahan tawa. Supervisor kembali mencoba menenangkan. “Ibu, kalau terus begini, kami terpaksa memanggil keamanan.”
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu
Langit cerah membentang luas di atas lapangan golf yang hijau dan rapi. Angin sepoi-sepoi menambah kesejukan udara, menciptakan suasana yang seharusnya tenang dan damai. Namun, suasana hati Antonio sepertinya sedang bergolak. Ia berdiri di atas rumput, tongkat golf di tangannya, dan tatapannya penuh amarah, seolah setiap pukulan adalah pelampiasan untuk perasaan yang tak terungkapkan. Tatiana, yang duduk di dekat buggy golf, hanya menggelengkan kepala. "Kak, ini main golf, bukan mau tanding tinju atau perang , lho," ujarnya setengah bercanda sambil memandang kakaknya yang terus-menerus memukul bola dengan agresif. Antonio hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Pukulannya terdengar keras, dan bola itu terlempar jauh, hampir menabrak pembatas lapangan. Kartini yang berdiri tidak jauh dari situ mengerutkan keningnya, menyaksikan dengan cemas. Ia mendekat, memegang bola golf baru, dan dengan hati-hati meletakkann
Ruang lobi hotel dipenuhi suasana formal saat rombongan investor asing tiba. Antonio dengan setelan jas rapi, berdiri dengan penuh wibawa di samping Pak Hendro. Di sebelahnya, Bastian juga terlihat santai tetapi dengan senyum penuh percaya diri. Para investor ini adalah kunci untuk meningkatkan modal hotel, dan setiap ide yang mereka presentasikan hari ini akan menentukan keputusan besar. Ketika Antonio mulai memaparkan idenya, suaranya terdengar tegas dan meyakinkan. "Strategi kita ke depan adalah mengintegrasikan layanan berbasis teknologi untuk tamu bisnis. Dengan aplikasi custom, tamu dapat memesan fasilitas meeting, catering, hingga transportasi langsung dari ponsel mereka. Ini akan memberikan kemudahan yang menjadi nilai tambah." Para investor tampak tertarik. Salah satu dari mereka mengangguk, mencatat poin yang disampaikan Antonio. Namun, sebelum Antonio bisa melanjutkan, Bastian menyela dengan senyum halus. "Itu id
Rapat pagi itu di ruang konferensi besar terasa tegang sejak awal. Antonio duduk di kursinya dengan postur tegak dan wajah dingin, tangannya yang baru sembuh sebagian dari gips bertumpu di meja. Di seberangnya, Bastian tampak lebih santai, tetapi sorot matanya jelas penuh tantangan. Topik diskusi adalah strategi pemasaran untuk meningkatkan okupansi hotel, terutama di segmen tamu bisnis. "Rencana itu terlalu berisiko," Antonio memulai, suaranya tegas. "Mengalihkan sebagian besar anggaran ke pemasaran digital tanpa memastikan ROI yang jelas akan membuat kita rentan terhadap kerugian." Bastian langsung menyela. "Antonio, kalau kita terus berpikir konservatif seperti itu, kita akan tertinggal. Kompetitor kita sudah berinvestasi besar di media digital, dan mereka mulai melihat hasilnya. Kita harus berani mengambil langkah besar." Antonio mendengus pelan, lalu menatap Bastian dengan dingin. "Langkah besar tanpa perhit