"Apa?" Langit terkejut ketika sang mama menceritakan apa yang mereka alami ketika berada di mall. Dari gangguan mantan suami sampai mantan sahabat Senja yang masih saja berbuat jahat pada calon menantunya. Tetapi ada sesuatu yang Yuke tutupi, apalagi jika bukan pertemuan dengan mantan sahabatnya. Jika Yuke menceritakannya semua, yang pasti Langit akan menertawakannya, bahkan bisa saja menjadi bulan-bulanan Langit yang tidak menyukai para mantan sahabatnya. Sekarang ia pun setuju apa yang dikatakan oleh putranya itu. "Iya. Mama pun ikut geram melihat Han yang sampai mengancam akan membawa Bina. Kasihan banget Senja. Dia langsung shock mendengar ancamannya Han." Langit mengepalkan tangannya seolah ingin sekali menghajar Han yang mencoba merebut Senja kembali dari sisinya. Entah dimana rasa malu pria itu saat ini. Setelah menyakiti Senja sedemikian rupa, kenapa sekarang malah ingin kembali? Sungguh, Langit tidak akan membiarkan itu terjadi. Senja hanya milikn
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Melly yang ikut panik ketika Riki menerima panggilan, entah dari siapa. Riki menoleh sekilas. Kemudian mengusap wajahnya kasar. "Dari Senja," jawabnya kemudian. Melly bernafas lega. Ia pikir apa sampai Riki panik seperti itu. "Kamu bikin aku takut tau tidak, Mas!! Bikin panik saja." Riki tersenyum tipis sembari kembali fokus pada kemudinya. "Senja mau pulang ke rumah ibu, minta dijemput. Apa aku tidak boleh panik? Sedangkan di sampingku sekarang ada kamu, entah bagaimana reaksi dia melihatmu dan status kita sudah berubah dalam sekejap." Riki mengatakan uneg-unegnya. Meski ini terlihat simple, tapi menurutnya tidak. Jika Senja mungkin bisa mengerti, lalu bagaimana dengan ibunya, pasti ibunya itu kecewa. Melly menatap penuh bersalah. "Maaf ya, Mas. Karena ciuman itu kita dipaksa untuk langsung menikah tanpa persiapan apapun sebelumnya," kata Melly dengan sendu. Matanya menatap ke luar kaca mobil untuk mengurangi satu rasa yan
"Apa?" Fatimah menutup mulutnya tak percaya. "Sejak kapan kalian menikah? Kenapa ibu tidak kalian kasih tau?" Fatimah masih saja meneror Riki dengan pertanyaan. Dari nada bicaranya saja sudah ketara sekali jika Fatimah kecewa karena di saat hari bahagia sang putra ia tidak hadir di samping untuk menemaninya. Fatimah terduduk di sofa. Tatapan matanya nanar. Matanya juga memerah menahan sebah di dada. Seketika Riki merasa bersalah. Digerakkan kakinya untuk mendekat ke arah sang ibu dan bersimpuh di bawah kakinya. Memohon ampun dengan apa yang terjadi sebelumnya. "Maafkan Riki bu yang tidak memberikan kabar sebelumnya. Ini mendadak dan terlalu cepat. Riki tidak ingin Ibu kepikiran, sehingga Riki lebih memilih menyembunyikan pernikahan ini." Fatimah menoleh. Apakah kamu tidak menganggap ini Ibumu sehingga berita besar seperti ini harus kamu sembunyikan dari ibu? Jika kamu memberitahu ibu, dengan cara apapun Ibu pasti akan menemanimu untuk menuju kehidupan baru.
"Mas, aku takut ibu tidak bisa menerimaku sebagai menantunya. Aku harus bagaimana, Mas. Aku takut!!" Melly masih saja terisak dalam tangisnya. Membuat Riki bingung harus bagaimana. Selama ini tidak pernah sekalipun ia bersipendapat dengan sang ibu. Wajar jika dia juga belum memiliki jalan keluar. "Kamu sabar ya. Pasti kita akan mendapatkan jalan keluarnya." Tangannya mengusap punggung istrinya dengan lembut. Senyuman manis walau terkesan dipaksakan. Itu semua demi menenangkan hati Melly yang tengah berkecamuk. Riki menghela nafas panjang. Entah bagaimana ia harus menjelaskan pada sang ibu agar beliau mengerti. "Maafkan aku, Mas. Andai aku dulu_" "Ssst, sudah. Jangan dibahas lagi, Mel. Aku mohon. Aku bisa menerima masa lalumu, jadi aku mohon jangan ungkit lagi. Meski semua orang tidak menyetujui hubunganmu denganku, aku tidak perduli. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku dan prioritas utamaku." Mendengar kalimat suaminya, membuat hati Melly tersentuh. Di
"Ibu, itu_" "Apa? Apakah ibu tidak boleh mengetahui apa yang terjadi apa anak ibu?" "Bukan seperti itu, Bu!!" "Tapi kenapa?" Fatimah mulai terisak dalam diam. Membuat Senja semakin bersalah. "Kamu yang selalu ibu manja dan sayang, dengan begitu mudahnya orang lain hampir mencelakaimu. Apakah ibu harus diam saja saat nyawamu terancam?" Pertanyaan ibunya sontak membuatnya terdiam. Entah Senja harus menjawab bagaimana untuk menjelaskan pada ibunya. "Ibu," Senja meraih tangan itu dan mengecupnya agar emosi bisa mereda. Pelan-pelan ia akan mengatakan apa yang ia alami agar ibunya tidak salah paham lagi. "Apakah ibu harus diam saja ketika wanita itu malah menjadi istri saudara kamu?" Jujur, Senja terkejut dengan apa yang ia dengar barusan. Tapi untuk saat ini bukanlah waktunya untuk mendapatkan jawaban dari pernikahan dadakan saudaranya. "A_apa ibu bilang? Mas Riki menikah dengan Melly?" tanya Senja dengan nada tidak percaya. Terakhir bertemu me
"Dia ada dikamar, Bu. Sedang istirahat," jawab Riki. Ia merasa lega karena kedatangan Senja membawa penerang di gelapnya jalannya. Jika saja Senja tidak datang, entah bagaimana nasib pernikahannya dengan Melly sekarang. Tapi Ia sudah bertekad tidak akan meninggalkan Melly apapun yang terjadi. Karena harga diri seorang pria adalah ikrar janjinya. "Maafkan ibu yang sempat egois, Nak." Riki menggeleng. "Kita sama-sama bersalah, Bu. Karena tidak adanya komunikasi diantara kita. Sampai salah paham ini terjadi," jawab Riki lagi. Ia sama sekali tidak mempersoalkan sikap ibunya. Wajar, ketika hati seorang ibu terlanjur kecewa dengan anaknya. Riki juga bersyukur ibunya tidak sampai melontarkan kata-kata yang tidak baik dari bibirnya. Karena ia percaya setiap apa yang dikatakan ibunya adalah sebuah doa. "Pasti dia takut ya sama ibu yang tiba-tiba meninggalkannya tanpa pamit seperti tadi." Fatimah seketika mereka bersalah dengan sikapnya pada Melly. Riki menggaru
Malam ini terasa spesial bagi Riki karena, untuk pertama kalinya ia berada di kamar dengan seseorang yang beberapa hari ini sudah sah menjadi pendamping hidupnya. Kamar yang biasanya ia tempati sendiri, sekarang nampak berbeda dengan adanya seperangkat alat makeup yang tersusun rapi di depan tiolet mini yang sengaja Riki angkat dari kamar sang mama. Karena itu Melly yang meminta karena bentuknya lucu, begitu menurut istrinya. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, muncullah seorang wanita dengan jubah mandi yang terpasang sempurna di tubuhnya yang ramping dan mulus itu. Rambut yang diikat dengan handuk sampai terlihat seperti menara mini. Riki sedikit takjub melihatnya. "Kenapa kamu melihatku sampai seperti itu, Mas?" tanya Melly saat mendapati tatapan Riki yang begitu menenggelamkan. Riki gelagapan. Membenarkan posisi duduknya di sisi ranjang. Merubah wajahnya agar tidak terlalu kentara jika dia sangat terpesona ketika melihat istrinya. "T
Ciuman yang awalnya penuh dengan perasaan, lama-lama menjadi penuh tuntutan. Melly sampai kewalahan menghadapi ganasnya permainan bibir suaminya yang membuatnya lumpuh, sampai Riki menopang tubuhnya dan menuntunnya menuju ke ranjang tanpa melepas tautan bibir mereka. Tubuh besar Riki langsung menindih Melly penuh nafsu. Nafasnya berderu seolah-olah hasrat sudah berada di ubun-ubun. "Ma_mas," Tanpa sadar bibir Melly mendesah ketika bibir suami turun dan menikmati leher jenjang miliknya. Bermain-main di sana dengan menggigit bahkan mengecup kuat-kuat sampai menimbulkan bekas merah-merah. "Mas, aku malu!!" kata Melly dengan mendesah. Wajah Riki terangkat. "Malu kenapa, sayang?" jawab Riki dengan suara serak menahan hasrat. "Plis, Jangan membuat tanda kepemilikan di leherku. Aku malu sama ibu maupun Senja ketika mereka melihat bekas merah itu." Riki tersenyum tipis. "Buat apa kamu malu? Kita sudah halal melakukannya, bahkan mendapatkan pahala. Justru
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe